Mampir
Ke Palembang
1. Study- Tour
Siapa saja yang
ingin berpergian ke luar negeri tentu harus menyiapkan dokumen seperti visa dan
passport. Demikian juga halnya dengan aku. Aku menerima surat pemberitahuan
untuk mengikuti program benchmarking ke negara kangguru ini. Ada dua lembar
formulir yang disisipkan dalam amplop yang harus aku isi, yaitu formulir
permohonan passport baru dan formulir perpanjangan passport.
“Aku
sudah punya passport dan masih berlaku untuk 3 tahun lagi, apa musti mengurus
passport baru atau perpanjangan passport
lagi ?”. Aku bertanya pada istri atau juga pada beberapa teman, namun jawaban
mereka tidak begitu memuaskan.
Aku
menelpon ibu Aat Rachminawati untuk memperoleh penjelasan tentang itu, ia
bekerja di Dirjen pPendidikan Menengah. Aku tanya tentang apa beda passport
biru dengan passport hijau ? Lebih baik bertanya daripada pura-pura sudah tahu.
Katanya bahwa passport biru adalah passport dinas dan keberangkatan dibiayai
negara, sementara passport hijau adalah passport umum dan biaya tanggung
sendiri. O…begitu jadi aku harus juga ngurus passport biru.
Sambil
menunggu kelanjutan perkembangan dokumen aku mengikuti kegiatan harian di
sekolah, meski dalam suasana libur. Aku mampir ke sekolah paling kurang untuk
mengupdate informasi lewat layanan WiFi sekolah.
Bulan
Juni merupakan bulan terakhir untuk tahun akademik. Biasanya untuk menyambut
kedatangan tahun akademik baru semua sekolah dan juga sekolah kami melaksanakan
kegiatan lokakarya. Guru guru SMAN 3 Batusangkar- sekolahku- melakukan
lokakarya separoh waktu di sekolah dan sisanya di luar sekolah.
Ada
4 lokasi yang diusulkan untuk lokasi lokakarya yaitu di Bukittinggi, Medan,
Pekan Baru atau Palembang. Keinginan teman teman sangat beragam menurut logika
dan alasan masing- masing. Aku dalam hati lebih tertarik untuk memilih kota
Palembang, karena pada tahun- tahun sebelumnya kami pernah berada di tiga kota
sebelumnya.
Untuk
mengambil keputusan maka dilakukanlah voting. Maka mayoritas memilih lokasi
lokakarya di Palembang. Akhirnya semua guru setuju dan amat senang untuk
melakukan lokakarya dan sekaligus study banding, juga rekreasi di kota
Palembang. Kami malah mengusulkan agar keluarga (istri/suami dan anak) bisa
ikut.
Semua
setuju. Arjus Putra- sebagai ketua lokakarya- menjadi lebih sibuk mengurus
rencana perjalanan dan juga akomodasi selama di Palembang. Kebetulan 4 minggu
lalu aku berada di Palembang untuk tujuan memberi seminar- menjadi nara sumber-
seminar guru menulis di IAIN Raden Fatah Palembang.
Saat
itu ketua acara seminar adalah Rini Wahyu Asih, maka aku juga menelpon tentang
akomodasi. Namun akhirnya teman Arjus Putra bisa membantu segala sesuatu dengan
baik. Kami diberitahu tentang dimana hotel kami dan sekolah mana yang bakal
dikunjungi.
2.
Bertolak ke Palembang
Kami
sepakat untuk berangkat ke Palembang hari Sabtu, namun Emi Surya (istriku)
batal untuk ikut karena ia harus mengikuti pelatihan manajemen laboratorium.
Jadi hanya Fachru dan Nadhilla (ke dua anakku) yang ikut. Aku menyuruh mereka
untuk menyiapkan pakaian dan kebutuhan lain- seperti sampo, sabun, buku cerita
dan game buat mereka.
Yang aku tidak lupa
adalah aku harus menyiapkan obat anti mabuk, makanan dan minuman ringan buat
antisipasi selama perjalanan. Aku juga membeli 2 kg apple buat bertiga selama 5
hari. Aku merasa bahwa mengkonsumsi buah
seperti apple, jeruk dan buat yang kaya serat serta vitamin sangat bagus untuk
menjaga kesegaran dan kesehatan pencernaan kita.
Perjalanan kali ini
merupakan perjalanan terjauh dan terlama buat anak-anakku dan mereka hampir
tidak sabar menunggu datangnya hari Sabtu. Tidak sabar tentu saja merupakan
cirri khas anak-anak dan juga para remaja.
Akhirnya hari
keberangkatan pun datang. Hari Sabtu jam 01.30 siang, semua peserta lokakarya
dan juga keluarga telah berkumpul di depan gedung Indo Jolito(rumah dinas
Bupati Tanah Datar). Saat itu mobil belum bisa berangkat kecuali kalau 2 orang
yang kami tunggu sudah datang. Mereka adalah Muscandra dan Dian Hastuti.
Keduanya adalah teman kami yang paginya harus ikut acara wisuda sebagai sarjana
baru pada STIE Batusangkar.
Setelah anggota
rombongan lengkap akhirnya mobil kami berangkat menuju Palembang. Dari
Batusangkar mobil mengambil arah ke Setangkai- Lintau, dan terus meluncur ke
Sijunjung dan Dharmasraya. Suasana mobil cukup nyaman dengan AC dan bangku yang
cukup luas. Namun kadang- kadang timbul juga rasa bosan, apalagi untuk menempuh
jarak sekitar 700 km atau selama 18 jam. Sehingga anakkusering bertanya:
“Apakah Palembang sudah dekat……berapa jam lagi
mibilnya sampai ?”
Itulah enaknya kalau mobil
bisa kami request untuk berhenti. Ada
beberapa kali mobil berhenti. Setiap kali berhenti anak- anak bisa memulihkan mood (suasana hati) mereka dengan
menikmati jajan- minuman dan makanan ringan. Kami juga berhenti pada tempat
lain untuk melakukan sholat. Aku mengajak anak- anak untuk sholat, melakukan
jamak dan qashar, karena ini biasa dilaksanakan oleh para musafir atau orang yang
sedang dalam perjalanan jauh.
Menjamak sholat
berarti…… Meng-qashor sholat berarti……. Dengan cara demikian anak- anak juga
memperoleh pengalaman langsung dalam menunaikan agama dalam hidup mereka.
Itulah harapan orang
tua, yakni bagaimana anak juga memahami bahwa sholat itu sangat penting. Sholat
sebagai media bagi kita untuk mendekatkan hati dan diri pada Allah SWT, Sang
Pencipta jagad raya ini.
Aku perhatikan bahwa
tidak ada seorang penumpang pun yang bisa tertidur lelap dalam mobil- kecuali
beberapa orang anak kecil. Untuk membuat anak-anak bisa betah, aku melihat
mereka cukup pintar, mereka membawa makanan, minuman, game/ sarana hiburan dan
bacaan. Benda- benda tersebut mampu mengusir kebosanan mereka.
Demikian pula dengan anakku,
Fachrul sibuk bercanda dengan temannya anak Arjus Putra, sementara Nadhilla sibuk
membaca atau menonton atau dengar musik lewat androitnya yang telah dibawa
sejak dari rumah. Sekali- sekali ia ngobrol dengan Pak Alfian Jamrah. Anakku
merasa kagum bisa ngobrol dengannya sehingga ia sempat bertanya:
“Ayah…, mengapa Pak
Alfian luas wawasannya ?” Tanya Nadhilla dengan lugu- ya pertanyaan seorang
anak SD.
“ Tentu…karena Pak
Alfian adalah seorang mahasiswa program Doktor, sebelumnya sebagai Kepala Dinas
Pariwisata, seorang penulis untuk koran-koran Sumatera Barat dan juga seorang
pembaca”. Kataku menimpali. Suaraku sampai terdengar oleh Alfian Jamrah
sehingga ia merasa geli mendengar percakapan kami.
Setelah menempuh jarak
Batusangkar- Palembang selama 18 jam, akhirnya mobil kami berhenti di depan
sebuah resto. Semua penumpang turun mencari makanan untuk mengisi perut yang
sudah kelaparan. Beberapa saat kemudian Harpen Namaidi- adikku- menelpon ke
hapeku. Aku segera merespon bahwa kira- kira 2 jam lagi kami sudah berada dalam
kota Palembang dan kami semua menginap di Budi Hotel, yang lokasinya persis
dalam kota metro Palembang.
3.
Kecopetan Hape di Palembang
Tidak
lama berselang setelah kami cek-in hi Hotel Budi, hapeku bordering. Rupanyan
Harpen Namaidi dan Fitria (istrinya) mau datang segera ke hotel. Mereka telah
berjanji buat mengajak kami buat ke resto- makan siang yang enak. Aku tahu
resto atau rumah makan tersebut milik orang Padang. Kita akui bahwa naluri
bisnis kuliner orang Padang terkenal sangat bagus.
Usai
makan siang di resto, Harpen membawa kami ke Kenten Laut buat berjumpa dengan
Suwirman- kakak kami yang paling tua yang bertugas sebagai guru SMK di Metro
Palembang ini. Pertjumpaan tersebut sangat berguna untuk mengakrapkan anak-
anakku dengan paman mereka. Orang tua perlu mengajarkan pada anak bahwa
silaturahmi perlu untuk dipelihara.
Kami
tidak bisa berlama- lama di Kenten Laut dan aku minta Harpen mengantarkan aku
sekitar jam 04.00 sore ke pinggir jembatan Ampera karena rombongan kami bakal
rekreasi di sana, jadi di sanalah rendezvousnya
(tempat janjiannya). Harpen segera mengantarkan aku ke sana dan sebelum
turun ia menitip pesan agar aku berhati hati karena kawasan seputar Jembatan
Ampera rawan dengan copet atau pencurian.
“Waspada
dengan dompet, uang, hape, kartu kredit dan peralatan elektronik. Hindari
memakai perhiasan di sana”. Demikian nasehat Harpen padaku. Aku mendengar
nasehat tersebut sebagai sesuatu hal yang wajar saja dari seorang adik ke
kakaknya.
Nadhilla
ikut denganku dan Fachrul ikut lagi dengan Pak De nya (harpen) untuk mengitari
kota. Aku bergabung dengan grup/ rombongan kami yang sudah duluan melangkah ke
pinggir jembatan Ampera. Dari kejauhan terlihat jembatan Ampera menjulang
dengan anggunnya. Aku ingin agar pinggir jembatan Ampera bisa menjadi tempat
turis yang menarik ibarat pinggir sungai di mana patung Merlion bertengger di
negara Singapura.
Aku
juga melangkah melalui sebuah gang sempit dan ramai. Aku menjadi sadar saat ada
tangan asing menyeret sisi celanaku. Ya ampun hapeku raib……!!! Aku segera
menoleh kebelakang dengan secepat kilat dan aku jumpai Hendra Zuher (temanku)
tengah memegang lengan seorang pemuda bertubuh ceking dan rambut dicat coklat.
Kami segera memegang tangannya lebih kuat dan mengintoregasinya.
“Kamu
pencopet…, telah menyambar hapeku. Mohon serahkan…..???” Pintaku memaksa.
Orang- orang datang berkerumun menyaksikan. Ada yang bersimpati padaku dan
mereka juga memaksa pemuda pencopet itu untuk menyerahkan hapeku. Hape itu
diperkirakan telah dioper ke temannya yang sempat melarikan diri.
Pemuda
pencopet itu bersumpah- sumpah bahwa ia bukan pencopet. Dia mengatakan bahwa ia
adalah orang baik-baik, iahanya tukang ojek, kemudian pernyataannya berubah
bahwa ia tukang parkir. Beberapa saat kemudia ada yang datang membelannya yang
penampilannya serupa. Mereka juga meminta kami untuk membebaskan temannya,
karena temannya bukan pencopet….temannya orang baik- baik… hanya sebagai tukang
parkir.
Mood kami dan juga
suasanahati teman- temanku yang lain juga jadi tidak enak. Karena pinggir
Jembatan Ampera yang cantik itu adalah sarang pencopet. Dan aku berfikir bahwa
aku bukan orang sana, kampungku jauh di Batusangkar. Aku khwatir kalau sesuatu
yang lebih buruk terjadi maka kami semua bubar dari wilayah itu. Wilayah dimana
aku jumpai banyak pemuda berwajah sangar.
Jembatan Ampera yang
megah terlihat tidak megah lagi. Pantesan tidak banyak wisatawan manca negara
yang berkunjung ke kawasn tersebut karena terdeteksi sebagai wilayah yang tidak
aman. Temanku mengatakan bahwa daerah tersebut menjadi daerah empat besar di
Indonesia sebagai daerah tidak aman.
“Aku tidak sedih
kehilangan hape. Yang aku sedihkan bahwa aku kehilangan banyak dokumen
dalamnya- ada catatan, ada nomor telepon penting, foto dan rekaman film yang
bersejarah menurutku. Ambilah hape itu namun mohon kembalikan kartu simnya”.
Demikian aku sempat bermohon pada sang pencopet. Namun sang pencopet
membersihkan diri sebagai orang baik- baik.
Meskipun hapeku hilang
di Palembang namun aku tetap mencintai kota Palembang, aku tetap mencintai
Jembatan Ampera. Palembang adalah kotaku di negaraku tercinta. JembatanAmpera
adalan Icon buat bangsaku. Namun aku bermohon kepada stakeholder dan masyarakat
Palembang untuk membuat kota Palembang menjadi daerah yang palling aman di
dunia, paling kurang daerah yang paling aman di Pulau Sumatra agar wisatawan
mancanegara kangen buat bertandang ke sana.
Menciptakan
Jembatan Ampera bebas dari kriminal…….