Pengalaman
Pendidikan Di Sebuah Sekolah Amerika Serikat
Praktek
pendidikan (pembelajaran) di negara berkembang, juga pada sebagian
sekolah-sekolah kita, masih terasa masih corak otoriternya. Dimana para guru
kurang memberi siswa kebebasan untuk berekspressi. Stakeholder sekolah masih menuntut serba keseragaman, aktivitas
siswa diawasi secara berlebihan.
Kebiasaan banyak
melarang- dan terlalu mengekang kebebasan berekspresi bagi siswa- malah
akhirnya berpotensi membuat mereka sulit untuk mengambil inisiatif atau
prakarsa. Akibatnya para siswa jadi miskin untuk berinovasi dan berkreatifitas.
Bila siswa suka gagap untuk melakukan sebuah prakarsa (inisiatif) dalam suatu
aktifitas dan mengambil keputusan, dimana mereka terbiasa suka menunggu
perintah dan senang untuk serba diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah
dari atmosfir sekolah yang juga sarat dengan budaya “banyak melarang dan serba
mengatur”. Untuk merespon fenomena ini maka kini saatnya kita-dunia pendidikan-
untuk segera melakukan perubahan. Karena tidak zamannya lagi institusi
pendidikan terlalu banyak melarang dan mengatur. Namun yang tepat adalah
memberi kebebasan positif dan bertanggung jawab.
Kira-kira
bagaimana praktek dan iklim dari suatu proses pembelajaran yang ideal tersebut
? Tulisan ini terinspirasi oleh pengalaman teman saya, Arjus Putra, yang
mengikuti training pendidikan di
salah satu sekolah di Amerika Serikat. Dia juga punya kesempatan mengunjungi
beberapa sekolah menengah atas (SMA) di sana. Dia mengatakan bahwa pendidikan
Amerika Serikat sudah dapat dikategorikan sangat berkualitas, karena semua
sekolah telah memberikan pelayanan
keunggulan- excellent service-
buat masyarakat. Meskipun mereka sendiri tidak memajang label yang kentara
dengan sebutan sekolah unggulan atau “school
plus” dan “excellent school”.
Gebrakan pendidikan di Amerika Serikat selalu menjadi kiblat bagi pendidikan di
negara-negara berkembang, dan termasuk bagi negara kita sendiri.
Salah satu pusat
belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu di Metropolitan Learning Center Interdistrict Magnet School for Global and
International Studies yang kebijakan pendidikannya membuat sekolah tersebut
memang punya magnet (daya tarik) untuk belajar.
Para Stakeholder
pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang
maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah sebagai
berikut:
“let them
talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them
live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”.
Dari semua frase
tadi, yang perlu kita perhatikan bahwa ada kata “let” atau “biarkan”. Kata “let”
atau “biarkan” berarti sebuah kata untuk pembebasan dan memberi dorongan pada
siswa untuk menjadi kreatif dan inovatif. Ciri-ciri keunggulan pertama dalam
pembelajaran di sekolah MLC (Metropolitan
Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield,
adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk.
Di negara-
negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan
dalam berekspresi kurang terwujud. Ekspresi para siswa cenderung terbelenggu,
minim saluran untuk mengekspresikan opini mereka. Proses pembelajaran dalam
kelas hanya bercirikan seorang guru berdiri di depan kelas dan sibuk berbicara-
teacher centered. Dalam event-event sekolah para siswa hanya pandai
berekspresi berdasarkan hafalan, dan mereka melupakan apa yang telah dihafal
setelah itu.
Kepemimpinan di
sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one
man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah.
Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena adanya team
work antara Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staf sekolah,
juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work
kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan
menemani warga sekolah (terutama para siswa) untuk merencanakan masa depan.
Mereka tahu bahwa hidup ini perlu cita-cita (ambisi) maka setiap siswa harus
punya cita-cita.
Cinta belajar
dalam wujud kemandirian belajar (learning
independent) merupakan ciri khas dari sekolah MLC ini. Ini pulalah yang
telah membuat sekolah MLC memiliki daya tarik ibarat magnet. Sehingga MLC juga
dijuluki dengan the magnet
school.
Di sekolah
sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, di sana dijumpai para siswa mereka
yang gemar berhura-hura atau kongkow. Mereka duduk bareng-bareng,
tertawa terbahak-bahak, saling meledek- membully, dan juga saling meremehkan.
Karakter ini semua berpotensi membuat para siswa sendiri jadi malas untuk
menuntut ilmu.
Sementara para
siswa yang telah membudayakan gemar belajar (independent learning) mereka akan selalu berpikir dan berusaha
bagaimana untuk bisa meraih sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa
pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah berkah yang bisa datang kalau digapai
dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Para siswa
di sekolah MLC tampak cukup profesional dalam belajar- karena mereka adalah
siswa yang profesional, maksunya mereka tahu cara belajar yang lebih
bertanggung jawab. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius
dan berkonsentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu:
“Maaf teman saat
saya lagi belajar mohon jangan datang dulu”.
Sekolah SMA di
negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS
(Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Namun para orang tua siswa dan siswa sepakat
dalam menjagokan jurusan IPA dan memandang jurusan bahasa, dan jurusan IPS
sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC juga ada penjurusan, jurusannya
seperti:
- Core class
(Kelas Inti)
- Elective
class (kelas elektif)
- Essential
class (kelas Esensial)
Tidak ada
jurusan yang dianggap istimewa karena semua jurusan terisi oleh para siswa. Ini
berarti tidak ada kelas primadona atau jurusan favorit seperti di SMA- SMA yang
ada di negeri kita. Mata pelajaran pokok adalah sebagai berikut:
- Pada core
class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris, bahasa asing dan
sains.
- Pada kelas
elektif atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni,
sejarah dunia, geografi manusia, bahasa
Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi,
anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu
gizi.
- Pada kelas
essensial (essential class), para siswa mempelajari seni, kesejahteraan
personal, literatur keuangan, musik, latihan
sains, bahasa dunia, dan seminar.
Setiap siswa
memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna),
yaitu dengan menjadi orang yang well-educated (orang yang kaya ilmu
dan wawasan). Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat
lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core
class juga dipelajari di jurusan lain.
Selanjutnya coba
kita lihat juruan yang di SMA di negeri kita, ya ada IPA, IPS dan Bahasa dan
perhatikan mata pelajaran pada masing-masing jurusan ini. Ya, ibarat tiga
lingkaran yang hampir tidak bersinggungan.
Seorang siswa
gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka dia bermohon agar
nilai mata pelajaran IPS nya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata
pelajaran sains. Para siswa yang lulusan dari jurusan IPA saat di SMA, maka
saat masuk perguruan tinggi dia boleh melahap semua jurusan yang semestinya
disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah
menciptakan siswa yang berkarakter arogan, atau arogan berjamaah- mass
arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung
jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain
dari sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan
menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru-guru di sana
sangat professional. Karena mereka menguasai mata pelajaran dan hangat dalam
berkomunikasi. Hubungan guru dan siswa di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa
boleh dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan pikiran pada guru. Para guru
akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Dengan demikian tidak ada di sana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan
atau guru-guru yang ilmunya tua semalam dari siswa. Guru guru di sana telah
memandang karir guru sebagai profesi yang serius. Mereka tidak mengenal budaya
minta dilayani:
”Tolong hapuskan
papan tulis, tolong isikan tinta board
maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong
ambilkan ambilkan air minum di kantin”. Jarang atau tidak pernah guru
memerintah siswa untuk membatu profesinya. Apalagi sampai menyuruh siswa
membelikan rokok. Guru di sana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang
berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata
tampil di depan siswa sebagai guru yang goblok (miskin kualitas).
Selain
memperhatikan kompetensi, punya wawasan keilmuan, pedagogi, sosial dan
komunikasi, mereka juga memperhatikan performance
atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga
perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti
model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam
pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru-
guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut
bakal disupervisi, karena supervisi di sana tidak mencari kesalahan apalagi
sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang
ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran
maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan
kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih
penghargaan.
Budaya kuper
atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di
negara maju. Untuk itu mereka mengenal istilah ”let them join” atau
ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah
raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru
pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher–
pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiatan
ekstra seperti kelompok olahraga catur, kelompok pencinta alam, music
production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan
football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa
atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku
untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan
ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa
Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari,
belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata para
siswa di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila
libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif
dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu
senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau
bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam
pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot,
pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka
memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang
dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah
mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat,
berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar
pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau
ada absen masuk dan absen mengakhiri kegiatan, membuat tekad atau pledge“untuk
menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/
kegiatan.
Kegiatan atau event
yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa
depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir.
Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan,
amal sosial, seni dan olahraga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh
pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir,
Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan
eksklusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara
jalan-jalan- study tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping
center dan pusat keramaian.
Terakhir bahwa
yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori.
Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berpikiran nyata
dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku
SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung
memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu
universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya
”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? Dan kalau udah gede apa yang dapat kamu
kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t
know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi suka banyak impi namun perlu
berubah menjadi orang yang melihat hidup yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them