Selasa, 01 Oktober 2019

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas
Oleh: Marjohan, M.Pd

Belajar Sepanjang Umur
            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga sempat mendengar frasa ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah frasa ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para remaja agar mereka bisa menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai konsep untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
            Konsep long life education juga dideklarasikan oleh badan pendidikan dunia- Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco memotivasi agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan cara memiliki ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            “Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu memimpin di depan amal dan amal akan mengikutinya.”
Berbarengan dengan ungkapan long life education (pendidikan seumur hidup) juga ada ungkapan long life learning (pembelajaran seumur hidup). Kedua ungkapan ini sama maknanya. Konsep long life learning sangat relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Konsep ini menyentuh semua generasi, dan kultur sosial-budaya. Untuk mewujudkan konsep belajar seumur hidup maka warga dunia musti mengaktifkan literasi melalui pendidikan formal dan informal, serta mempromosikan konsep demokrasi (Caroly Medel dan Anonuevo, 2002).

Pengalaman Belajar Warga Dunia
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga dunia, terutama di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupannya. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Dr Francois Brouquisse, Dr Anne Bedos dan Dr Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya terutama dalam mempelajari kultur, sosial budaya dan Bahasa Perancis. Saya jadi memahami apa dan bagaimana “prinsip otodidak” dan motivasi untuk belajar sepanjang umur atau long life education.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang yang berbeda, namun punya minat pada zoology. Kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari figur mereka bertiga adalah konsep hidupnya sesuai dengan moto “long life education”. Belajar sepanjang hayat ini sudah menjadi kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktu liburannya di Sumatera untuk studi tentang konservasi hutan tradisionil dan zoology. Mereka melakukan eksplorasi, menyandang tas besar di punggung. Di dalam tas penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang sains, juga ada tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya sering mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleologie. Yaitu melakukan eksplorasi kedalam hutan dan ke dalam goa- mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa, yaitu goa “ngalau indah” di Nagari Pangian, Kec. Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Ternyata mereka bertiga juga manusia yang polyglot- yaitu orang-orang yang mampu berbicara dalam banyak bahasa. Anne Bedos dan Louis Deharveng menguasai bahasa Perancis, Inggris, dan tahu bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, Vietnam, dan China.
Francois Brouquisse, seorang ahli manajemen perairan, juga  memahami Bahasa Inggris, Arab, Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China, serta bahasa ibunya- bahasa Perancis. Ia sendiri pendukung NGO Palestine D’Action di Perancis. Yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendukung perjuangan bagsa Palestina.
Francoise adalah seorang pembaca yang hebat. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh Francois Brouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” atau “learning by direct practicing”  hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita saya, Muhammad Fachrul, rewel dan menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Untuk menjadi warga dunia yang berkualitas maka dia mengadopsi prinsip hidup belajar seumur hidup secara naturalis. Saya pernah duduk bareng dengan Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse sambil makan buah-buahan tropis- jambu, mangga, duku dan belimbing. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jambu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu?”
              “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu semua sangat alami, tidak masalah biar saya makan semua semut.” Anne Bedos dan dua teman Perancis tadi adalah guru saya secara langsung. Dari mereka saya jadi tahu cara belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Perancis, melalui strategi berbuat atau learning by doing. Saya belajar bahasa Perancis dengan cara menuliskan semua pengalaman haris menggunakan bahasa Perancis.



Membaca Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup
            Craig Pentland, dan saudaranya John Pentland, adalah pemuda Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-tahun berikutnya ia (Craig Pentland) sering mengunjungi kami di Sumatra Barat. Ia juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh dan pernah juga menjelajah ke dalam  sebuah lembah dekat Indarung- Padang.
Dalam ranselnya juga terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah seorang pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca. Saya juga termotivasi dan jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Ada kalimatnya yang saya selalu ingat, katanya:
Reading is important for having personal quality, do reading,please  don’t read all the book. See the natural phenomenon and read the book on them.Membaca sangat penting dalam membentuk kualitas diri, lakukanlah banyak membaca, namun jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Demikian kata teman saya Craig dan saya selalu ingat kalimat ini. Bulan September 2017 kemaren kami bertemu lagi. Dia mengatur untuk berjumpa lagi di Novotel Hotel Bukittinggi. Dia dan istrinya Norjana datang lagi. Craig Pentland sudah menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Saya sempat membaca disertasinya dengan judul “Behavioural ecology of the black-flanked rock-wallaby, Petrogale lateralis (Craig Pentland, 2014)”.
Dalam kunjungan di bulan Oktober 2014, dia membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan ke Batusangkar, Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku untuk dibaca selama libur.
Jadi membaca buku bukan merupakan beban belajar buatnya, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual dan pikiran yang lapar. Maka bagi orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris dari SMAN 3 Batusangkar, setiap semester merancang program “English Home Stay” sebagai ekskul. Ekskul itu berguna untuk menggenjot kemampuan berbahasa Inggris para siswa kami. Beberapa resort yang sering kami pilih buat  Home Stay ini adalah daerah Danau Singkarak, Danau Maninjau, Mifan Padang Panjang, Danau Diateh di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru, dan juga Resort Mandeh di Painan.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa beberapa villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang juga native speaker sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule tersebut.
Australia, negara tetangga Indonesia, merupakan negara yang menyediakan bantuan pendidikan internasional, termasuk negara kita dalam bentuk program “Australia Volunteering International.” Program ini menyediakan bantuan pembelajaran dan sumber belajar bagi guru-guru. Selain itu juga berbagi pengalaman budaya (Maureen Cane, 2015).
Tahun lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para siswa beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan waktu senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda dengan eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Namun kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat hanya sebatas tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sebatas  bacaan saja untuk berharap pahala semata, belum lagi untuk diapplikasikan. Sebenarnya perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka bukan Islam. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education sebagai kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru senior dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka akhirnya memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education di negaranya, Swedia.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education. Semua warga negara mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga dalam musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.

Otokritik
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Bila para guru belum menjadi model yang baik dalam gerakan literasi membaca, maka tentu akan berdampak pada minat literasi membaca siswa (Mahmood Khalil dan Zaher Accariyal, 2016).
Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time.
Ini merupakan sebuah otokritik. Sebagai guru juga perlu memberi kritik yang membangun buat profesi guru. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, workshop. Itu hanya sebatas hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM mereka.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sebatas membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dan juga long life learning  sebagai prinsip hidup kita semua. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini.
32
 

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan


Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan
Oleh: Marjohan, M.Pd

Berburu Label “Smart
Kata “smart” sudah begitu familiar di telinga para  remaja. Karena mereka sering menemukan banyak kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart group, smart house, smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart sangat disenangi oleh masyarakat luas, terutama para orangtua. Mengapa demikian?
Karena  mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk menjadi anak-anak yang cerdas (smart kids) dengan demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang punya label “smart”, seperti: smart English, smart math, smart dance, smart music, dll.
Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata ini malah menjadi branding yang fenomena  dalam dunia bisnis, dunia edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya. Jadinya bermunculan berbagai frase seperti: smart book, smart phone, smart technology,  smart street, think smart and work hard, dll.
            Kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku. Seorang siswa yang mampu melahap semua buku teks dengan tuntas maka dia adalah orang yang smart book. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian (UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri, mampu memahami perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll. Remaja yang smart street adalah remaja yang memiliki life skill atau kecerdasan hidup.
            Para remaja yang belajar di sekolah kalau hanya sebatas terfokus dengan bidang akademik maka mereka dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga sebagai smart book. Ya hanya sebatas  jagoan dengan buku-buku. Fenomena begitu sangat banyak di dunia pendidikan. 
Ini adalah pengalaman seorang tour leader yang berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart  book dan juga smart street. Pemandu wisata ini memimpin perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah sekolah favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai akademik mereka sangat bagus, bila ada lomba maka mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka diberi label “rombongan siswa yang smart book.”
Perjalanan wisata mereka cukup jauh, dari Sumatra terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau Jawa dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah  rest area dan setelah itu pergi shopping  di sebuah mall megah-dengan bangunan besar berlantai enam .
Namun para siswa yang hanya sebatas smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik- dan kehilangan akal. Tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mall dan berkumpul dalam bis wisata. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ya tentu saja karena mereka punya nyali yang kecil, kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena sering serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut dengan gadget saja. 
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah yang tidak begitu populer juga pernah melakukan kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja sama dengan sekolah mereka.
Tour leader juga mendesain paket wisata, mereka melewati rute yang sama, berhenti pada sebuah rest area dan mengunjungi sebuah mall besar buat shopping. Namun tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan. Semua mampu mengembara dalam mall dan keluar mall. Namun mereka juga tidak mematuhi peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat membaca peraturan. Dan mereka adalah para siswa yang kurang bersahabat dengan buku, banyak bermasalah dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran dan susah buat berkumpul dalam bis wisata. Ini pula problem dengan para siswa yang sebatas smart street.
Negara kita yang sangat luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang hanya sekedar  smart book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekedar smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang memiliki kecerdasan yang berimbang, smart book dan smart street.

Perbedaan Kultur Berkomunikasi
            Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara berkembang (seperti Indonesia) proses belajar-mangajarnya punya perbedaan. Perbedaan tersebut terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur dua bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat masyarakat umum yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan kultur orang Amerika dan orang Indonesia dalam berkomunikasi?. 
Orang Amerika sejak kecil diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati guru (dosen) mereka, mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga boleh berdebat dengan guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan antara mahasiswa dan dosen atau antara guru dan murid bersikap santai dan ramah. 
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung menggunakan visualisasi dan indirect language-bahasa yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam proses belajar mereka menghormati dosen atau guru, mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin. 
Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan pendidikan  di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan orangtua dalam mendidik yang mana mereka hanya sebatas pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu.
Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus. 
            Di sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar cukup lama. Pagi hingga siang belajar di sekolah dan setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel. Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam kurikulum lama- kurikulum satuan pendidinkan (Kurikulum KTSP)- dikatakan bahwa siswa belajar untuk memahami tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif (sikap) dan praktek (psikomotorik), tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik-atau afektif dan psikomotorik-tidak begitu banyak terasah, kecuali bagi mereka yang melebur dengan Osis.

Eksistensi Bimbingan Belajar
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas tadi pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak.” Keluh seorang remaja, namun orangtuanya masih memaksa agar dia tetap belajar ekstra agar bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian anak (remaja) mengeluh karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan rasa letih dan lesu setelah senja tiba. Dan seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja cerdas di seputar kita.
            Menambah porsi belajar melalui Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para remaja cerdas. Apalagi ada dukungan orangtua yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang pergi les atau kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam bentuk les atau kursus vokasional atau kursus keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan lain-lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara non akademik. Namun kursus-kursus seperti itu sekarang sudah sangat langka, tidak terlihat lagi.
Yang menjadi femonena adalah kursus yang berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional), yaitu  mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama yang kita kenal dengan “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan akademik melulu.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan para siswa yang cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa belajar dengan mentor pilihan.
            Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada  guru- guru mereka sendiri di sekolah. Bisa jadi sebagian mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi pada berbagai sekolah. Bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang kadang-kadang ada yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
            Orangtua di rumah hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orangtua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan merek atau label. Sebagai contoh, mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”, ya tulisan yang labelnya tidak begitu ngetop.

Perbedaan Gaya Belajar
            Miftahul Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja pulang dari Amerika Serikat memaparkan tentang pegalaman pribadinya. Dia baru saja menyelesaikan program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” selama satu tahun. Dia senang sekali berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di tempat lain di Indonesia pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja, yaitu melahap konsep dan rumus- rumus mata pelajaran. Dari pagi hingga siang  mereka belajar di sekolah reguler dan setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam. Semua itu membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap sebagai anak malas”. Juga mana ada waktu lagi bagi mereka untuk ikut bersosial dengan tetangga di seputar rumah. 
Banyak saya dengar  remaja yang mengeluh merasa capek. Fisik mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya remaja telah merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah mengkonsumsi jajanan cepat saji “Makanan dan Minuman Bermerek Internasional’.
Makanan dan minuman tersebut memiliki deskripsi yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minuman dengan label terkesan  mewah namun tidak menjanjinkan kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup sehat. Sekali lagi malah membuat mereka mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka jadi kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
Demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik. 
Di negara Paman Sam (Amerika Serikat), dikatakan bahwa bahwa remaja belajar cukup secara alami saja. Mereka tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu tetap ada. Hanya para remaja yang merasa betul-betul butuh yang mampir ke sana. Tidak ada fenomena “Bimbel Zoom” atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap akhir tahun akademik.
“Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi ke bimbel,” kata Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan pelajaran dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim excellent service atau layanan prima, yaitu: look, smile, greet, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi. 
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan. Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll . Mereka menekuninya bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang musik dan seni, mereka pada menyerbu theater. Bagi yang tergila-gila dengan music jazz, music pop, biola, key board maka akan segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya. Juga ada yang mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat remaja mereka menekuni kesenian ini sebagai hobi, namun akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theater professional yang berkelas nasional dan malah berkelas internasional. 
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka mungkin selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai dengan konsep agama Islam; “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Eksistensi orangtua di sana seperti ungkapan, yaitu “the man behind the gun.” Bagaimana baik atau buruknya sepucuk senjata ditentukan oleh orang yang memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa seorang remaja juga ditentukan oleh peran dari orangtua.
Jadi orangtua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian orangtua di negara kita- sekali lagi- hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?).  Setelah itu, seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orangtua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik. Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpiki bahwa anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Dengan demikian anak jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena tidak kenal dengan pengalaman harian; memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orangtua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan media sosial; facebook, twitter, bbm, dan fitu lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial. 
Orangtua mendidik dengan konsep yang salah, anak korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya menciptakan remaja yang hanya sebatas cerdas akademik namun buta dengan pengalaman harian- kurang punya life skill- dan juga kurang mampu dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara begini telah menciptakan remaja yang hanya sebatas  rancak di labuah- sebatas  bagus pada penampilan.” Ya hanya sebatas cakep pada penampilan, smart book but poor in life skill- cerdas dengan buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan orangtua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orangtua yang telah memahami konsep parenting. Orangtua yang punya ilmu parenting bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua orangtua di sana tahu dengan peran mereka. Orangtua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orangtua sebagai educator punya peran dalam menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.

Kritikan Kecil Buat Pendidikan Kita
Ini adalah sebuah kritikan kecil untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya hanya sebatas menjadi smart-book agar kelak mereka mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sebatas  jagoan dengan akademik namun tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sebatas  berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya self-determination (tujuan hidup sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-ikutan atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat tetap ada jurusan yang favorit, namun disana tidak ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya cerdas yang berimbang, cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa saja juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.

Lima Kekuatan Menunjang Sukses Dalam Belajar


Lima Kekuatan Menunjang Sukses Dalam Belajar
Oleh: Marjohan, M.Pd

Belajar Dengan Serius Atau Sekedar Asal?
            Menuntut ilmu dan mendapatkan pengalaman menjadi target remaja, utamanya para siswa dan juga mahasiswa. Setiap awal tahun akademik banyak mereka yang memburu sekolah dan perguruan tinggi favorit, karena sekolah dan kampus tersebut punya label unggul. Para siswa berburu sekolah. Calon  mahasiswa berburu perguruan tinggi. Berharap bisa kuliah di pulau Jawa, di universitas yang bergengsi di propinsi, atau akademi dan sekolah kedinasan yang ternama. Kalau mungkin terus studi ke luar negeri.
            “Apa sukses studi itu hanya ada di Eropa, di Jepang, Amerika, Melbourne, di Yogyakarta atau Bandung?”
            “Tentu saja tidak.” Sukses studi bisa terjadi di mana-mana. Tentu sukses studi juga bisa terjadi di dekat kita. Cara untuk meraih sukses tergantung pada proses pribadi yang kita lakukan. Namun ada remaja dalam studi hanya sebatas ikut-ikutan:
“Orang sekolah  maka dia juga sekolah”. Bagaimana eksistensi remaja yang begini? Terhadap mereka mungkin dapat dipaparkan kalimat plesetan seperti:
“Sekolah buat pergaulan, buku rapor sebagai undangan dan uang sekolah sebagai sumbangan.”
 Ya gambaran mereka yang demikian kalau mereka menuntut ilmu secara asal-asalan. Mereka biasanya sering berurusan dengan guru BK (Bimbingan Konseling) di sekolah.
Ternyata bagi yang sudah berstatus sebagai mahasiswa, juga banyak yang terjebak bergaya belajar sebatas  ikut-ikutan. Sebahagian mereka  mengikuti proses kuliah tanpa target. Hanya sebatas  “4D” yaitu “ Datang, Duduk, Dengar  dan Diam saja” di dalam kelas. Sementara itu  di tempat kost aktivitas mereka juga tanpa target. Yaitu hanya sebatas melakukan rutinitas, seperti: makan, minum, menghafal, menghayal, hura-hura, main game, dan sampai begadang tidak karuan.  Padahal sang dosen di kampus mungkin pernah berkata:
“Anda sebagai seorang  mahasiswa telah menjadi kaum intelektual. Anda punya peran dalam sosial yaitu sebagai “social agent of change” atau agen perubahan sosial di tengah masyarakat”.
Tapi kalau  demikian gaya belajar dan gaya hidup mereka, apakah  pantas disebut sebagai agent of change? Oh tentu saja belum pantas.
Sekali lagi, bagaimana perilaku remaja dalam belajar atau dalam kuliah? Ternyata juga bervariasi. Ada yang rajin dalam mengikuti proses pembelajaran. Semua waktu mereka curahkan untuk kegiatan akademik.
Ada yang   yang hanya sebatas kutu-buku. Mereka hanya sebatas terbenam dalam tumpukan buku-buku teks-hingga tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi. Mereka menjadi orang-orang yang kurang tertarik dalam bergaul dan pada akhirnya akan memiliki karakter yang kaku, dingin, dan kurang peka terhadap orang lain. Walau mereka kelak bisa meraih prestasi yang tinggi dalam pekerjaan namun  mereka tetap akan menjadi orang yang kaku.
            Remaja juga punya orientasi yang berbeda-beda dalam studi. Ada yang sebatas berorientasi pada akademik. Ada yang senang berorganisasi, ada yang berkarakter produktif dan ada yang melakukan studi tanpa target sehingga mreka terjebak menjadi orang yang selalu bengong.
Yang bergaya study oriented atau academic oriented. Masa muda habis hanya untuk berkutat dengan buku teks, diktat dan buku-buku pelajaran, tujuannya agar bisa memperoleh nilai sempurna pada setiap mata pelajaran. Ada pula yang hanya senang berorganisasi, namun masa bodoh dengan urusan belajar. Ya ujung-ujungnya jadi gagal dalam bidang akademik.
            Selanjutnya  ada  yang telah berkarakter produktif. Yaitu bagi mereka yang memiliki agenda hidup- punya aktifitas yang terjadwal, mulai dari membaca buku, kuliah (bersekolah), berolahraga, beribadah sampai merencanakan agenda-agenda hidup lainnya. Namun juga ada yang bengong saja sehingga tidak tahu apa yang mau dikerjakan. Mereka hanya pandai  menghabiskan waktu dalam box warnet-  duduk terpaku di depan komputer untuk bermain game atau kecanduan nonton TV selama ber jam-jam. 

Mengatasi Gejala Demotivasi
            Bagi remaja yang tidak tahu cara mendesain kegiatan tentu akan sulit untuk memulai sebuah kegiatan  yang bermanfaat, misalnya mengerjakan tugas sekolah, mencuci pakaian, atau membantu orangtua. Ada gejala penyakit yang sering melanda remaja (pelajar dan mahasiswa), yaitu banyak tidur, boros (buang buang uang terhadap hal  yang tidak perlu),  menganggap sepele terhadap tugas-tugas sekolah, kecanduan talk maniac (gila ngobrol pake HP), playing game maniac (gila main game),  dan senang hura-hura. Idealnya mereka harus menyadari kebiasaan negatif ini, karena kebiasaan ini kalau sudah menjadi rutinitas, maka akan berubah menjadi karakter kita.
            Andai gejala ini terjadi pada diri seseorang, ini memberi indikasi bahwa dia sedang mengalami demotivasi, yaitu merosotnya motivasi. Keadaan demotivasi juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kondisi finansial yang lemah, faktor dalam diri dan faktor luar diri yang kurang mendukung.
Untuk faktor luar diri  (eksternal) seperti: keadaan lingkungan rumah yang hiruk pikuk, tetangga yang lemah SDMnya, teman-teman yang lemah motivasi, sekolah yang lemah manajemen, dll. (Sahar F Abu Jarour, 2014). Untuk mengcounter (mencegah) gejala-gejala demotivasi tersebut (Dian Wibowo Utomo, 2009), ada 4 hal yang bisa dilakukan, yaitu seperti:
a). Segera membuat prioritas, membagi waktu secara efektif, mencari
     alternatif solusi dan melakukan silaturahmi kepada sahabat dan orang
     orang yang memiliki inspirasai dan motivasi hidup.
b)  Kemudian, bacalah buku-buku dan berbagai artikel dari perpustakaan dan
     internet untuk penambah semangat hidup atau motivasi.
c) Kalau ingin sukses, maka cobalah membuat agenda hidup-tentukan target  
     kegiatan harian, mingguan dan bulanan.
d) Juga perlu melakukan hijrah (andai lingkungan menjadi penyebab
     kemalasan kita), karena  faktor lingkungan, seperti teman yang santai akan
    juga membuat kita santai.
Sangat dianjurkan untuk mencari teman yang smart dalam hidupnya. Karena motivasi seseorang bisa menular. Motivasi teman yang smart (yang cerdas) juga akan bisa menular untuk menambah motivasi kita. Namun bukan berarti kita pilih-pilih teman, semuanya teman teman kita.
Dekatilah teman yang sukses, wawancarai dia dan petiklah pelajaran yang banyak darinya, bagaimana mereka belajar. Dan salah satu keterampilan yang terpenting dalam hidup adalah menganalisa mengapa orang lain sukses dan mengadaptasi strategi menang mereka (Coline Rose dan Malcom.J. Nicholl, 2003).
            Dalam pelajaran sains di sekolah, kita belajar tentang hukum causal effect atau pelajaran sebab dan akibat. Hidup kita juga diwarnai oleh hukum sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak hanya ada dalam pelajaran sains, tetapi juga ada dalam dunia sastra, sebagaimana terungkap dalam pribahasa: siapa yang menanam dia yang akan menuai (memetik). Tebarlah kebaikan, maka cepat atau lambat maka  setiap kebaikan yang kita lakukan akan membuahkan hasil.
Sebaliknya kejelekan yang andai kita kerjakan, maka juga akan kembali pada kita. Oleh sebab itu kita perlu  lebih banyak menanam kebaikan. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Ya seperti pepatah dalam bahasa Arab yang berbunyi : man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh-sunggu akan berhasil. Untuk merealisasikan pribahasa “man jadda wa jadda” agaknya harus diwujudkan dengan konsep total learning atau belajar secara total.

Belajar Secara Total
Total learning dapat  kita lakukan  dengan maksud untuk mengembangkan potensi atau kekuatan yang ada pada diri kita. Pembahasan tentang belajar secara total ini terinspirasi oleh paparan pelatihan motivasi yang diberikan Setia Furqon (2010), seorang motivator berusia muda yang selalu memotivasi banyak anak muda, terutama para pelajar dan mahasiswa. Catatan dan dokumen dari pelatihan tersebut dijadikannya buku  yang berjudul “Jangan kuliah kalau gak sukses”.
Dia mengatakan bahwa untuk sukses dalam belajar, paling kurang diperlukan lima fondasi dasar yang berguna untuk memberi kekuatan bagi kita dalam belajar. Kekuatan tersebut meliputi : kekuatan spiritual, kekuatan emosional, kekuatan finansial, kekuatan intelektual dan kekuatan aksi. Kelima kekuatan tersebut dalam bahasa Inggrisnya adalah  spiritual power, emotional power, financial power, intellectual power and actional power”.
Saya akan merefleksikan pemikirannya tentang kiat-kiat sukses dalam belajar, dengan judul: Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar. Pembahasannya adalah sebagai berikut:
            1) Spiritual power
Ini berarti kekuatan spiritual. Bahwa kesuksesan sejati adalah saat kita merasa dekat dengan sumber kesuksesan itu sendiri, yaitu Allah Swt-Sang Khalik. Untuk itu ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar hidayah (petunjuk) bisa datang. Bahwa petunjuk hidup itu sendiri  harus dijemput, bukan ditunggu. Kemudian kita harus mencari lingkungan yang kondusif, karena sangat sulit bagi kita untuk keluar dari lingkaran kemalasan jika lingkungan itu sendiri mendorong kita untuk jadi pemalas. Untuk mengatasinya, maka  kita harus hijrah, misalnya pindah kost ke tempat yang mendukung semangat belajar kita. Kalau sulit untuk pindah kost, maka kita bisa melakukan hijrah melalui perobahan sikap dan pikiran. 
            Untuk memperoleh petunjuk buat kehidupan,  maka kita bisa menemukan guru-guru dalam kehidupan. Guru tersebut adalah orang-orang yang akan  memberi  kita inspirasi agar bisa  bangkit setelah kita terjatuh. Sang inspirator kita tidak harus jago dalam ngomong, orang tersebut  bisa jadi sedikit bicara, namun karya dan prilakunya membuat kita termotivasi.
            Belajar yang didukung oleh spiritual power, memandang proses belajar sebagai sebuah ibadah. Kita harus belajar agar kita menjadi orang yang berilmu, beriman, dan punya martabat. Berharap setelah itu kita juga bisa memberi manfaat pada orang lain dan lingkungan, paling kurang kita bisa memberi pencerahan untuk lingkungan. 
            2) Emotional power
Kekuatan ini (kekuatan emosi) juga dapat kita sebut dengan istilah  kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan ini juga sebagai penentu kesuksesan seseorang. Di dunia ini ada banyak orang-orang cerdas atau jenius dengan IQ di atas rata-rata namun pekerjaanya selalu pada level bawah. Itu terjadi karena kepribadiannya yang kurang disukai atau sulit bersosialisasi.
Kecerdasan emosional seseorang bisa berkembang, karena kecerdasan ini merupakan akumulasi dari karakter individu (seseorang), dan juga dukungan perlu dari faktor lingkungan. Sikap atau karakter sangat penting  dalam membentuk kecerdasan emosi seseorang. Apakah seseorang  berkarakter ramah, gigih dan ulet- maka itu adalah contoh dari bentuk kekuatan emosional (emotional power). 
            Karakter adalah ibarat sebuah perjalanan yang panjang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari bentuk pikiran, ide yang kita ekspresikan lewat ucapan dan tindakan, kemudian dipoles dengan suasana emosi. Orang lainlah yang  akan melihat kualitas emosional  kita tadi- apakah disana ada unsur “jujur, peduli, ikhlas, disiplin, dan berani”, atau malah yang terlihat banyak unsure “suka berkhianat, angkuh, boros, cepat bosan dan malas”.
            Emosi itu sendiri dapat dilatih. Beberapa cara untuk melatihnya adalah melalui pembiasaan positif seperti : tersenyum dengan tulus, bila berjumpa dengan teman ya jabatlah tangannya dengan penuh antusias. Kalau ngobrol mari kita biasakan untuk mendengar orang terlebih dahulu. Kita perlu ingat bahwa tidak bijak untuk membuat orang tersinggung. Kalau kita sedang ngobrol maka kita usahakan untuk  menatap mata lawan bicara. Ini  sebagai tanda bahwa kita sedang serius dan ia juga akan  merasa dihargai. Kita juga harus ingat dan tahu dengan nama lawan bicara kita.
            Suasana hati adalah bentuk dari emotional power. Remaja yang sedang menuntut ilmu pengetahuan mutlak memerlukan emotional power, yaitu suasana hati yang solid agar mereka mampu meraih mimpi-mimpi tersebut.
            3) Financial power
Financial power  berarti kekuatan dalam hal keuangan. Bahwa kita seharusnya  memiliki kekuatan keuangan agar bisa sukses dalam studi. Maka banyak orang  menganggap bahwa uang bukanlah hal yang  utama. Mereka malu dikatakan sebagai orang yang matre (mata duitan).  Paling kurang ada dua karakter orang berdasarkan pendekatan ekonomi atau keauangan. Ada  orang bermental miskin dan orang bermental kaya.
Karakter orang bermental miskin adalah mereka yang menginginkan hasil (sesuatu)  yang diperoleh secara instan. Mereka lebih suka membeli banyak barang yang membuat mereka jadi konsumtif. Mereka sulit untuk berubah, dan senang mengandalkan bantuan orang lain. Mereka juga  berkarakter  suka  menerima,dan kalau belajar hanya sebatas untuk mengejar nilai yang bagus.
Sementara itu orang yang bermental kaya adalah mereka yang karakternya  terbiasa menyukai  proses. Dalam shopping ya mereka lebih suka membeli barang yang produktif. Selanjutnya ia (mereka) bersifat kreatif, mandiri, senang memberi, dan dalam belajar (kuliah) bertujuan  untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kesuksesan dalam belajar sangat signifikan dengan keberadaan financial power. Uang atau finsial adalah payung buat kehidupan. Keberadaan uang akan memudahkan kehidupan, utamanya dalam mencukupi atau menyediakan kebutuhan minimal kita.   
            4) Intelectual Power
Kemudian hal lain yang perlu kita miliki adalah “intelectual power”. Bahwa kita sendiri sedikit banyak juga harus memahami tentang keberadaan otak. Otak kita  membutuhkan waktu istirahat yang cukup agar otak bisa beroperasi secara optimal. Maka kita perlu untuk bisa memperoleh tidur yang bermutu yaitu tidur yang nyenyak, karena  sangat berguna untuk kesehatan otak. Salah satu fungsi otak adalah membantu kita dalam memahami apa yang kita amati dan yang kita tiru.
Intelektual bermakna seseorang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Jadi untuk hidup kita perlu cerdas. Sehingga ada ungkapan “work hard and think smart- bekerja keras dan berfikir cerdas. Jadinya dalam belajar, kita juga perlu belajar cerdas- belajar dengan cara menyenangkan, mencari informasi bagaimana cara menjadi orang yang mandiri dalam belajar dan juga bercermin pada tokoh sukses tentang rahasia belajar mereka sehingga mengantarkan mereka menjadi pribadi yang berkualitas.
5) Actional Power
Ini berarti kekuatan bertindak. Seorang pemuda (siswa atau mahasiswa) yang menjadi atlit sepak bola menghabiskan puluhan jam untuk membaca buku sepak bola, tentu saja susah baginya untuk menjadi sepak bola yang sejati. Kecuali kalau ia memang sangat rajin dalam latihan menendang bola. Karena praktek menendang bola lebih berarti dari pada hanya membaca buku teori tentang bermain sepak bola.
Dikatakan bahwa orang Jepang bisa menjadi cerdas karena punya kebiasaan mengamati, meniru dan memodifikasi. Bangsa Jepang bukanlah bangsa yang mula-mula menemukan  kendaraan roda dua dan roda empat. Namun mereka adalah bangsa yang  gigih dalam meniru-melakukan atau karena memiliki actional  power- dan memodifikasi penemuan bangsa lain. Budaya senang meniru dan senang memodifikasi tersebut  telah membuat Jepang sebagai negara produsen mobil terbesar di dunia. Negara Jepang pada mulanya mengamati dan  meniru serta  memodifikasi mobil Ford buatan Amerika dan mobil buatan negara lainnya. Jepang  memodifikasinya  hingga bisa menciptakan mobil-mobil yang cantik, seksi dan hemat bahan bakar.
            Jadi dapat dikatakan bahwa sekarang kita perlu menjadi cerdas. Ya...cerdas dalam belajar dan juga cerdas dalam hidup.  Untuk  bisa cerdas atau  berhasil dalam  hidup ini maka kita memiliki dan memperdayakan lima kekuatan yaitu action power, financial power, spiritual power, intellectual power, dan emotional power. Dengan demikian pelajar dan mahasiswa yang bakal sukses itu adalah mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi, kecerdasan dalam bersikap (beraksi) dan perlu juga dukungan keuangan. Bukan dalam arti kata kita harus kaya raya (punya banyak uang), namun perlu ada dukungan uang atau dana buat mendukung sukses studi kita. 



Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...