Mengangkat Martabat “Guru Mengaji TPA- TPSA”
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)
Eksistensi pendidikan secara konvensional diklasifikasikan atas pendidikan formal, informal dan non formal. Dan hampir semua orang terdidik telah tahu tentang contoh- contoh pengklasifikasiannya. Pendidikan mulai dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), atau dari Taman Kanak- Kanak, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi adalah termasuk ke dalam klasifikasi pendidikan formal.
Profesi sebagai guru pada jenjang pendidikan tadi (SD sampai Perguruan Tinggi), eksistensi mereka sangat diperhatikan oleh berbagai kalangan, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok masyarakat, media massa dan tentu saja oleh pemerintah sendiri. Bagaimana membuat dan mendorong guru agar bisa memiliki martabat merupakan paradigma paling terkini dalam wacana pendidikan kita. Usaha dan inisiatif dari berbagai pihak dalam memperjuangkan harga diri dan martabat guru- guru sangat patut untuk dihargai.
Sudah lama ada dalam masyarakat, mulai dari lingkungan kota- kota besar sampai ke lingkungan masyarakat di desa- desa kecil hidup sosok guru mengaji “TPA- TPSA” dengan sosok bersahaja, berpakaian sederhada dan tutur katanya juga sederhada dan kantong mereka tentu saja jauh dari ukuran sederhana. Agak nya martabat mereka juga perlu untuk diperhatikan (?).
Menjadi karyawan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), PNS (Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri peminatnya sangat berlimpah ruah, membuat repot media massa untuk meliput dan memberitakanya. Malah untuk merekrut tenaga Hansip dan Satpam peminatnya juga cukup banyak. Namun bagaimana peminat untuk menjadi guru mengaji di TPA dan TPSA (?). Dapat dikatakan bahwa profesi ini telah dipandang sebelah mata oleh banyak orang, barangkali karena secara finansial belum memberikan janji kebahagiaan. Profesi ini malah menjadi inspirasi oleh penulis film sinetron, yaitu figur mengaji sebagai orang yang amat baik dan tidak begitu memerlukan kecukupan materi. Dalam fenomena profesi menjadi guru mengaji hanya dipilih sebagai kegiatan pelarian- batu loncatan- atau pilihan karir paling terakhir.
Mahasiswa baik- baik namun berasal dari orang tua yang kurang berkecukupan, cendrung memilih tinggal di mushala dan mesjid, sekaligus menjadi gharim dan guru mengaji yang cukup dibayar beberapa sen saja (beberapa ribu saja) malah kalau bisa murah buat apa dibayar mahal- mahal , atau kalau di desa kecil, guru mengaji cukup dihargai satu liter beras saja per bulan.
Apakah menjadi guru mengaji TPA- TPSA mereupakan karir paling rendah (?). Dari pengalaman sehari- hari kita temui bahwa yang memilih karir guru mengaji adalah orang- orang yang sudah tua- lemah tubuhnya, orang orang yang lemah ekonominya dan orang yang sudah putus asa karena gagal dan gagal setiap kali mengikuti tes PNS.
Kalau sekarang kita jumpai banyak anak anak yang bersekolah di SD, SLTP dan SLTA buta membaca Al-quran, maka siapa yang patut disalahkan (?). orang dengan mudah akan menyalahkan orang tua, guru kelas, guru agama atau siapa saja yang bisa dijadikan kambing hitam. Guru akan menyalahkan guru dan guru akan menyalahkan orang tua. Suatu cara berfikir mencari solusi pada pada konsep vicious cycle atau pada lingkaran setan. Yang sering kena damprat atas fenomena lemahnya nilai rohani anak adalah guru- guru agama, guru- guru di SD dan orang tua sendiri.
Orang tua harus ikhlas kalau disalahkan sebagai penyebab anak miskin dengan nilai rohani- buta Al quran dan tidak disiplin dalam dalam mengimplementasikan ibadah. Karena memang orangtua lah sebagai pemilik anak itu sendiri, yang membesarkan dan yang mula- mula mendidik dan menanamkan akar agama dan budaya. Namun untuk amat jarang guru yang terbiasa- karena tidak memiliki kompetensi agama dan mendidik- mengajar mereka beribadah, membaca al Quran dan muamalah lain, maka sebagai jalan pintas dan sudah konvensional (sudah menjadi kebiasaan) untuk menyerahkan anak- anak ke surau, mushala, langgar dan mesjid yang memiliki kegiatan agama dan TPA- TPSA.
Untuk selanjutnya dalam pembiayaan pendidikan agama anak, orang tua akan memperlihat sikap yang beragam pula, ada yang ingin gratis (tidak tahu menahu keuangan guru mengaji), tidak sudi membayar uang mengaji sebanyak upah buruh minimal (UMR), atau kalau bisa ditawar SPP mengaji mengapa harus dibayar mahal. Namun untuk keperluan ilmu dunia- mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus sempoa, kursus Matematik, kursus musik sampai kepada kursus menari atau kebugaran tubuh, orang tua sudi membayar sampai ratusan ribu Rupiah. Namun untuk kepentingan rohani atau spiritual orangtua kok hanya berani membayar murah atau ingin gratis.
Terus terang keberadaan profesi guru mengaji dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk akhlak dan karakter positif anak sejak usia kecil. Guru mengaji pun punya peran penting dalam menanamkan akar agama dan warna spiritual anak sejak usia dini. Kuat atau lemahnya akar agama ditentukan pula oleh kualitas pribadi guru mengaji mereka.
Adalah sangat beruntung anak anak yang belajar mengaji dengan guru TPA dan TPSA mereka berkualitas tinggi. Andaikata guru mengaji mereka tamatan universitas ternama dan asal dibayar mahal (namun apakah ada ?) pastilah anak- anak mereka akan menjadi santri atau murid TPA- TPSA yang juga berkualitas dalam bidang rohani- spiritual. Guru mengaji yang berkualitas tinggi tentu akan mampu melaksanakan PBM (proses belajar mengajar) alQuran yang sangat menarik, kalau perlu dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan) di lingkungan mesjid dan mushala. Namun sekali apakah ada sosok guru mengaji yang demikian ? Atau barangkali sosok guru yang demikian hanya ada dalam mimpi atau dalam sinetron.
Kini setiap orang- seperti anggota masyarakat, orangtua, guru, dan siapa saja- perlu berfikir tentang mengapa profesi guru mengaji di pandang sebelah mata sementara itu keberadaan mereka sangat diperlukan oleh masyarakat banyak untuk menempa dan membentuk akhlak dan nilai spiritual anak- anak mereka, namun profesi ini dipandang dengan sebelah mata oleh banyak orang. Profesi ini cendrung tidak punya martabat, sebutlah profesi sebagai imam masjid dan mubaligh. Profesi atau posisi ke dua peran sosial ini sangat dihargai oleh masyarakat.
Dugaan sementara dari penyebab guru mengaji kehilangan martabat adalah, agaknya, karena jasa mereka sudah terlanjur dibayar murah. Mungkin karena guru mengaji belum melalui rekruitment yang berkualitas oleh pihak yang berwenang atau pihak yang bergengsi. Kemudian karena populasi guru mengaji sudah terlanjur dari orang- orang terlalu bersahaja dan bersikap nrimo atau pasrah, dari kalangan orang- orang baik namun kualitas SDM mereka masih rendah.
Adalah fenomena tentang kualitas pemahaman agama generasi muda yang mayoritas beragama Islam ini. Jumlah mereka sangat banyak namun kualitas spiritual mereka seperti buih di tepi pantai, jumlahnya banyak namun mudah pecah diterpa angin. Hal itu sebahagian karena kualitas mengaji mereka di TPA dan TPSA juga biasa biasa saja, yakni sekedar mampu mengajarkan transkrip abjat Arab yang ngetop disebut alif-ba-ta. Sampai mereka mampu membaca alquran namun tidak pernah paham apa yang dibaca. Pesan yang disampaikan oleh Sang Khalik hanya dimengerti belakangan lewat mulut guru atau mulut ustad dikemudian hari dalam skenario yang berbeda pula. Memang dewasa ini pengajaran Alquran paling jauh hanya sekedar membaca abjad Alquran (mungkin belum lagi membaca Alquran).
Sebuah pemikiran bahwa andaikata belajar membaca Alquran di TPA dan TPSA diikuti dengan belajar makna Alquran, atau katakan belajar bahasa Arab. Maka pastilah kelak akan muncul cukup banyak jumlah generasi muda yang beragama Islam yang mampu memahami bahasa Arab/ bahasa Alquran langsung dari mulut mereka sendiri. Jumlah orang yang menguasai bahasa Arab tentu jauh lebih banyak dari orang yang mampu berbahasa Inggris. Atau akan banyak orang orang yang cerdas dunia dan akhiratnya, yakni mampu berbahasa Inggris dan mampu pula berbahasa Arab. Kini adalah pekerjaan rumah bagi kita bagaimana memperdaya generasi muda, sarjana yang menganggur (kalau mereka setuju) untuk terjun menjadi guru TPA dan TPSA yang berkualitas dan bermartabat, dengan harapan jasa dan kesejahteraan mereka harus diperhatikan dan dibayar dengan sangat wajar.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
Marjohan, Guru SMA Neg 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)
Eksistensi pendidikan secara konvensional diklasifikasikan atas pendidikan formal, informal dan non formal. Dan hampir semua orang terdidik telah tahu tentang contoh- contoh pengklasifikasiannya. Pendidikan mulai dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), atau dari Taman Kanak- Kanak, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi adalah termasuk ke dalam klasifikasi pendidikan formal.
Profesi sebagai guru pada jenjang pendidikan tadi (SD sampai Perguruan Tinggi), eksistensi mereka sangat diperhatikan oleh berbagai kalangan, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok masyarakat, media massa dan tentu saja oleh pemerintah sendiri. Bagaimana membuat dan mendorong guru agar bisa memiliki martabat merupakan paradigma paling terkini dalam wacana pendidikan kita. Usaha dan inisiatif dari berbagai pihak dalam memperjuangkan harga diri dan martabat guru- guru sangat patut untuk dihargai.
Sudah lama ada dalam masyarakat, mulai dari lingkungan kota- kota besar sampai ke lingkungan masyarakat di desa- desa kecil hidup sosok guru mengaji “TPA- TPSA” dengan sosok bersahaja, berpakaian sederhada dan tutur katanya juga sederhada dan kantong mereka tentu saja jauh dari ukuran sederhana. Agak nya martabat mereka juga perlu untuk diperhatikan (?).
Menjadi karyawan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), PNS (Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri peminatnya sangat berlimpah ruah, membuat repot media massa untuk meliput dan memberitakanya. Malah untuk merekrut tenaga Hansip dan Satpam peminatnya juga cukup banyak. Namun bagaimana peminat untuk menjadi guru mengaji di TPA dan TPSA (?). Dapat dikatakan bahwa profesi ini telah dipandang sebelah mata oleh banyak orang, barangkali karena secara finansial belum memberikan janji kebahagiaan. Profesi ini malah menjadi inspirasi oleh penulis film sinetron, yaitu figur mengaji sebagai orang yang amat baik dan tidak begitu memerlukan kecukupan materi. Dalam fenomena profesi menjadi guru mengaji hanya dipilih sebagai kegiatan pelarian- batu loncatan- atau pilihan karir paling terakhir.
Mahasiswa baik- baik namun berasal dari orang tua yang kurang berkecukupan, cendrung memilih tinggal di mushala dan mesjid, sekaligus menjadi gharim dan guru mengaji yang cukup dibayar beberapa sen saja (beberapa ribu saja) malah kalau bisa murah buat apa dibayar mahal- mahal , atau kalau di desa kecil, guru mengaji cukup dihargai satu liter beras saja per bulan.
Apakah menjadi guru mengaji TPA- TPSA mereupakan karir paling rendah (?). Dari pengalaman sehari- hari kita temui bahwa yang memilih karir guru mengaji adalah orang- orang yang sudah tua- lemah tubuhnya, orang orang yang lemah ekonominya dan orang yang sudah putus asa karena gagal dan gagal setiap kali mengikuti tes PNS.
Kalau sekarang kita jumpai banyak anak anak yang bersekolah di SD, SLTP dan SLTA buta membaca Al-quran, maka siapa yang patut disalahkan (?). orang dengan mudah akan menyalahkan orang tua, guru kelas, guru agama atau siapa saja yang bisa dijadikan kambing hitam. Guru akan menyalahkan guru dan guru akan menyalahkan orang tua. Suatu cara berfikir mencari solusi pada pada konsep vicious cycle atau pada lingkaran setan. Yang sering kena damprat atas fenomena lemahnya nilai rohani anak adalah guru- guru agama, guru- guru di SD dan orang tua sendiri.
Orang tua harus ikhlas kalau disalahkan sebagai penyebab anak miskin dengan nilai rohani- buta Al quran dan tidak disiplin dalam dalam mengimplementasikan ibadah. Karena memang orangtua lah sebagai pemilik anak itu sendiri, yang membesarkan dan yang mula- mula mendidik dan menanamkan akar agama dan budaya. Namun untuk amat jarang guru yang terbiasa- karena tidak memiliki kompetensi agama dan mendidik- mengajar mereka beribadah, membaca al Quran dan muamalah lain, maka sebagai jalan pintas dan sudah konvensional (sudah menjadi kebiasaan) untuk menyerahkan anak- anak ke surau, mushala, langgar dan mesjid yang memiliki kegiatan agama dan TPA- TPSA.
Untuk selanjutnya dalam pembiayaan pendidikan agama anak, orang tua akan memperlihat sikap yang beragam pula, ada yang ingin gratis (tidak tahu menahu keuangan guru mengaji), tidak sudi membayar uang mengaji sebanyak upah buruh minimal (UMR), atau kalau bisa ditawar SPP mengaji mengapa harus dibayar mahal. Namun untuk keperluan ilmu dunia- mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus sempoa, kursus Matematik, kursus musik sampai kepada kursus menari atau kebugaran tubuh, orang tua sudi membayar sampai ratusan ribu Rupiah. Namun untuk kepentingan rohani atau spiritual orangtua kok hanya berani membayar murah atau ingin gratis.
Terus terang keberadaan profesi guru mengaji dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk akhlak dan karakter positif anak sejak usia kecil. Guru mengaji pun punya peran penting dalam menanamkan akar agama dan warna spiritual anak sejak usia dini. Kuat atau lemahnya akar agama ditentukan pula oleh kualitas pribadi guru mengaji mereka.
Adalah sangat beruntung anak anak yang belajar mengaji dengan guru TPA dan TPSA mereka berkualitas tinggi. Andaikata guru mengaji mereka tamatan universitas ternama dan asal dibayar mahal (namun apakah ada ?) pastilah anak- anak mereka akan menjadi santri atau murid TPA- TPSA yang juga berkualitas dalam bidang rohani- spiritual. Guru mengaji yang berkualitas tinggi tentu akan mampu melaksanakan PBM (proses belajar mengajar) alQuran yang sangat menarik, kalau perlu dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan) di lingkungan mesjid dan mushala. Namun sekali apakah ada sosok guru mengaji yang demikian ? Atau barangkali sosok guru yang demikian hanya ada dalam mimpi atau dalam sinetron.
Kini setiap orang- seperti anggota masyarakat, orangtua, guru, dan siapa saja- perlu berfikir tentang mengapa profesi guru mengaji di pandang sebelah mata sementara itu keberadaan mereka sangat diperlukan oleh masyarakat banyak untuk menempa dan membentuk akhlak dan nilai spiritual anak- anak mereka, namun profesi ini dipandang dengan sebelah mata oleh banyak orang. Profesi ini cendrung tidak punya martabat, sebutlah profesi sebagai imam masjid dan mubaligh. Profesi atau posisi ke dua peran sosial ini sangat dihargai oleh masyarakat.
Dugaan sementara dari penyebab guru mengaji kehilangan martabat adalah, agaknya, karena jasa mereka sudah terlanjur dibayar murah. Mungkin karena guru mengaji belum melalui rekruitment yang berkualitas oleh pihak yang berwenang atau pihak yang bergengsi. Kemudian karena populasi guru mengaji sudah terlanjur dari orang- orang terlalu bersahaja dan bersikap nrimo atau pasrah, dari kalangan orang- orang baik namun kualitas SDM mereka masih rendah.
Adalah fenomena tentang kualitas pemahaman agama generasi muda yang mayoritas beragama Islam ini. Jumlah mereka sangat banyak namun kualitas spiritual mereka seperti buih di tepi pantai, jumlahnya banyak namun mudah pecah diterpa angin. Hal itu sebahagian karena kualitas mengaji mereka di TPA dan TPSA juga biasa biasa saja, yakni sekedar mampu mengajarkan transkrip abjat Arab yang ngetop disebut alif-ba-ta. Sampai mereka mampu membaca alquran namun tidak pernah paham apa yang dibaca. Pesan yang disampaikan oleh Sang Khalik hanya dimengerti belakangan lewat mulut guru atau mulut ustad dikemudian hari dalam skenario yang berbeda pula. Memang dewasa ini pengajaran Alquran paling jauh hanya sekedar membaca abjad Alquran (mungkin belum lagi membaca Alquran).
Sebuah pemikiran bahwa andaikata belajar membaca Alquran di TPA dan TPSA diikuti dengan belajar makna Alquran, atau katakan belajar bahasa Arab. Maka pastilah kelak akan muncul cukup banyak jumlah generasi muda yang beragama Islam yang mampu memahami bahasa Arab/ bahasa Alquran langsung dari mulut mereka sendiri. Jumlah orang yang menguasai bahasa Arab tentu jauh lebih banyak dari orang yang mampu berbahasa Inggris. Atau akan banyak orang orang yang cerdas dunia dan akhiratnya, yakni mampu berbahasa Inggris dan mampu pula berbahasa Arab. Kini adalah pekerjaan rumah bagi kita bagaimana memperdaya generasi muda, sarjana yang menganggur (kalau mereka setuju) untuk terjun menjadi guru TPA dan TPSA yang berkualitas dan bermartabat, dengan harapan jasa dan kesejahteraan mereka harus diperhatikan dan dibayar dengan sangat wajar.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
Marjohan, Guru SMA Neg 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)