Kriteria
Memilih Profesi
Memilih
Profesi
Memilih
profesi merupakan salah satu topik pembicaraan yang hangat di kalangan remaja.
Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau karir”. Selanjutnya mencari
profesi juga telah terjadi sejak masa anak-anak. Bila diajukan sebuah
pertanyaan pada sekelompok anak-anak:
“Bila tumbuh dewasa kelak,
kalian mau jadi apa?” Maka pasti dengan berebutan dan suara lantang akan
menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang
menjawab ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara,
dan beberapa profesi yang klasik lainnya yang terlintas di depan mata mereka.
Saya
juga punya profesi klasik. Saya dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi
“penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penjual jeruk”. Kalau dijadikan
dengan istilah kerennya bahwa kami berdua ingin menjadi “enterpreneur dalam bidang peternakan dan pertanian”. Kenapa
demikian?
Sewaktu
kecil ayah saya sering mengajak kami pergi eksplorasi (rekreasi) ke luar kota
Payakumbuh- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah begitu baik pada
kami. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan juga memetik jeruk
di kebun mereka. Ketika mau pulang teman ayah menyelipkan oleh-oleh (bingkisan)
ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga
kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi kelak seperti
profesi yang mereka geluti.
Seiring
bergulirnya waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi
dokter karena saya terkesan dengan penampilan dokter yang menangani saya saat
dianatar berobat ke rumah sakit oleh ibu. Sementara abang saya yang yang
mengagumi profesi ABRI dan Polisi ingin menjadi polisi atau tentara. Ya dia
mungkin mengikuti profesi ayah saya sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari bangku
SMA profesi kami jadi tidak jelas. Namun saya ingin melanjutkan studi ke IPB
karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian, sementara abang saya ingin
masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun cita-cita kami tidak bisa kami wujudkan.
Akhirnya saya memilih studi pada jurusan Bahasa Inggris dan abang saya pada
teknik bangunan. Kami berdua sama-sama kuliah di IKIP Padang dan sekarang
berganti nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang). Ya demikianlah proses
pencarian profesi bagi kami berdua.
Setiap awal tahun, saya
sering ikut menjadi tim rekruitmen untul menseleksi siswa baru di sekolah
tempat saya berkarir (SMAN 3 Batusangkar). Ada serangkaian kegiatan yang harus
dilalui para siswa baru agar bisa diterima di sekolah ini, seperti test
tertulis, test pskilogi dan kegiatan wawancaa. Saya ikut mewawancarai mereka
dan mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti:
“Coba sebutkan dan
jelaskan tentang cita-cita anda? Atau kelak bila sudah dewasa, anda mau jadi
apa?”
Mereka memberi jawaban
yang beragam. Mayoritas calon siswa menjawab bahwa mereka ingin menjadi dokter, guru, perawat, dan
lusinan profesi lain, serta sangat banyak yang ingin jadi pegawai (PNS).
“Mengapa begitu banyak
yang ingin jadi PNS?”.
Setelah membalik-balik
dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS. Ada PNS
sebagai guru, PNS di bidang kesehatan, perdagangan, dll. Ya beginilah jadinya
kalau banyak orangtua murid yang berprofesi sebagai PNS. Sehingga anak-anak
mereka juga ketularan ingin menjadi PN. Memang sebelumnya populasi PNS di
negeri ini begitu berlimpah ruah, sehingga anak-anak dan cucu mereka juga ingin menjadi PNS atau
bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita
ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan.
Sementara calon siswa pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada
juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang
teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka
bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak
uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai pengusaha.
“Pengusaha di bidang apa?
Namun kata pengusaha itu sendiri masih luas dan cukup abstrak.”
Mereka protes saat saya
klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha
ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut
memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan
dalam pandangan mereka.
Terkesan dari wajah mereka
bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan
mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi, mata pelajaran yang
disangkut-pautkan dengan UN. Beberapa mata pelajaran yang masuk ke dalam UN
adalah seperti: Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi.
Bahwa pilihan profesi
siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat klasik atau konvensional dan
berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka
sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih
jelas).
Saat saya melakukan
konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi (cita-cita) yang
masih konvensional:
“Saya ingin menjadi
dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank,”
ya.....ya.... yang ujung-ujungnya ingin menjadi
PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan
pemerintah sekarang, yaitu menghentikan buat sementara penerimaan PNS.
Terhitung mulai tahun 2015 (Merdeka.com, 31 Oktober 2014). Untuk itu diharapkan
para remaja untuk mencari tahu tentang bimbingan karir. Mereka musti punya self determination- ketetapan karir
untuk masa depan. Buat para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari
profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri.
Penerimaan (rekruitmen)
pegawai PNS beberapa tahun-tahun sebelumnya (sekitar 20 tahun lalu) masih
mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi akan punya kesempatan yang kuat buat jadi PNS. Sehingga banyak mereka yang
punya IPK tinggi bermimpi buat menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau
ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer.
Maka sekarang bahwa IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi
atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh ada
yang berkomentar bahwa bahwa IPK hanya
berguna sebagai persyaratan untuk
wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga, namun belajar keras agar bisa
memperoleh IPK yang tinggi tetap sangat mulia.
Memiliki
Self Determination
Suatu
ketika saya berjumpa dengan wisatawan Malaysia- satu keluarga. Dimana salah
seorang dari mereka punya ayah yang masih keturunan Indonesia, yaitu dari
Kabupaten Tanah Datar (kota Batusangkar), Sumatera Barat. Ia memiliki anak
laki-laki yang sangat ekspresif. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya
bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Kuala Lumpur.
Saya ingin mencari tahu
tentang self determination-nya,
cita-citanya di masa depan. Ternyata dia sudah punya cita-cita yang lebih
spesifik tentang apa yang akan dia lakukan kelak bila sudah dewasa. Berarti dia
sudah punya self determination- atau
ketetapan karir. Ya karirnya tidak begitu muluk-muluk, atau sebatas ikut-ikutan orang lain.
“I want to do bussiness in culinary and I want to have my own
restaurant”
“Why....???”
“Because
I like to help my mom cooking and I like cooking.”
Pada mulanya saya berpikir mungkin ia bakal
tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana
cita-cita anak-anak Indonesia, menyebutkan lusinan cita-cita yang klasik.
Ternyata Raihan ingin
bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di
kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia,
seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Restoran yang bakal dia
punya juga memiliki rest area.
Mengapa ia tertarik
berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional? karena Raihan suka
membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Kuala Lumpur. Cukup beda
dengan cita-cita yang diungkapkan oleh para siswa negeri kita, hanya mampu
menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk yang
mereka pungut dari sana-sini, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup
banyak remaja di Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam illusi, yang tidak
jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua semester
setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari
tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban
mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka hanya
mampu menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya
mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut(?). Umumnya
mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu.
Meskipun mereka
termasuk para siswa dari sekolah
unggulan, namun hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah di perguruan
tinggi favorit saja. Dalam pikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi
tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah
pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan
deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian pencarian
cita-cita atau profesi dari banyak siswa yang selalu nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa
dengan grup student-exchange, ada
rombongan siswa dari Jerman datang ke Batusangkar. Saya sempat bertukar cerita
yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin
menjelaskan tentang profesinya di masa depan. Ternyata dia sudah punya self determination atau pilihan karir di
masa depan.
Ia memberi perincian atau
strategi karir yang bakal dia kejar sejak dini hingga dewasa kelak. Bahwa
selepas dari Secondary School di
Jerman ia akan mendaftarkan diri di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang
dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di
Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Teknologi penerbangan luar
angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika
Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia
akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan
bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak
dengan memanfaatkan Google Rusia dan situs belajar bahasa Rusia di internet.
Saya memahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas
dan lebih terperinci untuk menggapainya.
Saya tidak bermaksud
menyanjung dan memuji siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain, yang
ternyata memiliki self determination.
Self Determination adalah rasa
percaya bahwa individu itu bisa atau dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Self
Determination atau Penentuan Nasib sendiri adalah kombinasi dari sikap dan
kemampuan yang memimpin orang – orang untuk menetapkan tujuan untuk diri mereka
sendiri, dan untuk mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut. Self Determination juga tentang
bagaimana seseorang bisa menjadi lebih berwenang atau bertanggungjawab atas
masa depannya (Dian Wirawan Noeraziz, 2013).
Kita berharap agar para
remaja di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk
mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan
yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki
cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari
profesi masa depan mereka?
Faktor
wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang
siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah
fenomena bahwa membaca yang intensif belum menjadi budaya di kalangan
masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca-
berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang
amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak
begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas
menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya
masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya. Kalau kita cari tahu tentang
peringkat SDM negara kita di dunia, ternyata belum begitu menggembirakan.
Sudah jadi fenomena,
karena lemahnya konsep literasi. Banyak anak-anak sekolah sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi juga tidak terbiasa membaca, mereka belum merasakan betapa indahnya
bersahabat dengan buku.
Kalau di Sekolah Dasar,
seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu
huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu
membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak
yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca,
mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak tenggelam dalam permainan game on-line. Atau membaca status pada media sosial FaceBook,
Twitter, BBM, dll.
“Bahwa siswa perlu
memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan banyak mereka yang belum
memiliki self determination.
Cita-cita mereka masih ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu
universitas bergengsi, setelah wisuda malah jadi bengong. Ini adalah problema
bagi kita- para remaja. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan
akibat.”
Penyebab mengapa anak sekolah
belum memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi
yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan
secara langsung. Namun mereka mungkin lebih suka mengurung diri di seputar
rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh.
Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian,
ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan
sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah banyak siswa
yang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka juga terbatas.
Karena guru dan orangtua
juga terbatas wawasannya, maka mereka juga kurang mampu menjawab tantangan
cita-cita buat remaja. Jadinya setiap kali seorang remaja ditanya tentang
profesi:
“Apa cita-cita anda
kelak?”. Maka jawabnya selalu:
“Saya mau menjadi PNS,
guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di bank.” Demikian ungkapannya,
pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga mereka belajar dan kuliah,
memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan
anak buah.
“Jadi apa yang
diperlukan?”
Para siswa membutuhkan
bimbingan karir atau profesi. Itulah sedikit ketinggalan dalam pendidikan kita.
Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Hanya
sebatas menjadi guru yang mengurus para siswa yang bermasalah hingga selalu memasang wajah
angker dan suara killer.
Di sebuah sekolah di Melbourne,
yaitu Secondary College di Norwood-
Melbourne, sebuah sekolah yang sempat saya kunjungi beberapa tahun lalu, di
sana guru counseling adalah guru
tempat curhat tentang profesi (karir) dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi
guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti. Guru-guru yang demikian
juga banyak di Indonesia.
Ya para siswa memang
membutuhkan bimbingan karir, agar mereka punya self determination, memiliki rencana profesi yang lebih jelas. Para
remaja di sekitar kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang
tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas-
menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut
kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka
yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi
dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi
sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita. Kalau
ditanya dan jawaban mereka biasanya:
“Bingung dengan masa
depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali
kelas, tergantung hasil ujian atau hasil Try-Out
(T.O). Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka
mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya
tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan
tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka
perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan profesi
ala Box-Hill Institute (yang sempat saya kunjungi di Melbourne ) atau
menurut teori yang dikembangkan oleh
John L. Holland. Holland dikenal sebagai pencipta model pengembangan karir ((Robert Reardon,2016). Yaitu pemilihan pekerjaan (profesi) yang merupakan
hasil dari interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh
budaya, teman bergaul, orangtua, mentor
atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.
Tipe Pekerjaan Berdasarkan Bentuk
Kepribadian
John
Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas
John Hopkin, Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan
profesi. Setiap siswa perlu tahu bahwa
ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan
Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan
artistik (Robert Reardon,2016).
1)
Tipe realistis
Ciri-cirinya
yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai
kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang
memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang
lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik,
eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan,
kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan:
operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli
listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya
adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk,
berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan
pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat
intraseptif (keras/tegas). Sukanya tugas
dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah
yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual.
Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu
yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada
manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli
fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan
pekerjaan yang sejenis.
3)
Tipe sosial
Ciri-cirinya:
suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive,
bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan
perhatian, memiliki kecakapan verbal,
punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi
dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih
berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku
manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh
pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog
klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4)
Tipe konvensional
Ciri-cirinya:
kecenderungan terhadap kegiatan verbal,
ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur,
menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi,
mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap
status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara
kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh
pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai
bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5)
Tipe usaha
Ciri-cirinya: menggunakan ketrampilan berbicara dalam
situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain,
menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain,
menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan,
bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan
mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus,
manajer, pimpinan, eksekutif perusahaan,
perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6)
Tipe artistik
Ciri-cirinya:
senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan
suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau
kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka
mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka
keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan:
menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain
yang sejenis.
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa para remaja/ siswa perlu memiliki
cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa
bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi
orangtua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor,
guru dan orangtua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa.