Mahasiswa Yang Doyan Game Anak SD Belum Cerdas
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Bahwa
bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah
ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang
diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak menghabiskan
sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan memperoleh pengalaman
dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning
by doing dan learning by playing”.
Seiring
dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab. Anak
perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti:
mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu
membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi
orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka insyaallah
keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan bertanggung jawab.
Bermain
juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat
memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau
seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan
meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8
jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti
dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan
hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
Proses
pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per
hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang
antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu
dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan- yaitu
daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat sholat,
membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu orang
tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda
kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
Apa
dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak
remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan
bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang
seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
Yang
membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan
mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid
yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki
banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu
seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang
siswa.
Pemahaman
bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan
amat dikagumi” sempat tergores dalam memory saya sewaktu masih duduk di bangku
SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum begitu
banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Juga
di saat itu Perguruan Tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu kota
Propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua ucapannya
dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan)
segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau kembali ke kota tempat ia
menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh tetangga dan terutama
kaum kerabatnya.
Citra
tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri
dalam fikiran, dan semakin saya pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi saat
menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden pertama
RI) yang menuntut ilmu di Negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu pengetahuan dan
juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa,
sebagai orang yang hebat membuat saya kagum saat melihat foto Bung Karno
menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut
berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Saya telah
membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
Saya kagum
bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau Jawa
terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu saya masih kecil, kami merasakan bahwa seseorang
yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan ke sana sulit
dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada lagi. Mencari
kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah keringat fikiran. Ya
saya merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan juga dari Pulau lain yang
kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah keringat dan air mata- maksudnya
melalui liku-liku kehidupan.
Zaman
berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami
pergeseran. Di Era Reformasi mahasiswa diidentikan
sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam media cetak
maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa "berperilaku"
demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi dalam bidang akademik
dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh media yang kurang
berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya memberikan sebuah
identitas kepada Mahasiswa.
Namun arti
atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman
dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya
hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka
berasal dari Perguruan Tinggi favorite maka mereka sebatas bangga memakai jaket
dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau
di kampus sendiri.
Makna kata
kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran yang
intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi
adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat
perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan
yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan
improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba
nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta entrepreneur
juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
Dewasa ini,
menurut subjektif saya, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya buat
membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau membaca,
hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang Dosen.
Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi. Maka
itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan indikator itu
pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester hingga nilai
mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak berarti apa apa
sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
Bagaimana
hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari
jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana
kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja
(kupu-kupu= kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas memamerkan
gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan Twitter. Atau
waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara manja kayak
anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
Apakah
mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas-
hingga di rumah atau dikosan cuma membuang buang waktu dalam bentuk
menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game online.
Saya tidak
begitu bangga dengan mahasiswa yang tidak terbiasa membaca dan lebih parah lagi
saya sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara seorang mahasiswa dengan
seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama suka mengkonsumsi game
online ?
Itulah
kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang
pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka
sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana
yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan
anak-anak SD yang masih ingusan.
Nggak percaya dan mau buktiin ? Tengoklah box-box internet yang betebaran di
seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan
waktu buat mengakses game online.
Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat
merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile-
khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini
mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa
yang ternyata berkulitas rendah.
Anak-anak
kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku
bacaan, buku motivasi dan majalah/Koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita.
Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah
perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Cobalah
buka mata, hati dan telinga, bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah
anak-anak lagi, mereka tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan.
Karena pustaka sekolah sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku
tidak memadai. Kita lebih peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang
semata.
Demikian
juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan
dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba
memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor
yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya
siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan entrepreneur.
Dewasa ini di
Perguruan Tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna sekedar
untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja lebih
banyak ditentukan oleh pengalaman leadership
dan entrepreneurship mereka semata. Para
siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi
dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi
yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak
salah. Namun lebih dahsyat apabila ekskul sekolah mendatangkan (mengundang) para tokoh entrepreneur dan juga tokoh leadership
dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman berharga
sejak usia dini, karena pengalaman di usia muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa (http://penulisbatusangkar.blogspot.com
).