Anak-Anak
Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal
Ada
artikel yang cukup memberi motivasi bagi orang-orang dari kalangan yang kurang
mampu (the have no familly). Artikel
tersebut ditulis oleh Molly McManus dengan judul “why do rich kids do better than poor kids in school?”. Saya baca
artikel ini beberapa kali. Lantas saya teringat dengan kerabat saya yang hidup juga
dalam siklus kemiskinan yang tinggal di pinggir Batang Anai (Sungai Anai) di
Lubuk Alung, Sumatera Barat. Juga kenalan saya di kota lain yang hidup di bawah
garis kemiskinan, dalam sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu- mungkin
layak disebut sebagai “sebuah gubuk kecil”. Di dalamnya mereka tinggal dengan anggota keluarga yang cukup banyak- 5
orang anak remaja, yang pendidikan mereka tercecer karena drop-out.
Kerabat
saya di pinggir Batang Anai di Lubuk Alung hidup dengat budget satu atau dua
dollar perhari. Mereka hidup sebagai buruh tani, mengumpulkan batu dan pasir
untuk dijual buat orang kota.
Rumah
kami, di pinggiran kota kecil Lubuk Alung- 35 km dari Padang- jauh dari
sentuhan media massa. Para keluarga mengenal majalah, surat kabar dan buku-buku
cerita buat dibaca. Listrik saja baru dapat diakses beberapa tahun lalu. Saya
beruntung bisa pindah, dibawa orangtua, ke Payakumbuh, sehingga disana dapat
memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik dibanding dengan kaum
kerabat saya yang berdomisili di
kampung.
Sementara kaum
kerabat saya yang berprofesi sebagai buruh tani dan juga anak-anak mereka
selalu punya masalah dengan pendidikan. Mereka sering tinggal kelas hingga akhirnya drop out dari sekolah. Sebagai pilihan
hidup, seolah-olah melanjutkan tongkat estafet buat rantai kemiskinan, anak-anak
mereka kembali memilih menjadi buruh tani. Ya mengikuti profesi orang tua
mereka dan akhirnya mereka juga hidup dalam garis kemiskinan.
Saya melihat
bahwa anak-anak mereka (kaum kerabat saya) mengalami keterhambatan
perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif, motorik
halus dan motorik kasar. Apa yang dikatakan Molly McManus yaitu terulang lagi,
yaitu “mengapa anak-anak keluarga kaya
prestasinya lebih baik dari anak miskin-
why do rich kids do better than poor kids in school”.
Fenomena
seperti ini bisa saja terjadi di daerah lain di tanah air ini. Conny Semiawan
dalam St. Sularto (2010: 55-56) melaporkan hasil risetnya di empat daerah yang
beragam di Papua, yaitu: Merauke, Saruni, Nabire dan Jayapura. Masing-masing
daerah tersebut mewakili daerah tertinggal yang geografinya seperti di pantai, pedalaman dan pegunungan, perkampungan
dan daerah kota, dengan keragaman sifat, sikap dan kemampuan peserta didik yang
berbeda- beda.
Temuan
penelitian yang dipaparkan oleh Conny Semiawan adalah tentang kondisi
keterdidikan anak Papua yang memperlihatkan keadaan yang memprihatinkan. Mereka
ternyata mengalami keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan
berbahasa, sikap adaptif, motorik halus dan motorik kasar.
Perkembangan
hidup anak ketika berusia dini sangat berpengaruh pada kesiapan mereka untuk
masuk ke dalam lingkungan pendidikan formal dalam usia selanjutnya. Dapat
dipastikan bahwa sebagian besar dari anak Papua tidak akan siap untuk mengikuti
proses belajar dengan baik di bangku sekolah dasar dimana kurikulum nasional
diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Sampai kapan pun
anak-anak Papua akan mengalami hambatan dalam belajar jika tidak ada intervensi
dari pemerintah/ stake holder
pendidikan untuk menaikan angka perkembangan hidup mereka untuk taraf nasional.
Juga intervensi untuk mengembangkan kepribadian sosial, kemajuan bahasa, sikap
adaptif, motorik halus, dan motorik kasar dari anak-anak Papua tersebut.
Dibalik
itu saya jadi teringat dengan kenalan saya, sebagaimana yang telah saya
sebutkan, yang mana mereka hidup dalam lilitan kemiskinan, mungkin pendapatan
ekonominya per-hari adalah sekitar 2 dollar. Sebagai buruh kecil- tukang tambal
ban- rezekinya tidak menentu. Kalau lagi mujur maka banyak anak anak remaja (anak-anak
sekolah yang membawa sepeda-motor) yang bocor atau kempes ban sepeda motornya
maka dibawa begkel tambal ban kenalan saya tersebut. Maka da akan kebanjiran
pekerjaan/ kebanjiran rezeki. Sehingga dia bisa membawa uang yang agak berlebih
buat membeli lauk pauk buat keluarga.
Kenalan
saya yang miskin ini memiliki 5 orang anak yang sudah agak besar. Pendidikan
mereka sebelumnya juga mengalami kesulitan akademik. Anak-anaknya terlihat
susah payah untuk menamatkan
pendidikan dasar mereka, karena selalu bermasalah dengan guru dan mata pelajaran
yang tidak menarik bagi mereka.
Saya lihat di
anatara anak-anaknya ada yang sering tinggal kelas dan juga ada yang drop out dari bangku SMP. Sementara itu mereka memiliki rumah kayu
yang berukuran kecil, hanya ada satu ruangan buat berkumpul dan tidak ada ruang
atau kamar untuk masing-masing anggota keluarga. Ruang keluarga yang ukurannya
3 kali 2 meter, menjadi ruangan banyak fungsi- ya sebagai dapur, kemudian
menjadi ruang utama keluarga dan bila malam tiba, ruang tersebut menjadi ruang
tidur bagi anggota keluarga yang masih lajang (anak laki-laki).
Jika
lagi panas terik atau suhu lagi tinggi, mereka memilih duduk di halaman di
bawah pokok pohon yang rindang. Kadang tempat itu (bangku atau balai-balai di
bawah pohon) juga berfungsi sebagai area keluarga- living room terbuka.
Lilitan
kemiskinan membuat anak-anak mereka tumbuh menjadi kurang berkualitas, mereka
terlihat mudah emosional, sensitif sekali dan mudah cekcok oleh hal-hal yang sepele.
Anak- anak mereka yang sudah dewasa menikah, dan lagi-lagi juga dengan pasangan
yang serupa tingkat ekonomi, tingkat pendidikan karakternya.
Jadinya mereka
tumbuh lagi dalam rumah kecil yang layak disebut pondok dengan gaya hidup yang
juga sama. Mereka tetap miskin dengan pengalaman dan juga miskin dengan ilmu
pengetahuan, terlebih juga miskin dengan keuangan. Lagi-lagi apa yang dikatakan
oleh Molly McManus bertemu lagi yaitu “ mengapa anak-anak keluarga kaya lebih
berprestasi/ beruntung dibandingkan anak-anak keluarga miskin”. Ya mereka
cenderung mengulang kemiskinan orangtua mereka.
Molly
mcManus lebih lanjut menjelaskan tentang why
do rich kids do better than poor kids in school. Mengapa anak-anak keluarga
kaya berprestasi lebih baik daripada anak-anak orang miskin di sekolah. Penyebabnya
adalah karena adanya “gap atau celah.
Gap ini terbentuk sejak berumur 3 tahun yaitu terlihat dari kualitas bahasa
(jumlah kosakata). Kosakata anak-anak keluarga kaya sedikit lebih banyak dari
anak keluarga miskin.
Molly
McManus menambahkan bahwa ada sebuah studi yang dilakukan 30 tahun yang lalu
dan ditemukan bahwa memang ada perbedaan (gap)
antara anak-anak dari keluarga yang rendah income-nya
dengan keluarga yang bagus posisi ekonominya. Perbedaan tersebut terlihat pada
kualitas berbahasa, persisnya proses bertukar bahasa antara anak dan orangtua.
Dimana terjadinya proses bahasa anak keluarga kaya, mereka lebih intensif
berkomunikasi dengan satu sama lain.
Saya
kadang-kadang bersilaturahmi, mengunjungi rumah kenalan saya yang hidup dililit
kemiskinan, dan ngobrol-ngobrol untuk mencari tahu tentang bagaimana kualitas
kehidupan dan juga kualitas pendidikan dan mengapa anak-anak mereka dulu sering
bermasalah di sekolah (setelah itu putus sekolah dan sekarang anaknya bekerja
sebagai buruh serabutan). Mengapa pendidikan mereka dan anak-anak keluarga lain
yang senasib bisa tertinggal/ bermasalah dan beberapa penyebabnya antara lain:
a).
Kondisi rumah
Keadaan rumah mereka yang kecil
hingga kesulitan menampung anggota keluarga, tidak ada ruang atau kamar sendiri
buat urusan privacy anak-anaknya.
Suasana rumah yang kecil
dan pengap berpotensi menimbulkan stress.
b).
Tidak ada budaya membaca
Umumnya dalam rumah dari
keluarga ekonomi lemah dan juga lemah tingkat pendidikannya memang tidak ada
sarana buat mendukung budaya membaca (tidak ada koran, buku bacaan,
majalah-majalah bekas sekalipun), sehingga kualitas verbal atau bahasa mereka juga
kurang menarik. Jadinya para anggota
keluarga satu-sama lain cenderung berbahasa agak kasar (berbahasa yang emosional),
menghardik-hardik dan gara-gara hal sepele mereka jadi mudah saling melukai perasaan satu sama
lain.
c)
Tidak adanya time management yang
jelas.
Time management
atau pengelolaan waktu dalam suatu keluarga harus ada. Misal kapan waktu
sarapan, makan siang, makan malam, waktu buat bangun, waktu untuk tidur, waktu
buat bikin PR, dll. Dalam keluarga miskin ini tidak jelas. Televisi menyala
dari pagi hingga malam, sehingga suasana ruang rumah yang kecil dan pengap ikut
menjadi berisik. Jadinya anak-anak juga tidak mengenal tetang pola tidur. Anak-anak
terbiasa begadang hingga tengah malam. Keesokan pagi harinya mereka harus pergi
ke sekolah dengan keadaan mata mengantuk. Tentu saja sekolah dan pelajaran
tidak begitu menarik buat diikuti. Ini adalah penyebab awal mengapa anak
keluarga miskin bermasalah dengan sekolah.
d).
Tidak ada model tetang cara bertanggungjawab.
Tentu saja keluarga miskin sangat
minus dengan pengetahuan parenting.
Dimana anak-anak kurang dilibatkan untuk bisa mandiri- seperti ikut mengurus
diri sendiri: memasak, mencuci, menstrika, terutama untuk anak laki-laki. Apalagi
mereka punya persepsi yang salah bahwa “memasak, mencuci, menstrika” bukan
pekerjaan anak laki-laki. Jadi anak laki-laki tidak tahu dengan tanggung jawab.
Jadinya anak-anak mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sangat pemalas.
e).
Tidak ada budaya memuji.
Kata-kata penuh
simpati seperti “terimakasih, maaf dan memuji” belum tubuh dalam lingkungan
keluarga miskin. Karena kata-kata tersebut perlu kecerdasan orangtua (parenting) untuk membudayakannya.
Sehingga kata-kata dan ungkapan yang sering muncul adalah banyak mencela, menghukum, mencaci,
menghina dan hingga membullying sesama anggota keluarga. Ini
semua sering memicu terjadinya pertengkaran.
f).
Only Watching TV
Yang ada hanya
budaya menonton, memerintah dan mengancam. Ya seperti yang telah kita paparkan
di atas tadi. Ini terjadi sepanjang hari dan sepanjang masa dalam kehidupan mereka.
Namun tidak
semua keluarga yang hidup dalam kategori miskin melahirkan anak-anak yang selalu
lemah kualitas pendidikannya. Di tempat lain, beberapa tahun yang lalu, saya
juga berkenalan dengan sebuah keluarga yang miskin secara ekonomi. Namun di sana
terasa adanya kehangatan dalam berkomunikasi, terjalinnya bahasa yang sopan dan
santun antara orangtua dan anak.
Walau
rumah mereka sederhana, tebuat dari kayu yang sudah dimakan usia, dindingnya
reot, namun di dalam rumah ada cukup kamar untuk anggota keluarga dan mereka privacy. Sang ayah memiliki koleksi
buku-buku berkualitas dan juga koleksi majalah. ( saya sendiri sempat meminjam
sebuah buku koleksinya yang berjudul- Soekarno
as retold to Cindy Adam). Dan dia mengajak anak-anak mereka untuk juga cinta
membaca. Karena sang ayah sendiri adalah juga seorang pembaca
yang hebat. Uang boleh sedikit namun ilmu pengetahuan harus luas dan dalam,
karena ilmu pengetahuan yang luas akan membuat keluarga berwibawa dan dihargai
masyarakat.
Meski
jumlah uang sedikit, sang ayah terbiasa menyisihkan uang buat membeli buku-buku
bekas yang berkualitas dan juga majalah bekas. Karena semua anggota keluarga
suka membaca, mereka jadi kaya dengan wawasan dan gaya bahasa mereka juga
terpelihara dan sangat berkualitas, mereka saling menghargai dalam
berkomunikasi. Anak- anak-anak juga terlatih untuk bertanggungjawab dan juga
hidup mandiri, terbiasa melayani diri dan juga melayani satu sama lain. Apa
yang dikatakan oleh Molly McManus tidak terbukti, karena anak keluarga miskin
juga bisa lebih baik dari anak keluarga kaya.
Ada
kisah nyata (true story) yang berjudul “True Story- Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar- sebuah kisah perjuangan
yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-pasan hingga bisa meraih
penghasilan 1 juta dolar di usia 26 tahun, ditulis oleh Aberthiene Endah
(2012), Penerbit Gramedia- Jakarta. Buku tersebut milik perpustakaan sekolah
saya, tidak seorang pun yang tertarik membacanya. Bukan buku tersebut tidak
punya kualitas, namun karena semangat literasi kita rata-rata masih rendah.
Namun secara iseng saya baca dan akhir merasa sangat tertarik dan segera saya
melahap isi buku tersebut.
Merry
Riana mengatakan bahwa wajahnya cenderung menunjukan ekspresi tertawa. Dia
tumbuh sebagai anak perempuan yang lincah dan attraktif. Di sangat suka dengan
hal-hal yang berbau kesenian, dia sangat gemar menyanyi dan menari. Masa
kecilnya dengan pola hidup yang digelar orangtuanya memungkinkan dia berkembang
menjadi anak perempuan yang luwes.
Saat
ada kerusuhan sara di Jakarta tahun 1998- saat juga terjadi krisis moneter,
terjadi pergesekan sosial orang yang merasa sebagai kaum pribumi merasa anti
pada keturunan etnis Tionghoa. Papa dan mamanya kemudian melakukan pembicaraan
serius dengannya untuk mendiskusikan masalah kuliahnya di luar negeri- karena
kondisi Jakarta dianggap rawan- dan dia sangat terkejut.
Dia
adalah anak perempuan yang tidak pernah berpikir bahwa akan ada satu masa di
tengah masa mudanya, dia akan pergi meninggalkan keluarga atas alasan yang
tidak cukup enak. Yaitu kerusuhan. Papanya menjelaskan dan akan berjuang untuk
mengatasi biaya sehari-harinya di Singapura. Untuk biaya kuliah, mereka akan
berutang pada bank yang bekerjasama dengan institusi pendidikan yang mereka pilih. Dia mengangguk dengan perasaan
gentar.
Memang
di dalam hidup kita tidak bisa banyak berharap tentang segala yang kita
dambakan bisa diraih dalam sekejap mata. Makanya kita harus melakukan
perjuangan dan berdoa, maka Allah akan menunjukan jalan selangkah demi
selangkah. NTU menyediakan pinjaman biaya pendidikan yang meliputi biaya srama,
biaya kuliah, dan uang saku, yang akan diberikan setiap enam bulan.
Sementarauntuk biaya buku dan kebutuhan lainnya, mahasiswa harus menanggung
sendiri. Jumlah utang yang diberikan, jika ditotal mencapai sekitar 300 juta
rupiah atau 40 ribu dolar Singapura dalam kurs saat itu. Jadianya dia tak perlu
banyak berbelanja agar bekal uang dari orangtua tidak cepat habis.
Jadinya
Merry Riana berpikir positif bahwa kepergiannya ke negeri orang tanpa didampingi
orangtuanya brangkali adalah cara Tuhan untuk mempersiapkan kemandiriannya di
sana. Dia berusaha untuk menciptakan keberanian semangat. Perasaan bahwa dia
sedang didik untuk mandiri.
Sebagai
mahasiswa NTU, sebuah kondisi baru menyambutnya degan satu pilihan saja:
bertahan eksis sebagai mahasiswi dalam balutan kemiskinan. Dia bercerita
bagaimana menghadapi masa transisi yang cukup mencekam. Sebuah transisi yang
mengantarkan dia dengan kehidupan baru di mana pikiran dan keberanian sangat
berpengaruh dalam kelanjutan hidupnya.
Dia
dan tidak pernah berdiskusi dengan orang-orang yang pernah melewatkan studi di
Singapura, setidaknya untuk menanyakan biaya hidup rata-rata, harga makanan
rata-rata, dan sebagainya. Ada konsep lihat saja nanti di antara keberanian
yang dia hidupkan. Akhirnya dia sampai di NTU. Seperti apa NTU itu ? Teramat
sangat indah mengingatkannya pada kampus Universitas Indonesia. Tetapi jauh
lebih rimbun. Di kampus NTU dia mulai merasakan detik-detik yang penting. Dia
memesan nasi goreng. Tanpa tambahan apa-apa. Nasi goreng polos. Habis makan,
dia mulai mengambil dompet dan untuk pertama kalinya dia mengegrakan jemarinya
pada lembaran uang dolar Singapura. Pemilik kantin langsung memberitahukan
harganya padanya.
“Dua dolar,” di
tahun 1998 kurs menjadi sepuluh ribu rupiah per dolar. Dua puluh ribu harus dia
keluarkan untuk sepiring nasi goreng tanpa imbuhan apapun. Hanya nasi, sedikit
bumbu dan kecap. Rasanya ia ingin mengatakan tak jadi mmbeli. Dia berpikir
apakah bisa makan dengan sepuluh ribu saja sekali makan. Bagaimana bila dia
makan dengan sayuran, dan lauk daging, buah dan minumannya ? Otaknya langsung
disinggahi kalkulator dan dia merasakan hidup mendadak jadi rumi sekali.
Saat memasuki
kamar dia merasa berdebar. Kamar asrama ternyata tidak secantik saat dia lihat
dari sisi luar. Sama seperti kamar-kamar kos mahasiswa di Indonesia. Ruang
dalam kamar jauh dari dugaanya, ternyata kondisinya sangat sederhana. Di dalam
kamar berukuran 3 m x 4m itu hanya ada sebuah dipan kayu dengan kasur tanpa
seprai, sebuah meja tulis sederhana dan lemari kecil.
Hari itu dia dan
sejumlah teman Indonesia yang memerlukan pinjaman dana untuk kuliah akan
diantar oleh senior ke sebuah bank pemerintah yang bekerja sama dengan NTU.
Mereka akan diberi pinjaman 300 juta rupiah dalam kurs dolar Singapura. Biaya
sewa asrama dan uang saku diberikan setiap enam bulan, sebesar 1.500 dolar.
Dia langsung
berhitung dengan sangat cepat. Uang 1.500 dolar dibagi enam, menjadi 250 dolar
perbulan. Sewa asrama asrama 180 dolar perbulan. Sisa 70 dolar. Biaya buku,
fotokopi dan lain lain sekitar 30 sampai 50 dolar. Sisa sekitar 40 dolar. Wah
dia terpana, berarti uang saku yang ada hanya 10 dolar seminggu. Itu yang bisa
digunakannya buat hidup selama 7 hari, dan dia menjadi benar-banar lemah.
Ya itulah
eksistensinya, mahasiswa yang harus bertahan hidup dengan uang 10 dolar
Singapura seminggu, di mana harga sepiring nasi goreng polos tak kurang dari 2
dolar. Sementara dia harus makan tiga kali dalam sehari, selama tujuh hari. Pikirannya
mendadak begitu ruwet memikirkan perhitungan itu. Dan dia membangun semangat
dengan mati-matian.
Merry Riana
membeli buku. Harga buku itu membuatnya terperanjat. Bagi kebanyakan mahasiswa
lain tu tidak mahal. Tapi untuknya, itu cukup untuk menguras isi dompet.
Seberapa kuat dana yang dia bawa dari Indonesia, hanya cukup untuk membeli
buku-buku awal kuliah. Sebelum berangkat ke Singapura dia memang telah
membuatkan akun email untuk mamanya agar mereka bisa berkirim kabar dengan
gratis. Jika mengandalkan telepon itu akan sangat menyedot biaya.
Dulu saat di
Jakarta bila lapar dia sering merebus sendiri mi instant sekedar iseng ingin
mengganjal perut setelah makan. Tetapi tak pernah dia rasakan getaran
sedramatis seperti hari itu. Betapa berartinya kini mi instan itu bagi
hidupnya.
Berjuang hemat, dia mengatasi rasa takutnya
dan membangun keberanian dengan paksa. Jatah uang saku sepuluh dolar ya sepuluh dolar. Dia tidak
perlu berpura-pura dan itu bukan di Jakarta. Dia sendiri menghadapi kenyataan
hidup yang konkret. Hal pertama yang dibangunnya adalah menciptakan
sebanyak-banyaknya pikiran positif.
Uang sebanyak
sepuluh dolar seminggu adalah jumlah yang membuat siapa pun di Singapura akan
bergidik jika itu diharuskan cukup untuk bertahan hidup seminggu. Masa bertahan
di tahun pertama kuliah merupakan embrio keberanian luar biasa yang akan
melontarkan dia pada semangat-semangat berikutnya. Saat itu dia belum
terpikirkan untuk melakukan hal apa pun guna mendapatkan tambahan uang, seperti
kerja paruh waktu. Dia putuskan untuk bertahan dengan strategi bisa menahan
lapar sebisa mungkin. Itu saja sudah cukup bagus.
Masalah
selanjutnya adalah kecermatannya mengatur strategi untuk mengoperasikan uang 10
dollar. Pada akhir pekan dia ke ATM, mengambil 10 dolar. Kemudian membeli roti
tawar besar yang akan menjadi bekalnya ke kampus setiap siang. Satu bilah roti
tawar cukup untuk beberapa hari. Setiap pagi dia merebus mi instant untuk
sarapan. Kadang dia bahkan tidak sarapan jika mi instan habis. Tidak ada
makanan camilan sampai jam makan siang tiba.
Dengan bekal
roti tawar, dia tak perlu mengeluarkan uang untuk jajan di kantin. Apa yang dia
atur itu sangat mudah mengatakannya, tetapi sulit merealisasikannya. Kuliah
teknik dan praktikum adalah aktivitas yang menyedot energi. Pada pukul sepuluh
dan sebelas dia sudah didera kelaparan hebat. Mi instan rebus ternyata tak
cukup kuat memberi energi sampai menjelang siang.
Siang hari
masalah lain muncul. Teman-teman kuliahnya biasanya akan melakukan diskusi tentang
pelajaran di kantin, sambil makan siang. Tentu saja dia ingin mengikuti ajang
diskusi itu karena penting bagi wawasannya. Mana kala temannya membeli makanan
dan bersantap sementara dia tidak. Pandangan mata teman terlihat menyelidik ke
arahnya. Beberapa kali dia mengatakan tidak lapar, tetapi akhirnya perutnya
berbunyi.
Jadinya dia
mengatur, dua atau tiga kali seminggu dia makan siang di kantin sekolah. Itupun
dengan memilih kedai yang paling murah- 1 dolar. Dengan uang sejumlah itu dia
bisa mendapatkan nasi dan 2 jenis sayuran. Biasanya dia memilih sayur tauge dan
sayur tahu. Yang menguntungkan di kedai itu juga disediakan sepanci besar kuah
kari, gratis. Dia paling bersemangat menyendok kuah kari atau kaldu, mana tahu
bisa mendapatkan potongan daging. Namun betapa langkanya dia menemukan sepotong
daging saat itu.
Dia sempat syok,
dan hampir setiap malam dia duduk di depan jendela dan menahan tangis. Dia
mengusahakan bisa mengerjakan tugas kuliah sambl menahan perut yang yang kurang
kenyang dan perasaan sedih yang dalam. Di asrama ada mahasiswa India yang
hampir setiap hari aku kepergok olehnya sedang merebus mi.
“Hei, bukankah
makanan itu tidak sehat kalau dimakan setiap hari ? Kamu tidak takut sakit ?”
Tanyanya dengan wajah menyiratkan keseriusan.
“ Aku suka
sekali mi instan”, Jawab Merry Riana singkat dan tersenyum lagi. Perasaannya
benar-benar getir saat mengucapkannya.
Acara makan
bekal roti tawar di kampus pun bukannya tanpa beban. Nyaris tak ada satu pun
mahasiswa yang membawa bekal, apalagi hanya dua lembar roti tawar ke kampus.
Maka dia akan melahap roti di...toilet, ya di toilet. Acap kali pintu toilet
digedor orang yang merasa curiga kenapa pintu toilet terkunci begitu lama tapi
tak terdengar suara. Jika sudah begitu, dia menekan tombol flush untuk memberi sinyal bahwa masih ada orang di dalam.
Dia juga tidak
membeli air minum untuk menghemat uang. Bagaimana dia melepas rasa dahaga ? Ya
dari air keran. Biasanya mahasiswa memanfaatkan tap water untuk mencuci muka atau sekedr mencuci tangan, tetapi
bagi Merry buat minum- melepas dahaga. Ya tap water itulah yang menjadi
andalannya untuk minum. Dia menampung airnya ke dalam botol air mineral kosong
yang dia bawa.
Begitulah
perjuangannya untuk bertahan mendapatkan tenaga dari makanan dengan cara
mengirit habis-habisan. Ada juga strategi unik menghemat uang sengaja mengikuti
jadwal kegiatan beberapa organisasi. Misalnya ada perkumpulan keagamaan, setiap
kali ada acara kumpul-kumpul, mereka akan menutup kegiatan dengan makan bersama
yang disediakan gratis.
Beberapa
perjuangan hidup, manusia tidak akan mengetahui kekuatan maksimalnya, sampai ia
berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan. Jika hari ini
dia ditanya, kepada siapa dia harus berterimakasih atas sukses yang dia raih.
Tentu terimakasih patut ditujukan pada Allah- Tuhan yang telah memberikan dia
kesulitan luar biasa di usianya yang masih sangat belia. Ujian yang sulit
melahirkan kekuatan ajaib yang tidak terduga.
Perut Merry
sudah terbiasa dengan asupan gizi yang datang dari mi instan rebus di pagi
hari, dua lembar roti tawar di siang hari, jika beruntung bisa numpang makan di
acara-acara berbagai organisasi, dan itupun juga jarang. Sesekali dia makan di
kantin kampus dan merasakan nikmatnya hidangan mewah berupa nasi, oseng tauge
dan sepotong tahu. Seharga 1 dolar.
Begitulah dia
membangun rasa syukur atas kebertahanannya melewati hari hari super irit- super
hemat. Tak jarang sejumlah teman asrama melakukan janji beramai-ramai hangout (nongkrong) ke Orchad. Sekadar mengopi
atau berbelanja. Tak jarang pergi makan siang ke kafe di luar kampus karena
bosan dengan makanan di kantin. Godaan semacam itu harus ia tahan
mati-matian.
Buku tersebut
sangat menginspirasi saya dan tentu juga menginspirasi banyak orang lainnya.
Saya merasa beruntung bisa menamtkan buku tersebut. Akhirnya Merry Riana
melakukan kerja sambilan. Ia sangat gigih dan seorang pemberani untuk
berjuangan mengatasi kesulitan hidupnya. Kerjanya adalah menyebarkan brosur
buat orang yang lalu lalang, itupun dengan upah yang kecil, namun jumlahnya
cukup signifikan untuk mengatasi kesulitan. Tidak mencari pekerjaan lainnya,
hingga akhirnya ia bisa bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan servis di
bidang keuangan. Juga buku ini membuktikan bahwa anak yang miskin bisa lebih
berhasil dibanding anak dari keluarga kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them