Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Belajar
Sepanjang Umur
Kata-kata “long life education atau belajar
sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga sempat
mendengar frasa ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau
Universitas Negeri Padang). Apakah frasa ini juga digelontorkan di fakultas dan
perguruan tinggi yang lain?. Tentu saja iya, bahwa kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga
para remaja agar mereka bisa menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai konsep
untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
Konsep
long life education juga
dideklarasikan oleh badan pendidikan dunia- Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization).
Unesco memotivasi agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka.
Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan
cara memiliki ilmu pengetahuan. Agama
Islam juga mengajarkan tentang prinsip long
life education sebagaimana ungkapan seperti:
“Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi-
tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama
amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu memimpin di depan amal dan amal akan
mengikutinya.”
Berbarengan dengan
ungkapan long life education
(pendidikan seumur hidup) juga ada ungkapan long
life learning (pembelajaran seumur hidup). Kedua ungkapan ini sama
maknanya. Konsep long life learning
sangat relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Konsep ini menyentuh semua
generasi, dan kultur sosial-budaya. Untuk mewujudkan konsep belajar seumur
hidup maka warga dunia musti mengaktifkan literasi melalui pendidikan formal
dan informal, serta mempromosikan konsep demokrasi (Caroly Medel dan Anonuevo,
2002).
Pengalaman
Belajar Warga Dunia
Long life education memang sudah
mendapat sambutan bagi warga dunia, terutama di negara maju, mereka selalu
belajar dan belajar dalam kehidupannya. Saya membuka diri untuk pergaulan
dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Dr
Francois Brouquisse, Dr Anne Bedos dan Dr Louis Deharveng. Ke tiga warga
Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat
bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara
kebetulan berujung sangat menguntungkan saya terutama dalam mempelajari kultur,
sosial budaya dan Bahasa Perancis. Saya jadi memahami apa dan bagaimana
“prinsip otodidak” dan motivasi untuk belajar sepanjang umur atau long life education.
Ketiga
teman ini bekerja pada bidang yang berbeda, namun punya minat pada zoology. Kami berjumpa di daerah
Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di
Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung,
Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari figur mereka bertiga
adalah konsep hidupnya sesuai dengan moto “long
life education”. Belajar sepanjang hayat ini sudah menjadi kebutuhan hidup
mereka.
Mereka menghabiskan waktu
liburannya di Sumatera untuk studi tentang konservasi hutan tradisionil dan zoology. Mereka melakukan eksplorasi,
menyandang tas besar di punggung. Di dalam tas penuh dengan instrument
penelitian dan juga buku-buku tentang sains, juga ada tentang bahasa Indonesia,
adat dan way of life orang-orang
Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan
Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya sering mengikuti
kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleologie.
Yaitu melakukan eksplorasi kedalam hutan dan ke dalam goa- mengobservasi
eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa, yaitu goa “ngalau indah” di Nagari
Pangian, Kec. Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Saya juga sempat memberikan tulisan
untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
Ternyata mereka bertiga juga manusia yang polyglot- yaitu orang-orang yang mampu
berbicara dalam banyak bahasa. Anne Bedos dan Louis Deharveng menguasai bahasa
Perancis, Inggris, dan tahu bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Indonesia,
Vietnam, dan China.
Francois Brouquisse,
seorang ahli manajemen perairan, juga
memahami Bahasa Inggris, Arab, Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa
China, serta bahasa ibunya- bahasa Perancis. Ia sendiri pendukung NGO Palestine D’Action di Perancis.
Yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendukung perjuangan bagsa
Palestina.
Francoise adalah seorang
pembaca yang hebat. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi
beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat
sambil membaca.
Saya sempat mengintip
buku-buku yang dipegang oleh Francois Brouquisse. Untuk menguasai bahasa
Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning
by doing” atau “learning by direct
practicing” hingga saya dengar
Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita saya,
Muhammad Fachrul, rewel dan menangis maka ia menenangkan balita saya dengan
Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.
Anne
Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Untuk menjadi warga dunia yang berkualitas maka dia
mengadopsi prinsip hidup belajar seumur hidup secara naturalis. Saya pernah
duduk bareng dengan Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse sambil
makan buah-buahan tropis- jambu, mangga, duku dan belimbing. Saya melihat Anne
Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa
melepas kuping jambu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut
hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
“Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang
bersarang dalam jambu?”
“Ce
naturalement, J’aime a manger les fournis- itu semua sangat alami, tidak
masalah biar saya makan semua semut.” Anne Bedos dan dua teman Perancis tadi
adalah guru saya secara langsung. Dari mereka saya jadi tahu cara belajar
bahasa asing yang lain, seperti bahasa Perancis, melalui strategi berbuat atau learning by doing. Saya belajar bahasa
Perancis dengan cara menuliskan semua pengalaman haris menggunakan bahasa
Perancis.
Membaca Untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup
Craig
Pentland, dan saudaranya John Pentland, adalah pemuda Australia yang berjumpa
dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-tahun berikutnya
ia (Craig Pentland) sering mengunjungi kami di Sumatra Barat. Ia juga
mengadopsi prinsip long life education
dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di
wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh dan pernah juga menjelajah ke dalam sebuah lembah dekat Indarung- Padang.
Dalam ranselnya juga
terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang
Australia ia adalah seorang pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya
dengan membaca. Saya juga termotivasi dan jadi suka membaca banyak buku sejak
itu. Ada kalimatnya yang saya selalu ingat, katanya:
“Reading is important for having personal quality, do
reading,please don’t read all the book.
See the natural phenomenon and read the book on them.Membaca sangat penting
dalam membentuk kualitas diri, lakukanlah banyak membaca, namun jangan baca semua buku, perhatikan
fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Demikian kata teman saya
Craig dan saya selalu ingat kalimat ini. Bulan September 2017 kemaren kami
bertemu lagi. Dia mengatur untuk berjumpa lagi di Novotel Hotel Bukittinggi.
Dia dan istrinya Norjana datang lagi. Craig Pentland sudah menyelesaikan
pendidikan Doktoralnya. Saya sempat membaca disertasinya dengan judul “Behavioural ecology of the black-flanked rock-wallaby, Petrogale lateralis (Craig Pentland, 2014)”.
Dalam kunjungan di bulan
Oktober 2014, dia membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari
Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam
kunjungan ke Batusangkar, Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu
membawa beberapa buku untuk dibaca selama libur.
Jadi membaca buku bukan
merupakan beban belajar buatnya, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat
kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah
makanan atau minuman buat memuaskan spiritual dan pikiran yang lapar. Maka bagi
orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran
mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan seorang teman,
namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris dari SMAN 3 Batusangkar,
setiap semester merancang program “English
Home Stay” sebagai ekskul. Ekskul itu berguna untuk menggenjot kemampuan
berbahasa Inggris para siswa kami. Beberapa resort yang sering kami pilih
buat Home
Stay ini adalah daerah Danau Singkarak, Danau Maninjau, Mifan Padang
Panjang, Danau Diateh di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga
pernah ke Pakan Baru, dan juga Resort Mandeh di Painan.
Home
Stay
kami lakukan dengan menyewa beberapa villa di lokasi wisata dan biasanya kami
mengundang juga native speaker
sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa
sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule
tersebut.
Australia, negara tetangga
Indonesia, merupakan negara yang menyediakan bantuan pendidikan internasional,
termasuk negara kita dalam bentuk program “Australia
Volunteering International.” Program ini menyediakan bantuan pembelajaran
dan sumber belajar bagi guru-guru. Selain itu juga berbagi pengalaman budaya
(Maureen Cane, 2015).
Tahun lalu kami mengundang
John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja
sebagai Australian Teacher Volunteer
yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang
bergabung dengan “English out door
activity” yang kami selenggarakan pada home
stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi
kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para siswa
beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa
di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa
tetap membaca buku sebagai bacaan waktu senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa
membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup
mereka.
Sangat berbeda dengan
eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua,
juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Namun
kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau
berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca.
Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya
istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat hanya sebatas
tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa
perintah agama yang berbunyi “iqra’
bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”
entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya
sebatas bacaan saja untuk berharap
pahala semata, belum lagi untuk diapplikasikan. Sebenarnya perintah agama untuk
membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka bukan
Islam. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan
kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu
berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah
kebiasaan long life education sebagai
kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia?
Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat
juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva,
Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru senior dari Swedia yang saya jumpai
menghabiskan waktu belasan jam sambil
berjemur di pinggir Pulau Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah
tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir.
Mereka akhirnya memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi.
Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar
pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education di negaranya, Swedia.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education. Semua warga
negara mempunyai reading time di
rumah mereka dan selama musim dingin (winter)-
3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca.
Sehingga dalam musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus
diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas,
ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Otokritik
Saya terkesan bahwa
guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku
sebagai wujud dari long life education.
Membaca buku juga sebagai wujud self
learning atau autonomy learning.
Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru
di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Bila para guru belum
menjadi model yang baik dalam gerakan literasi membaca, maka tentu akan
berdampak pada minat literasi membaca siswa (Mahmood Khalil dan Zaher
Accariyal, 2016).
Mereka tidak mengenal
konsep long life education.
Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun.
Apagi dengan istilah adanya reading time.
Ini merupakan sebuah
otokritik. Sebagai guru juga perlu memberi kritik yang membangun buat profesi
guru. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan
pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka
secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan
pendidikan. Mengikuti penataran, workshop,
seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti
seminar, pelatihan, penataran, workshop.
Itu hanya sebatas hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan
portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang
diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu
pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.
Secara keseluruhan bahwa
ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu
mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi
perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi
tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi
komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk
mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada jutaan anak didik kita buta dengan buku.
Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok
tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin
kehidupan untuk memacu kualitas SDM mereka.
Demikian juga para guru.
Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya
sebatas membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum,
atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori
para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik? Karena mereka
diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari
keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa
membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan.
Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif
adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’
bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan
guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dan juga long life learning sebagai prinsip hidup kita semua. Andai ini bisa terwujud maka
insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara
global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa
yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini.
|