Pagi
Yang Dingin
1. Suhu Yang sejuk
Aku
merasa sudah nyaman dan senang berada di
kota Melbourne. Ibarat tinggal dalam kota impianku, apalagi dalam musim semi dengan langit siang nan biru dan
langit malam penuh bintang, sekali sekali meteor berseliweran di luar angkasa.
Suhu kota ini sudah bersahabat denganku dan tidurku terasa juga nyaman sekali. Sepertinya aku
menjadi kaget kalau hari ini adalah hari Selasa tanggal 17 September. Dengan
demikian ini adalah hari yang terakhir bagi kami berada di kota yang paling
indah ini.
Orang
mengatakan bahwa Melbourne adalah kota yang memiliki 4 musim dalam satu hari.
Ah pada mulanya aku tidak percaya karena tidak tahu maksudnya. Maksudnya adalah
bahwa kadang kadang dalam sekejam suhu terasa hangat- ibarat dalam musim panas,
kemudian jadi sejuk ibarat dalam musim semi, wah bila hujan turun dan angin
kutub selatan bertiup dingin wah ibarat dalam musim salju.
Rachman
menginstruksikan bahwa kami besok- pagi pagi sekali- jam 4 subuh harus bangun
agar bisa sholat subuh dan berkemas- kemas untuk menuju bandar udara sekitar
jam 6 pagi. Aku tidak tahu, mengapa aku merasa sedih meninggalkan kota
Melbourne, namun juga merasa gembira untuk menuju kota Sydney. Karena Sydney
adalah kota impianku sejak masa kecil.
Enam
bulan sebelumnya aku juga telah datang ke kota Sydney, namun hanya sekedar
transit dari Melbourne menuju Jakarta. Jadi saat itu aku merasa penasaran
bagaimana menginjak kota dan jalan-jalan di daerah ini. Sekarang tentu aku
bahagia, karena besok kami bisa tinggal agak lama di kota Sydney dan melakukan
beberapa aktivitas.
Ya
malam ini aku juga berkemas- kemas buat mempak semua barang- barang yang sudah
bertemaran dalam kamar hotel ke dalam traveling
bag dan tas tentenganku. Aku menelusuri kamar mandi, ruang bawah tempat
tidur, dalam lemari hingga ke etalase dekan pesawat TV barang barang milikku.
Aku memastikan tidak ada yang tercecer dan juga memastikan beratnya tidak lebih
dari 20 Kg, sebab kalau lebih bakal mendapat tambahan ongkos yang biayanya
lebih mahal dari item/ barang yang aku bawa. Setelah itu baru aku memastikan
bahwa barang barang milik Abdul Hajar semua sudah masuk ke dalam tas dan
traveling bagnya.
Aku
merasa khawatir kalau koran-koran Australia yang aku pungut dan aku simpan
dalam traveling bag bakal terasa berat. Mengapa aku membawa koran Australia ?
Yak arena aku guru Bahasa Inggris dan ini bisa menjadi authentic sources
(materi autentik) buat pengajaran Bahasa Inggris. Maka aku mensortir
koran-koran berdasarkan tingkat kesulitan bahasa Inggrisnya dan berdasarkan
menarik atau tidaknya konten koran tersebut.
Aku
kemudian mengajak Abdul Hajar untuk turun ke bawah guna untuk memulangkan
sambungan listerik berkaki tiga pipih yang aku pinjam lewat resepsionis. Aku
sudah mencari sambungan listrik seperti itu di Batusangkar, Padang dan Jakarta,
namun aku belum menjumpainya.
Tadi
siang aku menjumpai alat seperti ini di shopping
center Paddys- di sebuah
pasar Melbourne. Ternyata harganya 10
dollar- bandingkan dengan perkiraan harga di Batusangkar mungkin hanya sekitar
Rp. 8.000 atau kurang dari satu dollar. Aku segera memulangkan alat tersebut
kepada front officer dan aku menerima uangku kembali 20 dollars sebagai uang
jaminan. Jadi andaikata hilang maka aku harus membayarnya 20 dollar atau dua
kali harga pasar.
Aku
selalu membiasakan diri untuk bangun lebih cepat dan sebagai konsekwensi
tidurku juga harus cepat. Kalau di Sumatera aku bangunnya labih dan bisa sholat
tahajut- eh bukan bermaksud ria dan butuh pujian, namun demikian warna hidupku.
Sholat adalah sarana buat mendekatkan diri pada Sang Pencipta Alam- Allah swt,
dan sholat bisa membuat hati merasa tenang.
Selama
berada di kota Melbourne, kami sarapan pagi selalu di dining room hotel Rydges.
Sedangkan buat makan siang dan makan malam selalu di luar di berbagai restoran.
Seperti di restoran milik immigrant China, Vietnam dan juga restoran Singapura.
Kunjungan ke Australia
kali ini terasa indah dan aku bisa menyantap makanan/ hidangan di restoran
dengan rasa aman, tanpa takut termakan daging babi. Namun aku menghindari
hidangan daging ayam, daging bebek dan juga daging sapi. Meski semua daging ini
halal, namun penyemblihannya juga harus halal. kalau penyemblihannya tidak
sesuai syariat Islam maka nilai daging ini dalam pandangan Islam bisa jadi
haram. Paling kurang penyemblihannya harus membaca bismillah.
Kunjunganku ke
Australia 6 bulan lalu terasa sangat menakjubkan. Namun kami saat itu (aku,
Inhendri Abbas dan Desi Dahlan) merasa tersiksa setiap kali harus mau makan,
karena kurang mengenal mana restoran halal. saat itu kami dipandu buat pergi
makan oleh teman yang menikah dengan orang Amerika, tentu mereka tidak begitu
peduli dengan kualitas halal atau haramnya sebuah hidangan. Jadinya tiap kali
makan maka selera makan kami terasa tak sempurnamalah selera makan hilang sama
sekali. Sehingganya kami harus bikin masakan di hotel apartemen hingga merasa
nyaman untuk makan.
Aku kangen bertemu
dengan restoran Indonesia saat itu dan dalam kunjungan kali ini, kami juga belum bertemu restoran Indonesia,
apalagi restoran Padang. Padahal restoran ada dimana mana di nusantra, mengapa
restoran Padang tak begitu pesat di Australia, bisa jadi para karyawannya
kurang dalam kualitas Bahasa Inggris. Memang ya bahwa rata ratakaryawan di
restoran adalah mahasiswa S.2 yang hanya sebatas kerja sambilan di sini.
Ada perbedaan setting
restoran di Indonesia dan Australia. Semua jenis makanan yang dijual di
restoran Indonesia dapat kita lihat yang pajangan pada etalase di depan.
Sementara semua jenis makan di restoran Australia tersimpan di dapur. Jenis
makanan hanya dapat dipesan sesuai jenis hidangan yang tersedia. Di restoran
Indonesia kita malah bisa menonton bagaiman proses memasak hidangan, namun
tidak demikian dengan restoran di sini. Semua makanan diolah di dapur dan
setelah siap saji mungkin juga tersimpan di dapur, kalau ada pesanan baru
dibawa ke luar- disajikan buat tamu.
Ada hal-hal yang bisa
kita sarankan kepada pebisnis restoran di Indonesia, terutama pada restoran
Padang agar memperhatikan porsi variasi sayurnya. Restoran Padang kerap
terlihat kekurangan porsi sayuran. Pada hal ada banyak sayur yang bisa
disajikan seperti sayur bawang, lettuce, jamur, bayam, kangkung, salada, dll
dalam jumlah banyak. Juga perlu menyajikan irisan buah-buahan segar sebagai
hidangan penutup. Dengan demikian restoran Padang sangat memenuhi standar
kesehatan untuk masyarakat internasional. Jadi disamping peduli dengan nilai
cita rasa juga peduli pada nilai kesehatannya.
2.
Bayar 18 Dollar- WiFi Tidak Gratis
Mas
Rachman menelpon kami, meminta agar kami semua berkumpul di lobby hotel. Aku
harus turun dari kamar 2012 dan aku memang sudah bersiap- siap berpakaian dan
juga membawa turun bagasi. Ya kami sudah melihat Rachman sudah duluan hadir
buat menunggu kami dekat front desk.
Aku sendiri mendekati front officer
buat menyerahkan kunci kamar. Aku merasa lega.
Ah
ternyata aku belum merasa legaaku diminta harus membayar penggunakan WiFi 12
dollar. Ah aku kesal, karena secara resmi aku merasa tidak menggunakan WiFi
yang di kampungku WiFi itu memang gratis.
Selama berada di
Melbourne aku memang merasa terputus hubungan dengan eman dan terutama dengan
keluarga di Indonesia. Tidak ada hubungan lewat SMS dan telepon, paling kurang
hubungan lewat Facebook. HP ku memang sengaja aku bikin pada posisi off-roaming
agar tak cepat kehabisan pulsa. Aku gembira saat kembali dari kampus Box Hill
Institut tablet (phonecell) ku mendeteksi sinyal WiFi di luar hotel Rydges
tempat kami menginap. Aku sengaja berlama- lama di luar menikmati WiFi
gratisan, soalnya kalau masuk ke hotel tentu akan mencatat pemakaian WiFi-ku,
demikian menurut perkiraanku.
Aku merasa riang
gembira dengan WiFi gratisan di luar hotel. Apa lagi loadingnya cepat. Beberapa
foto, atau lusinan foto yang aku upload segera terkirim. Aku gembira teman dan
familiku di Batusangkar bakal mengikuti perkembangan perjalanan kami.
Aku main facebook
sepuas-puasnya. Aku membalas semua status teman-teman lewat facebookku dan
sekaligus juga mengupload foto foto terus. Bosan di luar, aku masuk menyelinap-
menyembunyikan tabletku dari pantauan petugas hotel dan terus ke kamarku di
lantai 20. Syukur bahwa sinyal WiFi cukup kuat di kamarku dan aku terus bermain
dan aku nggak mau tidur atau beristirahat. Aku merasa rigi bila tidak
mengupdate fb lewat WiFi gratisan. Namun pas jam 9 malam, jaringan WiFi
terputus. Wah lumayan WiFi gratisan, demikian fikirku lagi.
Ku pikir mungkin aku
memanfaatkan WiFi hanya selama 4 jam saja. Namun astaga saat menyerahkan kunci
aku harus bayar atau charge 18 dollar. Mesin front desk mendeteksi machine
tabletku- aku dalam hati mau protes, namun aku merasa malu. Aku merasa nyesal
karena bayar kemahalan yaitu Rp. 200 ribu hanya untuk pemakaian WiFi selama 4
jam. Apalagi aku sendiri merasa tidak memakai WiFi hotel secara resmi.
“Ini kan Australia. Aku
baru separo mengerti dengan way of life dan hal-hal detail tentang peraturan di
Australia. Haaa aku harus bayar 18 dollar. Memang ada rasa menyesal….kok
kemahalan ya. Dari pada bayar semahal itu mendingan aku beli souvenir buat
keponakanku di kampung. Dengan 18 dollar aku bisa beli kira kira 8 biji peci
bermerek Australia dan bermanfaat buat 8 orang di kampung”.
Pagi ini kami semua
hanya akan sarapan melalui snack dalam kotak, waktu di hotel ini memang sudah
berakhir. Aku berfikir bahwa bentuk sarapan kotak mungkin juga ada nasi
gorengnya atau paling kurang kue-kue gorengan dan ada satu botol air mineral.
Wah ternyata tidak.
Isi kotak buat sarapan
hanya satu box jajanan buatan Australia, ya ada cereal dari honey oat, minuman
juice buah tropical pouch- rasanya terasa baru dan terasa aneh di lidahku, jadi
susah buat aku telan. Kemudian juga ada nutty
fruit full cream milk dan cookies.
Bis wisata yang
dikemudikan oleh sopir yang bernama Michael telah datang. Ia bersiap-siap
membantu kami buat memuat barang- barang. Aku tidak menghabiskan semua sarapan
kecuali hanya cereal. Ah…aku ingin tidur dalam bis nanti atau sekedar
memejamkan mata. Semalaman tidurku tidak begitu nyenyak. Namun aku tidak mau
buang buang waktu, aku sholat sunat dan kemudian membaca serta menyelesaikan
naskah novelku.
3. Malu Bertanya Sesat di Jalan
Sekali- sekali aku
membuka mata agar aku tidak terlalu rugi untuk menikmati sisa pengalaman yang
tinggal. Akhirnya bis berhenti dekat bandara Melbourne buat terbang menuju
Sydney lagi. Aku jadi ingat dengan pengalaman kami bertiga, sama sama pendatang
baru dan sama- sama tidak tahu dengan Australia. Saat itu kami bertiga (Aku,
Desi dan Inhendri) mengembara di benua ini ibarat kecil yang minim pengalaman.
Kami melangkah dalam
ruang terminal bandara yang sangat luas. Ya betul kami ibarat anak kecil
yang bereksplorasi dalam labirin. Kami
jalan sedikit sesat, bergerak sedikit dan juga tersesat. Solusinya adalah saat
tersesat ya rajin- rajin bertanya. Seperti kata pepatah: malu bertanya sesat di
jalan. Kalau kami sebaliknya yaitu sesat dulu bertanya kemudian dan kami sangat
berani buat bertanya.
Rachman, tour leader
kami selalu proaktif demi kenyamanan dan keselamatan kami. Ia memerintahkan
agar kami melepaskan stiker/ label pada bagasi yang bertuliskan “Melbourne”.
Soalnya kalau tidak dilepas, kelak setelah sampai di Sydney bagasi kami bisa
kembali ke Melbourne, dikira nanti oleh petugas immigrasi bahwa ini bagasi
menuju Melbourne.
Kami mengikuti langkah
Rachman. Aku melangkah dengan rasa rileks, tidak takut tersesat seperti
berpergian semester lalu. Aku kadang-kadang memperhatikan gerak-gerik bule-bule
yang juga ikut antrian. Anak anak mereka yang kecil-kecil juga ikut antrian
dengan tertib. Mereka juga belajar untuk mampu mengurus diri.
“Pantesan anak-anak
bule semuanya pada cerdas-cerdas, kecil-kecil mereka sudah punya pengalaman
internasional. Lihat- mereka sudah mengerti dimana harus berdiri, bagaimana
melintasi proses immigrasi, bagaimana prilakunya saat melihat anjing pelacak mengendus-
endus tas mereka. Penting sekali bagi anak anak memilikim pengalaman positisf
seluas mungkin”.
4. Tak Ada Sarapan di Pesawat
Sebagaimana
kebiasaanku, tidak makan dan tidak minum kalau mau berpergian. Karena aku
selalu khawatir kalau tidak bisa menjumpai toilet. Karena pernah dalam hidup
aku susah menemui toilet dan merasa tersiksa dalam perut.
Jadinya
tadi pagi aku tidak menghabiskan semua sarapanku, dengan alasan dalam fikiran
bahwa kami juga akan memperoleh makanan dalam pesawat. Karena tidak boleh
membawa makan dan minum dalam pesawat maka aku hanya meninggalkan saja di
bandara. Jadinya bottle air, susu full cream dan kue-kue snack juga aku
tinggalkan dengan hati berat.
Kami
terus melangkah menuju boarding proses. Agak lama kami antrian dan memang perut
mulai terasa keroncongan dan juga rasa haus. Tidak begitu lama, kami semua
sudah berada dalam pesawat Jet Star. Betul- betul lapar…, aku berharap
pramugari segera datang buat mendistribusikan sarapan buat penumpang. Aku sudah
tidak sabaran dan telah membuka meja buat memudahkan pramugari meletakan
minuman dan makanan.
Tiba-
tiba Ibu Aat yang duduk disebelahku berbicara separoh berbisik. “Pak Marjohan,
makanan dan minuman dalam trolley semua musti kita bayar !”. Wah aku jadi lemes
mendengarnya.
Penerbangan ini mengapa
berbeda. Dalam pesawat Qantas kami memperoleh satu set makanan. Namun pesawat
ini tidak, Pesawat Jet Star mungkin pesawat buat domestik. Jadi manajemennya
tentu juga beda dengan pesawat internasional.
Aku jadi malu, pelan-
pelan aku lipat kembali meja hiding di depan. Aku mau beli makanan, namun
dollarku sudah menipis. Kalau aku beli juga tentu aku segan makan sendirian
karena sebagai orang timur tidak etis makan dan minum sendirian dalam grup.
Paling kurang aku musti membeli lebih
buat mentraktir Ibu Aat dan juga Mas Nurhadi teman sebangku ku. Jadinya aku
tidak beli dan biarlah menahan lapar dan juga haus dalam pesawat ini.
Lapaaarrr…dan juga hauuss !!
5. Membuat kesibukan.
Ternyata
penerbangan dengan pesawat Jet Star adalah buat penerbangan kelas ekonomi. Para
penumpang kelas ekonomi tidak memperoleh fasilitas hiburan dan snack- makanan.
Penerbangan yang yang seperti aku alami untuk lintas propinsi ditanah air.
Penerbangan
dua jam dari Melbourne ke Sydney tanpa ada fasilitas hiburan juga terasa
membosankan. Mau baca- baca juga tidak ada tersedia koran dan majalah. Terpaksa
kita sendiri harus kreatif dan beruntung bagi mereka yang punya buku buku
sendiri.
Aku melemparkan
pandangan ke arah kanan. Sekali- sekali aku dengar suara balita- merengek
bosan. Balita tersebut tentulah warga Australia keturunan Asia selatan. Mungkin
India atau Pakistan, atau juga mungkin Srilangka atau Bangladesh. Karena 4
bangsa ini wajah mereka mirip dan susah membedakannya.
Standar dan cara hidup mereka
terlihat sudah seperti warga Australia secara umum. Agar anak mereka tidak
bosan dalam perjalanan yang panjang maka orang tua menyiapkan pernak-pernik
kebutuhan anak. Aku lihat ada tablet atau android, snack, cemilan susu kotak,
buku bacaan dan crayon buat mewarna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them