Menuju Hotel Baru
1. Mengantuk
Berat
Kami semua sudah merasa letih, kami merasa mengantuk cukup berat. Pasti
semua kurang tidur. Aku sendiri juga kurang tidur karena tadi aku terbangun jam
2 dini hari dan tidak tidur lagi hingga sekarang. Aku memang ingin pergi ke
hotel agar bisa tidur indah.
Bis kami berhenti di depan Hotel
Mercure Sydney yang terletak di George street. Aku nilai ternyata harga hotel
ini tentu lebih mahal lagi dari hotel Rydges di Melbourne. Tidak banyak
fasilitas yang dapat kami nikmati secara gratis sebagaimana kalau kita tinggal
di hotel-hotel Indonesia.
Harga satu botol air mineral terasa
mahal harganya sekitar $ 7. Menggunakan internet akan dikenai biaya $ 10 per
jam, wah lebih mahal lagi. Makanya aku jadi khawatir kalau iseng- iseng
menggunakan WiFi, soalnya aku khawatir bakal kena charge yang mahal seperti
hotel di Melbourne. Fasilitas lain yang juga akan dikenai biaya seperti adaptor
listrik bisa disewa, demikian juga dengan movie dan TV.
Seperti biasa kami rendezvous jam 6
sore. Maka kami semua harus bersiap-siap di ruang lobby. Untuk selanjutnya kami
mengikuti langkah Rachman. Tour leader kami ini sudah begitu familiar dengan
kota Melbourne dan Sydney. Aku bercanda dengan Rachman bahwa “Pergi ke
Melbourne dan Sydney baginya ibarat pergi Pasar Minggu atau Tanah Abang di
Jakarta.
Benar seperti dikatakan Rachman
bahwa kota Sydney lebih ramai dari Melbourne dan juga sedikit lebih macet. Kami
kini tengah berada dalam kota Sydney dan kami harus buru-buru dan hati-hati
setiap kali menyeberang jalan. Keramaian jalan lebih terasa di George Street
dan Ultimo Road.
Kami kemudian melewati wilayah toko
harian. Aku melihat bahwa ada juga restoran dengan tulisan “eat in and take
away” maksudnya mau beli makanan bukan
makan di tempat atau mau dibawa pulang. Kami melangkah menuju “Restaurantb
Eight” miliki orang China.
Aku berfikir bahwa mengapa susah
menemui restoran Indonesia. Kecuali kemaren aku melihat ada “Restaurant Bali Bagus”. By the way aku kangen berjumpa
dengan restoran Padang. Aku rasa faktor bahasa Inggris merupakan bagi pemilik
resto kesulitan buat membuka usaha restoran di sini. Di Malaysia dan Singapura
restoran Padang juga ada. Karena di sini mereka cukup menggunakan bahasa Melayu
yang bahasanya mirip dengan bahasa kita- bahasa Indonesia.
Aku memperhatikan bahwa sajian di
restoran China di Melbourne dan Sydney tidak jauh berbeda. Variasi hidangan
restoran China tidak banyak- cukup sederhana. Begitu tamu datang maka pelayan
meletakkan cangkir, mangkok, teapot dan sendok. Semua serba porselen- juga
sepasang chopstick atau sumpit. Kemudian para tamu diharapkan untuk membuat teh
hangat sendirian dengan cangkir kecil. Kami minum teh tanpa gula. Di restoran
Australia gula memang tidak begitu popular.
Kemudian pelayan menyajikan hidangan
pembuka yaitu bubur jagung. Kemudian menyajikan hidangan pokok seperti tumis
sayur campur udang, nasi, petis ikan dan juga petis ayam atau bebek atau daging
sapi.
Aku dan Nurhadi menghindari memakan
daging ayam, bebek dan daging sapi. Aku tahu daging ini halal, namun kami ragu
apakah hewan ini ada disembelih secara Islam ? Kalau tidak secara Islam maka
nilai spiritual dagingnya cenderung jadi haram.
Usai makan maka pelayan akan
mengemasi semua piring- piring kotor dan mereka akan menyajikan hidangan
penutup- yaitu buah segar. Buah segar diiris seperti sun ripe, melon dan juga
buah kiwi. Pelayan di restoran ini semua berusia muda- usia mereka mungkin 20
tahunan. Mereka bergerak dengan cekatan dan jarang tersenyum- ya dengan wajah
serius. Pelayan perempuan juga memakai celana panjang. Mereka selalu
memperhatikan meja pengunjung, kalau ada gelas yang kosong ya akan dituangi air
minum yang baru.
2. Tidak Boleh Alergi dengan Surat Kabar
Akhirnya aku bisa menikmati tidur
paling nyenyak di Mercure hotel. Mimpi
membawaku terbang tinggi, tapi entah dimana. Aku terbangun setelah aku
mendengar “wake up call” lewat intercom pada pukul 5.30 pagi. Seperti biasa aku
harus sholat subuh dan aku memastikan dimana arah untuk sholat. Di hotel tidak
ada petunjuk arah kiblat. Dengan demikian aku mencari tahu bagaimana jatuh
bayang- bayang matahari dan kemudian menentukan arah barat. Maka arah Arab
Saudi- tempat berdirinya ka’bah dapat ditentukan, yaitu kira- kira arah barat
laut. Maka inilah arah buat menghadap arah sholat.
Pagi ini aku merasa malas buat
mandi, dingiiin. Aku merasa kurang enak badan- merasa sedikit demam dan juga
sakit kepala. Kami memutuskan untuk turun ke dining room buat sarapan pagi. Aku
menghindari makanan yang banyak bumbu, apalagi daging yang kaya dengan
kolesterol. Aku hanya makan sedikit nasi goring dan juga sebutir telur.
Perasaan kurang enak pada system
pencernaakan bisa menjadi sumber datangnya demam. Untuk itu aku mengkonsumsi
agak banyak buah- buahan- ya segala jenis melon, buak kiwi dan juga pine apple,
serta juga satu gelas juice apple.
Wah seperti biasa, aku merasa rugi
bila tidak membaca koran. Koran kora yang ada di dining room ini gratis untuk
dimiliki. Aku memutuskan buat membaca dua koran: the Sydney morning herald dan
the China daily.
Populasi keturunan China cukup
banyak di Sydney. Maka mereka juga punya koran yang berguna buat memberi
informasi- paling kurang buat mengcover berita seputar orang China. Memang
benar bahwa koran China mempunyai fitur tentang “China business dan China
life”. Koran ini cukup banyak memberitakan perkembangan bisnis dan ekonomi yang
juga berhubungan dengan bisnis dan ekonomi orang China di Indonesia.
Berbeda dengan koran the Sydney
morning herald, yang banyak memberitakan fitur tentang dunia internasional dan
Eropa. Surat kabarini adalah surat kabaryang mewakili kepentingan Eropa di
Australia.
Aku perhatikan bahwa industri surat
kabar (koran) sangat berkembang di Australia. Koran-surat kabartersebar dari
penerbit hingga ke pembaca di sekolah, universitas, perkantoran, restoran,
hotel mal-mal dan tempat publik lainnya. Penggantian biaya/ harga surat kabarsudah
mencakupi harga tiket di restoran, pesawat, mal- mal, dll. Namun bagaimana
dengan semangat membaca surat kabardan distribusi surat kabardi negara kita
(?), wah aku ingin kemijakan seperti ini buat ditiru.
Distribusi surat kabar di Indonesia
atau paling kurang di Padang masih sepi. Sirkulasi surat kabar masih dikelola
secara konvesional- yaitu masih dari penerbit ke agent. Tentu saja tidak banyak
yang membelinya. Coba lihat bahwa mayoritas guru- guru dan pegawai jarang yang
membaca koran- berlangganan koran. Kemudian profesi lain seperti polisi,
tentara, perawat, pedagang, dll, juga jarang- bahkan tidak ada- yang
berlangganan koran. Alhasil mereka hanya memperoleh informasi lewat TV.
Celakanya mereka malah juga minim mengkonsumsi berita, kecuali kerajingan
mengkonsumsi berita gossip para selebriti.
Ya bangsa kita baru sebatas merdeka
dari buta huruf. Hanya baru sebatas tahu angka- angka dan membaca dongang buat
anak- anak- maksudnya sebatas pintar membaca teks- teks singkat.
Lebih miris lagi, di zaman boom ICT
sekarang, para anak- anak tidak punya majalah- mereka tidak mengenal majalah
anak- anak seperti majalah Bobo, majalah Kawanku, majalah Sikunjung, dll,
sebagaimana majalah saat aku kecil dulu. Selanjutnya para remaja dan orang
orang muda, mereka kurang mengenal majalah mereka seperti majalah Gadis,
majalah Kartini, majalah Femina, majalah Trubus, majalah Sarinah, dll. Ya
mereka lebih memilih jadi generasi penonton. Menonton belasan channel TV selama
berjam- jam. Setelah itu ditambah lagi dengan mengkonsumsi digital game. Yang
lebih banyak mereka konsumsi adalah sinetron, dan juga status status ringan
dari Facebook dan twitter. Ini membuat mereka jadi generasi ekspresif yang
spontan, namun perlu mengimbangi dengan menjadi generasi refleksi verbal-
banyak berfkir dan menganalisa.
Apa yang mereka lakukan seperti
menonton berbagai channel TV, menonton DVD, membaca status facebook dan twitter
tidaklah salah- malah sangat tepat. Namun kita berharap agar mereka juga peduli
dengan kebiasaan membaca- bica koran, tabloid, majalah, novel dan dll. Apakah
cukup hanya dengan berharap seperti ini ?
Ternyata tidak, dan tentu melalui
action. Terutama para legislative dan para masyarakat perlu mendesak pemerintah
untuk membuat peraturan, misalnya para pegawai BUMN, PNS dan pegawai swasta
perlu berlangganan koran- membaca koran lewat berlangganan. Bagaimana caranya ?
Ya seperti yang dilakukan oleh
perusahaan penerbangan GIA (Garuda Indonesia Airways). Siapa saja yang naik
pesawat akan memperoleh kora the Jakarta post. Biaya atau harga koran tentu
telah tercakup kedalam harga tiket pesawat.