Sebuah Urgensi: Program Literasi Menjadi Prioritas
Utama di Sekolah
Oleh:
Marjohan, M.Pd
(SMA Negeri
3 Batusangkar)
Kata “literasi atau literacy” termasuk kosata low -frequency- yang jarang disebut
paling kurang dalam kehidupan saya (sekarang sudah menjadi high frequency- sering disebut). Saat masih muda dan menutut ilmu
di IKIP Padang (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) yang sekarang berubah nama
menjadi UNP (Universitas Negeri Padang) saya dan mungkin juga sebahagian orang-
kurang mengenal kata literasi. Sehingga jadilah kebanyakan mahasiswa yang di kos-kosan menghabiskan waktu
dengan kurang efektif. Mereka datang jauh- jauh dari kampung hanya sekedar
belajar sebagaimana cara mereka belajar di bangku SLTA dulu.
Hingga mencapai usia yang lebih dari
separoh baya ini, saya masih belum mengenal istilah kata “literacy”. Dua tahun yang lalu- saya mendapat kesempatan ikut dalam
program benchmarking program, dan saya menemui sebuah ruang di
“Norwood Secondary College”- sejenis SMA di daerah Norwood- Melbourne, dengan
tulisan “Literacy Room”.
Saya ajukan pertanyaan pada Prof. Dr. Ismet Fanany- pria Asal Batusangkar
yang menjadi dekan pada Universitas Deakin. Ia menjelaskan bahwa “Literacy Room” adalah ruangan yang
berguna buat membantu para siswa yang bermasalah dengan literasi- seperti
membaca dan menulis.
Saya berfikir bahwa literasi sudah menjadi program penting di sekolah. Literasi
menjadi prioritas utama mereka. Omong kosong seorang siswa akan menjadi pelajar
yang mandiri dalam belajar kalau ia masih melek dengan literasi.
Dalam makna yang kita pahami bahwa “illiterate” yang berarti “buta huruf
atau kurang mengenal literasi”. Sebahagian orangtua yang anak mereka sekolah di
bangku SD menjadi puas kalau mereka sudah mengenal abjad dari A hingga Z.
Program atau capaian target dasar literasi kita sangat ringan. Baru sebatas
bisa membaca huruf- membaca kalimat sederhana- dan hingga membaca paragraf dan
terhenti hanya hingga membaca dogeng- dogeng kuno, setelah itu tidak ada lagi.
Beberapa bulan lalu saya ikut dalam kegiatan SEKOLAH GURU
INDONESIA yang dikelola oleh yayasan Dompet Dhuafa bekerjasama dengan Koran
Singgalang. Kegiatan ini dibimbing oleh teman-teman yang latar belakangnya
bukan pendidikan keguruan, namun mereka sangat peduli dalam memajukan
pendidikan bangsa kita.
Kegiatan dilakukan pada
hari Minggu agar tidak mengganggu PBM di sekolah. Kesan saya dan juga kesan
dari yang lain bahwa pada umumnya peserta para guru muda yang memenuhi kriteria
selalu datang dengan antuasias, mereka sangat ikhlas menggunakan uang pribadi
dari kocek sendiri buat dana transport dan buat beli makanan.
Memang tugas buat
mencerdaskan bangsa dan menggenjot kualitas SDM tidak mutlak tanggung jawan para
pendidik. Itu semua merupakan tanggung jawab kita semua. Maka rekan-rekan dari
yayasan Dompet Dhuafa juga menujukan kepedulian. Mereka merancang program
literasi dan program lain buat para guru, yaitu seperti:
1. Penguasaan literasi digital
2. Penguasaan komunikasi efektif
3. Penguasaan metodologi pembelajaran; dan
4.
Pemahaman
psikologi yang shahih
Saya jadi malu diri
saat membandingkan pelaksanaan kegiatan ini dengan kegiatan MGMP yang saya
ikuti bersama kawan- kawan guru dari berbagai sekolah. Dimana pesertanya
terkesan kurang antusias dan kurang bersemangat dalam berpartisipasi. Persentase
kehadiran saja jauh dari harapan.
Sejak negara kita
merdeka, 70 tahun yang lalu, baru sekarang ada ajakan dan kepedulian dalam
menggunakan kata “literasi”. Maka baru sekarang kegiatan literasi jadi program
di sekolah. Gerakan Literasi Sekolah dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor
21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan gerakan ini untuk
membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan
budi pekerti.
"Kegiatan literasi
ini tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan menulis yang
harus dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas,
memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya,"
Akhirnya Kurikulum 13,
yang sempat menjadi pro-kontra dalam tahun sebelumnya, direvisi dan urgensi
untuk diterapkan untuk semua lini pendidikan di Tanah Air. Jumlah peserta
sekolah yang menerapkan kurikulum 13 selalu meningkat, hingga akhirnya semua
harus menerapkan kurikulum ini.
Di awal semester 2016/
2017 ini banyak pemanggilan guru- guru (sebagai guru sasaran) untuk mengikuti sosialisasi
kurikulum 13 yang sudah direvisi. Dalam sosialisasi tercakup bahwa betapa
setiap sekolah dan apalagi setiap guru perlu mensukseskan program pembelajaran melalui “ Pembelajaran aktif,
Penguatan Literasi dan Penumbuhan Budi Pekerti”. Sebuah keputusan dan kebijakan
yang sangat tepat, karena andai kata ini terwujud maka anak-anak Indonesia akan
menjadi manusia punya budi pekerti luhur, aktif dalam belajar dan dan sangat
peduli dengan budaya literasi.
Sebagaimana yang
dilaporkan oleh UNESCO bahwa persentase
minat baca bangsa Indonesia hanya 0,001 persen, maksudnya bahwa dari 1000 orang
hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat minim sekali dan sangat
memprihatinkan.
Minat baca bangsa kita masih rendah. Mengapa minat baca orang Indonesia
rendah ? Menurut Lucya Andam Dewi, ketua IKAPI- Ikatan
Penerbit Indonesia (http://www.cnnindonesia.com) bahwa:
“Kondisi perbukuan
Indonesia masih menghadapi masalah klasik: minat baca dan distribusi. Jumlah
penulis masih sangat sedikit. Pada 2014, buku yang terbit hanya lebih dari 30
ribu judul. Jumlah penerbit pun kurang. Anggota IKAPI yang tercatat, ada
1.300-an. Namun yang aktif hanya 700 sampai 800 penerbit. Penerbit terpusat di
Jawa. Di Sumatra ada sedikit. Di Kalimantan dan Sulawesi ada, tapi belum
banyak. Seharusnya penerbit itu ada di setiap provinsi, jadi ada kearifan
lokal. Tapi kita masalahnya minat baca."
Fakta-fakta itu membuat
Indonesia kalah jauh dengan negara maju. Mereka mempulikasi sekitar 30 ribu
judul buku per tahun dibanding penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta
orang, jelas jauh. Perbandingannya satu orang belum bisa membaca satu buku.
Padahal di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku. Di
Indonesia malah kebalikannya. Tiga sampai lima buku dibaca oleh hanya satu
orang.
Pengalaman dengan mata
dan kepala membuktikan bahwa bangsa kita amat lemah untuk urusan literasi.
Kepedulian bangsa maju apa mereka datang dari utara atau selatan menunjukan
bahwa mereka sangat mandiri untuk urusan literasi.
Craig Pentland, teman
saya sejak tahun 1996 dari Perth- Australia setiap kali datang berlibur ke
Sumatera selalu tak pernah lupa menamatkan bacaan tentang Indonesia. Terakhir
ia menghadiahkan saya buku “The Rainbow
Troop- atau Laskar Pelangi”, karya Andre Hirata dalam versi Bahasa Inggris.
Rekan- rekan yang datang dari utara- Eva, Guni dan Ulla Mo (dari Swedia) juga
sangat bergairah saat mengomentari buku- buku yang barusan mereka baca. Begitu
juga dengan Benjamin dan Celine (dari Perancis) yang menanyakan:
“Siapa nama pengarang
Indonesia yang cukup populer dan dimana saya bisa membeli atau memperoleh
buku-buku tersebut ?”
Sungguh literasi telah
menjadi kebutuhan kognitif utama mereka. Ibarat kebutuhan perut akan makanan
dan minuman yang selalu perlu kita cari tiap hari. Pantaslah Bangsa Australia,
Swedia dan Perancis lebih maju. Warga negara mereka yang sangat peduli dan
butuh dengan literasi ikut memajukan SDM negara mereka.
Akhirnya sosialisasi
atau pelatihan Kurikulum 13 yang saya ikuti pada sebuah hotel di Padang berakhir.
Ada rasa optimis bahwa program literasi juga menjadi program yang diprioritaskan
di sekolah. Semua sekolah- stake holdernya- juga segera
menggelar program penguatan literasi sekolah.
Hari berlalu dan minggu
berganti, program literasi yang sempat bergema hanya sebatas wacana dan sebatas
slogan. Bukankah semua sekolah lebih peduli untuk mengejar skor, demi menjaga
nama baik sekolah, nagari, instansi, dan hingga kabupaten atau propinsi. Maka
program active learning dan penguatan
literasi terasa sepi kembali dan tidak jelas wujudnya. Yang ada hanyalan
pelatihan dan pelatihan untuk memacu kehebatan kognitif. Skor yang tinggi
melalui kekuatan kognitif bakal bikin orang akan berdecak kagum.
Dalam buku “School
Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah” yang ditulis oleh Marjohan (Terbitan :Insan
Madani, Yogyakarta, 2009) dapat dibaca bahwa literasi memang merupakan problem
di sekolah. Beberapa sub- judul kupasan buku ini: Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah,
Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri,
dan Kemandirian dalam Belajar Perlu
Ditingkatkan.
Ini menunjukan bahwa
program literasi belum menjadi agenda utama. Dengan arti kata bahwa
perpustakaan yang semrawut, minat baca yang rendah, motivasi belajar yang
rendah belum merupakan kekhawatiran yang besar dari warga sekolah. Pada hal
cukup banyak program- program unggulan yang kebijakannya dari pusat telah
dirancang/ ditulis oleh pakar pendidikan untuk segera diimplementasikan. Namun
karena minimnya budaya literasi- yaitu kemampuan seseorang (masyarakat sekolah)
dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan kualitas
diri susah buat terwujud.
Petunjuk untuk
melaksanakan gerakan literasi sekolah, ternyata sudah dirancang. Sayangnya sejumlah
orang yang katanya punya peran dalam manajemen pendidikan, tidak memahami/
membaca buku petunjuk tersebut. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional telah merancang parameter sekolah
yang telah membangun budaya literasi yang mencakup lingkungan fisik, Lingkungan Sosial dan Afektif dan Lingkungan
Akademik. Gambarannya sebagai berikut:
a). Lingkungan Fisik
- Karya peserta didik dipajang di
sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan
kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
- Karya peserta didik dirotasi
secara berkala untuk memberi kesempatan yang
seimbang kepada semua peserta
didik.
- Buku dan materi bacaan lain
tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
- Buku dan materi bacaan lain
tersedia juga untuk peserta didik dan orang
tua/pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas.
- Kantor kepala sekolah memajang
karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
- Kantor kepala sekolah
mudah diakses oleh warga sekolah.
b) Lingkungan Sosial dan Afektif
- Penghargaan terhadap prestasi
peserta didik (akademik dan non-akademik)
diberikan secara rutin (tiap minggu/bulan). Upacara hari Senin merupakan
salah
satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.
- Kepala sekolah mengenali
peserta didik bila masuk ruang kelas (bukan hanya
peserta didik yang berprestasi atau dianggap bermasalah).
- Kepala sekolah terlibat aktif
dalam pengembangan literasi.
- Merayakan hari-hari besar dan
nasional dengan nuansa literasi, misalnya merayakan
Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.
- Terdapat budaya kolaborasi
antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-
masing (dan tidak saling menjatuhkan).
- Terdapat waktu yang memadai
bagi staf untuk berkolaborasi menjalankan program
literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
- Staf sekolah
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam
menjalankan program literasi.
c) Lingkungan Akademik
- Terdapat Tim Literasi Sekolah
yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan.
Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak eksternal.
- Disediakan waktu khusus dan
cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan
literasi: membaca dalam hati (sustained
silent reading), membacakan buku dengan
nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading),
membaca terpandu
(guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and-tell
presentation).
- Waktu berkegiatan literasi
dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain
yang dianggap tidak perlu.
- Disepakati waktu berkala untuk
Tim Literasi Sekolah membahas pelaksanaan
gerakan literasi sekolah.
- Disepakati waktu berkala untuk
Tim Literasi Sekolah membahas pelaksanaan
gerakan literasi sekolah.
- Ada kesempatan pengembangan
profesional tentang literasi yang diberikan untuk
staf, melalui kerja sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi,
dinas pendidikan,
dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
- Seluruh warga sekolah
antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan
membangun organisasi sekolah yang suka
belajar.
Ternyata langkah- langkah untuk menerapkan program literasi di sekolah
sudah cukup detail, namun jarang atau belum sempat terbaca oleh sebagian stakeholder pendidikan. Yang menjadi
kepedulian urgen dari pihak sekolah adalah mengejar prestasi akademik dan non
akademik. Kebijakan begini sangat tepat dan tidak salah. Yang salah adalah
untuk kebutuhan zaman sekarang adalah apabila pihak sekolah kurang peduli dalam
urusan literasi- siswa yang tidak bergairah dalam membaca dan menulis, dan
kepedulian belajar secara mandiri. Untuk itu, sebagaimana judul tulisan ini,
bahwa amat mendesak: program literasi menjadi prioritas utama di sekolah.
Kini saatnya bagi kita untuk sangat peduli buat menumbuhkan kepedulian pada
literasi. Ada banyak sumber bagi kita buat menimba ilmu dan pengalaman. Pratiwi Retnaningdyah, Kandidat PhD di Bidang
Cultural Studies, University of Melbourne dan tergabung dalam komunitas Gerakan
Sekolah Menyenangkan- GSM (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian)
memaparkan pengalamannya literasi, yaitu tentang: Meningkatkan
Minat Baca Ala Sekolah Australia.
“Bagaimana program
literasi berjalan di tingkat pendidikan dasar, Siswa di bangku SD selalu membawa
pulang satu buah buku di dalam tas sekolahnya untuk bacaan di rumah. Itu
merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi setiap anak. Sementara PR bagi orang tua
ialah membimbing anak membaca buku yang dibawa dari sekolah itu. Di luar buku
yang dipilihkan gurunya untuk PR membaca, sekolah juga ingin mengajak orang tua
dan anak mencatat kebiasaan membaca buku yang tersedia di rumah, entah itu buku
cerita, pengetahuan, dan lain-lain. Untuk itu, sekolah menyediakan buku catatan
Home Reading. Tidak diberi nilai meski guru akan memberikan komentar secara
berkala setiap bulan. Jadinya di rumah selalu ada reading time, orang memberi
catatan atau laporan dan guru di sekolah memberi komentar. Maka beginilah kiat
menumbuhkan literasi buat anak melalui kerjasama antara orang tua dan guru”.
Firman Parlindungan, Dosen Universitas Teuku Umar, saat melanjutkan pendidikan S-3 di Columbus
University, Ohio-Amarika Serikat, melaporkan tentang Pendidikan
Literasi: Membaca dan Menulis di Ohio - Amerika Serikat (http://utu.ac.id/utunews/artikel-cakrawala).
Ia menjelaskan bahwa:
“Belajar tentang pendidikan literasi di Columbus, Amerika Serikat membuka
cakrawala tentang nikmatnya dunia membaca dan menulis masyarakat di sini. Semua
orang membaca buku, majalah, atau surat kabar harian di halte, di bus kota,
atau di kafe-kafe. Orang tua atau generasi muda duduk di taman kota sambil
menikmati buku atau novel ratusan halaman. Siswa merasa malu jika tidak
membaca. Mahasiswa menjadikan membaca dan menulis sebagai tradisi ilmiah,
sedangkan diskusi menjadi rutinitasnya. Perpustakaan bukan satu-satunya tempat
untuk membaca. Bagi mereka membaca dan menulis sudah menjadi budaya yang bisa
dilakukan dimana saja dan kapan saja. Di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, upaya
menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya sudah dimulai sejak puluhan tahun
silam. Dinas Pendidikan mendorong sekolah untuk merancang kurikulum dan program
pembelajaran yang mengarah pada stimulus anak mencintai membaca dan menulis
sejak usia dini. Bahkan banyak program yang melatih orang tua untuk membaca
cerita-cerita dongeng kepada anaknya di rumah. Orang tua yang memiliki anak
usia balita selain menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-Kanak atau
menitipkannya di Taman Penitipan Anak (Children’s Day Care), mereka juga
belajar bagaimana mendukung perkembangan membaca dan menulis anak di rumah
secara efektif. Dan program-program tersebut dilaksanakan gratis oleh
pemerintah lokal secara berkala”.
- Di sekolah TK, guru-guru dengan kreatifnya membacakan cerita kepada anak-anak
di setiap awal pembelajaran. Kegiatan ini juga diikuti dengan latihan pelafalan
kalimat dengan penekanan dan intonasi yang tepat. Sudah terbuktik efektifitas kegiatan semacam ini dalam
meningkatkan kemampuan bahasa anak yang mengarah pada kemampuan membaca dan
menulis mereka.
- Di tingkat SD kelas satu sampai dengan tiga, setiap siswa diwajibkan
membaca dan menulis di rumah melalui penerapan tugas membaca mandiri. Setiap
siswa punya reading-log, semacam buku harian membaca, yang berisi berapa lama
waktu yang siswa habiskan untuk membaca di rumah dan paraf orang tuanya. Tidak
ada patokan menit atau jam. Buku harian itu juga berisi tugas-tugas sekolah
lainnya yang harus dikerjakan di rumah seperti menulis. Pada usia ini siswa
diharuskan menulis paragraf pendek tentang apa yang sudah dibaca. Saat di
sekolah mereka akan diminta untuk menceritakan bacaannya di depan kelas atau di
kelompok kecil.
- Sedangkan pada kelas empat sampai dengan enam, ada waktu minimal yang
ditetapkan sekolah. Untuk kelas lima misalnya, siswa harus membaca di rumah
minimal selama 25 menit sehari dengan pantauan orang tua. Dan kewajiban menulis
pada level ini mengharuskan siswa menulis esai yang biasanya terintegrasi
dengan pelajaran IPA atau IPS. Kewajiban membaca ini terus berlanjut sampai
level SMP dan SMA. Yang membedakannya adalah bahan bacaan dan batasan minimal
waktunya.
- Di SMP misalnya, siswa diharuskan membaca buku atau novel kemudian
diwajibkan menulis laporan bacaannya di buku harian mereka. Setiap sekolah
menerapkan aktivitas yang berbeda dalam rangka membiasakan anak untuk membaca
dan menulis.
Deskripsi di atas adalah tentang bagaimana menumbuh-kembangkan literasi
buat anak didik dan buat generasi muda Indonesia. Himbauan buat semua sekolah
adalah agar “Program Literasi Menjadi Prioritas Utama di Sekolah”.