Keterampilan
Dan Keberanian Untuk Kehidupan
Skill and experiences ring more louder than
theory- keterampilan dan pengalaman lebih nyaring bunyinya dari hanya
sekedar teori. Kalimat ini bisa kita buktikan dalam pengalaman hidup ini.
Misanya pada apa yang terjadi pada seorang lelaki muda, sebut saja namanya
Abdul Jalil, lelaki muda immigran Mesir. Abdul Jalil seorang lelaki muda asal
Mesir berwajah tampan, tinggi sekitar 180 cm dan berambut ikal. Ia mampu berkomunikasi
dalam empat bahasa yaitu bahasa Arab, Perancis, Inggris dan bahasa Indonesia.
Pastilah ia
seorang lelaki yang smart. Kemampuan
polyglotnya- banyak bahasa- juga dibuktikan dengan kemampuannya menulis dalam
huruf Arab dan huruf latin buat bahasa Indonesia, Perancis dan Inggris. Saya
sendiri merasa susah payah untuk menguasai tatabahasa Arab dan Perancis serta
menulis dalam huruf Arab. Sementara bagi Abdul Jalil keempat bahasa ini sudah
terasa amat fasih dan amat mudah bagi lidahnya. Sekali lagi bahwa pastilah ia
seorang lelaki muda yang amat cerdas, dan kecerdasanya ini akan mampu
mendatangkan banyak keberuntungan baginya, semisal kekayaan dan uang yang
jumlahnya lebih dari cukup.
Wah ternyata itu
tidak. Malah tiap hari ia hidup dalam kondisi yang bersahaja dan sangat
sederhana. Saya sering menjumpainya merokok yang tidak putus-putusnya, ini
sebagai indikasi bahwa ia lagi dilanda stress akibat tidak punya uang. Ya
baginya uang susah buat mampir. Mengapa hal ini terjadi ?
Saya yakin bahwa
saat masih berada di Mesir, Abdul Jalil pasti seorang siswa yang sangat cerdas
dan sangat berbakat. Huruf bahasa Arab dan tatabahasa Arab sangat jauh berbeda
dengan tatabahasa Perancis dan Inggris dan perbedaan antara huruf Arab dan
huruf Latin. Namun itu semua sangat dikuasai oleh Abdul Jalil. Sehingga suatu
ketika ia menjumpai situs Darmasiswa yaitu “an Indonesia scholarship program”
yang boleh dilamar oleh mahasiswa dari 83 negara di dunia.
Beberapa tahun
lalu saya sempat berjumpa dengan para mahasiswa asal Eropa Tengah (Rumania dan
Bulgaria) yang tengah belajar di Sekolah Tinggi Seni di Padang Panjang melalui
program beasiswa Darmasiswa dari Dikti. Juga saya berjumpa sangat banyak
mahasiswa asing yang terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Gunadarma juga
melalui program beasiswa Darmasiswa dari pemerintah Indonesia.
Setelah membaca
informasi tentang kuliah beasiswa di Indonesia dan membaca profil beasiswa
Darmasiswa, maka Abdul Jalil menjatuhkan pilihan untuk kuliah di Indonesia
dengan pilihan jurusan Bahasa Indonesia. Tentu saja sebelum menjadi mahasiswa
di Indonesia, dia telah bergiat untuk menguasai dasar-dasar bahasa Indonesia
secara self learning. Ini dibantu
dengan teknologi google language dan
juga situs-situs belajar bahasa lainnya. Utamanya dia menguasai cara pengucapan
bahasa Indonesia, kosakata dan tatabahasa dasar bahasa Indonesia.
Akhirnya Abdul
Jalil berangkat menuju Indonesia setelah lulus seleksi, mengurus dokumen
keimigrasian dan visa belajar di Indonesia ari kantor Kedutaan Indonesia di
Kairo. Abdul Jalil memilih jurusan bahasa Indonesia dan kuliah di UGM
Yogyakarta. Tentu saja ada visi dan misi mengapa dia tertarik buat belajar
bahasa Indonesia, mungkin juga ingin menikah dengan orang Indonesia ?
Keputusan
menikah di Indonesia memang beda dari Mesir. Pernikahan di Indonesia bisa
dibikin lebih sederhana dan juga bisa dibikin sumper rumit dan super mewah.
Bagi yang belum mampu biaya menikah bisa dicicil ada pinjam uang sana-sini.
Tidak demikian halnya dengan di Mesir. Bisa jadi sepasang anak muda yang saling
jatuh cinta begitu mendalam, namun ketika mau menikah cinta mereka bisa
berantakan.
Di Mesir menikah
tidak cukup sekedar bermodalkan cinta saja. Banyak pemuda Mesir merasa
kesusahan buat menikahi kekasih mereka karena mahalnya harga mahar. Orangtua
akan meminta mahar dengan nilai sekitar 150.000 EGP atau setara dengan 225 juta
Rupiah. Cukup banyak yang merasa tidak mungkin bisa punya tabungan sebanyak
itu. Khusus bagi laki-laki yang masih muda, yang tidak punya uang, jadinya
cinta mereka harus. Selain biaya mahar yang tinggi, biaya pesta perkawinan juga
cukup tinggi yaitu sekitar 50.000- 100.000 EGP, atau sekitar 75 juta hingga 150
juta rupiah.
Ada juga yang
mengatakan bahwa bukan mahalnya biaya mahar, namun seorang laki-laki Mesir yang
mau menikah harus menyedakan terlebih dahulu sebuah rumah atau apartemen buat
istri mereka setelah menikah. Harga sebuah apartemen sekitar 225 juta Rupiah,
ya setara dengan harga sebuah rumah perumnas ukuran sederhana di Indonesia.
Tidak semua lelaki muda yang mau menikah bisa menyediakan rumah, jadinya banyak
laki-laki Mesir yang telat menikah, yaitu mendekati usia 40 tahun.
Hal yang
demikian juga dialami oleh Abdul Jalil. Mahalnya harga pernikahan membuat
laki-laki ini tetap single sampai usia di atas 30-an, sampai ia punya
kesempatan untuk memperoleh beasiswa kuliah di Yogyakarta. Dengan kemudahan
media sosial, utamanya Facebook, dia mulai rajin berselancar- browsing- untuk
mendapatkan gadis idamannya yang mampu mengisi kekosongan hatinya. Akhirnya
yang beruntung adalah seorang gadis di Sumatera. Mereka saling kontak dengan
intens dan berjanji, sempat saling ketemuan di Jakarta dan Yogyakarta beberapa
kali.
Gadis lembut
Sumatera sangat merespon cinta lelaki ganteng ini. Kualitas cinta mereka
semakin meningkat saban hari. Abdul Jalil memutuskan untuk datang menemui calon
mertua, meminang secara sederhana dan menikah dengan proses yang sangat ringan,
kontra dengan proses pernikahan di Mesir yang terasa mahal.
Tentu saja
dengan menikah terjadi perpaduan dan kemudia akan terasa persamaan dan
perbedaan. Rasa cinta yang tinggi dan persamaan keyakinan- yaitu agama Islam-
menjadi perekat perkawinan yang cukut kuat. Setahun setelah menikah perkawinan
mereka membuahkan seorang momongan mungil yang tampan. Dan sekarang bayi mereka
sudah menjadi balita- aktif dan suka mengganggu ayahnya.
Balita mereka
dengan perpaduan wajah Indonesia dan Mesir terlihat sangat tampan, membuat
keluarga besar mereka menjadi terhibur. Balita mereka bisa tumbuh sempurna,
apalagi Abdul Jalil dalam usia yang cukup telat buat berumah tangga cukup rajin
mendalami ilmu parenting, jadinya
bisa membantu pertumbuhan dan perkembangan buah hati mereka. Namun tetap ada
masalah yang mengganjal.
Mereka
memutuskan buat menyewa rumah kecil sendiri. Dan kendala baru bahwa dapur rumah
tangga mereka kadang tidak berasap. Anak dan istrinya butuh makan. Dalam
realita bahwa kecerdasan berbahasa Abdul Jalil- menguasai 4 bahasa- belum mampu
mengusir rasa lapar keluarga. Dalam kondisi begini yang diperlukan oleh keluarga
Abdul Jalil adalah pengalaman dan keterampilannya untuk mencari nafkah.
Ternyata Abdul Jalil yang cerdas kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan
kampung istrinya sehingga ia belum mampu buat pencari nafkah.
Sebagai seorang
ayah dan suam ternyata Abdul Jalil barur sebatas cerdas kognitif, cerdas di
atas kertas, atau cerdas akademik. Anak dan istrinya butuh rupiah atau dollar
dan sangat berharap agar dia punya life skill- kecerdasan dan keterampilan buat
mencari nafkah, mungkin menjadi pekerja tukang, pedagang kecil, atau membuka
warung kecil ala Mesir di Sumatra- namun itu belum ada.
Sebenarnya Abdul
Jalil bukan lelaki yang pemalas. Ia pun sempat berdagang kecil-kecilan, seperti
berdagang kurma, namun kurma bukan kebutuhan utama orang di Sumatra jadinya
keberuntungan masih agak jauh darinya. Buat sementara mereka membuat
alternatif, yaitu sang istri sebagai pencari nafkah part time, tentu saja
dengan nominal upah dan gaji yang kecil untuk menopang ekonomi mereka.
Sementara Abdul Jalil sebagai pengasuh balita di rumah.
Perkawinan
mereka cukup bagus namun Abdul Jalil masih kebingungan, mau bagaimana lagi. Mau
membawa keluarga ke Mesir, biaya pesawat dan kebutuhan lain begitu mahal.
Laki-laki yang mau menikah, sebagai pemimpin rumah tangga, memang memikirkan
secara matang dan menyiapkan keuangan yang cukup buat mendukung perkawinan
mereka.
Perkawinan tidak
hanya sebatas kata cinta. Karena ungkapan “I love you” hanya sebagai hiasan
pada hati namun tidak bisa membuat perut kenyang. Kehidupan perkawinan butuh
uang dan makan. Makan laki-laki harus terampil buat mencari rezeki. Kalau istri
mampu mencari tambahan rezeki, tentu itu berguna buat meringankan beban suami.
Dalam membangun
relasi dengan seseorang dan juga buat menjaga kelanggengan keluarga sangat diperlukan
teori yang relevan. Namun untuk memenuhi kebutuhan dasar- maan, pakaian,
perumahan- diperlukan proses kehidupan. Proses kehidupan yang memerlukan
keterampilan dan pengalaman yang luas.
Hal ini juga
terbukti pada kisah sukses seseorang yang tinggal di pulau Bali. Saya jadi
hanyut dalam emosi saat membaca biografi Gusti Ngurah Anom- Ajik Cok, seorang
raja pendiri galeri oleh-oleh khas Bali. A.Bobby (2015) memaparkan kisah sukses
Ajik Cok dengan apik, sekali lagi, saya terbawa emosi membaca biografinya.
Gusti Anom,
panggilannya Ajik Cok, waktu kecil dikenal sebagai anak yang bodoh, miskin, dan
nakal. Namun setelah dewasa ia mampu keluar dari jerat kemiskinan. Ayahnya
seorang petani penggarap, jadi sangat miskin dan ia pun punya dua istri. Ibunya
Ajik Cok adalah istri kedua. Untuk mendukung ekonomi keluarga, ibunya berjualan
kue kecil-kecilan.
Ajik Cok
terakhir sempat masuk sekolah pariwisata, namun karena keterbatasan dana buat
beli buku, pakaian dan kebutuhan sekolah lainnya maka Ajik Cok memutuskan buat drop out dari sekolah. Saat sekolah ia
pun sering menunggak spp.
Didera oleh
kemiskinan yang tidak berkesudahan akhirnya ia memutuskan meninggalkan rumah
hanya berbekal pakaian yang melekat di badan. Ia merantau menuju kota Denpasar
dengan harapan moga-moga ada perubahan pada kehidupannya. Dia mau mengerjakan
apa saja jenis pekerjaan. Tidak pilih-pilih pekerjaan. Pekerjaan pertama yang
ia geluti adalah sebagai tukang cuci mobil para tamu hotel dan ia pun tidur di
emperan.
Beberapa waktu
kemudian ia melamar menjadi buruh garmen- pakaian jadi. Profesi ini ia tekuni
dengan bersemangat dan penuh hati-hati. Sehingga ia menjadi kesayangan bos.
Karena karakternya yang rajin dan bekerja penuh semngat. Ia pun menjadi orang
kepercayaan bosnya. Dan ia pun mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan garmen
milik bosnya.
Seiring waktu ia
pun pamit sebagai buruh garmen dan memberanikan diri pula untuk membuka usaha
garmen sendiri. Tentu saja secara kecil-kecilan dan ia pun langsung menjajakan
produk konveksinya ke pantai, lokasi wisata, tanpa malu-malu. Ia pun belajar
mengatasi beberapa kelemahan. Usaha garmennya pun tumbuh. Tidak puas hanya
dengan usaha konveksi maka ia juga membuka toko oleh-oleh yang diberi nama toko
krisna.
Ia tidak punya
ilmu formal dari bangku sekolah yang bayak. Kecuali ia suka menimba pengalaman
yang berharga dari banyak orang. Ia suka sekali learning by doing. Dengan metode bisnis- lihat, tiru, kembangkan-
maka bisnis garment dan bisnis toko oleh-oleh berkembangkan pesat. Ia sekarang
punya toko oleh-oleh krisna 1 hingga toko krisna 5. Sekarang banyak supplier
yang tertarik untuk bergabung dengan Ajik Cok.
Saya tetap
percaya bahwa proses kehidupan melalui keterampilan an keberanian lebih dahsyat
hasilnya daripada hanya sekedar tahu teori. Tahun 1986 saat saya kuliah saya
sempat membaca sebuah buku biografi Hasyim Ning dan hingga sekarang isi buku
itu masih berkesan. Makanya apa yang kita pelajari saat masih kecil- anak
anakdan remaja akan berkesan seumur hidup.
Hasyim Ning
adalah seorang pengusaha sukse kelahiran Padang. Pendidikan formalnya tidak
tinggi, ia hanya sekolah di SD Adabiah Padang dan juga Mulo di Padang. Mulo
adalah sekolah Belanda setingkat dengan SMP yang kepanjangannya “Meer
Uitgebried Larger”. Karena kesulitan hidup maka ia merantau ke Jakarta dan
bekerja menjadi tukang cuci mobil. Kemudian ia dipercaya menjadi perwakilan motorcars. Karena bergelut dengan bisnis
maka ia mengambil kursus pembukuan, sejenis ilmu akutansi.
Karena faktor
dorongan hidup ia hijrah ke Tanjung Karang. Ia menjadi pemborong tambang
batubara di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Ia kemudian pindah lagi ke Jakarta
dan bekerja sebagai aministrasi kebun teh.
Hidup ini butuh
keberanian dan juga butuh ilmu praktis yang langsung terpakai di lapangan.
Kemampuan bergaul dan kemampuan berkomunikasi, kemampuan membaca peluang hidup,
serta izin Allah Swt telah mengantarkannya menjadi Presiden Direktur Jakarta Motor Company.
Ada lagi tokoh
kehidupan yang tumbuh sukses bukan karena otaknya penuh dengan teori, namun
karena proses kehidupan yang ia alami mengantarkan dia dari kegelapan hidup
menjadi kegemilangan masa dewasanya. Dia adalah Bazrizal Koto.
Dekat kampus UNP
Padang ada plaza Basko. Saya baru tahu kalau Basko itu singkatan dari Basrizal
Koto. Basko adalah pengusaha sukses yang tidak tamat SD. Proses kehidupannya
adalah menggeluti bisnis yang menyentuh kebutuhan orang banyak yaitu seperti:
media, percetakan, pertambangan, peternakan, perhotelan dan properti. Basrizal
Koto mengawali proses hidupnya tanpa modal, dan pendidikan yang rendah, namun
punya pengalaman hidup yang tinggi.
Awal proses
kehidupannya adalah setelah putus sekolah ia merantau ke Riau. Namun ibunya
menitip nasehat, bukan uang karena hidup miskin, yaitu agar: pandai-pandai
dalam berkomunikasi, carilah segala kemungkinan/ peluang hidup, dan manfaatkan
kesempatan. Sampai di Pekanbaru untuk bisa hidup, maka ia sempat menjual pisang
dan petai, menjadi kenek oplet (kondektur oplet) dan ini kesempatan buat
belajar berkomunikasi, melayani orang atau penumpang. Kemudian ia menjadi sopir
dan ia juga menjadi makelar kendaraan. Setelah itu baru ia menekuni bisnis yang
lebih berarti yaitu pada usaha properti dan juga pertambangan.Pesan artikel ini kepada
anak muda bahwa selain tekun dalam studi, mendalami teori ilmu dan bidang
studi, juga perlu memiliki pengalaman hidup yang diperoleh melalui proses
beraktivitas. Harus membuang jauh budaya instan seperti ingin cepat kaya dan
cepat pintar. Ini adalah nonsense atau omong kosong. Bahwa pintar dan kaya yang
berkualitas harus dipakai melalui proses, bukan melalui proses yang instan,
namun proses yang punya target capaian, yang didukung dengan keberanian, tidak
gengsi-gengsian, mampu berkomunikasi, mampu membaca peluang dan juga dekat
dengan manusia dan dekat dengan Allah Swt.