Pentingnya
Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan
Oleh: Marjohan, M.Pd
Berburu
Label “Smart”
Kata “smart” sudah begitu familiar
di telinga para remaja. Karena mereka
sering menemukan banyak kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid,
smart group, smart house, smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart sangat disenangi oleh masyarakat
luas, terutama para orangtua. Mengapa demikian?
Karena mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk
menjadi anak-anak yang cerdas (smart
kids) dengan demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang
punya label “smart”, seperti: smart English, smart math, smart dance,
smart music, dll.
Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata ini
malah menjadi branding yang
fenomena dalam dunia bisnis, dunia
edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya. Jadinya bermunculan
berbagai frase seperti: smart book, smart
phone, smart technology, smart street, think smart and work hard,
dll.”
Kata
smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku.
Seorang siswa yang mampu melahap semua buku teks dengan tuntas maka dia adalah
orang yang smart book. Apa saja yang
dibaca bisa semua masuk ke dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian
(UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar dalam hidup, tahu
menempatkan diri, mampu memahami perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll.
Remaja yang smart street adalah
remaja yang memiliki life skill atau
kecerdasan hidup.
Para
remaja yang belajar di sekolah kalau hanya sebatas terfokus dengan bidang
akademik maka mereka dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga sebagai smart book. Ya hanya sebatas jagoan dengan buku-buku. Fenomena begitu
sangat banyak di dunia pendidikan.
Ini adalah pengalaman
seorang tour leader yang berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart
book dan juga smart street.
Pemandu wisata ini memimpin perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah
sekolah favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai akademik mereka
sangat bagus, bila ada lomba maka mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka
diberi label “rombongan siswa yang smart
book.”
Perjalanan wisata mereka
cukup jauh, dari Sumatra terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau
Jawa dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah
rest area dan setelah itu
pergi shopping di sebuah mall
megah-dengan bangunan besar berlantai enam .
Namun para siswa yang
hanya sebatas smart book tersesat
dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam
bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik- dan kehilangan
akal. Tentu saja tour leader butuh waktu
cukup lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mall dan berkumpul dalam
bis wisata. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ya tentu saja karena
mereka punya nyali yang kecil, kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena
sering serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman di luar rumah,
kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila
liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut dengan gadget saja.
Sementara itu teman teman
mereka yang berasal dari sekolah yang tidak begitu populer juga pernah
melakukan kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja
sama dengan sekolah mereka.
Tour
leader juga mendesain paket wisata, mereka melewati rute yang
sama, berhenti pada sebuah rest area
dan mengunjungi sebuah mall besar buat shopping.
Namun tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan. Semua
mampu mengembara dalam mall dan
keluar mall. Namun mereka juga tidak
mematuhi peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat membaca peraturan.
Dan mereka adalah para siswa yang kurang bersahabat dengan buku, banyak
bermasalah dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran dan susah buat
berkumpul dalam bis wisata. Ini pula problem dengan para siswa yang sebatas
smart street.
Negara kita yang sangat
luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang hanya sekedar smart
book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekedar smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang memiliki
kecerdasan yang berimbang, smart book
dan smart street.
Perbedaan
Kultur Berkomunikasi
Pendidikan
negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara berkembang (seperti
Indonesia) proses belajar-mangajarnya punya perbedaan. Perbedaan tersebut
terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan
kultur dua bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat masyarakat umum
yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan kultur orang Amerika dan orang
Indonesia dalam berkomunikasi?.
Orang Amerika sejak kecil
diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam
belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati guru (dosen) mereka,
mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga boleh berdebat
dengan guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan antara
mahasiswa dan dosen atau antara guru dan murid bersikap santai dan ramah.
Sementara di Indonesia
yang orang-orangnya terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung menggunakan
visualisasi dan indirect language-bahasa
yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam proses belajar mereka
menghormati dosen atau guru, mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen
dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa mencatat sebanyak
mungkin.
Kedua negara ini jadi
berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya,
budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan pendidikan di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan
sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud
untuk menyanjung Amerika Serikat
setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita
cintai.
Adalah
fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca
membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian
campur tangan orangtua dalam mendidik yang mana mereka hanya sebatas pintar
memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku
tangan setelah itu.
Di sekolah anak-anak
belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan
perlu mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan
koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup
bagus.
Di
sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar cukup lama. Pagi hingga siang
belajar di sekolah dan setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel.
Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam kurikulum lama- kurikulum
satuan pendidinkan (Kurikulum KTSP)- dikatakan bahwa siswa belajar untuk memahami
tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Meski sudah ada pemaham
kearah konsep afektif (sikap) dan praktek (psikomotorik), tetapi itu hanya
sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan kecakapan hidup dan
kecakapan sosial anak didik-atau afektif dan psikomotorik-tidak begitu banyak
terasah, kecuali bagi mereka yang melebur dengan Osis.
Eksistensi
Bimbingan Belajar
Urusan
akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore-
hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas
tadi pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak.”
Keluh seorang remaja, namun orangtuanya masih memaksa agar dia tetap belajar
ekstra agar bisa memperoleh passing grade
yang tinggi. Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan
tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian
anak (remaja) mengeluh karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara
dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan rasa letih dan
lesu setelah senja tiba. Dan seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja
cerdas di seputar kita.
Menambah
porsi belajar melalui Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para
remaja cerdas. Apalagi ada dukungan orangtua yang punya duit cukup. Bimbel itu
sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam
franchise education atau bisnis
pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan
cocok menurut selera.
Saat
saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang pergi
les atau kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang
dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam bentuk les atau kursus
vokasional atau kursus keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang
diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les
merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan
lain-lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara
non akademik. Namun kursus-kursus seperti itu sekarang sudah sangat langka,
tidak terlihat lagi.
Yang menjadi femonena
adalah kursus yang berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional),
yaitu mengolah soal- soal mata pelajaran
yang pokok dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama yang kita
kenal dengan “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar
sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan akademik
melulu.
Antara
satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan para
siswa yang cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka pemilik bimbel
mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh
AC. Ruang belajar bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa
belajar dengan mentor pilihan.
Para
mentor bimbel yang ramah tamah,
bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada guru- guru mereka sendiri di sekolah. Bisa
jadi sebagian mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah sewot dan
berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi
pada berbagai sekolah. Bahwa pribadi mentor
dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam
dengan guru yang kadang-kadang ada yang nggak
bersahabat.
Singkat
cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan
waktu sebanyak 10 jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah.
Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar
mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik
yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat
favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan
berkarir di tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
Orangtua
di rumah hanya sebatas memahami bahwa
anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa meraih skor dan rangking
setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya
anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orangtua memilihkan sekolah
berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah
model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
Memang
jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan merek atau label.
Sebagai contoh, mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang
hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu
perak yang ada merek “Foot Ball of
Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga
“seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola
Bintang Kecil”, ya tulisan yang labelnya tidak begitu ngetop.
Perbedaan
Gaya Belajar
Miftahul
Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang
baru saja pulang dari Amerika Serikat memaparkan tentang pegalaman pribadinya.
Dia baru saja menyelesaikan program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” selama satu tahun. Dia senang sekali
berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way
of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya
di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang
sekolah di Bukittinggi, juga
siswa-siswa di tempat lain di Indonesia
pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja, yaitu melahap
konsep dan rumus- rumus mata pelajaran. Dari pagi hingga siang mereka belajar di sekolah reguler dan setelah
itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat dan pulang bimbel juga sudah malam. Semua itu
membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau
nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap
sebagai anak malas”. Juga mana ada waktu lagi bagi mereka untuk ikut bersosial
dengan tetangga di seputar rumah.
Banyak saya dengar remaja yang mengeluh merasa capek. Fisik
mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada
umumnya remaja telah merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah
mengkonsumsi jajanan cepat saji “Makanan dan Minuman Bermerek Internasional’.
Makanan dan minuman
tersebut memiliki deskripsi yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya
dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari
show-case, minuman dengan label
terkesan mewah namun tidak menjanjinkan
kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup sehat. Sekali lagi malah
membuat mereka mengadoppsi life style yang
mereka anggap mewah. Asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka jadi
kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran
bisa jadi segar dan bugar dengan life
style seperti itu”.
Demikianlan realita cara
belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang
hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun
mengabaikan kecerdasan non akademik.
Di negara Paman Sam
(Amerika Serikat), dikatakan bahwa bahwa remaja belajar cukup secara alami
saja. Mereka tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu tetap ada.
Hanya para remaja yang merasa betul-betul butuh yang mampir ke sana. Tidak ada
fenomena “Bimbel Zoom” atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap akhir
tahun akademik.
“Belajar di sekolah saja
itu mereka rasakan sudah cukup. Mereka
tidak perlu lagi pergi ke bimbel,” kata Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka
di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat
menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan pelajaran dengan cara kreatif
dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim excellent service atau layanan prima,
yaitu: look, smile, greet, serve, and
thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru
bimbel kita, atau malah lebih lagi.
“Ya betul bahwa di sana
kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya
dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan. Kebiasaan di sana, usai
sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi
mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main
badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, juga ada yang
menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll . Mereka menekuninya
bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak
yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada
bidang musik dan seni, mereka pada menyerbu theater.
Bagi yang tergila-gila dengan music
jazz, music pop, biola, key board
maka akan segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya. Juga ada yang
mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat remaja mereka menekuni kesenian ini
sebagai hobi, namun akhirnya- saat tumbuh dewasa- mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi
pemain biola, music, dan theater
professional yang berkelas nasional dan malah berkelas internasional.
Bagaimana dengan urusan
akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka mungkin
selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai dengan konsep agama Islam; “man jadda wa jadda- barang siapa yang
bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa
kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas
bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Eksistensi orangtua di
sana seperti ungkapan, yaitu “the man
behind the gun.” Bagaimana baik atau buruknya sepucuk senjata ditentukan
oleh orang yang memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa seorang
remaja juga ditentukan oleh peran dari orangtua.
Jadi orangtua juga punya
peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian orangtua
di negara kita- sekali lagi- hanya sebatas
memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan
akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak
waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang
tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?). Setelah itu, seperti ilustrasi yang mereka
peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orangtua
bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik.
Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpiki bahwa anak tidak perlu
lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu
terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu
lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan.
Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi
dilibatkan. Dengan demikian anak jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena tidak kenal dengan
pengalaman harian; memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orangtua
mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih,
dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan
gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan media sosial;
facebook, twitter, bbm, dan fitu lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan
aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan
sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial.
Orangtua mendidik dengan
konsep yang salah, anak korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga
pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya menciptakan remaja yang
hanya sebatas cerdas akademik namun buta dengan pengalaman harian- kurang punya
life skill- dan juga kurang mampu
dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara
begini telah menciptakan remaja yang hanya sebatas “rancak
di labuah- sebatas bagus pada
penampilan.” Ya hanya sebatas cakep
pada penampilan, smart book but poor in
life skill- cerdas dengan buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan
orangtua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah
orangtua yang telah memahami konsep parenting.
Orangtua yang punya ilmu parenting
bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua
orangtua di sana tahu dengan peran mereka. Orangtua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik dan teacher
berarti pengajar. Orangtua sebagai educator
punya peran dalam menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu
yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota
keluarga tahu dengan job description
(pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab
masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan
mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah di
Amerika menciptakan anak-anak yang smart
book and smart street.
Kritikan
Kecil Buat Pendidikan Kita
Ini adalah sebuah kritikan
kecil untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak
sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya hanya sebatas menjadi smart-book agar kelak mereka mampu
menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan
belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan
membuat mereka menjadi miskin dengan smart
street atau life skill.
Karena memiliki skor
akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi
terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda.
Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang
basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji
dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana
yang hanya sebatas jagoan dengan
akademik namun tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda
oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka
lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sebatas berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran
demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung
halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu
hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana,
saat masih di level SLTA telah punya self-determination (tujuan hidup
sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka
sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau
hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-ikutan
atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat tetap ada jurusan yang
favorit, namun disana tidak ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan
perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah
dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang
mengerti dengan konsep parenting juga
telah menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong
mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya cerdas yang berimbang, cerdas dengan
buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita
di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa
saja juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi cerdas. Namun
cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat,
kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa
lagi cerdas di level nasional.
Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di
Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi cerdas
tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.