Beberapa Kebiasaan Yang Membuat Seseorang Jadi Hebat
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)
Semua orang saat lahir ke dunia, semua memiliki kemampuan yang sama yaitu “crying- menangis”. Ibarat perlombaan lari, mereka sama-sama memulai pada garis start atau “titik nol”. Namun setelah 5 tahun mulai terlihat perbedaan. Setelah 10 tahun perbedaan kualitas hidup terlihat jelas dan setelah 20 atau 30 tahun perbedaan- perbedaan tersebut sudah semakin melebar. Latar belakang siapa yang merawat dan mendidik dan pengalaman serta perlakuan yang mereka peroleh sangat menentukan siapa mereka jadinya. Hingga ada orang yang kualitasnya biasa-biasa saja, ada yang tertinggal dan dilupakan, dan malah ada yang menjadi orang yang sangat super.
Perjalanan hidup membuka kita jadi berbeda secara berevolusi. Saya terinspirasi dengan tulisan Tom Corley pada situs www.success.com dengan judul “16 Rich Habits: Your Autopilot Mode Can Make You Wealthy or Poor”. Namun saya akan mengulas hanya 6 kebiasaan saja, yaitu kebiasaan yang bisa membuat seseorang bisa jadi kaya. Kebiasaan tersebut adalah seperti:
- Membaca setiap hari
- Tidak banyak menghabiskan waktu dengan internet dan gadgets.
- Menghindari kebiasaan menunda waktu.
- Talk less and listen more.
- Menghindari toxic people.
- Milikilah seorang mentor (penasehat pribadi)
1)- Membaca setiap hari
Membaca harus menjadi kebutuhan utama karena membaca sangat penting, mungkin sudah menjadi kebutuhan primer. Kalau kita ingin menjadi orang sukses maka kita harus membaca yang banyak tentang informasi. Itu semua akan meningkatkan ilmu pengetahuan kita. Kalau mau sukses dalam bidang bisnis, maka kita perlu membaca tentang bisnis dan bidang lain. Dengan cara begini akan membuat kita lebih bernilai di mata teman-teman, pelanggan atau klien. Di antara orang-orang sukses, 88 persen maasih menyempatkan diri buat membaca. Paling kurang mereka masih meluangkan waktu selama 30 menit atau lebih buat membaca setiap hari.
Begitu pentingnya membaca sehingga meluangkan waktu buat menciptakan “reading time”. Mereka tidak asal membaca saja. Maka ada beberapa buku yang mereka prioritaskan buat dibaca. Khususnya buku-buku “autobiography, educational career, personal development, biography of succsess people, peristiwa-peristiwa terbaru, sejarah dan hiburan”.Dari variasi bacaan tadi maka Tom Corley memaparkan tentang proporsinya, yaitu sebagai berikut:
- 94 % mereka membaca tentang current event atau peristiwa terkini. Bacaan jenis sangat penting agar tidak ketinggalan informasi.
- 79 % membaca tentang educational career atau tentang topik yang berhubugan dengan karir yang dipilih.
- 63 % kalau tidak sempat membaca buku maka mereka mendengar audio book. Jadi saat kita bosan membaca teks, kita bisa mendengar audio book, dan tidak harus telinga
kita disodori dengan jutaan megabyte fitur lagu-lagu melulu. Namun lagu-lagu tersebut tetap signifikan sebagai selingan.
- 58 % mereka membaca biografi tentang orang-orang sukses. Dengan membaca biografi kita bisa memperoleh cermin hidup tentang proses tumbuh-kembang dalam kehidupan mereka.
- 51 % membaca tentang sejarah. Sejarah yang dibaca bisa jadi tentang perkembang suatu domain, seperti perdagangan, sosial, wisata, bisnis, olahraga, dll.
11 % mereka membaca hal-hal yang berhubungan dengan hiburan, ya tentang profil seorang atlit, bintang film, figur publik, dll.
Alasan mengapa orang-orang yang sukses masih membaca adalah agar selalu meningkatkan kualitas diri. Kebiasaan inilah yang membedakan mereka- membuat mereka menang dalam kompetisi dalam hidup. Dengan meningkatkan pengetahuan akan membuat mereka mampu melihat lebih banyak kesempatan, yang mana mereka terjemahkan- wujudkan- ke dalam bentuk keuntungan (finansial).,
Ada juga orang yang tergolong sudah sukses, namun malas dalam membaca. Yang selalu gemar membaca- memperbarui pengetahuan dan wawasan- kesuksesan serta karir mereka selalu bertahan dan malah cenderung meningkat. Sementara bagi mereka yang enggan buat menambah pengetahuan biasanya karirnya pelan-pelan merosot.
2)- Tidak banyak menghabiskan waktu dengan internet dan gadgets.
Menggunakan internet buat tujuan menambah wawasan dan memperluas jaringan adalah sangat tepat. Internet merupakan media komunikasi yang menyuguhkan bervariasi fitur seperti Facebook, Twitter, Instagram, Friendster, dll. Itu semua merupakan fitur untuk tujuan medsos alias media sosial. Melalui aplikasi androit orang juga bisa mengguakan jenis medsos yang lain seperti Whatsup, BBM, Skype, Line, dll. Jadi sudah demikian banyak variasi media sosial yang disuguhkan buat pengguna internet/ androit.
Jumlah medsos yang berlimpah dapat diibaratkan dengan jenis hidangan yang tersaji di atas meja makan. Apa semuanya harus dikonsumsi, paling hanya satu atau dua saja. Orang yang menyantap semua jenis sajian yang berkalori tinggi sepanjang waktu akan berefek diserang oleh penyakit stroke, diabetes, gangguan pencernaan. Hal yang sama adalah orang yang mengkonsumsi semua fitur medsos juga akan menimbulkan banyak masalah- utamanya kehabisan waktu, hingga menjadi orag yang anti sosial. Medsos yang dipakai ala kadarnya tentu bisa punya manfaat yang optimal. Bagaimana penggunaan mendsos yang tidak terkontrol ?
Saya sempat menjadi salah seorang yang juga cenderung mengkonsumsi banyak fitur medsos. Ya saya pernah tergila-gila menggunakan fitur Twitter, Facebook, BBM, Line, WA, dll. Memang saya bisa punya banyak koneksi ke seluruh nusantara hingga ke negara lain. Bagaimana efeknya, apakah saya jadi produktif ? Saya hanya menjadi ngetop secara fatamorgana- ngetop yang penuh kepalsuan. Namun produktivitas saya telah mendekati titik nol.
Tahun 1990-an saya belum mengenal internet, apalagi androit, karena benda ini belum ditemukan. Saat itu saya sangat produktif. Setiap kali saya punya kelebihan waktu, maka saya mampu menghasilkan banyak artikel. Saya hanya mengetik menggunakan mesik ketik bermerek olympus dan menggunakan tipe-ex kertas untuk mengkoreksi kesalahan. Terasa lebih sulit, namun saya amat produktif dalam menghasilkan tulisan.
Saya mengirim semua tulisan ke koran-koran. Dan setelah itu tulisan saya pada bermunculan. Efek dari memiliki banyak tulisan, saya juga bisa mengkompilasinya menjadi tujuah buah judul buku yang sempat diterbitkan dan buku-buku tersebut tersedia di toko buku di seluruh Indonsia.
Karena saya mempunyai lebih dari seratus tulisan hingga saya mampu memperoleh penghargaan dari Kementrian Pendidikan dan juga dari Presiden RI. Saya juga sempat mengunjungi pendidikan di beberapa negara seperti di Australia, Singapura dan Malaysia. Bagaimana kemudian ?
Saya jatuh cinta dengan medsos yang bayak. Memang saya merasakan manfaatnya, punya banyak teman. Efek negatif yang saya peroleh adalah bahwa saya kekurangan waktu buat berkarya dan melakukan hal-hal positif. Ada sekitar 3 tahun saya jadi vakum untuk
menulis secara produktif. Dan saya juga kehilangan waktu untuk melayani kepentingan keluarga. Jadinya kemudian, saya “memutuskan untuk membuat jarak dengan medsos” dan akan berkarya seproduktif pada saat-sat sebelumnya. Saya tidak mengajak orang untuk memusuhi medsos, namun juga menginginkan mereka agar menggunakannya dengan bijak. Orang sukses tidak banyak menggunakan internet dan juga androit.
Tom Corley mengatakan bahwa sungguh cukup banyak waktu yang sangat berharga telah hilang gara-gara kita terbiasa parkir (duduk berlama-lama) di depan layar laptop. Bahwa 2/3 dari orang-orang sukses hanya menonton TV hanya kurang dari satu jam setiap hari. Kemudian hampir 63 % dari mereka menggunakan waktu kurang dari satu jam untuk internet. Itupun mereka gunakan untuk tujuan pekerjaan.
Memang orang-orang sukses menggunakan waktu lowong mereka buat hal-hal yang lebih effektif, yaitu untuk pengembangan diri, memperluas networking- jaringan pekerjaan- menjadi volunteering, buat melakukan kerja samping atau untuk bisnis yang lain. Atau untuk mencapai tujuan positif lain yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan orang banyak. Namun bagaimana dengan generasi sekarang, dimana yang banyak terlihat adalah generasi merunduk- bola mata mereka hanya fokus membaca fitur pada layar androit.
Mata mereka melotot pada gadget dan melepaskan diri dari ikatan emosi dengan orang-orang terdekat di sekitar mereka. Mereka merespon dan beramah tamah pada banyak orang yang menstimulus di dunia medsos- cyber. Hingga mereka terlihat begitu sibuk dan menjadi kurang produktif untuk menekuni pelajaran, pekerjaan dan keakraban dengan sesama.
3)- Menghindari kebiasaan menunda waktu.
Avoid procrastnation- hindari kebiasaan menunda waktu, menunda pekerjaan baik lainnya. Kalau ada pekerjaan atau tugas maka segeralah untuk diselesaikan. Tuhan (Allah swat) juga memberi nasehat pada kita (hamba-Nya)- lihat Al Quran surat 94:7- bahwa apabila kita sudah menyelesaikan suatu pekerjaan maka kita tetap bekerja serius dan melakukan pekerjaan lainnya.
Orang-orang sukses sangat memahami bahwa menunda pekerjaan akan membuat kualitas diri juga jadi menurun, berdampak menimbulkan ketidak-puasan pada orang lain. Juga mempengaruhi kepercayaan klien/ pelanggan dan juga menghancurkan hubungan non bisnis. Tom Corley memaparkan 5 strategi yang akan membantu kita untuk meninggalkan kebiasaan suka menunda-nunda waktu, yaitu:
- Ciptakan agenda harian (daftar kegiatan harian) kemudian targetkan bahwa 70 %
akan bisa rampung tiap hari.
- Prioritaskan agar kita bisa menyelesaikan 5 agenda setiap hari.
- Tuliskan dateline atau batas waktu atas target kerja yang kita rencanakan
- Miliki sejumlah teman yang cukup akuntabilitas, yang teruji kemampuan dan keterampilan mereka dan berkomunikasilah dengan mereka setiap hati dalam rangka mencapai target kerja, juga saling memotivasi satu sama lain.
- Tuliskan kata “do it now- aku akan segera mengerjakannya”. Dan betul-betul segera kerjakan dan selesaikan.
4)- Talk less and listen more.
Saya mengikuti sbuah seminar di IAIN Batusangkar dengan pembicaranya Dr Louis Down dari Amerika Serikat. Dalam waktu senggang saya mengajak dia buat ngobrol. Saya mengajukan sejumlah pertanyaan. Saya berfikir bahwa ia akan merespon dengan begitu bersemangat. Ternyata dalam ngobrol ia lebih memilih menjadi pendengar yang aktif, sedikit berbicara dan banyak tersenyum. Itu tidak hanya terjadi padanya, pada saat lain saya juga ngobrol dengan beberapa guru internasional seperti John Duke, Marry Cameroun, Katty- semua dari Australia- mereka ternyata juga ngomong sedikit dan banyak mendengar. Talk less and listen more adalah ciri-ciri orang sukses.
5)- Menghindari toxic people.
Toxic people yang berarti “manusia racun”. Wah ini sebuah istilah yang cukup sarkasme yang ditulis oleh Tom Corley. Toxic people adalah orang-orang yang punya kebiasaan meracuni pemikiran orang. Yaitu seseorang yang dari ucapannya atau
pengaruhnya bisa orang jadi bertengkar, jadi putus asa, jadi pecah belah- pokoknya kepribadiannya selalu mengganggu orang lain.
Memang kita harus bergaul dengan banyak orang. Apalagi Unesco juga merekomendasi bahwa tujuan belajar abad ke 21 adalah untuk: learning to be, learning to do, learning to know and learning to live together”. Kita musti bertoleran dengan banyak orang yang berbeda kepercayaan, karakter dan pemikiran. Namun kita sangat dianjurkan untuk selalu menghindari toxic people. 86 % dari orang sukses selalu berhubungan baik degan orang sukses lain dan menghindari bergaul dengan orang yang pribadinya tidak begitu positif.
6)- Milikilah seorang mentor (penasehat pribadi)
Mentor berarti seorang guru khusus, seseorang yang bisa meng-update, melatih kita hingga mengarahkan jalan hidup kita. Maka banyak orang sukses, 93 %, memiliki mentor yang berhubungan dengan kesuksesan mereka. Tentu mentor yang kita miliki boleh saja banyak dan tidak harus satu orang.
Para mentor secara aktif dan secara teratur berpartisipasi dalam pertumbuhan kualitas pribadi kita. Mentor yang baik akan selalu bersedia meminjamkan tangannya kepada kita. Dia biasanya memberi kita arahan tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita hindari- some do’s and some don’t in our life.
I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Selasa, 04 April 2017
Selasa, 14 Februari 2017
Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa Sudah Dilupakan ?
Pola
Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa
Sudah Dilupakan ?
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Setiap
kali saya ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran
dengan sajian aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring-
piring dan memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung
restoran. Entahlah kenapa kebiasaan saya ini bisa terjadi dan saya sendiri juga
bukan orang yang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu
peduli dan mengerti dengan nilai gizi dan gaya makan yang sehat.
Saya
malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi pembaca
artikel ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman yang kurang enak. Bahwa sewaktu
kecil saya dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih
terngiang dalam pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya
sebagai anak kecil dengan perut buncit, dengan kulit kering dan tulang-tulang
tubuh yang menonjol”.
Saudara saya
yang lebih tua baru mau menyantap nasi yang diberi lauk terbuat dari jengkol
bakar- sebuah hidang yang jauh dari standar sehat buat pertumbuhan seorang balita.
Untunglah beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke kota Payakumbuh
dan dia telah memperoleh pekerjaan yang lebih baik hingga mampu membeli lauk-
pauk sekedarnya untuk memperbaiki pola nutrisi kami.
Untuk
tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan (kecerdasan). Namun saya merasa
aneh setiap kali makan bareng teman yang walaupun lulusan perguruan tinggi namun
tetap “tidak mau menjamah sayuran untuk makan siangnya”. Mereka tidak mengenal
bagaimana mengkonsumsi pola makanan sehat. Piringnya hanya penuh dengan taburan
bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk yang kaya dengan kolestrol. Sekali lagi bahwa
mereka tidak pernah tertarik untuk menyentuh sayur-mayur dan mengkonsumsi buah
untuk sekedar cuci mulut- seperti sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau
buah tropis yang kaya vitamin lainnya sebelum atau setelah selesai makan.
“Mengapa
anda makannya tidak pake sayur ?”, sapaan saya pada seorang teman untuk mencari
tahu.
“Maaf
saya tidak suka sayur”. Jawabnya. Dan jawaban yang sama juga sudah saya peroleh
dari banyak orang setiap kali saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saya bisa
membuat generalisasi bahwa begitu banyak orang-orang yang hidup di sekitar kita-
sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang terdidik- namun kurang tertarik
buat mengkonsumsi sayuran dan juga amat jarang makan buah-buahan yang kaya
dengan vitamin dan berguna sebagai pelindung tubuh mereka.
Parenting
di negara Australia, Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus
sehingga mampu mengatarkan negara mereka menjadi negara berkualitas tinggi.
Namun parenting di Indonesia punya
banyak kekurangan. Banyak orang tua yang berusia masih muda yang kurang
memahami pola makanan sehat buat balita mereka.
Sebuah LSM
internasional “Humanium” yang berdiri di Jenewa- ibu kota negara Swiss tahun
2008, yang punya visi “Together For
Children’s Right- bersama memperjuangkan hak azazi anak-anak” menulis: Bahwa
Indonesia kaya dengan sumber daya alam dan terbentang luas pada lebih dari
13.000 pulau, Indonesia saat ini sedang giat-giatnya pada periode pembangunan
besar. Sayangnya, keunggulan ekonomi negara belum bermanfaat bagi banyak penduduknya.
Karena banyak anak-anak yang masih hidup
dalam kondisi tubuh yang kurang sehat,
sehingga anak-anak tersebut tidak bisa menikmati hak azazi untuk menjadi sehat.
Ditambahkan
bahwa Indonesia dihadapkan dengan
berbagai masalah yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, data pada tingkat
kematian anak-anak yang merupakan suatu bencana adalah sekitar 40% dari
anak-anak Indonesia yang meninggal sebelum usia 5. Bayi yang baru lahir sering
menjadi korban dari beberapa penyakit seperti berat badan rendah atau kurang
gizi (http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia).
Saat
melewati perkampungan penduduk, saya sering menjumpai ibu-ibu muda yang kurang
peduli dan mungkin kurang tahu tentang makna hidup sehat. Mereka dengan
entengnya menyuguhkan makanan-makanan yang miskin gizi dan kaya dengan zat-zat
kimia dalam bentuk bumbu penyedap dan bahan pengawet untuk anak mereka yang
masih berusia bayi hingga berumur lima tahun. Mereka membiarkan balita mereka
untuk menjangkau jajanan yang bergelantungan di etalase warung- warung penduduk.
Bagi mereka yang penting asal perut balita bisa kenyang atau asal anak- anak mereka
bisa tidak rewel dan berhenti menangis.
Kalau
anak- anak hingga remaja yang punya daya tahan tubuh yang lemah adalah produk
dari parenting rumah mereka yang kurang
mengenal dengan pola hidup sehat yang tecermin melalui pola makan. Kemudian
diperparah lagi kepada pedagang kaki lima- pedagang keliling yang telah meracik
makanan murah meriah dan bernilai gizi rendah yang berjejer di sekeliling pagar
sekolah untuk disuguhi buat murid-murid sebagai jajanan penyumpal perut- perut
mereka yang selalu lapar. Lengkap sudah bunga- bunga bangsa ini diracuni oleh
makanan rongsokan buat memangkas kesehatan mereka.
Bila
kita berkunjung ke bangsal anak-anak di ruah sakit maka akan terlihat tiap
sebentar kita arus masuk pasien berusia muda belia yang jatuh sakit gara-gara
salah mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Mereka berasal dari rumah yang
orang tua mereka rajin menyediakan makanan cepat saji, seperti: mie instan, dan
aneka makanan yang bertabur bumbu-bumbu penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak
orang tua yang juga malas menghidangkan sayuran dan buahan. Sebuah artikel
dalam portal tempo online menulis tentang “Serious
Risks When Parents Don`t Cut Small Fruits for Children” – adalah cukup
beresiko buat kesehatan anak-anak mereka bila orang orang tua malas
menghidangkan potongan-potongan kecil buah-buahan buat anak mereka. Judul ini
perlu diingat bagi orang tua yang mendambakan kesehatan anak mereka (https://en.tempo.co/read/news/201).
Cukup
fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan rasa ketimbang nilai gizi
makanan. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita akan
menyaksikan tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang belum
tentu menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar, dengan
warna coklat hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan belerang pada
makanan. Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak arangnya, juga
kuliner yang pegolahannya serba digoreng hingga mengandung kolesterol tinggi,
telah memicu cukup banyak populasi penderita pasien kanker yang rajin
mengunjungi rumah sakit dan juga tempat prakter dokter.
Bangsa
Jepang adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia. Itu
semua berasal dari kualitas dan pola makan mereka. Memang diakui bahwa cita
rasa santapan orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa kuliner orang
kita. Itu karena mereka telah membudayakan menghindari pengolahan kuliner yang
banyak mengandung minyak, gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap. Kuliner dan
santapan orang Jepang lebih banyak yang bercorak serba “direbus” dan dan banyak
mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Maka inilah pola makanan yang lebih sehat
itu.
Apakah
kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan sehat ?
Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu
bahwa pola makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”.
Namun pola hidup sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi
anak-anak SD. Seharusnya pola makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami,
diketahu dan diamalkan oleh orang tua mereka di rumah.
Saat
masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat memahami
komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada “karbohidrat,
protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan dengan
sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu” agar
bisa menjadi “lima sempurna”.
Nah
setelah tahu dengan pola makanan sehat ala Indonesia, apalagi yang bisa saya
perbuat ? Tidak begitu banyak, paling hanya sekedar menjawab ujian dalam kelas.
Sementara di rumah ibu saya yang hanya sempat belajar hingga kelas 3 Sekolah
Rakyat (atau Sekolah Dasar) tidak pernah tahu dengan istilah “empat sehat lima
sempurna, apa itu karbohidrat dan protein”. Dia hanya menyajikan pola makanan sebagamana
yang ia tiru dari nenek saya atau generasi sebelumnya.
Bila
waktu untuk makan tiba, ibu sering menitip pesan “makanlah nasinya tetapi
berhemat untuk makan lauk-pauk”. Ya kami harus makan lauk- pauk dengan gigitan
yang kecil-kecil, karena harganya mahal dan gaji ayah yang terbatas. Keluarga
lain juga mengalami hal yang sama. Jadinya banyak anak-anak saat itu yang menderita
kurang gizi, karena lauk pauk adalah sumber gizi yang kaya dengan protein.
Selain itu kalau
ibu sempat menghidangkan “buahan dan juga segelas susu” maka itu adalah sebuah
keajaiban dan suprised bagi pertumbuhan kami. Dan keajaiban ini- menghidangkan buahan
dan susu hampir-hampir tidak pernah terjadi. Kalau ibu pulang dari pasar,
kadang-kadang buah tangan yang ibu beli adalah dalam bentuk salak, duku,
rambutan, dan rebus kacang. Ibu mungkin membeli materi tersebut sebanyak satu
kilo maka begitu sampai di rumah langsung dibagi rata menurut jumlah anggota keluarga.
Buah-buahan yang dibagi rata buat kami langsung ludes kami saat pada saat itu
juga.
Melihat
foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh tidak begitu membahagiakan. Terlihat fisik
kami tidak terawat, model pakaian yang terkesan tertinggal, kulit kami kering
dan bersisik dan juga berat badan yang kurang dari ukuran standar, sebagai
pertanda bahwa kami mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi
buat pertumbuhan.
Pola
makan yang kurang sehat dan kondisi orang tua yang juga miskin dengan ilmu parenting bukan hanya terjadi pada
keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-teman saya, mereka juga berasal
dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan kondisi orang tua mereka
juga minus ilmu pengetahuannya.
Tulisan yang berjudul:
Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa
Sudah Dilupakan ? Saya tulis karena saya sedang bersimpati dengan
seorang anak kecil, anak dari teman saya. Dia sedang dirawat di rumah sakit karena
menderita bentuk penyakit yang tidak jelas namanya. Namun gejala yang terpantau
sebelum sakitnya datang adalah pengalaman pola makannya yang juga kurang sehat:
tidak mengenal konsumsi sayuran dalam pola makannya, juga tidak terbiasa
memperoleh potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk melindungi tubuhnya.
Yang banyak saya lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang kaya zat
kimia yang bergelantungan di kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak
dikonsumsi oleh balita, apalagi oleh seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia
yang dikonsumsinya selama berbulan-bulan dari rentang usia kehidupannya telah
mengotori (merancuni) organ percernaakannya, dari mulut hingga usus, juga
ginjal dan empedunya.
Sudah
berhari-hari dan malah juga berminggu-minggu balita ganteng ini terbaring di
rumah sakit. Tubuhnya dijejali oleh pipa-pipa kecil untuk memasukan bahan
infus, penyedot cairan tubuh dan buat pernafasan. Moga- moga Tuhan (Allah Swt) mengulurkan
tanganNya untuk kesembuhan dan juga memberi ketabahan serta kesabaran terhadap
ayah dan bundanya yang sepanjang hari- selama 24 jam- telah menjadi malaikatnya
penjaganya.
Namun untuk
mencegah bertambahnya populasi pasien balita- yang terbaring bergelimpangan di
rumah sakit maka marilah kita raih kembali dan kita praktikan bagaimana bentuk pola
makan sehat ala bangsa Indonesia, yaitu “Empat Sehat Lima Sempurna”. Mohon
frase “Empat Sehat Lima Sempurna” tidak lagi sekedar hafalan bagi anak-anak
kita, namun sangat perlu ditindak lanjut oleh orang tua mereka di rumah.
Tulislah frase “Empat Sehat Lima Sempura ini” pada dinding ruang makan kita dan
betul-betul hidangkanlah sajian “Empat Sehat Lima Sempurna” buat anak-anak dan
semua anggota keluarga. Janganlah ini hanya sekedar semboyan untuk dihafal,
namun semboyan ini harus diwujudkan untuk perbaikan kesehatan kita.
Orang Tua Yang Ambisius Berpotensi Menciptakan Anak-anak Yang Penggugup
Orang
Tua Yang Ambisius Berpotensi Menciptakan Anak-anak Yang Penggugup
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Berkompetisi
atau perlombaan dan persaingan terjadi pada semua lini, termasuk pada dunia
pendidikan. Setiap awal tahun akademik banyak anak-anak dan memperoleh dorongan
dari papa dan mama agar bisa memasuki sekolah yang bergengsi. Cukup mudah untuk
mengenali sekolah yang punya nama, biasanya punya label ekstra seperti “sekolah
model, sekolah percontohan, sekolah excellent, sekolah unggulan, sekolah
perintisan, dll”. Mayarakat sangat mencatat nama-nama sekolah tersebut.
Sejak
level Sekolah Dasar, para guru, kepala sekolah untuh mewanti-wanti dan
mempersiapkan anak didik mereka buat meneruskan pendidikan ke SMP dan ke
Madrasah yang bergengsi. Begitu juga buat tamatan SMP/ MTsN juga memompa
motivasi siswa mereka untuk berlomba sebanyak mungkin untuk memasuki SMA
favorite. Itu sangat bagus karena di sekolah tersebut terjadi percepatan proses
pembelajaran. Lingkungan belajar terkondisi agar anak-anak bisa belajar lebih
mandiri dan lebih bertanggung jawab.
Apa
keuntungan bagi suatu sekolah mendorong para siswa untuk memasuki sekolah
favorite ? Tentu saja buat mendongkrak nama sekolah dengan sebutan sebagai
“sekolah yang berprestasi, sekolah yang sukses, sekolah berkualitas, sekolah
unggulan, dll” agar sekolah tersebut menjadi lebih laris dan selalu diincar
oleh para calon siswa dan para orang tua mereka.
Bagi
para siswa di tingkat SLTA (terutama di SMA, Madrasah) mereka berlomba-lomba
mempersiapkan diri buat melanjutkan ke Perguruan Tinggi favorite yang mana
utamanya berjejer di pulau Jawa. Semua siswa sudah hafal nama PT favorite
seperti ITB, UI, IPB, UNPAD, UNDIP, UGM, UB, ITS, UPI dan untuk di luar pulau
Jawa mereka menyerbu Jurusan Kedokteran, karena dianggap masa depannya lebih
cerah.
“Pucuk
dicinta ulam pun tiba- harapan bersambut”, maka para CEO industri pendidikan
berlomba mendirikan pelayanan bimbingan belajar (Bimbel) agar para siswa yang
berbakat bisa meraih skor yang tinggi. Pada mulanya tempat tempat bimbel hanya
berada di ibukota propinsi, seperti di Padang buat Propinsi Sumatra Barat.
Namun akses bimbel yang berkualitas sejak beberapa tahun terakhir telah hadir
dan menjamur hingga ibukota kabupaten. Malah bagi sekolah yang ingin selalu
menjaga gengsi sekolah sebagai sekolah peraih skor akademik tertinggi telah
berlapang dada dan membuka tangan untuk mendatangkan “Program Bimbel” di
lingkungan sekolah, dengan harapan anak didik mereka bisa megisi bangku-bangku
di PT favorite di pulau Jawa.
Memang
keberadaan program pencerdasan siswa fokusnya adalah pada bidang akademik. Anak
atau siswa yang dianggap hebat adalah kalau dia mampu meraih rata-rata skor
100, khususnya untuk bidang studi yang terlibat dalam UN (Ujian Nasional).
Untuk memotivasi agar semua siswa mampu meraih skor sempurna maka “nama siswa
yang jagoan bimbel” dengan skor tinggi,
fotonya dan pujiannya dipajang pada baliho dengan ukuran besar di sepan sekolah
dan di depan gedung bimbel.
Para
orang tua juga diundang agar terlibat untuk menggiring siswa buat menjangkau
skor setinggi mungkin, sebab bila skornya tinggi maka PT yang favorite juga
jurusan yang favorite sudah menunggu siswa cerdas di depan mata. Lagi pula bila
mampu kuiah di PT favorite maka lulusan dari sana bakal mampu berkarir di
perusahan hebat dengan gaji yang sangat menjanjikan.
Tentu saja para
orang tua menjaga baik-baik akan statement
ini. Jadi sejak awal sekolah, mungkin di semester satu, para orang tua
sudah memprogram agar anak mereka harus ikut bimbel di luar jam sekolah. Tentu
saja biaya bimbel cukup mahal, karena program pengayaannya memang bagus dan
ruang kelas dibikin sejuk- full AC-
dan terang benderang. Bagi orang tua harga bimbel memang terasa namun “Indak kayu janjang dikapiang- nggak ada
uang tetap akan diusahakan” buat membiayai bimbel putra-putri mereka.
Setelah
putra-puti mereka ikut bimbel yang berharga mahal, maka para orang tua
memotivasi, menagih hingga memaksa mereka ikut program bimbel hingga tuntas. Kalau
malas berarti mengecewakan orang tua. Kini semua anak peserta bimbel harus bisa
membuktikan dan memberikan skor yang tinggi.
“Wah sebagian
merasa senang dan cukup banyak merasa terpaksa dan stress. Apalagi mereka
dipaksa bisa menjadi perfek: hebat dengan angka, hebat dengan huruf dan hebat
pengetahuan umum. Ibarat seekor hewan ajaib dimana dia harus hebat berenang,
hebat terbang, hebat memanjat dan dan hebat merayap”. Inilah hakikat dari
pengejaran untuk pencerdasan secara kognitif.
Dari jatah waktu
anak yang berjumlah 24 jam, mayoritas hanya tersedia buat tidur dan amat banyak
untuk urusan akademik. Al-hasil mereka kesulitan mencari waktu buat ikut
kegiatan sosial, utuk bisa berbagi dengan sesama, untuk melatih otot dan
kesenian mereka. Memang cukup banyak peserta bimbel yang saat mengakhiri bangku
SLTA mereka menorehkan skor akademik yang tinggi dan akhirnya disambut oleh PT
favorite.
Setelah melalui
proses pembelajaran di PT selama 8 semester, tentumereka juga terbiasa dengan
pola tumbuh dan berkembang yang kurang luwes, sekedar cerdas akademik namun
miskin dengan keterampilan hidup. Akhirnya bisa wisuda, namun mereka terlahir
sebagai orang cerdas namun hanya sebagai penumpang kendaraan atau “pencaker-
pencari kerja”. Buka sebagai driver/ pengemudi atau seorang yang punya naluri
untuk mendirikan lapangan pekerjaan.
“Headline pada koran Singgalang (13
Januri 2017), sebuah koran terbitan Padang, dengan yaitu: Lowongan di PT Seen
Padang, Kuota kurang dari 100, namun pelamar 40 ribu orang” Apa maksudnya ?
Bahwa 40 ribu pelamar termasuk bagi mereka yang sangat yakin bahwa kalau IPK
Tinggi, kalau Juara Satu sejak dari bangku sekolah maka hidup akan muda.
Pernyataan ini sangat diyakini oleh para guru, kepala sekolah, para siswa dan
banyak orang tua.
Tidak ada
ruginya bagi kita- para orang tua yang mampu secara finansial- untuk
mendaftarkan anak untuk ikut belajar di lembaga bimbel. Karena bisa memperkaya
wawasan kognitif anak dan juga membantu anak buat memahami pelajaran yang
kurang dia pahami. Yang kurang bijak adalah “mendaftarkan anak ke bimbel
kemudian memberi tekanan padanya agar mampu menjadi orang yang “the best” untuk semua bidang studi. Bila
sang anak mampu meraih skor setinggi mungkin maka kelak jalan mudah menuju PTN
favorite terbuka lebar dan pada akhirnya kehidupannya, lewat kemampuan kognitif
yang hebat, hidupnya akan indah dan mudah. Apakah memang benar ?
Cerdas hanya
sebatas kemampuan “kognitif atau teori yang diperoleh dari sekolah saja” tidak cukup buat sukses dalam kehidupan. Namun
juga harus punya multi-intelegensia, terutama cerdas afeksi dan soft-skill (keterampilan sosialnya).
Tony Wagner,
dalam bukunya The Global Achievement Gap (2008) menulis tentang cerdas afeksi.
Kalau anak mau survive di abad 21, maka dia perlu memiliki tujuh skill, yaitu:
1)
Critical
Thinking and Problem Solving
2)
Collaboration
across network and leading by influence.
3)
Agility
and adaptability
4)
Initiative
and entrpreneurealism
5)
Effective
oral and written communication
6)
Accessing
and analyzing information
7)
Curiosity
and imagination.
Nah telah banyak
putra-putri kita yang kuliah di PT dan wisuda menjadi sarjana, tetapi mengapa ?
Dari 100 % yang lulus, yang mampu mencari kerja sebanyak 20 % dan yang menjadi
pengangguran cukup banyak, yaitu 80 %. Kenapa demikian...?? Ya karena mayoritas
hanya sekedar menonjol untuk cerdas dalam berteori- sekedar jago dengan
kognitif. Dan teori- teori yang dipelajari dalam ruangan kelas tidak bisa
diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Apa yang harus mereka miliki ?
Wagner melakukan
survey ke berbagai perusahaan. CEO perusahaan-perusahaan besar seperti Apple
mengaku tidak tertarik dengan score test- seperti Score IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif) atau nilai Ujian Nasional. Kalau mereka merekrut tenaga atau SDM,
yang mereka perhatikan bukan hasil ujian tulis, tetapi adalah mereka yang
“Pandai Bertanya” dalam berdiskusi. Assumsinya adalah bahwa orang yang pandai
bertanyaberarti orang yang punya critical thingking dan tahu masalah. Maka
tinggal lagi buat encari solusinya.
Tujuan utama
pendidikan adalah bukan untuk anak punya skor UN yang tinggi dan lulus ujian
sekolah. Tetapi mengantarkan siswa menjadi manusia yang punya pikiran kritis
dan dan bisa memecahkan masalah. Selanjutnya cerdas membangun kerjasama serta
jiwa kepemimpinan. Ini tidak mungkin dimiliki oleh siswa yang banyak mengurung
diri, kurang bergaul dan tidak terbiasa dengan tanggung jawab.
Siswa yang punya
waktu buat aktif dalam peran sosial tentu akan memiliki kecerdasan adaptif,
punya inisiatif, juga cerdas mengakses dan menganalisis informasi. Melalui
pergaulan yang berkualitas mereka akan memiliki kecerdasan berkomunikasi lisan
dan tulisan dengan baik.
Prof. Dr
Zainudin Maliki, Guru Besar UNAIR, yang tulisannya saya peroleh lewat grup
WhatsUP, menulis bahwa hanya perusahaan yang enggan untuk maju yang terbiasa
merekrut SDM berdasarkan skor UN dan nilai yang tinggi. Sementara itu banyak
maju lebih tertarik mencari SDM yang cerdas affektif nya, mau kerja keras- ini
bagi mereka yang suka berolah raga, inovatif, imajinatif, kreatif, pandai
berteman dan membuka jaringan, serta berani mengambil resiko.
Orangtua bukan
guru (a teacher) yang bertugas untuk bidang kognitif (proses berfikir) namun ia
adalah seorang “educator” yang punya peran dalam membentuk karakter- seperti
keberanian, disiplin, kerajinan, tanggung jawab, dll. Namun selama ini orang
tua hampir-hampir melepaskan peran sebagai pembentuk karakter dan akhlak. Dia
telah berperan pula dalam membentuk kognitif anak, dan ini tidak salah, yang
salah adalah dia memaksa anak untuk menjadi jago pada semua bidang studi.
Anak-anak lewat,
senyumnya, dipaksa-paksa untuk menjadi jago matematika, jago fisika, jago
kimia, jago baha inggris, jago akuntansi, dan semua bidang studi. Anaknya lelah
dan tumbuh menjadi orang pencemas dan penggugup. Mengapa ? Karena mereka punya
orang tua yang “ambisius”.
Bagaimana
seharusnya ? Apa orang tua dari negara maju juga ambisius sehingga
memaksa-maksa untuk jago pada semua bidang studi ? Meggy Tandjaja-
seorang Hotelier di Beringin Dua Hotel- Provinsi
Maluku (https://www.linkedin.com/pub/meggy-tandjaja) berbagi opini tentang bagaimana
menumbuhkan (mendidik) anak-anak agar menjadi maju, dengan meniru prinsip
positif para orang tua di negara maju, seperti di Jepang dan Amerika. Apa yang
membuat suatu negara maju? Berdasarkan pengamatannya selama berinteraksi dengan
orang-orang dari negara maju seperti Jepang dan Amerika, ada beberapa hal yang
sama yang membuat mereka tampak lebih "tua" dari pada kita orang
Indonesia.
Inilah prinsip
dan nilai yang lebih ditekankan oleh orang tua pada anak- anak mereka;
- Mandiri, Sejak
dini, mereka sudah diajarkan untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri, seperti
membereskan piring setelah makan dan mencucinya, hingga mereka remaja.
- Tidak Mudah Menyerah, Secara
finansial, tidak semua orang asing berasal dari keluarga berada. Secara
psikologis, rata-rata dari mereka akan tetap mencoba melakukan sesuatu sendiri,
tidak merengek atau meminta tolong orang lain kecuali terpaksa. Contoh
sederhana saja, si A yang masih mendapat uang jajan dari orang tuanya. Ternyata
uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidupnya, jadi ia putuskan mencari
pekerjaan untuk menambah uang sakunya daripada meminta kepada orang tua.
- Berani Keluar dari Zona
Nyaman, Rasa ingin tahu yang tinggi membuat mereka berani
mengeksplorasi sesuatu. Meskipun itu berarti harus meninggalkan negerinya
selama beberapa waktu. Mereka percaya bahwa eksplorasi membuka lebih banyak
wawasan dari sekedar teori buku atau cerita pembawa acara di TV. Mereka
cenderung lebih suka beraktifitas di luar ruangan dan pergi ke tempat-tempat
yang belum mereka kunjungi sebelumnya, sekalipun hal tersebut dilakukan seorang
diri.
- Menghargai Privasi, atau yang lebih
dikenal dengan kata "cuek". Mungkin sikap yang satu ini agak
bertentangan dengan kebiasaan kita yang senantiasa peduli dengan lingkungan
sekitar kita. Saking pedulinya kita, terkadang sampai masalah pribadi orang
lain juga ingin tahu.
- Sederhana, karena
sejak muda sudah terbiasa hidup mandiri, biasanya mereka cenderung berpikir
praktis, tidak berbelit-belit. Yang paling nampak adalah dari segi penampilan.
Mereka cenderung tampil apa adanya dalam keseharian mereka. Yang wanitanya pun
hanya memakai makeup yang menonjolkan sedikit saja kelebihan wajah. Aksesoris
yang dikenakan pun tidak mencolok.
- Peduli Lingkungan, masalah
kesehatan dan kebersihan adalah keluhan umum yang sering didengar. Sehat
tidaknya makan pagi hari itu, bersih tidaknya toilet umum, sampai polusi udara
yang membuat mereka menggunakan masker saat keluar gedung. Meskipun bukan
aktifis lingkungan yang sering terjun ke lapangan, mereka mengupayakan
setidaknya di tempat tinggalnya memenuhi kriteria kebersihan dan kesehatan yang
mereka harapkan, atau paling tidak mendekati.
- Menghargai Waktu, ini
hal klise yang akan terus diulang sampai seluruh masyarakat Indonesia sendiri
disiplin waktu. Orang asing dikenal sangat disiplin waktu. Untuk hal janji
bertemu, rata-rata mereka biasanya sudah siap di tempat yang dijanjikan 5 menit
sebelumnya. Dalam hal keseharian mereka, meskipun hanya pelajar, mereka punya
segudang kegiatan layaknya orang-orang pada tahap usia orang bekerja Indonesia
misalnya seperti bertemu teman baru, bekerja paruh waktu, atau membaca buku.
Penggunaan telepon genggam atau smartphone sangat minim bila bersama
teman-teman karena waktu bersama teman-teman pun sangat berharga.
- Sikap Baik, baik
dan sopan pada siapa saja bahkan kepada orang yang paling menyebalkan
sekalipun. "Selama orang itu tidak mengusik hidupku, aku akan baik-baik
saja padanya." Bahkan bagi orang Jepang, mengajak orang seperti itu pergi
makan bersama lebih baik. "Ia sudah berusaha keras (menjadi orang baik),
hanya belum berhasil. Kita harus menyemangatinya (dengan mengajaknya pergi
makan bersama)."
- Hidup Selayaknya Makhluk
Sosial, meskipun dari negara maju yang teknologinya serba
canggih, mereka masih memilih berkomunikasi secara riil dengan orang lain.
Bahkan mereka lebih suka dikirimkan kartu pos atau surat daripada surel.
Menurut mereka, komunikasi langsung sangat penting, bisa mempererat hubungan
sosial satu dengan yang lain.
Itulah
beberapa sikap positif yang tumbuh dan berkembang, dimana para orang tua sangat
punya peran untuk menumbuhkannya. Jadinya orang tua di negara kita tidak perlu
terlalu ambisius hanya membentuk anak untuk cerdas secara kognitif, namun ia
tumbuh tanpa memiliki nilai disiplin, kemandirian, keberanian, tanggung jawab,
kreativitas, dll.
Jadi yang perlu
dikembangkan pada anak kita adalah nilai nilai seperti: mandiri, tidak mudah
menyerah, berani keluar dari zona nyaman, menghargai privasi, sederhana, peduli
lingkungan, menghargai waktu, sikap baik, dan hidup selayaknya makhluk sosial.
(Catatan:
Tony Wagner (2008). The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don't
Teach the New Survival Skills Our Children Need--And What We Can Do About It. New York: Basic Books.)
Langganan:
Postingan (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...