Rabu, 14 Juni 2017

Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal



Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal

            Ada artikel yang cukup memberi motivasi bagi orang-orang dari kalangan yang kurang mampu (the have no familly). Artikel tersebut ditulis oleh Molly McManus dengan judul “why do rich kids do better than poor kids in school?”. Saya baca artikel ini beberapa kali. Lantas saya teringat dengan kerabat saya yang hidup juga dalam siklus kemiskinan yang tinggal di pinggir Batang Anai (Sungai Anai) di Lubuk Alung, Sumatera Barat. Juga kenalan saya di kota lain yang hidup di bawah garis kemiskinan, dalam sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu- mungkin layak disebut sebagai “sebuah gubuk kecil”. Di dalamnya mereka tinggal  dengan anggota keluarga yang cukup banyak- 5 orang anak remaja, yang pendidikan mereka tercecer karena drop-out.
            Kerabat saya di pinggir Batang Anai di Lubuk Alung hidup dengat budget satu atau dua dollar perhari. Mereka hidup sebagai buruh tani, mengumpulkan batu dan pasir untuk dijual buat orang kota.
            Rumah kami, di pinggiran kota kecil Lubuk Alung- 35 km dari Padang- jauh dari sentuhan media massa. Para keluarga mengenal majalah, surat kabar dan buku-buku cerita buat dibaca. Listrik saja baru dapat diakses beberapa tahun lalu. Saya beruntung bisa pindah, dibawa orangtua, ke Payakumbuh, sehingga disana dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik dibanding dengan kaum kerabat  saya yang berdomisili di kampung.
Sementara kaum kerabat saya yang berprofesi sebagai buruh tani dan juga anak-anak mereka selalu punya masalah dengan pendidikan. Mereka  sering tinggal kelas hingga akhirnya drop out dari sekolah. Sebagai pilihan hidup, seolah-olah melanjutkan tongkat estafet buat rantai kemiskinan, anak-anak mereka kembali memilih menjadi buruh tani. Ya mengikuti profesi orang tua mereka dan akhirnya mereka juga hidup dalam garis kemiskinan.
Saya melihat bahwa anak-anak mereka (kaum kerabat saya) mengalami keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif, motorik halus dan motorik kasar. Apa yang dikatakan Molly McManus yaitu terulang lagi, yaitu  “mengapa anak-anak keluarga kaya prestasinya lebih baik dari anak miskin- why do rich kids do better than poor kids in school”.
            Fenomena seperti ini bisa saja terjadi di daerah lain di tanah air ini. Conny Semiawan dalam St. Sularto (2010: 55-56) melaporkan hasil risetnya di empat daerah yang beragam di Papua, yaitu: Merauke, Saruni, Nabire dan Jayapura. Masing-masing daerah tersebut mewakili daerah tertinggal yang geografinya seperti di  pantai, pedalaman dan pegunungan, perkampungan dan daerah kota, dengan keragaman sifat, sikap dan kemampuan peserta didik yang berbeda- beda.
            Temuan penelitian yang dipaparkan oleh Conny Semiawan adalah tentang kondisi keterdidikan anak Papua yang memperlihatkan keadaan yang memprihatinkan. Mereka ternyata mengalami keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif, motorik halus dan motorik kasar.
            Perkembangan hidup anak ketika berusia dini sangat berpengaruh pada kesiapan mereka untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan formal dalam usia selanjutnya. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari anak Papua tidak akan siap untuk mengikuti proses belajar dengan baik di bangku sekolah dasar dimana kurikulum nasional diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Sampai kapan pun anak-anak Papua akan mengalami hambatan dalam belajar jika tidak ada intervensi dari pemerintah/ stake holder pendidikan untuk menaikan angka perkembangan hidup mereka untuk taraf nasional. Juga intervensi untuk mengembangkan kepribadian sosial, kemajuan bahasa, sikap adaptif, motorik halus, dan motorik kasar dari anak-anak Papua tersebut.
            Dibalik itu saya jadi teringat dengan kenalan saya, sebagaimana yang telah saya sebutkan, yang mana mereka hidup dalam lilitan kemiskinan, mungkin pendapatan ekonominya per-hari adalah sekitar 2 dollar. Sebagai buruh kecil- tukang tambal ban- rezekinya tidak menentu. Kalau lagi mujur maka banyak anak anak remaja (anak-anak sekolah yang membawa sepeda-motor) yang bocor atau kempes ban sepeda motornya maka dibawa begkel tambal ban kenalan saya tersebut. Maka da akan kebanjiran pekerjaan/ kebanjiran rezeki. Sehingga dia bisa membawa uang yang agak berlebih buat membeli lauk pauk buat keluarga.
            Kenalan saya yang miskin ini memiliki 5 orang anak yang sudah agak besar. Pendidikan mereka sebelumnya juga mengalami kesulitan akademik. Anak-anaknya  terlihat  susah payah  untuk menamatkan pendidikan dasar mereka, karena selalu bermasalah dengan guru dan mata pelajaran yang tidak menarik bagi mereka.
Saya lihat di anatara anak-anaknya ada yang sering tinggal kelas  dan juga ada yang drop out dari bangku SMP. Sementara itu mereka memiliki rumah kayu yang berukuran kecil, hanya ada satu ruangan buat berkumpul dan tidak ada ruang atau kamar untuk masing-masing anggota keluarga. Ruang keluarga yang ukurannya 3 kali 2 meter, menjadi ruangan banyak fungsi- ya sebagai dapur, kemudian menjadi ruang utama keluarga dan bila malam tiba, ruang tersebut menjadi ruang tidur bagi anggota keluarga yang masih lajang (anak laki-laki).
            Jika lagi panas terik atau suhu lagi tinggi, mereka memilih duduk di halaman di bawah pokok pohon yang rindang. Kadang tempat itu (bangku atau balai-balai di bawah pohon) juga berfungsi sebagai area keluarga- living room terbuka.
            Lilitan kemiskinan membuat anak-anak mereka tumbuh menjadi kurang berkualitas, mereka terlihat mudah emosional, sensitif sekali dan mudah cekcok oleh hal-hal yang sepele. Anak- anak mereka yang sudah dewasa menikah, dan lagi-lagi juga dengan pasangan yang serupa tingkat ekonomi, tingkat pendidikan karakternya.
Jadinya mereka tumbuh lagi dalam rumah kecil yang layak disebut pondok dengan gaya hidup yang juga sama. Mereka tetap miskin dengan pengalaman dan juga miskin dengan ilmu pengetahuan, terlebih juga miskin dengan keuangan. Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh Molly McManus bertemu lagi yaitu “ mengapa anak-anak keluarga kaya lebih berprestasi/ beruntung dibandingkan anak-anak keluarga miskin”. Ya mereka cenderung mengulang kemiskinan orangtua mereka.
            Molly mcManus lebih lanjut menjelaskan tentang why do rich kids do better than poor kids in school. Mengapa anak-anak keluarga kaya berprestasi lebih baik daripada anak-anak orang miskin di sekolah. Penyebabnya adalah karena adanya “gap atau celah. Gap ini terbentuk sejak berumur 3 tahun yaitu terlihat dari kualitas bahasa (jumlah kosakata). Kosakata anak-anak keluarga kaya sedikit lebih banyak dari anak keluarga miskin.
            Molly McManus menambahkan bahwa ada sebuah studi yang dilakukan 30 tahun yang lalu dan ditemukan bahwa memang ada perbedaan (gap) antara anak-anak dari keluarga yang rendah income-nya dengan keluarga yang bagus posisi ekonominya. Perbedaan tersebut terlihat pada kualitas berbahasa, persisnya proses bertukar bahasa antara anak dan orangtua. Dimana terjadinya proses bahasa anak keluarga kaya, mereka lebih intensif berkomunikasi dengan satu sama lain.
            Saya kadang-kadang bersilaturahmi, mengunjungi rumah kenalan saya yang hidup dililit kemiskinan, dan ngobrol-ngobrol untuk mencari tahu tentang bagaimana kualitas kehidupan dan juga kualitas pendidikan dan mengapa anak-anak mereka dulu sering bermasalah di sekolah (setelah itu putus sekolah dan sekarang anaknya bekerja sebagai buruh serabutan). Mengapa pendidikan mereka dan anak-anak keluarga lain yang senasib bisa tertinggal/ bermasalah dan beberapa penyebabnya antara lain:
            a). Kondisi rumah
               Keadaan rumah mereka yang kecil hingga kesulitan menampung anggota keluarga, tidak ada ruang atau kamar sendiri buat urusan privacy anak-anaknya. Suasana               rumah yang kecil dan pengap berpotensi menimbulkan stress.
            b). Tidak ada budaya membaca
               Umumnya dalam rumah dari keluarga ekonomi lemah dan juga lemah tingkat pendidikannya memang tidak ada sarana buat mendukung budaya membaca (tidak ada koran, buku bacaan, majalah-majalah bekas sekalipun), sehingga kualitas verbal atau bahasa mereka juga kurang menarik. Jadinya  para anggota keluarga satu-sama lain cenderung berbahasa agak kasar (berbahasa yang emosional), menghardik-hardik dan gara-gara hal sepele mereka jadi  mudah saling melukai perasaan satu sama lain.           
            c) Tidak adanya time management yang jelas.
                Time management atau pengelolaan waktu dalam suatu keluarga harus ada. Misal kapan waktu sarapan, makan siang, makan malam, waktu buat bangun, waktu untuk tidur, waktu buat bikin PR, dll. Dalam keluarga miskin ini tidak jelas. Televisi menyala dari pagi hingga malam, sehingga suasana ruang rumah yang kecil dan pengap ikut menjadi berisik. Jadinya anak-anak juga  tidak mengenal tetang pola tidur. Anak-anak terbiasa begadang hingga tengah malam. Keesokan pagi harinya mereka harus pergi ke sekolah dengan keadaan mata mengantuk. Tentu saja sekolah dan pelajaran tidak begitu menarik buat diikuti. Ini adalah penyebab awal mengapa anak keluarga miskin bermasalah dengan sekolah.
            d). Tidak ada model tetang cara bertanggungjawab.
             Tentu saja keluarga miskin sangat minus dengan pengetahuan parenting. Dimana anak-anak kurang dilibatkan untuk bisa mandiri- seperti ikut mengurus diri sendiri: memasak, mencuci, menstrika, terutama untuk anak laki-laki. Apalagi mereka punya persepsi yang salah bahwa “memasak, mencuci, menstrika” bukan pekerjaan anak laki-laki. Jadi anak laki-laki tidak tahu dengan tanggung jawab. Jadinya anak-anak mereka tumbuh menjadi orang-orang  yang sangat pemalas.  
            e). Tidak ada budaya memuji.
Kata-kata penuh simpati seperti “terimakasih, maaf dan memuji” belum tubuh dalam lingkungan keluarga miskin. Karena kata-kata tersebut perlu kecerdasan orangtua (parenting) untuk membudayakannya. Sehingga kata-kata dan ungkapan yang sering muncul  adalah banyak mencela, menghukum, mencaci, menghina  dan hingga membullying sesama anggota keluarga. Ini semua sering memicu terjadinya pertengkaran.
            f). Only Watching TV
Yang ada hanya budaya menonton, memerintah dan mengancam. Ya seperti yang telah kita paparkan di atas tadi. Ini terjadi sepanjang hari dan sepanjang masa dalam kehidupan mereka.
Namun tidak semua keluarga yang hidup dalam kategori miskin melahirkan anak-anak yang selalu lemah kualitas pendidikannya. Di tempat lain, beberapa tahun yang lalu, saya juga berkenalan dengan sebuah keluarga yang miskin secara ekonomi. Namun di sana terasa adanya kehangatan dalam berkomunikasi, terjalinnya bahasa yang sopan dan santun antara orangtua dan anak.
            Walau rumah mereka sederhana, tebuat dari kayu yang sudah dimakan usia, dindingnya reot, namun di dalam rumah ada cukup kamar untuk anggota keluarga dan mereka privacy. Sang ayah memiliki koleksi buku-buku berkualitas dan juga koleksi majalah. ( saya sendiri sempat meminjam sebuah buku koleksinya yang berjudul- Soekarno as retold to Cindy Adam). Dan dia mengajak anak-anak mereka untuk juga cinta membaca.  Karena  sang ayah sendiri adalah juga seorang pembaca yang hebat. Uang boleh sedikit namun ilmu pengetahuan harus luas dan dalam, karena ilmu pengetahuan yang luas akan membuat keluarga berwibawa dan dihargai masyarakat.
            Meski jumlah uang sedikit, sang ayah terbiasa menyisihkan uang buat membeli buku-buku bekas yang berkualitas dan juga majalah bekas. Karena semua anggota keluarga suka membaca, mereka jadi kaya dengan wawasan dan gaya bahasa mereka juga terpelihara dan sangat berkualitas, mereka saling menghargai dalam berkomunikasi. Anak- anak-anak juga terlatih untuk bertanggungjawab dan juga hidup mandiri, terbiasa melayani diri dan juga melayani satu sama lain. Apa yang dikatakan oleh Molly McManus tidak terbukti, karena anak keluarga miskin juga bisa lebih baik dari anak keluarga kaya.
            Ada kisah nyata (true story)  yang berjudul “True Story- Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar- sebuah kisah perjuangan yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-pasan hingga bisa meraih penghasilan 1 juta dolar di usia 26 tahun, ditulis oleh Aberthiene Endah (2012), Penerbit Gramedia- Jakarta. Buku tersebut milik perpustakaan sekolah saya, tidak seorang pun yang tertarik membacanya. Bukan buku tersebut tidak punya kualitas, namun karena semangat literasi kita rata-rata masih rendah. Namun secara iseng saya baca dan akhir merasa sangat tertarik dan segera saya melahap isi buku tersebut.
            Merry Riana mengatakan bahwa wajahnya cenderung menunjukan ekspresi tertawa. Dia tumbuh sebagai anak perempuan yang lincah dan attraktif. Di sangat suka dengan hal-hal yang berbau kesenian, dia sangat gemar menyanyi dan menari. Masa kecilnya dengan pola hidup yang digelar orangtuanya memungkinkan dia berkembang menjadi anak perempuan yang luwes.
            Saat ada kerusuhan sara di Jakarta tahun 1998- saat juga terjadi krisis moneter, terjadi pergesekan sosial orang yang merasa sebagai kaum pribumi merasa anti pada keturunan etnis Tionghoa. Papa dan mamanya kemudian melakukan pembicaraan serius dengannya untuk mendiskusikan masalah kuliahnya di luar negeri- karena kondisi Jakarta dianggap rawan- dan dia sangat terkejut.
            Dia adalah anak perempuan yang tidak pernah berpikir bahwa akan ada satu masa di tengah masa mudanya, dia akan pergi meninggalkan keluarga atas alasan yang tidak cukup enak. Yaitu kerusuhan. Papanya menjelaskan dan akan berjuang untuk mengatasi biaya sehari-harinya di Singapura. Untuk biaya kuliah, mereka akan berutang pada bank yang bekerjasama dengan institusi pendidikan  yang mereka pilih. Dia mengangguk dengan perasaan gentar.
            Memang di dalam hidup kita tidak bisa banyak berharap tentang segala yang kita dambakan bisa diraih dalam sekejap mata. Makanya kita harus melakukan perjuangan dan berdoa, maka Allah akan menunjukan jalan selangkah demi selangkah. NTU menyediakan pinjaman biaya pendidikan yang meliputi biaya srama, biaya kuliah, dan uang saku, yang akan diberikan setiap enam bulan. Sementarauntuk biaya buku dan kebutuhan lainnya, mahasiswa harus menanggung sendiri. Jumlah utang yang diberikan, jika ditotal mencapai sekitar 300 juta rupiah atau 40 ribu dolar Singapura dalam kurs saat itu. Jadianya dia tak perlu banyak berbelanja agar bekal uang dari orangtua tidak cepat habis.
            Jadinya Merry Riana berpikir positif bahwa kepergiannya ke negeri orang tanpa didampingi orangtuanya brangkali adalah cara Tuhan untuk mempersiapkan kemandiriannya di sana. Dia berusaha untuk menciptakan keberanian semangat. Perasaan bahwa dia sedang didik untuk mandiri.
            Sebagai mahasiswa NTU, sebuah kondisi baru menyambutnya degan satu pilihan saja: bertahan eksis sebagai mahasiswi dalam balutan kemiskinan. Dia bercerita bagaimana menghadapi masa transisi yang cukup mencekam. Sebuah transisi yang mengantarkan dia dengan kehidupan baru di mana pikiran dan keberanian sangat berpengaruh dalam kelanjutan hidupnya.
            Dia dan tidak pernah berdiskusi dengan orang-orang yang pernah melewatkan studi di Singapura, setidaknya untuk menanyakan biaya hidup rata-rata, harga makanan rata-rata, dan sebagainya. Ada konsep lihat saja nanti di antara keberanian yang dia hidupkan. Akhirnya dia sampai di NTU. Seperti apa NTU itu ? Teramat sangat indah mengingatkannya pada kampus Universitas Indonesia. Tetapi jauh lebih rimbun. Di kampus NTU dia mulai merasakan detik-detik yang penting. Dia memesan nasi goreng. Tanpa tambahan apa-apa. Nasi goreng polos. Habis makan, dia mulai mengambil dompet dan untuk pertama kalinya dia mengegrakan jemarinya pada lembaran uang dolar Singapura. Pemilik kantin langsung memberitahukan harganya padanya.
“Dua dolar,” di tahun 1998 kurs menjadi sepuluh ribu rupiah per dolar. Dua puluh ribu harus dia keluarkan untuk sepiring nasi goreng tanpa imbuhan apapun. Hanya nasi, sedikit bumbu dan kecap. Rasanya ia ingin mengatakan tak jadi mmbeli. Dia berpikir apakah bisa makan dengan sepuluh ribu saja sekali makan. Bagaimana bila dia makan dengan sayuran, dan lauk daging, buah dan minumannya ? Otaknya langsung disinggahi kalkulator dan dia merasakan hidup mendadak jadi rumi sekali.
Saat memasuki kamar dia merasa berdebar. Kamar asrama ternyata tidak secantik saat dia lihat dari sisi luar. Sama seperti kamar-kamar kos mahasiswa di Indonesia. Ruang dalam kamar jauh dari dugaanya, ternyata kondisinya sangat sederhana. Di dalam kamar berukuran 3 m x 4m itu hanya ada sebuah dipan kayu dengan kasur tanpa seprai, sebuah meja tulis sederhana dan lemari kecil.
Hari itu dia dan sejumlah teman Indonesia yang memerlukan pinjaman dana untuk kuliah akan diantar oleh senior ke sebuah bank pemerintah yang bekerja sama dengan NTU. Mereka akan diberi pinjaman 300 juta rupiah dalam kurs dolar Singapura. Biaya sewa asrama dan uang saku diberikan setiap enam bulan, sebesar 1.500 dolar.
Dia langsung berhitung dengan sangat cepat. Uang 1.500 dolar dibagi enam, menjadi 250 dolar perbulan. Sewa asrama asrama 180 dolar perbulan. Sisa 70 dolar. Biaya buku, fotokopi dan lain lain sekitar 30 sampai 50 dolar. Sisa sekitar 40 dolar. Wah dia terpana, berarti uang saku yang ada hanya 10 dolar seminggu. Itu yang bisa digunakannya buat hidup selama 7 hari, dan dia menjadi benar-banar lemah.
Ya itulah eksistensinya, mahasiswa yang harus bertahan hidup dengan uang 10 dolar Singapura seminggu, di mana harga sepiring nasi goreng polos tak kurang dari 2 dolar. Sementara dia harus makan tiga kali dalam sehari, selama tujuh hari. Pikirannya mendadak begitu ruwet memikirkan perhitungan itu. Dan dia membangun semangat dengan mati-matian.
Merry Riana membeli buku. Harga buku itu membuatnya terperanjat. Bagi kebanyakan mahasiswa lain tu tidak mahal. Tapi untuknya, itu cukup untuk menguras isi dompet. Seberapa kuat dana yang dia bawa dari Indonesia, hanya cukup untuk membeli buku-buku awal kuliah. Sebelum berangkat ke Singapura dia memang telah membuatkan akun email untuk mamanya agar mereka bisa berkirim kabar dengan gratis. Jika mengandalkan telepon itu akan sangat menyedot biaya.
Dulu saat di Jakarta bila lapar dia sering merebus sendiri mi instant sekedar iseng ingin mengganjal perut setelah makan. Tetapi tak pernah dia rasakan getaran sedramatis seperti hari itu. Betapa berartinya kini mi instan itu bagi hidupnya.      
 Berjuang hemat, dia mengatasi rasa takutnya dan membangun keberanian dengan paksa. Jatah uang saku  sepuluh dolar ya sepuluh dolar. Dia tidak perlu berpura-pura dan itu bukan di Jakarta. Dia sendiri menghadapi kenyataan hidup yang konkret. Hal pertama yang dibangunnya adalah menciptakan sebanyak-banyaknya pikiran positif.
Uang sebanyak sepuluh dolar seminggu adalah jumlah yang membuat siapa pun di Singapura akan bergidik jika itu diharuskan cukup untuk bertahan hidup seminggu. Masa bertahan di tahun pertama kuliah merupakan embrio keberanian luar biasa yang akan melontarkan dia pada semangat-semangat berikutnya. Saat itu dia belum terpikirkan untuk melakukan hal apa pun guna mendapatkan tambahan uang, seperti kerja paruh waktu. Dia putuskan untuk bertahan dengan strategi bisa menahan lapar sebisa mungkin. Itu saja sudah cukup bagus.  
Masalah selanjutnya adalah kecermatannya mengatur strategi untuk mengoperasikan uang 10 dollar. Pada akhir pekan dia ke ATM, mengambil 10 dolar. Kemudian membeli roti tawar besar yang akan menjadi bekalnya ke kampus setiap siang. Satu bilah roti tawar cukup untuk beberapa hari. Setiap pagi dia merebus mi instant untuk sarapan. Kadang dia bahkan tidak sarapan jika mi instan habis. Tidak ada makanan camilan sampai jam makan siang tiba.
Dengan bekal roti tawar, dia tak perlu mengeluarkan uang untuk jajan di kantin. Apa yang dia atur itu sangat mudah mengatakannya, tetapi sulit merealisasikannya. Kuliah teknik dan praktikum adalah aktivitas yang menyedot energi. Pada pukul sepuluh dan sebelas dia sudah didera kelaparan hebat. Mi instan rebus ternyata tak cukup kuat memberi energi sampai menjelang siang.
Siang hari masalah lain muncul. Teman-teman kuliahnya biasanya akan melakukan diskusi tentang pelajaran di kantin, sambil makan siang. Tentu saja dia ingin mengikuti ajang diskusi itu karena penting bagi wawasannya. Mana kala temannya membeli makanan dan bersantap sementara dia tidak. Pandangan mata teman terlihat menyelidik ke arahnya. Beberapa kali dia mengatakan tidak lapar, tetapi akhirnya perutnya berbunyi.  
Jadinya dia mengatur, dua atau tiga kali seminggu dia makan siang di kantin sekolah. Itupun dengan memilih kedai yang paling murah- 1 dolar. Dengan uang sejumlah itu dia bisa mendapatkan nasi dan 2 jenis sayuran. Biasanya dia memilih sayur tauge dan sayur tahu. Yang menguntungkan di kedai itu juga disediakan sepanci besar kuah kari, gratis. Dia paling bersemangat menyendok kuah kari atau kaldu, mana tahu bisa mendapatkan potongan daging. Namun betapa langkanya dia menemukan sepotong daging saat itu.
Dia sempat syok, dan hampir setiap malam dia duduk di depan jendela dan menahan tangis. Dia mengusahakan bisa mengerjakan tugas kuliah sambl menahan perut yang yang kurang kenyang dan perasaan sedih yang dalam. Di asrama ada mahasiswa India yang hampir setiap hari aku kepergok olehnya sedang merebus mi.
“Hei, bukankah makanan itu tidak sehat kalau dimakan setiap hari ? Kamu tidak takut sakit ?” Tanyanya dengan wajah menyiratkan keseriusan.
“ Aku suka sekali mi instan”, Jawab Merry Riana singkat dan tersenyum lagi. Perasaannya benar-benar getir saat mengucapkannya.
Acara makan bekal roti tawar di kampus pun bukannya tanpa beban. Nyaris tak ada satu pun mahasiswa yang membawa bekal, apalagi hanya dua lembar roti tawar ke kampus. Maka dia akan melahap roti di...toilet, ya di toilet. Acap kali pintu toilet digedor orang yang merasa curiga kenapa pintu toilet terkunci begitu lama tapi tak terdengar suara. Jika sudah begitu, dia menekan tombol flush untuk memberi sinyal bahwa masih ada orang di dalam.
Dia juga tidak membeli air minum untuk menghemat uang. Bagaimana dia melepas rasa dahaga ? Ya dari air keran. Biasanya mahasiswa memanfaatkan tap water untuk mencuci muka atau sekedr mencuci tangan, tetapi bagi Merry buat minum- melepas dahaga. Ya tap water itulah yang menjadi andalannya untuk minum. Dia menampung airnya ke dalam botol air mineral kosong yang dia bawa.
Begitulah perjuangannya untuk bertahan mendapatkan tenaga dari makanan dengan cara mengirit habis-habisan. Ada juga strategi unik menghemat uang sengaja mengikuti jadwal kegiatan beberapa organisasi. Misalnya ada perkumpulan keagamaan, setiap kali ada acara kumpul-kumpul, mereka akan menutup kegiatan dengan makan bersama yang disediakan gratis.
Beberapa perjuangan hidup, manusia tidak akan mengetahui kekuatan maksimalnya, sampai ia berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan. Jika hari ini dia ditanya, kepada siapa dia harus berterimakasih atas sukses yang dia raih. Tentu terimakasih patut ditujukan pada Allah- Tuhan yang telah memberikan dia kesulitan luar biasa di usianya yang masih sangat belia. Ujian yang sulit melahirkan kekuatan ajaib yang tidak terduga.
Perut Merry sudah terbiasa dengan asupan gizi yang datang dari mi instan rebus di pagi hari, dua lembar roti tawar di siang hari, jika beruntung bisa numpang makan di acara-acara berbagai organisasi, dan itupun juga jarang. Sesekali dia makan di kantin kampus dan merasakan nikmatnya hidangan mewah berupa nasi, oseng tauge dan sepotong tahu. Seharga 1 dolar.
Begitulah dia membangun rasa syukur atas kebertahanannya melewati hari hari super irit- super hemat. Tak jarang sejumlah teman asrama melakukan janji beramai-ramai hangout (nongkrong) ke Orchad. Sekadar mengopi atau berbelanja. Tak jarang pergi makan siang ke kafe di luar kampus karena bosan dengan makanan di kantin. Godaan semacam itu harus ia tahan mati-matian.  
Buku tersebut sangat menginspirasi saya dan tentu juga menginspirasi banyak orang lainnya. Saya merasa beruntung bisa menamtkan buku tersebut. Akhirnya Merry Riana melakukan kerja sambilan. Ia sangat gigih dan seorang pemberani untuk berjuangan mengatasi kesulitan hidupnya. Kerjanya adalah menyebarkan brosur buat orang yang lalu lalang, itupun dengan upah yang kecil, namun jumlahnya cukup signifikan untuk mengatasi kesulitan. Tidak mencari pekerjaan lainnya, hingga akhirnya ia bisa bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan servis di bidang keuangan. Juga buku ini membuktikan bahwa anak yang miskin bisa lebih berhasil dibanding anak dari keluarga kaya.

Orang Asia Timur Dalam Buku John Naisbitt



Orang Asia Timur Dalam Buku John Naisbitt

            Saat saya menjadi mahasiswa lebih dari 25 tahun yang lalu saya sempat membaca profil John Naisbitt (1995) pada sebuah koran nasional. Ia adalah seorang penulis hebat dari Amerika Serikat- berskala internasional. Ia juga berprofesi sebagai public speaker  khusus untuk bidang future studies. Ia telah menulis buku yang cukup fenomena dan menjadi best seller, karena diterjemahkan/ diterbitkan ke dalam 57 negara dan terjual sekitar 14 juta copy.
            Saya akhirnya bisa menemukan bukunya 28 tahun kemudian. Uraian opininya sangat menarik dan saya tenggelam dalam semua opininya yang sangat mencerahkan. Buku fenomena tersebut, dalam versi bahasa Indonesia berjudul: Mega Trends Asia: Delapan Megatrend Asia Yang Mengubah Dunia. Saya menyukai profil John Naisbitt dan sebuah quotation-nya yang selalu diingat orang adalah “kita tenggelam dalam informasi namun kelaparan dengan ilmu pengetahuan”.   
            Dalam bukunya dipaparkan bahwa Asia telah menjadi dominan untuk bidang ekonomi, politik, dan budaya.  Inilah yang disebut sebagai fenomena renaisans Asia atau kebangkitan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat terjadi pada negara-negara diseputar pesisir Asia Timur hingga ke Asia Selatan. Negara-negara tersebut meliputi Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Hongkong, Cina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Philipina, Indonesia dan India.
            Keutuhan keluarga di negara-negara tersebut secara umum masih lebih terwujud. Di negara-negara ini keluarga menjamin kesejahteraan sendiri, tanggung jawab pribadi sangat ditekankan. Masyarakat di negara-negara tadi menghidupkan nilai-nilai keluarga. Mereka juga mewujudkan swasembada- mencukupi kebutuhan sendiri- serta prinsip kemandirian. Keutuhan perkawinan di Asia masih lebih bagus, anak-anak yang lahir di luar ikatan perkawinan di Amerika Serikat (mungkin juga di Eropa) mencapai 30%, dan di Malaysia, sebagai contoh, hanya 2% saja.
            John Naisbitt juga mengatakan bahwa yang menyebabkan membusuk atau punah/ hancurnya kultur Eropa adalah karena hancurnya keutuhan keluarga-keluarga mereka. Di sana terjadi pergaulan yang sangat bebas sehingga membuat perkawinan rapuh dan perceraian meningkat. Kemudian angka kelahiran di luar nikah juga meningkat, meningkatnya populasi anak dengan orang tua tunggal, dan menolak menikah.
            Pembusukan/ pelemahan lembaga rumahtangga menyebabkan pembusukan/ pelemahan eksistensi sosial. Menyebabkan melemahnya etos kerja, meningkatnya konsumsi hedonisme, ekses dari individualisme, agitasi atas partisipasi dalam pemerintah. Gaya hidup hedonisme juga memberi efek pada kekosongan rohani. 
            Ada istilah penduduk Cina pribumi dan penduduk Cina perantauan (Cina migran). Orang Cina yang berada di luar Republik Tionkok tentu disebut sebagai Cina Migran. Mmaka karakter Cina Migran (perantauan) jauh lebih agresif (bersemangat) dalam menggeluti perekonomian. Sebenarnya prilaku bisnis Cina perantauan sama agresif dengan negara Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Hongkong. Cina perantauan menguasai 10 bursa saham Asia, yaitu: Seoul, Taipei, Sanghai, Shenzhen, Hongkong, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta dan Manila. Cina perantauan mendominasi perdagangan dan investor di negara-negara tersebut.
            Cina perantauan tinggal dan menjadi warga negara baru di luar Tiongkok (seperti di Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Hongkong, Cina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Philipina, Indonesia dan India) mereka adalah sebagai warga negara minoritas, namun mereka aktif sehingga sangat menguasai perekonomian. Di Indonesia keturunan Cina menguasai 70 % ekonomi negara, di Thailand 60 %, dan di Philipina  juga 70 %.
            Orang Cina punya ungkapan- utamanya Cina perantauan yang memiliki jiwa wirausaha- bahwa “tidak ada prospek kehidupan bila kita bekerja untuk orang lain”. Maka orang Cina ingin menjadi pusat bisnis dan menjadi bos dari usahanya sendiri. Jadinya mereka cukup proaktif, agresif, berani mengambil resiko dan giat berusaha. Mereka juga diajari oleh orangtua untuk selalu rendah hati dan tidak boleh pamer harta/ pamer kekayaan. Juga mereka tidak boleh berbicara buruk tentang orang lain.
            Jepang adalah negara teknologi terkemuka di Asia, dahulu ia menguasai pasar Asia, namun sekarang digantikan oeh negara Asia Timur. Figur utamanya adalah Cina perantauan (Cina Immigran). Kini investor negara Asean bukan lagi Amerika Serikat dan Jepang, tetapi negara-negara Asia Timur.        
            Keturunan Cina di negara baru selalu menjadi kaum minoritas, apakah itu di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea selatan, atau sekalipun di Jepang. Beda karakter keturunan Cina dengan orang pribumi di Indonesia, itu bisa kita analisa.
Saya sempat melihat way of life warga keturunan Cina lebih dekat di Sumatra Barat. Apa- apa saja keutamaan karakter Cina yang menunjang kemajuan wirausahanya ? Ada beberapa poin, yaitu:
            1). Orang Cina gemar menabung dan berinvestasi. Kalau dapat rezki langsung mereka tabung, kalau perlu hingga 75 %- 80 %, kemudian mereka beradaptasi/ berhemat untuk hidup dengan sisa uang yang tinggal 25 %. 
            2). Orang Cina tidak suka pamer harta lewat penampilan. Di kampung Cina di Padang dan juga di Payakumbuh, rumah orang Cina tampak dari luar cukup bersahaja. mereka tidak gengsi- gengsian dan mereka jarang memakai baju mahal dan perhisan mewah, kecuali pada hari raya mereka.
            3). Dalam membeli kebutuhan, orang Cina lebih suka membeli secara tunai dan tidak suka dengan kredit. Mereka menabung untuk bisa membeli secara tunai.
            4). Saat saya berada di Asian Market di Melbourne, yang banyak pembelinya adalah yang bermata sipit atau orang Cina. Maksud yang saya tangkap bahwa mereka lebih suka masak sendiri dari membeli makan siap saji, atau mereka lebih suka produksi sendiri atau membuka warung sendiri.
            5). Orang Cina adalah pekerja keras dengan semangat yang tinggi, malah kalau ada kesempatan buat lembur (part time job) mereka lebih suka lembur buat cari uang, jadinya orang Cina tidak suka bermalas-malas.
            6). Orang Cina rajin cari kerja sambilan, paling kurang kerja online atau memberi les. Di Payakumbuh saya melihat ada les bikin kue dan les menjahit yang dilakoni oleh keturunan Cina.   
            7). Orang Cina punya etos kerja yang tinggi. Saya beberapa kali mampir ke dealer resmi sepeda motor di Padang yang bosnya berwajah Cina. Di sana juga ada pekerja berusia muda keturunan Cina dan mereka terlihat punya etos kerja yang tinggi jadinya, pekerjaan yang diberikan cepat selesai dan dikerjakan dengan sempurna. Akhirnya mereka lebih disukai oleh bos.  
            8). Orang Cina tidak begitu suka asal beli barang untuk membuat sumpek ruangan rumah, mereka lebih mementingkan manfaat dan bukan asal gengsi-gengsian, tidak mau berlomba membeli barang dengan tetangga hanya untuk sekedar pamer.
            Tulisan saya di atas bukan bertujuan untuk memuji-muji kelebihan Orang Cina, itu cuma tinjauan karakter positif bagi mereka yang punya etos kerja tinggi. Tentu saja tidak semua orang Cina yang begitu, saat saya kecil saya juga melihat ada orang Cina yang kerjanya luntang-lantung, tidak punya kerjaan yang jelas. Di Malaka saya sempat berjumpa dengan warga Malaysia keturunan Cina yang kerjanya adalah menjaga toilet. Jadi semua orang sama saja, begitu juga dengan orang Cina, yang punya mind-set (pola berpikir) yang tidak berkembang hingga susah dapat kerja.
Namun di balik itu di tanah air ini juga ada 4 suku bangsa yang cukup punya peran dalam perekonomian bangsa, yaitu suku Minang, suku Jawa, suku Bugis dan suku Batak. John Naisbitt hanya memandang perantau Cina secara global. Berikut sedikit profil wirausaha 4 suku yang punya peran dalam perekonomian tanah air.
a). Suku Minang, kelebihan suku ini dalam bidang wirausaha didukung oleh filsafat yang mereka anut, yaitu antara lain:
1- Adat bersandi syara’, syara’ bersandi kitabullah, ini berarti suku Minang punya
  pegangan hidup dalam bidang agama.
2- Alam takambang jadi guru (alam terbentang jadikan guru), ini berarti suku Minang
  suka melakukan perubahan meniru hal-hal inovatif dari lingkungan.
3- Dimana bumi diinjak disana langit dijunjung (dima bumi dipijak disinan langik
  dijujuang), filsafat ini menandakan suku Minang suka menyesuaikan diri
   (beradaptasi) dengan lingkungan sosial yang baru.
4- Belajar pada yang menang mengambil hikmah atas kegagalan (baraja ka nan
  manang- mancotoh ka nan sudah), filsafat ini menajarkan mereka suka untuk
  meniru kiat sukses dari orang sukses.
5- Tiada rotan akarpun jadi (indak ado rotan aka pun jadi), menunjukan suku Minang
   punya semangat pantang menyerah.
6- Terkurung biar di luar, terhimpit biar di atas (takuruang nak di lua, taimpik nak di
  ateh), menunjukan orang Minang berjiwa kreatif.

b). Suku Jawa, adalah termasuk suku terbesar di tanah air dan juga punya peranan
  dalam perekonomian negara. Ini didukung oleh karakter orang Jawa seperti:
1- Senang merantau
2- Cepat dan mudah menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan lingkungan sosial yang
  baru.
3- Mereka berjiwa ulet dan pekerja keras.
4- Nrimo atau menerima apa adanya, tidak gengsi-gengsian dan juga tidak pilih-pilih
  pekerjaan.
5- Oranng Jawa suka sungkan atau menyimpan perasaan dan dan tak suka
  menyakiti perasaan orang.
6- Selalu akur dengan sesama perantau.
7- Orang Jawa kurang suka mengeluh dan juga tidak suka protes secara frontal.
8- Sama dengan karakter Cina, maksudnya orang Jawa juga suka menabung.
9- Orang Jawa bersikap ramah, sopan sehingga mudah hidup berdampingan dengan
  siapapun.
10- Orang jawa tidak suka dengan jiwa premanisme. 

c). Suku Bugis, adalah suku yang berasal dari Sulawesi. Orang Bugis bisa maju
  karena mereka punya filsafat seperti:
1- Meminimalkan modal, memaksimal untung, kalau mereka menimba ilmu-mencari
   ilmu yang tinggi, mencari rezki dan mencari karir, mereka usahakan semaksimal
   mungkin.
2-Niat teguh, tekad bulat, jadinya mereka punya semangat yang membara dan juga
   harus kokoh, kokoh dan kekeh, mereka tidak mau mundur.
3- Orang Bugis mampu bersosialisasi, tidak suka merasa sok hebat- sok jago dan
  bertindak sesuka hati.

d). Suku Batak, adalah suku dari Sumatra Utara (dan semasa saya remaja kami punya tetangga keluarga orang-orang Batak), jadi mereka bagian pengalaman dalam hidup saya. Mereka punya karakter yang membuat mereka eksis di tanah air, yaitu seperti:
1- Bersikap jujur, mereka bicara apa adanya, blakblakan dan bersikap terbuka.
2- Berwatak keras dan konsisten, mereka menghargai kekerabatan dan
  persaudaraan.
3- Kalau punya problem, mereka selesaikan hingga tuntas.
4- Orang Batak pantang menyerah, punya keyakinan yang tinggi untuk berhasil.
5- Orang Batak berkarakter tangguh dan kuat dalam menjalani kehidupan.
6- Orang batak bisa membaur dengan semua orang dan berteman dengan siapa
   saja.
Dunia Barat yang meliputi Eropa dan Amerika yang sebelumnya merupakan sumber inspirasi dan sumber kekuatan budaya yang menggerakan peradaban dunia. Begitu banyak parah tokoh dunia yang lahir dari Barat. Kemudian secara evolusi perananan Barat dalam beberapa hal seperti ekonomi, politik dan budaya diambil alih oleh Asia, bukan Asia secara umum. Tetapi oleh beberapa negara di bagian Asia Timur hingga Asia Selatan yang menandai kebangkinan Asia atau renaisans Asia. Demikian John Naisbitt meneropong dari sudut internasional.
Saya jadi berpikir bagaimana strategi John Naisbitt dalam mempotulasi- membuat titik kontra- atas  pandangan untuk menemui generalisasi dan memaparkannya semua kedalam bukunya, sehingga bukunya menjadi enak buat dicerna. Ternyata Gabor George Burt mengupas buku John Naisbitt dan menggunakan stategi pro-kontra dalam memaparkan opini-opini pemikiran John Naisbitt dalam mengembangkan ide-idenya untuk bukunya-  mega trends Asia untuk topik-topik berikut:
1- Masyarakat industri versus masyarakat informasi
2- Teknologi militer versus teknologi tinggi.
3- Ekonomi nasional versus ekonomi dunia.
4- Jangka pendek versus jangka panjang.
5- Sentralisasi versus desentralisasi.
6- Institutional help versus self help
7- Demokrasi yang diwakilkan versus demokrasi partisipasi
8- Hirarki versus jaringan kerja
9- Negara utara versus negara selatan
10- Dua pilihan versus pilihan berganda
Demikian John Naisbitt berkarya dalam memaparkan opininya ke dalam buku yang cukup fenomena di dunia. Sebelum buku ini terwujud, dia sendiri memperkaya dirinya melalui pendidikan di tiga universitas (Harvard, Cornell dan Utah) dan juga bekerja di perusahaan (IBM dan Eastman Kodak). Dia pun kemudian juga mendirikan perusahaan. Dia telah banyak mengunjungi negara dan banyak berdiskusi dengan banyak orang, membuat banyak catatan perjalanan dan juga membaca banyak buku dan pemikiran tokoh hebat dunia lainnya. Hingga akhirnya dia menjadi penulis hebat dan juga publik speaker yang hebat.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...