Bagaimana
Proses Memilih Sebuah Profesi
Profesi
merupakan topik yang cukup banyak diperbincangkan orang. Kata lain dari profesi
adalah “pekerjaan atau karir”. Mencari profesi telah terjadi sejak masa
anak-anak. Seorang anak kecil dengan lantang menyebutkan lusinan profesi yang
bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang ingin menjadi presiden, menteri, pilot,
dokter, polisi, perawat, tentara, dan beberapa profesi yang konkrit lainnya di
depan mata mereka.
Saya
dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya
ingin menjadi “penual jeruk”. Kalau dijadikan dengan istilah kerennya bahwa
kami ingin menjadi “pengusaha ternak dan pengusaha buahan”. Kenapa demikian ?
Sewaktu
kecil ayah saya sering mengajak saya (dan abang saya) pergi rekreasi ke luar
rumah- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah sangat baik. Kami diajak
ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan kebun jeruk mereka. Ketika mau pulang
teman ayah menyelipkan oleh-oleh/ bingkisan ke dalam kantong kami. Betapa
baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan
mereka dan kami ingin memilih profesi kelak ingin seperti profesi yang mereka
geluti.
Seiring
bergulir waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi
dokter karena kulit saya lebih cerah dibanding abang saya. Sementara abang saya
yang badannya lebih tegap dan kuat ingin menjadi polisi atau tentara- ya persis
profesi ayah sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari
bangku SMA malah profesi kami ternyata masih belum jelas. Saya ingin
melanjutkan kuliah ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian,
sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun kami berdua
gagal dalam pilihan profesi tersebut.
Setiap awal
tahun, saya sering ikut menjadi tim rekruitmen untul menseleksi siswa. Ada
serangkaian kegiatan yang harus dilalui oleh para siswa baru seperti test
tertulis, test pskilogi dan beberapa bentuk kegiatan wawancaa. Saya sendiri
ikut mewawancarai para calon siswa dan mengajukan sejumlah pertanyaan,
contohnya:
“Kelak bila
sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswa yang sedang saya wawancarai menjawab mereka ingin menjadi dokter, yang lain ingin menjadi
guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa begitu
banyak yang ingin jadi pegawai?”.
Setelah
membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di negeri
ini begitu berlimpah ruah jumlahnya, sehingga anak-anak dan cucunya juga ingin menjadi PNS atau
bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita
ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan.
Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi.
Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang
teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka
bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak
uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai penguasaha.
“Pengusaha di
bidang apa?”
Namun kata
pengusaha itu sendiri cukup abstrak. Mereka
protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha
tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi
tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan
murahan.
Terkesan dari
wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai
hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti
“Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”.
Terlihat bahwa
pilihan profesi siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat konvensional dan
berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka
sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih
jelas). Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan
profesi yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis
jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS,
pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam
kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah hampir ditutup. Untuk itu
diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari profesi
selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri.
Saat penerimaan
pegawai PNS masih mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi punya kesempatan yang
kuat buat jadi PNS atau menjadi dosen.
Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen
honorer yang honornya sangat kecil- karena perguruan tinggi bukan gudang uang.
Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka
sekarang bahwa IPK- Indeks Prestasi
Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah.
Secara berseloroh bahwa IPK hanya
berguna untuk bisa wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
Suatu
ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan
kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya
bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya
tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berpikir mungkin
ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana
cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan
ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar
di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia,
seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik
berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional ? karena Raihan suka
membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Malaysia. Cukup beda
dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi label
sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan profesi yang
konvensional, atau profesi yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan
mereka.
Memang benar,
bahwa cukup banya siswa Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang
tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua
semester setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali
mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini
dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan
mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau
ditanya mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut (?).
Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan
demikian mereka- termasuk para siswa
dari sekolah unggulan- hanya sebatas
tahu untuk memburu tempat kuiah yang favorit saja. Dalam pikiran mereka bahwa
dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi
akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita
kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya
demikian cita-cita banyak siswa yang nggak jelas.
Suatu ketika
saya berjumpa dengan grup student-exchange,
ada rombongan siswa dari Jerman. Saya sempat bertukar cerita yang panjang
dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan
tentang profesinya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di
Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan
ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar
Angkasa.
Tekhnologi
penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis,
NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih
mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia
terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa
Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Saya memahami
bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih
terperinci untuk menggapainya.
Saya
tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari
negara lain. Kita berharap agar para siswa di Indonesia, apalagi dari sekolah
berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah
tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa
luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita
bingung dalam mencari profesi masa depan mereka?
Faktor
wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang
siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah
fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan
masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca-
berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang
amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya
bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang
berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat.
Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat
SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah
yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk
membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri
juga malas dalam membaca maka Ilmu para guru hanya sebatas menguasai buku teks,
sementara kebutuhan hidup anak didik mereka melebihi dari ilmu buku teks.
Sudah jadi
fenomena, karena lemahnya konsep literasi, banya anak-anak sejak dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca. Itulah
jadinya banyak anak-anak di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu datang,
duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah
Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya
sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan
De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah
jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi.
Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam
zaman cyber, anak-anak tenggelam
dalam permainan game on-line.
Seperti yang
kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih
jelas”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau
kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi
bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut
“sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa
siswa kita tidak memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki
ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal
lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar
rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh.
Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian,
ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan
sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita
sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan
orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab
tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita
saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter,
bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah
terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi
selalu tertarik sebagai “Job Seeker”-
pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang
diperlukan ?”
Para siswa
membutuhkan bimbingan karir atau profesi. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah
luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling
membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Bukan selalu menjadi guru yang
mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat
tentang profesi/karir dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari,
disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita
memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki profesi yang lebih
jelas. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang
tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas-
menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut
kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik
mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi
dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi
sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan
jawaban mereka:
“Bingung dengan
masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali
kelas, tergantung hasil ujian/ hasil Try-Out
(T.O). Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita
mereka mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya
tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan
tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan
profesi ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di
Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/
profesi yang merupakan hasil dari
interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman
bergaul, orang tua, mentor atau orang
dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.
John Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di
Universitas John Hopkin, Amerika Serika. Ia terkenal sebagai pencipta model
pengembangan profesi. Setiap siswa perlu
tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah
diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional,
usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan
fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki
kecakapan verbal, konkrit, bekerja
praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan
dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit,
fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan
gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh
pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor
bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan
untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial.
Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan
kegiatan bersifat intraseptif
(keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat
kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi,
peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan
bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada
kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk
dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi,
matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara,
bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat
religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai
kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah
secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi
dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari,
ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang
dengan numerical (angka) yang
teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi,
mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap
status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara
kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh
pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai
bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya: menggunakan
ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau
mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi
dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status
dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan
kemampuan verbal untuk mengarahkan
dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus,
manajer, pimpinan, eksekutif perusahaan,
perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung,
bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik,
memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan
dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat
intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik.
Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair,
dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik perlu memiliki
cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa
bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang
tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor,
guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them