Mengapa
Anak Laki-Laki Harus Lebih Kuat
Merupakan
fenomena umum dan banyak yang tidak menyadari bahwa di berbagai sekolah di
mulai dari sekolah rendah (SD) hingga tingkat SLTA (SMA/MA dan SMK), setiap
semester saat penerimaan raport selalu ada pengumuman tentang para peraih juara
kelas. Mayoritas sang juaranya adalah murid-murid perempuan. Juara 1, 2 dan 3
pada banyak diraih oleh murid perempuan, dan anak laki-laki yang biasa hanya
segelintir saja. Apa ini semua maksudnya ?
Bahwa
murid perempuan terbiasa belajar lebih bersungguh-sungguh dibandingkan dengan
murid-murid laki-laki. Terus memasuki perguruan tinggi populasi anak perempuan
(mahasiswi) juga selalu lebih banyak dibandingkan anak laki-laki. Selanjutnya
saat wisuda, jumlah mahasiswi juga jauh lebih banyak dibandingkan para kaum
laki-laki (mahasiswa). Apa maksudnya ini ?
Bahwa
sejak berusia kecil secara umum anak laki-laki telah memperlihatkan prilaku
yang kurang unggul dibandingkan anak perempuan. Perhatikanlah buku catatan anak
perempuan. Bahwa buku catatan mereka lebih rapi dan lebih lengkap. Tas sekolah
mereka berisi keperluan belajar yang juga lebih lengkap- learning readiness
(kesiapan belajar) mereka lebih lebih besar daripada anak laki-laki. Dengan
demikian mereka pantas lebih unggul dari anak laki-laki.
Belajar dengan
buku catatan yang rapi tentu lebih menyenangkan. Sementara banyak anak
laki-laki yang buku catatannya ditulis nggak lengkap dan asal-asalan. Kalau
tugas ditagih oleh guru- sering beralasan bahwa tugas ketinggalan di rumah.
Sebagai indikator bahwa mereka belajar sering kurang serius. Jadinya mereka
terkesan mengikuti proses pembelajar dengan motivasi yang lemah dibandingkan
anak perempuan.
Bagaimana kalau
fenomena ketidak unggulan laki-laki dalam belajar berlanjut- tumbuh dan
berkembang- dalam masyarakat ? Tentu pada akhirnya akan banyak laki-laki yang
bertekuk lutut pada hegemoni kaum perempuan dalam bidang akademik. Kelak bila
dewasa, bila laki-laki muda menikah- menjadi sepasang suami dan istri- maka
sang perempuan (istri) akan menjadi pencari nafkah yang utama dan suami mereka
akan “bapak rumah-tangga atau house
husband”. Dia akan mengemis uang jajan setiap pagi pada sang istri. Dan
dunia akan menjadi terbalik.
Fenomena
tentang ini saya baca pada artikel yang ditulis oleh Maureen Rice, yang
berjudul “can love survive when a woman
earns more than a man ?” Dia mengatakan bahwa dewasa ini, terutama di
negara maju dan mungkin di negara berkembang, bahwa sangat banyak kaum
perempuan yang bekerja dan gaji atau upah mereka sama banyak dengan uang upah/
gaji yang diterima oleh kaum laki-laki.
Bukan
hanya dengan perolehan “uang nafkah (gaji atau upah) yang sama”, malah juga ada
sebagian perempuan yang mampu memperoleh pendapatan (uang) yang porsinya 5 kali
lebih banyak dari penghasilan suami mereka. Memang di negara maju banyak
perempuan- mungkin ada sekitar 19 %- yang mampu memperoleh income yang jauh lebih tinggi dari income suami mereka.
Melihat fenomena
ini tentu saja ada yang bertanya-tanya tentang “bagaimana perasaan dan sikap suami
terhadap kondisi baru ini (?). Yaitu kondisi atau status yang mungkin perempuan
tersebut bisa menjadi “new role model”
pagi para perempuan muda lain yang sedang gila-gilanya mencari jadi diri dan mencari life style buat menuju masa
depan. Atau mereka malah akan mengalami relationship
disaster- bencana dalam hubungan perkawinan mereka (?)
“Arrijalu qawwamuna ‘alan-nisak”.
Demikian firman Allah SWT dalam alQuran (4:34), yang berarti bahwa bahwa kaum
laki-laki adalah pelindung (pemimpin) bagi perempuan. Para suami adalah
pelindung bagi istri dan keluarganya. Maka akan terasa adanya rahmat- yaitu
dalam bentuk ketenangan atas harga diri.
Namun kalau malah para perempuan yang lebih kuat- lebih dominan- maka akan
terasa adanya bencana. Atau paling kurang adanya disruption- sedikit pergesekan pada perasaan suami. Karena
terganggu egonya sebagai laki-laki, mereka merasa kehilangan harga diri.
Kewibawaan
laki-laki, sebagai pemimpin dan pelindung, akan tersandung oleh kelebihan-kelebihan
yang dimiliki perempuan. Utamanya kelebihan atas “money, education level and communication ability. Perempuan
tersebut pada akhirnya menjadi pengendali kewibawaan rumah tangga dan
laki-laki- sang suami- akan menjadi orang yang gengsi atau wibawanya ditaklukan
oleh wibawa perempuan/ istrinya.
Di
suatu tempat saya dengar ada seorang suami (berprofesi sebagai house husband atau bapak rumahtangga) ngambek dan dia kabur menuju rumah
orangtua. Dia meninggalkan empat anaknya yang masih kecil-kecil begitu saja, hanya
sekedar menitipkan ketetangga, saat sang istri pergi bekerja ke kantor.
Itulah
laki-laki, kadang-kadang dia ingin diperlakukan sebagai seorang bayi yang
bertubuh besar. Ya susah juga untuk membujuk suami yang ngambek dari rumah
untuk balik pulang karena ia punya kriteria atau persyaratan buat menjemputnya
(memperlihatkan ego dan rasa harga dirinya). Setelah diadakan rapat keluarga
dari kedua belah pihak, setelah diusut tentang sebab dan akibat mengapa hal itu
terjadi- sang suami yang kerjanya serabutan- pribadinya rapuh- dan harga
dirinya lagi terluka oleh ucapan dan beberapa hal kecil dari prilaku istrinya.
Suami
yang berhati rapuh ini ternyata lagi menderita penyakit “rendah diri”.
Pekerjaannya tidak menentu dan jumlah uang yang dia peroleh tidak menentu-
kadang banyak dan sering hanya sedikit yang hanya sekedar pembeli secangkir
kopi pahit. Sementara kedudukan istri sebagai seorang pegawai di tempat yang
cukup basah hingga bisa selalu membawa jumlah uang yang lebih. Secara tidak
langsung dia merasa lebih terhormat di mata keluarga. Dia menjadi pencari
nafkah utama buat keluarga dan anak-anak
Kasus
hubugan rumah tangga yang lain adalah akibat perbedaan status- yaitu tingkat
pendidikan. Sepasang suami istri yang sebetulnya jumlah income yang mereka peroleh perbulan cenderung sama, malah kadang-
kadang suami bisa membawa pulang jumlah uang yang berlebih. Namun jumlah uang
berlebih itu belum berarti apa-apa buat istrinya. Kecuali kalau suaminya
tamatan universitas dan bisa membawa uang lebih dan ini baru bisa diberi
acungan dua jempol.
Memang
istrinya lulusan universitas dan bekerja dan suaminya hanya berpendidikan
diploma dua. Dalam candaan sang istrinya selalu membanggakan status
kesarjanaanya. Dia merasa dirinya lebih terdidik, lebih berkualitas. Memang
suaminya hanya tersenyum dan dibalik senyuman itu sang suami memutuskan untuk
mengakhiri perkawinan dengan segala resiko di meja pengadilan agama. Tidak lama
setelah perceraian, sang suami meneruskan pendidikannnya ke strata sarjana dan
kemudian memutuskan pernikahan keduanya setelah itu. Candaan dan perbedaan
penddidikan dengan keunggulan istri juga memicu kejengkelan suami.
Demikian
juga halnya dengan kemampuan berkomunikasi. Meskipun sang suami uangnya lebih
banyak dari istri dan juga karir suami lebih bagus, namun komunikasi istri
lebih lincah. Ini juga berpotensi menimbulkan pergesekan hati. Ya laki-laki
terlahir sebagai makhluk yang lebih ego. Dia cukup sulit untuk diberi nasehat
apalagi sampai diceramahi/ digurui secara terang-terangan oleh sang istri.
Begitulah
jadinya banyak laki-laki kalau diberi saran atau masukan oleh sang istri
dianggap sebagai tindakan yang mendikte, menggurui, menceramahi dan cerewet.
Laki-laki yang kurang lincah dalam berkomunikasi pada akhirnya untuk mempertahankan
perkawinan mereka dengan cara strategi banyak bungkam- malas untuk banyak omong
pada istri. Akhirnya sang suami menjadi jago diam dan istri tidak punya tempat
lagi buat curhat- curah pendapat di rumah.
Perempuan
yang pribadinya lebih unggul dibandingkan suami, selain mengganggu keharmonisan
hubungan perkawinan dengan suami, juga ikut mempengaruhi pribadi anak-anak
mereka, terutama tumbuh-kembang psikologi anak laki-laki mereka dalam mencari
identitas diri.
Dalam
mencari identitas diri, anak laki-laki merefleksikan dirinya melalui diri
ayahnya. Seorang bocah laki-laki tentu akan selalu ingin meniru kegiatan sang
ayah. Ia ingin setinggi ayah, jago seperti ayah, tampan seperti ayah. Ia juga
ingin sehebat dan sepopuler sang ayah. Namun apa jadinya setelah ia tahu bahwa
sang ayah kalah unggul dibanding ibu dan akhirnya ayah bukanlah orang yang
hebat dalam pandangannya.
Dengan
arti kata bahwa seorang ibu yang lebih “gede” pengaruhnya dibandingkan pengaruh
ayah akan mempengaruhi nyali anak laki-lakinya, nyalinya lebih kecil. Selain
itu, ayah dan anak laki-laki yang interaksi mereka kurang berkualitas- mungkin karena
ayah jarang hadir bersama anak- juga akan mempengaruhi nyali anak laki-lakinya,
nyalinya lebih kecil- penakut, banyak bengong, percaya diri kecil dan susah
untuk mengambil keputusan.
Banyak
contoh dan peristiwa tentang ibu yang punya power
dan otoriter yang berlebihan. Ini membuat pribadi anak-anak mereka tumbuh
dengan kekacauan dalam mencari identitas diri. Sekali lagi, anak laki-laki
menjadi kurang berani alias bernyali yang kecil. Anak perempuan juga bengung
untuk menemukan laki-laki seperti apa buatnya.
Memang
setiap orang punya kisah dan takdir kehidupan yang berbeda. Pada sebuah tempat,
seorang anak laki-laki yang hidup bersama ibu yang super tegas- sementara
ayahnya berada jauh di tempat lain, telah menumbuhkan dan mendidik anaknya
dengan penuh disiplin dan peraturan yang kaku. Ada selusin “some do’s dan some don’ts” tertera
didinding. Yang jelas sang anak laki-laki harus belajar dan belajar selalu,
tidak boleh pergi hang-out ke rumah
teman, itu berarti keluyuran dan buang-buang waktu.
Sang
anak laki-laki memang bisa masuk SD, SMP dan SMA yang berkualitas dan hampir
tak punya waktu buat menikmati hobi dan bersosial- mnikmati soft skillnya. Hingga dia bisa
melanjutkan kuliah ke perguruan favorite
dimana dia sangat tertarik hanya buat belajar dan kurang membuka diri dalam
bergaul serta beraktivitas. Begitu wisuda, menerima selembar ijazah
kesarjanaannya dengan nilai akademik cukup bagus. Dia selanjutnya kebengonngan-
nggak tahu- mau dibawa kemana ijazah sarjana tersebut. Ternyata semua perguruan
tinggi tidak memberikan pekerjaan, hanya memberikan mimpi yang berisi
teori-teori dan setelah mencukupi kredit semester dia menerima selembar ijazah.
Banyak
orang yang hanya sekedar tahu dimana mau kuliah dan setelah itu bila selesai
kuliah, jarang mereka tahu dimana mau bekerja atau pekerjaan apa yang mau
dibikin. Apalagi perguruan tinggi hanya menawarkan jurusan yang kadang kala
tidak begitu laku lagi dalam dunia pekerjaan. Namun bagi sebagian orang sangat
memahami bahwa kuliah dan menuntut ilmu hanyalah sarana untuk mematangkan diri.
Sementara untuk kehidupan sangat dipengaruhi oleh keterampilan bergaul, bukan
oleh kemampuan akademik melulu. Jadinya nilai ijazah perlu didukung oleh soft-skill yaitu kemampuan berdaptasi,
kemampuan berkomunikasi dan bergaul, kerja keras, dan nyali yang gede.
Power
ibu yang kelewatan monopoli, pinter dan tegas juga membuat jati diri anak
laki-laki dan anak perempuannya jadi kacau balau. Sekarang kedua anak laki-laki
sudah berusia melebihi kepala tiga, namun tidak memiliki keberanian untuk
menikah, bagaimana menikah sebab saat remaja, mereka hampir tidak pernah
membahas tentang jatuh cinta, dan bagaimana buat berpacaran. Karena itu semua
adalah tabu. Namun saat sang ibu yang sudah berangkat tua dan ingin agar
anak-anak mereka semuanya menikah agar mereka kelak bisa punya keturunan dan
sebagai cucu buat ditimang- ditimang. Namun sudah terambat karena hati sang anak
susah buat terbuka untuk kehadiran hati orang lain.
“Arrijalu qawwamuna ‘ala nisak- bahwa
laki-lakilah yang sangat ideal untuk menjadi pelindungnya perempuan”.Namun
merujuk pada perolehan prestasi akademik yang bertaburan sejak dari bangku SD,
SMP, SMA hingga ke perguruan tinggi, lebih banyak diraih oleh kaum perempuan.
Maka bisa jadi kelak bermunculan ratuhan, ribuan dan mungkin jutaan laki-laki
yang kalah unggul pengaruhnya dibandingkan kaum perempuan.
“Wahai
para pemuda....baik yang sedang belajar di bangku SLTA maupun yang lagi
menuntut ilmu di perguruan tinggi, jadilah pemuda yang memiliki pribadi yang
lebih kuat melebihi perempuan, terutama perempuan yang kelak menjadi istrimu
!!! Kalau pribadi dan kualitas dirimu lebih lemah, maka rumah tanggamu akan
mengalami masalah perkawinan. Anak-anak mu, terutama anak laki-lakimu akan
bengong dalam mencari identitas dirinya”. Kalau demikian, apa yang harus
dilakukan oleh kaum laki-laki agar bisa menjadi laki-laki yang lebih
berkualitas ?
Man jadda wa jadda. Siapa saja yang
bersungguh-sunggu maka ia akan berhasil dalam setiap domain kehidupan.kalau
dibikin rumus tentang bagaima lelaki yang berkualitas itu, ia harus memiliki
kualitas yang ditandai oleh “head, heart
and hand” yang berisi. Ia harus memilii kecerdasan, sholeh dan kuat.
Para
nabi dan rasul adalah manusia yang memiliki otak yang cerdas, hati dengan
keimanan yang kuat dan tubuh yang sehat dan kuat. Dari biografi Nabi Muhammad
SAW dapat kita ketahui bahwa pada masa kecil beliau memperoleh pengalaman yang
sangat banyak dan juga diajar tentang rasa tanggung jawab, peduli dengan
makhluk dan peduli dengan sesama manusia. Kualitas hati, pemikiran dan
perbuatannya menjadi rujukan bagi kita- pemeluk agama Islam- dalam menjalani
kehidupan ini.
Para
pemimpin dan banyak laki-laki sukses di Indonesia dan di dunia adalah mereka
yang memiliki kualitas pemikiran, dan keuangan serta pengaruh yang jauh lebih
kuat melebihi para istri mereka. Utamanya dalam bidang pengetahuan, keuangan,
pengaruh atau kemampuan bargaul dan berkomunikasi. Artikel ini tidak bernada
untuk menghasut agar para laki-laki untuk lebih unggul dan melecehkan kaum
perempuan. Sekali lagi tidak bermaksud untuk merendahkan kaum perempuan. Tidak
!!!
Namun mengajak
mereka-para lelaki yang berusia muda- agar segera memiliki kualitas diri. Sebab
kalau mereka kelak menikah maka mereka tentu harus menjadi pemimpin dan
pelindung bagi keluarganya. Namun perempuan bukan harus menjadi orang yang
lemah kualitasnya, kualitas laki-laki dan perempuan atau suami dan istri musti
berimbang- menjadi laki-laki yang kuat dan perempuan yang hebat .
Dalam dunia
moderen ini hubungan perkawinan dari laki-laki dan perempuan musti bersifat partnership, yaitu saling melengkapi dan
saling bekerja sama. Mengurus anak dan rumah tangga bukan tanggung jawab
perempuan, namun dikelola oleh kedua belah pihak. Jadi kita, sekali lagi,
berharap agar pemuda, siswa dan mahasiswa untuk pedulis memilki kualitas diri
yang mencakupi pemikiran, spiritual, pengalaman hidup, wawasan dan kemampuan
bersosial. Dari sekarang mereka harus think
smart dan work hard.