Tidak
Berjumpa Kakak Hampir 30 Tahun
1.
Menuju Pondok Kopi
Meskipun
tadi ada sedikit keributan dalam pesawat, Alhamdulillah pesawat kami mendarat
dengan selamat di bandara Sukarno Hatta. Aku memastikan bahwa pesawat sudah
benar benar berhenti maka baruaku aktifkan power phone cellku. Sebetulnya aku
juga agak sering mematikan phone cell itu bertujuan untuk menghebat daya- ya
agar aku nanti bisa menelpon.
Aku
mengikuti anjuran kakak agar naik bis Damri saja menuju terminal Rawamangun dan
kakakku-Uda Syam sedang menunggu aku di sana sekarang. Aku menyeret bagasiku ke
luar dan menuju pelintasan bis Damri. Aku juga ikut berdiri dipinggi jalan, aku
membaca jurusan yang dituju bis Damri. Dan tidak beberapa lama aku melihat
tulisan bis Damri “jurusan Rawamangun”. Aku juga ikut antrian masuk kedalam
mobil yang nyaman ini.
“Ya
armada Damri memang sejuk. Lagian kita tidak bosan maka kita bisa mengaktifkan
WiFi dan inta password Bis Damri. WiFi akan terasa sangat membantu saat bis
berhenti di persimpangan jalan dengan masa tunggu traficlight cyang cukup lama.
Saat bis Damri menunggu dalam kemacetan hampir seperempat jam, aku bisa
mengupload banyak foto dan menulis pada status FB dan juga twitter”.
Aku
tidak mau tidur tiduran, meski ruangan bis terasa sejuk dan nyaman. Aku
melepaskan pemandangan ke luar. Melihat sisi kiri dan kanan, Jakarta memang
kota yang cantik. Pantasan orang selalu ingin datang kekota ini. Setelah hampir
meninggalkan toll dari bandara aku melihat patung Sukarno dan Hatta. Patungnya
cukup megah. Tingginya mungki setinggi patung Merlion di Singapura. Namun
karena ia dibangun di sisi jalan toll,sehingga tidak bisa dijadikan sebagai
objek wisata- tempat atau titik buat dikunjungi.
Sekali-
sekali UdaSyam (kakak ku) selalu menelpon dan juga mengirim SMS, ya untuk
mengetahui keberadaanku. Aku yakin bahwa tentu aku telah menyusahkannya.
Apalagi aku sendiri tadi meprediksi aku bakal sampai di sini sekitar jam 13.00
siang, dalam kenyataan sekarang sudah pukul 19.00 malam dan aku masih dalam
bis.
Ini
adalah pengalaman ke duaku naik bis Damri dari bandara Sukarno Hatta. Tahun
lalu aku naik Damri dari bandara menuju Bogor, ya dalam rangka HGN- Hari Guru
Nasional, dan aku Alhamdulillah diundang buat memperoleh penghargaan dari
Presiden RI yang bertempat di Audiotorium Sentul Bogor. Aku sudah bersiap siap
mau turun, karena aku sudah membaca nama daerah Rawamangun. Beberapa menit lag
ibis ini akan berhenti di terminal Rawamangun dan aku sendiri juga turun di
terminal.
Suasana
malam sudah terasa, apalagi beda waktu dengan kampungku adalah satu jam. Bis
Damri berbelon dan lajunyamenjadi pelan hingga berhenti di samping kiri gerbang
terminal. Aku antri buat turun dan setelah agak sepi aku juga turun dan
menyeret bagasiku ke tempat bangku dimana penumpang menunggu.
Aku
tadi mengirim SMS memberitakan bahwa aku sudah sampai dan sekarang aku telpon.
Sekali sekali terputus. Kami saling mendengar namun kadang kadang kurang
mengerti apa yang kami maksud dalam telepon. Penyebabnya adalah logat bahasa ku
yang kurang familiar di telinga Uda Syam dan kekuatan pendengaran Uda Syam yang
sudah mulai terganggu.
Aku
selalu mengatakan “halo….halo…halo”. dan Uda Syam juga sibuk menjawab dengan
bahasa respon yang kurang nyampung denganku. Aku penasaran tentang di mana
posisi uda Syam kini. Terminal Rawamangun sangat dibandingkan dengan terminal
mobil yang ada di Padang. Aku akhirnya menoleh ke arah kiri. Hanya kira kira 10
meter saja. Aku melihat seorang pria, terlihat sudah tua, sibuk menelpon dan
ngobrol.. memanggil manggil, dan suaranya masuk ke phonecell ku.
“Ondeh….ikonyo mah…..(Astaga ini dia)”.
Gerundelanku dalam bahasa Minang. Aku segera mendengar pada pria tua itu. Aku
memastikan bahwa iaadalah kakak ku “Uda Syam”.
“Uda….syam, uda syam…..kok awak lah tibo (Uda
Syam ini saya sudah datang”. Kataku.
“Ondeh mandeh…uda lah panek maliek liek waang
dari tadi. Uda di siko sajo nyoh dari dari tadi (Ya ampun, saya sudah lama
mencari cari kamu dan saya hanya di sini saja sejak tadi”.
Kami
langsung berpelukan dan saling mendekapkan pipi. Rasa persaudaraan kami saling
melebur. Aku merangkul kakakku yang masih berpakaian agak kumal disbanding
pakaianku yang serba baru, ya pakaian yang aku siapkan buat menuju ke Melbourne
esok sore. Uda kemudian menyambar bagasiku dan aku juga demikian.Kami melangkah
ke arah luar buat mencari taxi.Kami mendapati taxi dan membuat semua bagsasi.
Taxi kemudian melaju menuju Kampung Pisangan, Kelurahan Penggilingan di Kecamatan
Cakung- Jakarta Timur. Aku mendengar keterangan bahwa kami berhenti di daerah
Pondok Kopi sebelum jembatan layang.
2. Tiga Puluh Tahun Tidak Berjumpa
Aku
tidak berjumpa dengan Uda Syam hampir 30 tahun lamanya. Terakhir kami berjumpa
saat aku sekolah di SMA di Payakumbuh. Saat itu ia masing sangat muda, dengan
rambut ikal dan hitam. Sekarang saat kami berjumpa aku hampir lupa dengannya,
rambutrnya yang hitam sudah berubah putih, yang ia miliki hanya semangat untuk melawan
keganasan hidup di Jakarta.
Ya
seperi yang pernah aku ungkapkan dalam bukuku “Kisah dahsyat guru berprestasi
selangit” bahwa kami berasal dari sepasang orang tua, yang mana perkawinan
mereka penuh dengan liku- liku problem. Ayahku menikah dalam usia remaja dan
selama hidupnya ia pernah menikah dengan 3 orang perempuan. Semua perkawinannya
berakhir dengan tidak bahagia.
Terus
terang ayahku tidak pernah mengerti bagaimana dengan perkawinan dan bagaimana
pula dengan parenting- menjadi orang
tua. Ayahku menikah dalam usia remaja dan tentu saja kurang mengerti dengan
konsep perkawinan dan itu adalah lazim terjadi dalam masyarakat saat itu.
Dari
perkawinan pertama, mereka memperoleh 2 orang anak. Gara-gara bertengkar dalam
perjalanan dengan kereta api di Kayutanam saat menuju Padang Panjang, ayahku
langsung minggat dan meninggalkan bayi dan balitanya begitu saja. Aku yakin
saat itu mereka bertengkar hebat. Itulah saat itu mana ada bimbingan tentang
perkawinan dan juga tentang parenting. Ayahku juga kurang mnengerti bagaimana
menjadi suami dan menjadi ayah yang ideal bagi keluarga mereka.
Kemudiam
ayahku segera menemui seorang perempuan baru dan menikah lagi. Dari pernikahan
yang kedua ini ayah punya satu anak. Lagi lagi terjadi goncanngsan perkawinan
dan juga perkawinan mereka segera berakhir. Aku yakin penyebabnya bahwa
istrinya mengharapkan tanggung jawab ayahku sebagai seorang ayah dan
suami.
Bukan
tujuan untuk membuka aib atau rahasia perkawinan orang tuaku, hanya sekedar
mendeskribsikan perkawinan mereka dan juga banyak orang satu zaman dengan
mereka yang perkawinan mereka cukup rapuh. Tentang ayah dan ibuku, masa lalu
perkawinan mereka ya sepuluh- sebelas- maksudnya tidak jauh beda.
Ibuku
juga pernah menikah dengan 3 laki- laki dalam hidupnya. Semua pernikahannya
juga berakhir dengan unhappy ending.
Aku berharap agar pembaca bisa memperoleh pembelajaran dari perkawinannya. Dan
betapa penting kalau kita bisa merawat perkawinan ini.
Uda
Syam adalah kakak tiriku. Ia lahir dari perkawinan ibu yang kedua dengan
seorang prajurit tentara. Saat ia masih berusia balita ibu bercerai dengan
ayahnya dan menikah dengan laki-laki lain, yaitu adalah ayahku sendiri.
Perceraian
ibu dengan suaminya yang ke dua terjadi karena suaminya pergi jauh cukup lama.
Pak Marah (gelarnya) bertugas sebagai prajurit tentara pergi berjuang ke daerah
Jamji buat menjaga keamanan di zaman pergolakan itu. Tiba tiba datang laki laki
ke kampung ibuku dan singkap waktu mereka saling berbagi rasa simpati dan
saling jatuh cinta. Bara cintamereka tercium oleh Pak Marah dan ia memutuskan
pulang. Gossip yang ia dengar adalah sebuah kenyataan. Ia memberi ibu surat
cerai.
Ibuku
sangat sedih dicerai oleh suaminya, namun sedihnya juga disambut gembira karena
panah cinta oleh lelaki baru dalam hidupnya. Mereka menikah dan lelaki ini
adalah ayahku. Nasib baik perkawinan ayah dan ibu menjadi membaik saat aku
lahir, karena ayah berubah baik dari status pengangguran atau buruh serabutan
menjadi seorang prajurit polisi.
Ya benar bahwa ayah
saat itu adalah seorang prajrit polisi. Saat kami masih kecil- kecil kami
hijrah ke kota Payakumbuh. Ayah bertugas sebagai polisi di sana, sementara Uda
Syam tidak mau ikut maka ia dititip saja dengan nenek di Lubuk Alung. Aku tahu
bahwa tentu masa kecil Uda Syam tidak begitu bahagia- tidak punya ayah dan juga
tidak ada ibu. Pendidikan Uda Syam tentu juga tidak bagus, ia hanya sekolah di
SD..ya sekedar bisa membaca abjad dan tahu sedikit berhitung. Itupun dia tidak
tamat dari bangku SD.
Saat merasa cukup kuat,
ya berumur remaja, maka Uda Syam memutuskan buat mengubah nasib yaitu merantau
ke kota metropolitan Jakarta. Saat itu aku baru lepas dari bangku SMP dan masuk
ke SMAN 1 Payakumbuh. Saat itulah terkhir kali aku berjumpa dengan Uda Syam-
saat ia mau pamit pada kami. Ia meratau dengan bermodal dengkul dan keberanian
yang membara.
Apakah uda Syam bekerja
sebagai buruh pabrik ada sebagai PNS kecil di Jakarta? Wah itu adalah sebuah
mimpi. Uda Syam hanyak bekerja sebagai
keamanan- penjaga tumpukan barang pedagang kaki lima pada malam hari. Bila
malam datang maka pedagang kaki lima kembali membungkus barang- barang mereka
dan ditumpuk. Mereka mempercayakan keamanan barang barang tersebut pada
kakakku.
Maka itulah kerja
kakakku selama belasan tahun tidur di emperan sambil menjaga keamanan tumpukan
barang pedagang kaki lima. Aku amat sedih mendengar realita, namu apa yang
hendak dikata …ya itulah realita dan kemampuannya untuk menyambung hidup.
“Hidup harus berjuang.
Kerja seperti itu lebih mulia dari pada jadi pengemis, penganggur apalagi menjadi
pengganggu orang”.
3. Bermalam Di Samping Rel Kereta Api
Aku
memutuskan bermalam di rumah Uda Syam, di perumahan milik warga pendatang yang
mayoritas berasal dari Sumatra. Rumahnya cukup sempir, ya maklum rumah di
Jakarta. Jaraknya hanya beerapa meter saja dari pinggiran rel kereta api. Aku
harus bisa membaur dan juga bisa beradaptasi dengan cara hidup mereka.
Aku
sangat mengagumi kakakku. Meskipun hanya berbekal pengalaman hidup yang
diperoleh secara alami dan keberanian, ia mampu bertahan hidup. Ia sekarang
sudah punya rumah- tempat bernaung dari hujan dan panas bersama istri dan dua
anaknya. Ke dua anaknya juga tahu diri, pagi pagi pergi sekolah di SMK dan
nanti sore hingga malam mereka membantu ayahnya berdagang di kaki lima.
“Malam
ini aku sengaja menginap di rumah kakak.ia tinggal di daerah Cakung dengan para
tetangga yang sama tingkatan ekonomi mereka dan mungkin juga sama kualitas
pendidikan mereka. Aku perhatikan bahwa warga di sini bisa memiliki rumah
sangat kecil walau sangat sederhana. Mereka gembira karena bisa menyekolahkan
anak. Itu mereka anggap sudah sangat bagus”.
Sebagai
pendidik, aku perhatikan bahwa banyak anak- anak di sini yang kekurangan tidur.
Televisi menyala hampir sepanjang hari dan televisi baru bisa dimatikan jam 11
malam. Maka umumnya anak- anak tidur jam 11 malam. Jadi mereka kekurangan
tidur, sementara esok pagi harus bangun pagi pagi dan tentu mereka pergi
sekolah dengan mata yang mengantuk. Kalau belajar dengan mata mengantuk mana
pelajaran bisamengerti.
Belajar
dengan kondisi mata mengantuk telah menjadi salah satu penyebab kualitas mereka
terganggu. Kemudian hidup yang juga kurang peduli dengan waktu juga membuat
mayoritas warga juga tidak teratur dalam sholat, malah banyak warga yang
sholatnya bolong bolong. Demikian pula dengan membaca. Keberadaan surat kabar
dan majalah di kompleks ini adalah sesuatu yang amat sulit buat ditemui. Ini
berarti bahwa mereka tidak begitu peduli dengan membaca.
Aku
sempat jalan- jalan ke depan rumah tetangga. Mataku tertuju pada sampah- sampah
yang bertebaran di sana-sini. Membersihkan sampah dari bumi terasa amat sulit
untuk dilakukan.Wah kita butuh keajaiban agar ada pendidik dan stakeholder yang peduli dan mampu
mengubah kualitas kebersihan bumi ini.
Aku
tidak bisa tidur nyenyak karena perbedaan suhu. Aku terbiasa tinggal di kota
kecil di daerah pegunungan- Batusangkar- dengan iklim sejuk dan berangin. Meski
aku sudah tidur disamping kipas angin, namun nyamuk- nayamuk kota Jakarta cukup
aggresif mencari cari kulit kaki ku. Akuperhatikan tadi sore bahwa drainase
sekeliling banyak yang terbuka dan milyaran jentik jentik nyamuk dalam beberapa
hari akan berubah menjadi nyamuk dewasa dan siap untuk menebarkan penyakit
malaria atau DBD. Warga sekitar perlu menambah ilmu terutama yang berkaitan
tentang cara hidup lebih sehat.
Rumah
tempat aku menginap malam ini nama lainnya adalah “rumah bedeng’ yaitu
perumahan sederhana yang sempit. Ya semuaorang dalam komunitas di daerah ini
hidup dalam rumah bedeng dan seolah- olah saling berdesakan. Profil perumahan
bedeng- sebagai perumahan bagi masyarakat ekonomi kelas bawah- jumlahnya di
kota Jakarta sangat banyak. Tentu saja kualitas SDM mereka ikut menetukan
kualitas SDM kota Jakarta secara makro. Andaikata kota Jakarta termasuk kota yang
ber-SDM rendah di dunia, maka merekalah penyebabnya.
Aku juga yakin bahwa
orang tua di daerah ini belumbisa memberi model pada anak- anak mereka. Umumnya
mereka adalah orang tua dengan tingkat pendidikan yang masih rendah, paling
tinggi cuma tamatan SLTA. Dan tamatan SLTA buat ukuran zaman sekarang bisa
dipandang sebagai tingkat pendidikan wajib belajar saja. Tentu saja tingkat
ekonomi dan kesadaran hidup sehat masyarakat juga rendah.
“Pagi pagi sebagian
pria terlihat sudah bengong- tidak tahu kerjaan- kecuali mereka cuma nongkrong
dan menghisap rokok kretek. Ini merupakan profil hidup orang orang
berpendidikan rendah.”
Tentu saja orang –orang
dewasa di sini juga kurang kenal dengan parenting-
atau bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Karena mereka buta dengan wawasan
mendidik, maka cara mendidik anak mereka terapkan lewat meniru cara dan
perlakuan generasi sebelumnya. Kalau
orang tua mereka mendidik dengan cara yang salah maka mereka akan mengulang
cara yang salah tersebut. Pintar mereka mendidik hanya baru sebatas mampu
“menyuruh dan melarang”.
Sekali seperti yang aku
lihat bahwa penduduk di sini- juga penduduk yang tinggal di perumahan bedeng-
kurang peduli dalam mengelola waktu buat keluarga atau disiplin waktu. Mereka
tidak begitu menghiraukan kapan anak harus belajar,kapan harus bangun, kapan
harus pulang sekolah, dll. Ya rata- rata anak kekurangan tidur, hanya mengikuti
pola tidur orang dewasa.
Mereka adalah juga
masyarakat yang sekedar aktif secaraverbal- cuma tahu ngobrol tentang hal- hal
yang ringan atau menonton TV dari pagi hingga malam. Pola hidup sehat juga
kurang mereka kenal. Aku perhatikan
bahwa jarang komunitas di sini yang mengkonsumsi sayur dan buah- buahan segar.
Karena mereka harus hidup berhemat.
Pastilah warga di sini
juga cukup rentan terkena wabah penyakit. Karena hampir semua kaum pria adalah
perokok berat. Aku juga memperhatikan bahwa anak anak di sini kurang punya
ruang buat bermain. Di sana sini anak anak kecil hanyaduduk bengong dan
merengek karena penuh rasa bosan.
Tentu saja membaca buku buku dan majalah
berkualitas adalah sesuatu yang langka bagi mereka. Bagi remaja- untuk
mengatasi rasa sepi dan kebosanan- makamereka mencari tempat nongkrong. Di sana
merekasaling bercandadan saling meledek. Saling meledek yang bisa membuat sakit
hati bisa berbuntut pada perkelahiandan jugatawuran massal. Ya seperti itulah
rutinitas kehidupan mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them