Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill)
Memudahkan Masa Depan
Buat
apa orang harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya
masyarakat telah tahu bahwa sekolah berguna untuk mengubah nasib.
Masyarakat di lapisan yakin bahwa
sekolah untuk menjadi cerdas, bisa jadi pegawai atau bekerja di perusahaan
sehingga mudah mendapatkan duit.. Jadinya
mereka semua memotivasi anak-anak untuk bersekolah. Belajar dengan sungguh-
sungguh dalam menuntut lmu, agar kelak mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan
mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah-
menjadi sejahtera. Sebagai konsekuensi maka sekolah yang berkualitas telah diserbu
dan diidolakan, karena diyakini akan mampu mengubah nasib para siswa. Dan
mereka yang sedang menuntut ilmu di sekolah- di bangku SMA- sangat yakin bahwa
sekolah bermutu akan membantu untuk bisa jebol ke perguruan tinggi yang
favorit:
“Kuliah di jurusan favorit dan perguruan
tinggi favorit akan bisa membuat kita menjadi orang yang hebat. Lulusan dari
perguruan tinggi favorit akan gampang untuk mendapatkan pekerjaan, punya
kedudukan dan punya uang yang banyak”. Itulah mimpi-mimpi positif yang
memotivasi mereka buat belajar serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh banyak siswa dan juga oleh orangtua mereka.
Untuk
merespon mimpi-mimpi positif tersebut, sejak tahap awal pendidikan, banyak
orangtua telah merancang konsep-konsep buat menyukseskan pendidikan anak-anak
mereka. Kebijakan orangtua yang begini tidak salah karena mereka bisa
dikategorikan sebagai orangtua yang punya tanggungjawab terhadap pendidikan
anak. Dengan demikian mereka telah punya visi dan misi buat masa depan
anak-anak mereka. Jadinya sejak
anak-anak kecil orangtua telah rajin merangsang kognitif anak.
Mereka
mengantarkan anak ke pendidikan pra-sekolah. Selama belajar di PAUD dan TK,
mereka memberi pujian- tepuk tangan- bila anak- anak mereka bisa mengucapkan doa-doa,
mengucapkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam
bahasa Inggris. Dan pujian juga akan ditumpahkan bila anak-anak mereka bisa
menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Ketika memasuki
pendidikan SD, maka orangtua juga akan mensetting waktu buat anak-anak agar
mereka bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis
dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian
nasional). Pokoknya sejak kelas 1 hingga
kelas 6, waktu anak juga habis di ruangan les privat.
Terus begitu
anak-anak masuk ke pendidikan di tingkat SMP dan SMA, maka terasa beban materi
pelajaran lebih berat, lebih sulit bagi anak. Orangtua yang lebih mengerti tentang
penjurusan mencaritahu tentang penjurusan, misal bagaimana penjurusan di
tingkat SMA. Kenyataanya orangtua akan berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang
yang luas bagi anak-anak bila kuliah kelak. Maka lagi-lagi para orangtua akan
menggiring anak-anak mereka untuk bisa belajar tambahan. Mengiri anak ke rumah
guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan anak mereka pada lembaga bimbel
(bimbingan belajar).
Begitulah
anak-anak sekarang dibisikan dan dimotivasi buat persiapan ke masa depan mereka.
Kadangkala didesak buat belajar tambahan bukan berdasarkan bakat dan potensi,
namun karena memperturutkan ambisi orangtua. Dalam sebuah artikel pendidikan saya pernah membaca bahwa banyak anak-anak
sekarang yang disetting menjadi manusia karbitan, yaitu menjadi pintar yang
dipaksakan. Anak yang cerdasnya karbitan akan memiliki karakter yang “instant”, maksudnya karakter yang ingin serba
cepat sukses.
Adalah fenomena sosial,
bahwa dewasa ini juga banyak tawaran belajar dengan paket program instant- “cepat pintar”. Paket ini dirancang oleh pebisnis
pendidikan. Membaca tawaran ini membuat banyak orangtua yang tergiur. Mereka menyerbu
tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris
buat anak, agar anak bisa “cas-cis-cus” segera. Pada hal menurut paedagogi
bahwa semua pelajaran butuh waktu agar terjadi proses pembelajaran yang lebih benar.
Kualitas-kualitas berlabel instant, hanya
akan memberikan hasil yang abal-abal.
Lain generasi
dulu dan lain pula generasi sekarang. Generasi dulu lebih terkenal dengan
kemandiriannya. Mereka cari keterampilan sendiri, cari ilmu sendiri, dan juga
mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart
karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan generasi sekarang, yang
banyak menjadi “generasi anak mami”. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan
atau servis, hingga mereka juga dijuluki sebagai “generasi servis”.
Generasi servis
maksudnya bahwa mereka bisa menjadi cerdas dengan prestasi akademik yang tinggi
bukan semata-mata murni oleh kemandiriannya. Kehidupan mereka banyak diprogram
dan banyak diberi servis sejak usia dini.
Saat masih berusia
balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter
buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat sudah lebih besar- bersekolah di
SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua menyewa (membayar)
guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan
PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka
bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
Generasi
sekarang banyak yang telah menjadi “generasi anak mami”. Generasi yang begini
maksudnya bahwa “mami atau ibu mereka”, atas nama kasih sayang dan demi
keberhasilan sekolah mereka, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan
ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan
mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu
semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami
akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
Pergilah
ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar anak-anak
bisa menjadi hebat di sekolah. Disana anak-anak dipaksa dan dikondisikan buat
belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam anak-anak terbelenggu-
duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel.
Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk
memenuhi kebutuhan sendiri- seperti makan, pakaian dan pernak pernik kecil
lainnya, mereka juga serba dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai
target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar,
makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Akibatnya
anak-anak sekarang jadi tidak punya soft-skill
atau kecakapan hidup. Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada
orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah
mereka sebagai anak-anak yang miskin dengan soft
skill- miskin dengan pengalaman. Tidak mampu buat mencuci motor,
membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus
hal-hal kecil lainnya, karena semua pekerjaan sudah diambil alih oleh mami atau
asisten rumah tangga.
Kalau
demikian maka anak-anak sekarang tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil di
rumah” karena semua kebutuhannya harus dilayani. Mereka juga menjadi manusia instant dan manusia robot, karena telah diprogram
agar bisa pintar- ya...pintar yang tidak bisa memberi kebaikannya yang banyak.
Al-hasil memang mereka mampu meraih peringkat akademik yang baik- peringkat 1,
2 dan 3 atau termasuk peringkat 5 besar di kelas, namun prestasi akademik
tersebut bersifat fatamorgana- hanya sebatas cerdas di atas kertas. Bisa
dilihat namun tidak terpakai. Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena
maminya rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru jadi merasa berutang
budi atas kebaikan hati mami dan memberikan nilai servis buat anaknya.
Memang
ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang
anak untuk mejadi bintang pelajar di sekolah. Hingga nilainya begitu cemerlang
dalam rapor dan dalam ijazah. Namun sayangnya banyak orangtua yang belum
memahami konsep parenting yang benar.
Para orangtua telah mengambil alih “peran guru dari sekolah” untuk urusan
pengajaran atau teaching. Peran
orangtua sebetulnya lebih fokus untuk urusan educating (seperti soft skill
atau pengalaman sosial) dan peran guru fokus buat urusan teaching (kemampuan akademik).
Banyak orangtua yang
terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak anak, sayangnya mereka kurang memahami
bagaimana seharusnya menumbuhkan anak dengan agar bisa memiliki karakter-karakter
positif (dan juga pengalaman sosial/ soft
skill), yaitu seperti bagaimana anak-anak bisa “peduli dengan tetangga,
bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang
lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individu, dll”.
Walau
pada akhirnya putra-putri mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit,
karena perguruan tinggi juga lebih banyak merekrut calon mahasiswa berdasar
skor akademik itu sendiri, dan
menyingkirkan karakter-karakter positif yang menunjang kehidupan. Proses
perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai
target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik,
itu hanya sekedar cerdas dengan kertas. Namun begitu diwisuda dan menjadi
seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya.
Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi.
Jdinya mereka melangkah menatap
kehidupan yang nyata penuh dengan rasa gamang.
Sebagaimana
yang ditulis oleh Ruth Callaghan, dia mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades
may be the only goal for many students. Employers are looking for much more
from graduates”.
Sangat
benar, bahwa umumnya mahasiswa berlomba buat mencari nilai akademik setinggi
mungkin dan berharap bisa memperoleh nilai cumlaude
untuk membuat orangtua mereka bisa jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah
dan sudah menjadi fenomena di dunia pendidikan. Namun dunia kerja (perusahaan)
lebih mencari orang-orang yang tidak sekedar hanya bagus nilai akademiknya,
namun juga harus memiliki soft-skill,
keterampil dan pengalaman hidup, yang bervariasi.
Ruth
Callaghan lebih lanjut mengatakan bahwa banyak
pimpinan perusahan yang ngetop di
Australia telah berbicara dengan banyak mahasiswa di universitas-universitas
Australia. Mereka menemukan bahwa banyak mahasiswa yang yakin prestasi akademik
sebagai indikator utama yang dicari oleh dunia kerja- atau perusahaan. Ternyata
keyakinan ini salah. Memang untuk masuk universitas yang dicari oleh para
mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi.
Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah mereka diwisuda, yang dibutuhkan
dunia kerja (oleh perusahaan) bukan semata-mata terbatas pada nilai akademik
yang tinggi, namun bagaimana mahasiswa juga memiliki kemampuan dibalik nilai
akademik tersebut, yaitu seperti:
“Leadership, communication skill, problem
solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan,
kecakapan berkomunikasi, kemampuan dalam mengatasi masalah dan kemampuan
melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar
bisa dimiliki oleh mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja- saat mereka ikut
dalam proses rekruitmen di berbagai perusahaan.
Jadi
kriteria-kriteria tersebut tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya
nilai akademik seseorang yang dia peroleh dari perguruan tinggi. Kalau
sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari
orang yang cerdas otaknya dalam belajar, mampu bekerja dan nilai akademis
bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena
sekarang banyak perusahaan yang punya kriteria tersendiri dalam melakukan
rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun
rekruitmen yang bertahap, gunanya untuk
mendapatkan personalia yang sangat cocok bagi atmosfir perusahaan.
Bagaimana dengan
faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan
seseorang ?. Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang
sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat,
yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan
psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun belakangan dia bisa merajut kesuksesan,
hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur
Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama
lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani
pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama,
memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen. Jadi orang tua yang
berpendidikan tinggi biasanya
mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat
pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani
pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA,
menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia
meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sekedar jago
akademik, namun ia juga punya soft-skill
yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA
memiliki kemampuan leadership yang
bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa
teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua
Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di
Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman saya yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi
Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok), dan setelah dewasa ia berkarir
sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor
Kedutaan Besar RI- Kuala
Lumpur. Jadi betapa
pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah
dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan
kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah
dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan,
ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di
beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk
mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar.
Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi
pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam
diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi
UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak
melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah
dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah
berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya
kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan
sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan
UNAND. Di sana saya
berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya,
ternyata adalah anaknya.
Saya masih
ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan
bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh
Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar
Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan
belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan
teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus
bimbingan belajar, Irwan membentuk
Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka
jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu
psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada
kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995,
Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan
anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak.
Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor
UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan
untuk menyelesaikan studi
dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human
Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih
awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di
kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus
keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas
karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya
mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya
tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke London,
Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan
di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang
dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu
melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra
Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun
beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke
Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan
pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan
komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya.
Jadi para pemuda-
siswa dan mahasiswa- di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya
memiliki soft skill atau keterampilan-keterampilan
yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama,
ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan/ leadership,
keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada
pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka
perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat
sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang
suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap
selalu mencari/ membutuhkan orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill- keterampilan serta
pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan
penilaian melalui: “action oriented,
willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan
di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill -kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan
memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.