Rabu, 14 Juni 2017

Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif



Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif

            Dalam dunia sastra, bahwa cerita-cerita yang datang dari dunia Barat telah sangat mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan malah dalam zaman sekarang ada cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling yang lahir di Barat yaitu di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber atau internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram juga diciptakan oleh orang Barat dan oleh orang-orang  Asia yang besar dan didik di Barat- di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ini dapat dijawab dengan membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang dosen dari Malaysia dan juga tulisan dari seorang dosen dari Universitas Queensland- Australia.
Tulisan seorang dosen yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara).
Menurutnya bahwa akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.  Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu. 
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Seorang dosen dari Universitas Queensland yang bernama Prof. Ng Aik Kwang melihat fenomena ini. Apalagi dosen ini adalah juga seorang Australia keturunan China merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dikupasnya dalam bentuk buku yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang Asia kurang kreatif dari orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup kontroversial, namun akhirnya menjadi buku best-seller dan cukup membuka mata dan pikiran para pembaca di Australia.
            Sebagai dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui fenomena ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the Westerners -orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau bertanya jawab.
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia) menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah, mobil, uang dan harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang ulama, jurnalis, wartawan dan pelayan publik (PNS), yang melalui karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang orang berbuat/ beraktivitas, bersekolah dan termasuk menuntut ilmu pada perguruan tinggi dengan tujuan materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai  dibandingkan orang yang memiliki sedikit materi. Guru yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan mobil sedan. Bisa jadi orang yang hanya datang dengan jalan kaki atau punya sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai  ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan juga tes masuk perguruan tinggi  dll semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejarah. Murid saya menganggap sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari Jerman yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit. Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau ada menjelajah, siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya sifat eksploratif sebagai  upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Adi Jaderock melalui Forum Orisinil menggagas dialog online tentang mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan dengan bangsa Barat.Ia menjelaskan tentang rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari pikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya. Seperti proses kreatif para inovator seperti: Issac Newton, Edwin Herbert Land, Wright Bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper, dan Mark Zuckerberg. Agaknya beginilah profil sekilas tentang usaha inovasi mereka:
a). Issac Newton
Issac Newton- seorang matematikawan, fisikawan, ahli astronomi yang juga penemu dari teori gravitasi. Ia terlahir prematur, kurang cukup bulan, dari keluarga petani. Ketika Isaac Newton sedang berjalan di taman, di bawah pohon apel dan melihat jatuhnya sebuah apel yang menginspirasinya dan bertanya dalam hatinya... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas...? Padahal Newton sendiri mengatakan bahwa ia sedang di dalam rumah ketika ia melihat dari jendela sebuah apel jatuh dari pohonnya, ini menginspirasinya untuk menemukan teori gravitasi, kemudian munculah Hukum Gravitasi.
b). Edwin Herbert Land
Edwin Land - seorang tokoh dalam sejarah fotografi industri. Pada masa mudanya, Edwin Land sering membaca buku mengenai Fisika Optik yang ditulis oleh Robert W. Wood, terutama bagian mengenai polarisasi cahaya. Setelah lulus dari Norwich Free Academy, Land melanjutkan studinya di Universitas Harvard dengan niat untuk meneliti tentang polarisasi cahaya. Setelah tahun pertama belajar di Harvard, Land memutuskan untuk berhenti sekolah dan berkonsentrasi untuk menemukan cara menghasilkan teknologi polarisasi murah dan efisien yang di kemudian hari disebut sebagai Polaroid. Sejak itu, ia meneruskan belajar di Perpustakaan Umum New York.
Penemuan Polaroid diilhami dari pertanyaan Jennifer Land, anak Edwin Land yang saat itu berusia tiga tahun. Dia menanyakan kepada ayahnya mengapa tidak dapat melihat hasil foto jepretan ayahnya secara langsung. Edwin juga bertanya dalam hatinya, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..? Dia menggunakan prinsip transfer difusi untuk menghasilkan kembali gambar yang direkam oleh lensa kamera secara langsung ke permukaan sensitif cahaya yang berfungsi sebagai film atau foto- maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid.
c). Wright Bersaudara.
Wright bersaudara yang terdiri dari dua orang adik beradik, Orville Wright dan Wilbur Wright. Kedua kakak beradik itu pada awalnya mengelola sebuah toko di Dayton, Ohio. Toko tersebut menjual dan memperbaiki sepeda motor. Wright bersaudara tentu saja bertanya-tanya dalam hatinya mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak? Jadinya kemudian mereka mulai mempelajari masalah penerbangan pada tahun 1889. Kemudian mereka mulai membuat tiga pesawat terbang layang bersayap kembar. Ketiganya dites di pantai Kitty Hawk di Carolina Utara. Pesawat yang ketiga telah diujinya sebanyak 1000 kali penerbangan dan ternyata berhasil dengan sukses. Kemudian mereka membuat mesin motor ringan. Mesin tersebut di pasang di pesawatnya yang keempat, yang dinamakannya Wright Flyer, jadinya maka terciptalah pesawat udara.
d). Johan Gutenberg
Johann Gutenberg dianggap penemu mesin cetak yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tak ada penemuan yang terlompat dari pemikiran seseorang. Segel dan bulatan segel yang pengerjaannya menganut prinsip serupa dengan cetak blok sudah dikenal di Cina berabad-abad sebelum Gutenberg lahir. Waktu muda ia tentu sempat bertanya dalam hatinya mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak ini. Dia mengembangkan metal logam campuran untuk huruf cetak; menuangkan cairan logam- maka terciptalah Mesin Cetak. betapa penemuan Gutenberg amat berarti --bahkan bisa disebut suatu penemuan penting-- dalam kaitan penarikan pelatuk revolusi kemajuan jaman modern.
e). Ray Tomlinson
Raymond Samuel Tomlinson atau Ray Tomlinson dikenal sebagai Penemu dari Email atau Elektronik Mail. Agaknya ia sempat bertanya-tanya dalam hati mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu berhari-hari ? Ray Tomlinson pernah kuliah di Politeknik, kemudian melanjutkan studinya untuk gelar Master di Massachusetts Institute of Technology dalam bidang teknik elektro. Tomlinson mengembangkan teknologi analog-digital hybrid speech synthesizer yang dijadikan sebagai subyek untuk tesis. Ray Tomlinson menulis sebuah program transfer file yang disebut CPYNET untuk mentransfer file melalui ARPANET. Ray Tomlinson diminta untuk mengubah sebuah program yang disebut SNDMSG, yang mengirim pesan ke pengguna lain dari komputer time-sharing, untuk dapat dijalankan pada TENEX. Dia menambahkan kode yang ia ambil dari CPYNET ke SNDMSG sehingga pesan dapat dikirim ke pengguna pada komputer lain- maka terciptalah email.
f). Graham Bell
Alexander Graham Bell dikenal sebagai penemu telepon. Dia pernah mengajar orang yang bisu dan tuli, mempopulerkan system yang disebut 'bahasa visual'. System yang dikembangkan oleh ayahnya, Alexander Melville Bell, yang menunjukkan bagaimana bibir, lidah, dan tenggorokan digunakan dalam menggambarkan suara. Graham Bell agaknya pernah bertanya-tanya dalam hati bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah jarak? Pada masa kanak-kanaknya, dia telah memperlihatkan rasa ingin tahu yang sangat besar pada dunia ini, yang menyebabkan dia sering mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan. Bersama teman baiknya yang memiliki penggilingan gandum yang juga merupakan tetangganya, dia sering membuat keributan, dan suatu hari ayah temannya berkata, "Mengapa kalian tidak membuat sesuatu yang lebih berguna? Sejak usia 18 tahun, Bell telah meneliti gagasan bagaimana mengirimkan dan mentransfer perkataan. Tahun 1874 saat dia mengerjakan telegraph, dia mengembangkan gagasan dasar yang baru bagi telephone- ya maka terciptalah telepon.
g). Martin Cooper
Martin Cooper dialah sang penemu handphone atau telepon genggam pertama. Dia sendiri tidak membayangkan bahwa telepon selular bisa sekecil sekarang ini sehingga dapat dibawa kemana saja sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan di zaman nirkabel sekarang ini. Martin juga sempat bertanya-tanya dalam hatinya mengapa telepon harus pakai kabel? Martin Cooper dibesarkan di Chicago adalah imigran Ukraina. Ketika masih muda ia menyukai rekayasa elektronika. Cooper (bersama temannya John F. Mitchell) membayangkan sebuah produk komunikasi yang tidak hanya terpaku di dalam mobil. Sehingga alat tersebut haruslah kecil dan cukup ringan untuk menjadi alat portabel- bukan alat yang bikir repot saja. Cooper dianggap sebagai penemu pertama telepon genggam seluler (handphone)- maka terciptalah Handphone yang pertama dan orang pertama yang melakukan panggilan dengan prototipe ponsel genggam seluler tersebut pada 3 April 1973. Kejadian yang bersejarah tersebut disaksikan di muka umum di depan wartawan dan orang orang yang lewat di jalan kota New York.
h). Mark Zuckerberg
Mark Zuckerberg adalah penemu FaceBook. Umurnya masih muda namun ia dikenal sebagai pemuda terkaya di dunia berkat Facebook. Sejak kecil Zuckerberg suka mengu­tak-atik komputer, mencoba berbagai program komputer dan belajar membuatnya. Ia tentu sempat bertanya-tanya dalam hatinya Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita..?
Bakaimana cikal bakal ia menemukan FaceBook ? Saat berada di Universitas Harvard inilah Zuckerberg menemukan ide membuat buku direktori mahasiswa online karena universitasnya tak membagikan face book (buku mahasiswa yang memuat foto dan identitas mahasiswa di universitas itu) pada mahasiswa baru sebagai ajang pertemanan di antara mereka. Namun setiap kali ia menawarkan diri membuat direktori itu, Harvard menolaknya. "Mereka mengatakan punya alasan untuk tidak mengumpulkan informasi (mahasiswa) ini”.
Meski ditolak ia selalu mencari cara untuk mewujudkannya. Suatu malam di tahun kedua ia kuliah di Harvard, Zuckerberg menyabot data mahasiswa Harvard dan memasukkannya ke dalam website yang ia buat bernama Facemash. Sejumlah foto rekan mahasiswanya terpampang di situ. Tak lupa ia membubuhkan kalimat yang meminta pengun­jungnya menentukan mana dari foto-foto ini yang paling "hot".
Pancingannya mengena. Dalam tempo empat jam sejak ia meluncurkan webiste itu tercatat 450 orang mengunjungi Facemash dan sebanyak 22.000 foto mereka buka. Pihak Harvard mengetahuinya dan sambungan internet pun diputus. Zuckerberg diperkarakan karena dianggap mencuri data. Anak muda berambut keriting ini pun meminta maaf kepada rekan-rekan yang fotonya masuk di Facemash
Ia tidak patah semangat dan ia malah membuat website baru dengan nama Facebook (www.thefacebook.com). Website ini ia luncurkan pada Februari 2004. Facebook merupakan penyempurnaan dari Facemash- maka terciptalah FaceBook yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh dunia.
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat dan bukan dari Padang, Medan, Jakarta, atau daerah Indonesia lainnya ?”. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena selama ini banyak anak-anak Indonesia yang dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya dalam buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam hatinya sendiri untuk memecahkan masalah-masalah dunia lainnya.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit. Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”. Maka seorang siswa jurusan IPA hanya membatasi diri dalam memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat jurusan sosial adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya membatasi diri buat mempelajari mata pelajaran IPS saja. Lebih meluas, bahwa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia tidak seperti itu. Mereka memahami ilmu sain, ilmu sosial, ilmu agama, filsafat dan ilmu yang mereka anggap juga bermanfaat buat dirinya. Seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu Arabi sendiri menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif pada konsep berpikir. 
Saya jadi memahami semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang ulang datang ke Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk mencari  serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang dilakukan oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana tanya jawab. Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bebrapa solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut: 
1). Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya. Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil mewah namun semua diperoleh melalui cara yang  tidak jelas.
2). Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran. Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka memahami bidang studi yang paling disukainya.
3). Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban rumus untuk “X x Y” harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4). Biarkan anak/ siswa memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang
lebih cepat menghasilkan uang.
5). Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan pernah bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6). Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan tersebut.
7). Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan mereka dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahaan dengan cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan mahasiswa menjadi manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga mewariskan model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak mereka juga menjadi generasi yang kreatif,  komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.

“Long Life Education” Untuk Menggapai Hidup Berkualitas



Long Life Education” Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education” sebagai kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau pikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education sebagai kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life educationsebagai kebutuhan hidup,  dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...