Peluang
Kerja Di Negara Kita Masih Luas
Beberapa
kali saya berpergian menempuh jalan darat dari Padang menuju Jakarta. Yang saya
rasakan bahwa bumi kita-bumi Indonesia- masih luas. Sepanjang jalan di daerah
propinsi Jambi, Sumatera Selatan hingga Lampung saya menjumpai hamparan
perkebunan rakyat dan juga milik perusahaan dengan pepohonan hijau yang subur.
Perumahan penduduk masih sedikit, kecuali di beberapa kota kecamatan. Begitu
memasuki propinsi lampung saya menjumpai hamparan sawah dan ladang palawija
yang subur. Di daerah Sumatera Selatan saya banyak menjumpai deretan gedung-gedung
yang baru saja dibangun- berbentuk ruko namun seolah-olah ditinggalkan.
Gedung-gedung tersebut pasti dibangun dengan modal besar dan duit yang banyak,
kalau demikian tanah air kita dan warganya sangat kaya dan tentu saja peluang
kerja masih berlimpah.
Memasuki
Jakarta saya melihat ratusan, juga mungkin ribuan gedung-gedung megah yang
melambangkan kekayaan ibu kota. Namun setelah itu saya menemui beberapa daerah
kumuh dengan tumpukan gubuk gubuk/ rumah-rumah
reot yang memberi isyarat bahwa di sana bertebaran problem ekonomi dan
sosial.
Bumi
kita sangat kaya- kaya dengan sumber daya alam (SDA)- namun cukup banyak
manusianya yang masih hidup sengsara. Yang sengsara tidak hanya bagi mereka
yang tinggal di kota-kota besar, namun juga yang tinggal di daerah dimana
mereka dikelilingi oleh georafi alam yang cukup kaya SDA-nya. Bagaimana dengan
fenomena daerah/ negara yang miskin SDA-nya ?
Ada
beberapa negara kecil yang dewasa ini kerap menjadi incaran buruh migran asal
Indonesia yaitu Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan dan juga mungkin
Singapura. Semua negara tadi memiliki jumlah penduduk yang banyak dan padat sehingga
pemerintahnya mendirikan gedung-gedung jangkung untuk bisa menampung penduduknya.
Daerah atau negara-negara tadi memiliki SDA yang terbatas namun tidak ada
terbetik penderitaan masyarakatnya yag hidup di bawah garis kemiskinan. Daerah
tersebut tidak memiliki hamparan sawah atau hamparan ladang gandum, namun tidak
ada rakyatya yag menderita kelaparan. Mengapa ini bisa demikian ?
Saya
pernah berpergian lewat jalan darat dari Johor Baru- Malaysia- hingga ke
Jantung Singapura. Saya menyaksikan keindahan alam Singapura. Keindahan landmark-nya namun semuanya serba
ciptaan manusia, seperti jembatan, patung singa hinga gedung-gedung pencakar
langit lainnya. Beda dengan negara kita, Indonesia, yang landmark-nya masih banya berupa penampakan alam- gunung menjulang
tinggi, bukit hijau, lembah, bentangan sungai yang berliku, danau-danau cantik
yang dipagari pegunungan, hamparan ladang dan sawah seperti hamparan permadani
nan luas.
Saya
tidak menyaksikan kekayaan SDA-nya Singapura (sawah, ladang, hutan, danau, dll)
seperti yang di tanah air kita. Saya tidak menemukan sungai-sungai yang lebar,
danau yang beriak dan hamparan sawah di sana. Namun mengapa tidak ada warganya
yang menderita kelaparan dan kemiskinan yang parah ? Ternyata kualitas SDM-nya
yang tinggi yang membuat warga Singapura bisa eksis dan terhindar jauh dari
kesengsaraan. Kualitas SDM Singapura yang tinggi ditandai dalam posisi HDI (Human Development Index) termasuk
kategori terbaik di dunia.
Saat
banyak anak-anak di Indonesia yang berlomba meningkatkan skor akademik mereka
agar mampu kuliah di perguruan tinggi yang bergengsi di pulau Jawa. Mereka
punya keyakinan bahwa kalau bisa kuliah pada perguruan tinggi yang demikian dan
memperoleh skor akademik yang cemerlang maka masa depan akan sangat cerah
hingga bisa menggapai lapangan pekerjaan dengan mudah. Apakah seperti itu
keyakinan para stakeholder pendidikan
di Singapura dan di dunia ?
Evan
Ortlieb (2015) mengatakan bahwa “just graduating
from university is no longer enough to get a job. Menjadi mahasiswa di
Singapura sudah sangat lumrah. Kalau kebijakan pendidikan di negara kita masih
sebatas wajib belajar 9 tahun, yaitu sekedar merampungkan pendidikan dari SD
hingga level SLTA. Di negara kecil ini semua orang sudah merasa butuh untuk
menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, malah cukup banyak yang
menyelesaikan pendidikan master dan juga doktoral. Dan semua perguruan tinggi
di sana cukup bergengsi dan berkualitas- world
class university level. Jadi menjadi sarjana di sana sudah begitu biasa.
Maka sekedar lulus dari universitas saja tidak lagi cukup buat meraih
pekerjaan.
Belajar
dan berusaha meraih gelar perguruan tinggi dan kemudian bisa meraih pekerjaan.
Generasi dengan keyakinan begini hanya terjadi untuk lebih dari 50 tahun
belakang. Namun dengan meningkatnya jenis bidang pekerjaan dewasa ini, maka
keyakinan seperti sebelumnya tidak akan ada lagi. Apalagi dengan semakin
banyaknya populasi anak muda yang kuliah di perguruan tinggi maka yang terjadi
adalah kompetisi untuk memperebutkan kesempatan kerja bagi yang memenuhi
kriteria.
Lulusan
strata satu dewasa ini sudah booming,
malah termasuk juga lulusan magister. Malah antar perguruan tinggi juga terjadi
saling berlomba pengaruh untuk melahirkan lulusan yang berkualitas. Dimana
sebelumnya mahasiswa mereka dilengkapi dengan sejumlah skill dan pengalaman agar bisa sukses dan mampu berkompetisi dengan
para lulusan perguruan tinggi lainnya di banyak negara.
Karena
lulusan perguruan tinggi sudah membooming.
Di Australia sendiri, misalnya, ada 2/3 populasi lulusan universitas, ada
sekitar 66% tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Sehingga agar mereka bisa
memperoleh pekerjaan maka mereka kuliah lagi setinggi mungkin hingga ke program
doktoral dengan harapan bisa menjadi dosen, ahli statistik, ahli ekonomi, ahli
perminyakan, menjadi konselor, pekerja sosial, konsultan, dan kerja di bank
atau menjadi kepala sekolah.
Dewasa
ini seseorang kalau hanya sebatas lulusan kuliah S.1, ilmunya diaggap baru
sebatas level dasar saja. Mereka yang lulus dari program doktoral tentu
keterampilan dan ilmu pengetahuannya lebih bagus karena punya kemapuan berpikir,
menganalisa, menyelesaikan masalah yang lebih bagus, berkomunikasi dengan
efektif, hingga meningkat income-nya.
Bagaima
dengan fenomena lulusan pendidikan di Singapura ? Sama halnya dengan fenomena
di Australia. Sandra Davie (2013) mengatakan bahwa kalau hanya lulusan strata 1
tidak begitu penting karena telah begitu lumrah. Sehingga dianjurkan kepada
anak-anak muda di Singapura untuk bisa memiliki soft-skill atau pengalaman hidup terlebih dahulu, karena pengalaman
atau praktek lapangan jauh lebih berharga dari pada sekedar jago berteori, yaitu
teori yang dipelajari di universitas.
Untuk
menghindari pengangguran maka anak-anak muda Singapura terjun praktek di
lapangan pekerjaan selama beberapa tahun. Setelah merasa cukup tangguh baru
mereka memulai bisnis sendiri:
“You will gain experience and understand
yourself better and then be better able to decide what the next step will be-
your own a degree, but so what ? You can not eat. If that can not give you a
good life, a good job, it is meaningless- kalau kamu punya pengalaman dan
memahami diri sendiri itu lebih baik dan juga lebih baik untuk mampu memutuskan
langkah kehidupan berikutnya- apa gunanya lulus dari perguruan tinggi kalau
ternyata tidak mampu mencari makan, berarti tak ada kehidupan yang lebih baik,
pekerjaan yang lebih baik, itu sia sia saja.”
Benua
Eropa luasnya sama dengan Indonesia, namun di Eropa ada banyak negara-negara
maju yang ukurannya kecil-kecil. Negara- negara kecil di sana memiliki
universitas berkelas dunia dan lulusan yang sangat berkualitas, utamanya di
Eropa Barat dan Skandinafia. Namun karena begitu berlimpahnya lulusan perguruan
tinggi maka mereka juga galau dalam mencari pekerjaan. Sebagaimana yang juga
terjadi di Indonesia, cukup banyak lulusan baru kebingungan hendak mau kemana
ijazah yang baru saja diperoleh.
Lulusan
S.1 setelah wisuda mereka kembali mencari tempat magang, bisa jadi cukup lama,
hingga mereka merasa cukup kuat buat mandiri dan memulai bisnis sendiri. Salah
seorang anak muda bernama Fabian Dolorose, lulusan teknik sipil dari
universitas Belanda sempat menjadi kesulitan buat mencari tempat kerja dan
tempat magang, karena negara Belanda sudah siap jadi, dan gedung-gedung sudah
jarang direnovasi, jadi kurang butuh tenaga teknik sipil. Akhirnya Fabian
Dolorose memutuskan buat mencari lahan kerja sebagai kerja kontraktor hingga ke
negara paling selatan, yaitu Selandi Baru. Setelah bekerja hampir dua tahun
projek selesai. Dia memutuskan pulang kampung, sambil berlimbur. Ia mampir ke
Australia, mampir ke pulau Bali dan juga ke Sumatera, dan hingga bertemu saya
di Batusangkar, Sumatera Barat.
Lahan
kerja buat teknik sipil dan semua mata kuliah masih terbuka lebar di Indonesia.
Gedung-gedung baru dan juga gedung yang lama membutuhkan sentuhan tenaga teknik
sipil dan teknik lainnya. Untuk jurusan pertanian, perikanan dan peternakan,
maka lahan Indonesia lebih terbuka lebar lagi. Selama ini sektor-sektor
tersebut sangat miskin sentuhan. Negara Belanda saja yang luasnya kecil sekali,
namun kemajuan peternakanya bisa mensuplai banyak produk susu, hingga memenuhi
kebutuhan banyak orang di seluruh dunia.
Jika
berpergian di seluruh permukaan bumi Indonesia, maka kita akan menemui banyak
sungai, danau, laut yang semuanya masih berpotensi buat dikembangkan, seperti
untuk industri perikanan, transportasi, perkapalan, hingga industri pariwisata.
Hamparan alam yang luas dan hijau bisa dikelola secara intensif untuk tujuan
swasembada pada berbagai domain lapangan kerja. Sekarang tinggal lagi bagaimana
menggenjot SDM-nya, utamanya SDM lulusan perguruan tinggi.
Untuk
anak muda yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi, mereka perlu tahu
bahwa mereka jangan hanya sebatas fokus mencari IPK- nilai akademik yang
tinggi. Karena nilai akademik yang tinggi tidak lagi berdampak langsung untuk
kehidupan setelah lulus dari perguruan tinggi, kecuali kalau ilmu atau teori mereka
ditunjang soft-skill atau pengalaman
hidup yang banyak sejak kecil, hingga remaja terus menjadi dewasa.
Ruth
Callaghan (2015) menyatakan agar para mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja-
harus segera memiliki banyak pengalaman dan juga skill yang dibutuhkan oleh dunia perusahaan. Dunia pekerjaan atau
perusahaan mencari para pelamar yang punya latar belakang dan pengalaman kerja
yang luas. Bagi yang mau bekerja di sektor pelayanan publik, mereka perlu punya
kemampuan dalam pelayanan, pengalaman kerja, leadership, kerja kelompok serta aktivitas volunteering.
Di
atas itu semua, perusahaan mencari pelamar pekerjaan yang menunjukan antusias
untuk bekerja dengan langkah cepat. Jadi mereka harus cekatan, gesit, dan punya
semangat sebagai customer service kelas
dunia. Maka sejak masa kuliah para calon pelamar musti juga mengaktifkan diri
dalam kegiatan di luar kelas- ekstrakulikuler.
Figur
pelamar kerja yang lebih diminati misalnya oleh perusahaan Australia, tidak
hanya sekedar cerdas kerdas- cerdas dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki
minat, bakat dan pengalaman yang luas, seperti “ pernah menjadi kapten sebuah
club olahraga, pernah berpergian ke berbagai daerah, kalau perlu keliling
dunia, pernah mengikuti program pertukaran pelajar antar bangsa, sekali lagi-
juga pernah ikut kegiatan volunteering.
Karena pelamar dengan kriteria yang demikian dipandang sangat attraktif.
Demikian
paparan di atas tentang strategi untuk merambah dunia pekerjaan. Mengingat
negara kita masih luas, masih punya banyak sumber daya alam yang potensial-
sangat subur, curah hujan tinggi, pokoknya SDA alam kita yang masih berlimpah.
Maka tulisan ini selalu mengundang para pemuda, untuk memperluas pengalaman
hidup, wawasan dan juga ilmu-pengetahuan (akademik) dan setelah itu segeralah memulai
bisnis mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them