A.
Jangan Lupa Sholat, ya…!!!
1.
Batal Shopping
Kami
membatalkan rencana untuk pergi ke shopping centre di Swenston Shopping Centre.
Hari sudah menunjukan pukul 16.00 lewat.
Kami belum merasa gelisah karena belum melakukan sholat zuhur dan juga sholat
ashar.
Meskipun teman-teman dalam grup kami ngobrolnya kayak
siswa sekolahan, sedikit urakan, membebaskan diri dari formalitas. Namun kami
tetapi berhati Makkah- maksudnya kami masih punya hati yang cukup religious.
Kami
mengatakan kepada tour leader agar
membatalkan shopping dan baiknya kami kembali saja ke hotel. Tujuan adalah agar
kami bisa melakukan sholat- sholat jamak zuhur dan ashar. Meninggalkan sholat
adalah dosa besar.
Tour leader merespon bahwa kalau kami
pergi ke hotel berarti kami akan kehilangan moment buat berlibur. kami tidak
melihat keindahan suasana di shopping centre swenston dan sekaligus tidak bisa
cuci mata.
“Kalau
alasannya hanya untuk sholat, bukankah orang Islam bisa sholat dalam bis dan
cukup melakukan tayamum saja”. Kata Rahman.
“Itu
benar, bang Rahman. Namun kami tidak merasa bersih, pakaian kami sudah tidak
bersih lagi. Sebab banyak toilet di Australia kurang mendukung kitauntuk suci
dari hadast atau najis. Malah ada toiletnya tanpa air sehingga kita tak bisa
bersuci. Disana tertulis toilet with non
water urination. Jadi bagusnya kita kembali saja ke hotel”.
Sebagai
jalan tengah, sekarang ada alternative. Bagi yang ingin ke hotel akan diantar
ke hotel dan bagi yang mau ke shopping center juga diantar. Kami memilih untuk
pulang ke hotel, dengan catatan bahwa kami akan rendesvouz pukul 18.00 sore di
restoran West Lake.
Kami
memutuskan buat kembali ke hotel. Aku sendiri merasa sangat bahagia. Aku bisa
mandi pake air hangat, tadi pagi aku malas mandi karena merasa sangat dingin-
suhu cukup rendah yaitu 10o C dan juga kurang mood buat mandi.
Pokoknya aku jadi males buat mandi.
“Sore
ini aku bisamandi dengan memutar sedikit kran air panas dan jugamemutar kran
air dingin, jadinya suhur air bercampur menjadi sejuk. Aku merasa air tidak
begitu panas dan juga tidak begitu dingin.
Selesai
mandi aku bisa melakukan sholat- menjamak zuhur dan ashar. Untuk arah sholat-
arah kiblat- kemaren aku mematok dimana arah dan dimana tibmur. Ya tentu saja
berdasarkan arah jatuh bayangan mata hari. Aku tidak memiliki kompas dan yang
tadi adalah cara yang juga praktis.
Woooww
terasa plong, aku sudah sholat dan tidak ada rasa berhutang pada Tuhan rasanya.
Temanku Abdul Hajar memanaskan air dan bakal membuat teh hangat untuk dinikmati
di sore yang dingin ini.
Aku
masih terbayang dengan suasana di Dandenong High School. Pelayanan sekolah
sangat bagus dan Miss Susan Ogdan cukup cerdas. Ia mampu menjawab semua
pertanyaan kami dan juga menjelaskan sedetail mungkin. Aku rasa bahwa Miss
Ogdan bisa menjadi profil kepala sekolah yang ideal buat banyak sekolah di
Indonesia.
“Ia cerdas- punya
wawasan, memiliki kemampuan manajemen yang baik. Ia juga memiliki komunikatif
yang sangat baik. Ia tidak kaku. Dandannya sederhana namun terlihat anggun”.
Kami kemudian dibawa
jalan-jalan melihat lokasi sekolah dan juga masuk ke ruangan kelas. Kami bisa
melihat suasana PBM. Aku menyaksikan PBM pada beberapa kelas. Suasananya beda
dengan suasana kelas di negara kita- paling kurang suasana kelas di kampungku,
yang mana PBMnya sebagian berciri konvensional. Sati guru memandu 25 orang
siswa yang diminta duduk dengan manis. Mayoritas PBM bercorak berceramah dan
siswa mendengar dan mencatat saja.
Sementara pada PBM di
sekolah ini, sebagaimana aku lihat, bahwa para siswa dikondisikan sedang
melakukan sebuah projek dan semua grup bertanggung jawab untuk kesuksesan
proyek ini. Siswa duduk dalam grup dan kemudian team guru turun memberikan
instruksi. Siswa dalam grup bekerjasama untuk mencari apa yang diminta guru-
apa yang diharapkan oleh instruksi. Guru melangkah buat memonitor dan memberi
pelayanan/ bantuan. Pada akhirnya grup siswa memaparkan hasil kerja mereka.Team
guru tentu saja betanggung jawab pada semua siswa dalam kelas itu.
Aku memotret segala
sesuatu yang bisa memberi pesan padaku tentang keunggulan DHS (Dandenong High
School). Aku khawatir tidak bisa cepat mencatat segala sesuatu buat memory,
maka selembar potret bisa memberi seribu makna.
Guru- guru di sekolah
DHS juga punya pakaian seragam. Kalau berjalan, jalan mereka cukup besemangat,
tidak ada yang berjalan lunglai. Tidak ada guru yang dalam PBM terlalu banyak
duduk dan banyak berceramah, tidak ada guru yang berpenampilan lesu. Guru yang
bersemangat akan membuat PBM dan siswa juga bersemangat.
Meja guru tidak perlu
lebih nyaman dari siswa, khawatir kalau gurunya jadi kebanyakan duduk. Guru-
guru kalau berjumpa di luar DHS terlihat individu dan tidak ramah, namun
setelah berada dalam kompleks sekolah semuanya berubah ramah dan melayani.
2.
Restoran Indonesia
Aku
berfikir bahwa semua orang tua perlu membuat anak untuk berani. Mereka perlu
untuk melibatkan anak dalam berbagai aktivitas di rumah dan memberi mereka
pengalaman untuk memcobanya sendiri.
Aku
melihat satu keluarga Australia. Orang tua menghela bagasi dan anak mereka yang
masih balita atau yang berusia sangat kecil juga ikut menghela bagasi mereka
sendiri. Saat orang tua berada di dapur memasak sayur, mereka juga ikut
mempersilahkan anak untuk mencoba memasak. Bukan melarang mereka- dengan alasan
mengganggu. Ikut memberi anak pengalaman dan ikut melibatkan mereka dalam berbagai
kegiatan bisa membuat mereka cerdas dengan life skill.
Mana
kira-kira yang lebih kaya pengalaman hidup antara mahasiswa Indonesia yang
kuliah di Australia dengan mahasiswa yang hidup bersama orang tua dan serba di
bantu oleh orang tua. Tentu saja yang kuliah jauh dari orang tua, mereka akan
lebih mandiri untuk membantu diri sendiri dan juga mengatasi problem diri
sendiri.
Mahasiswa
yang tinggal bareng dengan orang tua, tidak masalah. Yang penting mereka musti
punya peran dalam hidup dan mereka punya tanggung jawab dalam membantu diri
sendiri terlebih dahulu. Anak- anak dan mahasiswa yang miskin pengalaman dan
serba dibantu adalah anak- anak yang memiliki pribadi yang rapuh. Mereka bisa
diberi gelar sebagai “Si anak mami”.
Sebelum jam 18.00 sore
kami turun semua. Aku turun dari kamar 1012 untuk berjalan di bawah guyuran
gerimis menuju restoran di daerah West Lake. Kami cari- cari dimana letak
restoran ini. Tentu saja kami harus bertanya pada orang- orang yang lewat, dan
tidak ada yang tahu. Kami kemudian bertanya pada salah seorang shopkeeper yang
terdekat dan ternyata juga tidak mengenal resto yang kami cari.
Namun
aneh mengapa mereka tidak kenal (?), mereka sudah menjadi warga daerah ini atau
paling kurang sudah lama tinggal di daerah ini. Semuanya hanya bisa bilang “I
have no idea- maksudnya aku betul betul tidak tahu”.
Beda
dengan di Jakarta, kalau kita menanyakan sesuatu maka orang orang akan memberi
respon. Paling kurang mereka akan memberi deskripsi tentang tempat yang bisa
kami tuju. Entahlah mungkin kami belum bertanya pada the right man tentang the
right place.
Akhirnya
kami berjumpa dengan resto yang kami cari. Tertulis nama “West Lake
Restaurant”. Kami datang lebih cepat dari grup teman yang pergi shopping tadi. Kami
menjadi tempat yang meja dan kursinya lebih luas dekat sebuah pojok, kami
segera duduk di sana.
Kami
segera disuguhi minuman teh hangat, kami harus bikin tehnya sendiri- sendiri. Sambil
menunggu grup teman, kami ngobrol tentang berbagai hal dalam bahasa Jawa,
karena mayoritas temanku adalah berasal dari keturunan Jawa yang kebetulan
menyebar ke propinsi lain. Aku mengerti dengan apa yang mereka obrolkan tetapi
aku tidak bisa ngomong Jawa. Tentu saja orang orang Australia lebih tidak
mengerti lagi dengan obrolan mereka.
Pengunjung
restorang yang lain, juga tidak ngobrol dalam bahasa Inggris. Mereka ngobrol
dalam bahasa nenek moyang mereka, mungkin bahasa Vietnam, Korea, Japan China,
atau bahasa lain. Kami sengaja minum air teh perlahan-lahan hingga teman-teman
datang.
Perut kami terasa
keroncongan. Tidak ada yang special yang aku temui di restoran ini. Kecuali aku
sempat menyapa salah seorang pelayan restoran. Ia adalah mahasiswa Indonesia
yang sedang kuliah di sini. Ia sekarang bekerja part time- kerja sampingan untuk mengatasi problem keuangannya.
Malam ini kami makan
hidangan yang cukup lezat. Dulu- saat datang ke sini 6 bulan lalu- aku merasa
sedikit curiga setiap kali makan daging pada restoran yang bukan milik orang
muslim. Aku khawatir kalau termakan daging babi atau minyak babi- itukan haram.
Namun karena sekarang kami berangkat dipandu oleh travel biro Reira- mengerti
tentang Islam dan makanan halal.
Rahman, pemandu kami
juga beragama Islam. Maka kami menyantap semua daging dengan penuh rasa aman.
Moga moga semua daging dan semuahidangan yang kami konsumsi memang halal.
Usai makan malam aku
sempat bertanya pada salah seorang pelayan perempuan berwajah China, berusia
muda dan cantik, tentang apakah semua hiding yang konsumsi halal. ya prosesnya
memang halal- katanya. Aku juga bertanya tentang tekhnik menggunakan chopstick.
Aku pengen makan sayur atau mie pake chopstick. Wah cukup sulit juga
menggunakan chopstick.
“ No, it is easy, just
see and like this….hold up, open…close, open- close on your fingers”.
Pelayan itu memberi aku
kursus kilat menggunakan chopstick- gratis. Ope- close- buka jari..tutup jari. Wah
sulit dan aku butuh waktu latihan kira kira 20 kali atau 100 kali.
Alhamdulillah, perut
kami semua terasa kenyang. Yang kepikir adalah kami pengen balik ke hotel. Kami
cuma duduk sebentar, beres- beres dan tour leader mengurur biayanya- semua
dibayar oleh negara dan kami ke sini adalah biaya negara.
Kami menuju mobil
wisata yang sudah menunggu di luar. Kami semua diantar lagi ke hotel. Aku
merasa lega. Aku bisa sholat maghrib dan isya dan juga bisa buat membaca dan
menulis.
3. Membaca Membuat Anak Mengakses Dunia
Ada
banyak koran- koran Australia yang bisa aku ambil dan baca secara gratis. Semua
harga koran sudah dibebankan kepada harga sewa kamar. Dengan demikian orang
orang di sini jadi suka membaca, sedikit- sedikit mereka membaca. Ada satu
topik yang menarik buat aku baca, yaitu tentang berapa jauh kosa kata bisa
membuat seseorang bisa berubah.
Rick
Morton (2013) seorang pendidik Australia mengatakan bahwa anak- anak dari
kommunitas Yakanarra, di daerah terpencil Kimberley yang cukup terisolasi dari
dunia luarbisa menjadi pengarang dan menguasai dua bahasa yaitu bahasa ibunya
dan bahasa Inggris. Di sana dalam kenyataan bahwa ada satu dari lima anak yang bisa
menjumpai buku bacaan, yang materi bacaannya pun masih sederhana dalam bahasa
Inggris. Ternyata membaca bisa membuat anak-anak bisa mengakses dunia di luar
kommunitas mereka. Oleh sebab itu anak-anak perlu diberi banyak buku bacaan
sejak dini. Bagi anak yang punya prestasi perlu diberi reward.
Kemudian
Katheryne Shine (2013) juga mengingatkan agar orang tua meluangkan waktu agar
bisa banyak bercerita-ngobrol- dengan anak dan juga membacakan cerita buat
mereka. Karena anak yang mengenal berbagai bacaan- juga yang orang tuamereka
sering mengajak mereka ngobrol- akan membuat mereka lebih cerdas dan
berkualitas dalam percakapan. Sebaliknya, anak anak yang berasal dari keluarga
yang tidak memperkenalkan buku- literasi- pada anak akan membuat kualitas SDM-nya
jauh tertinggal dibanding dengan anak sebaya yang sudah mengenal
buku/bacaan.
Ukuran
keluarga (jumlah orang dalam keluarga) juga juga faktor yang menentukan atas
kualitas bahasa (juga SDM) anak. Anak
yang memiliki saudara lebih banyak- tentu akan memperoleh pelayanan
berbahasa dari orang tua- akan tertinggal kualitas bahasanya disbanding anak
sebayanya. Untuk itu orang tua kita ingatkan agar selalu berbagi cerita
anak-anak mereka sesering mungkin. Mungkin saat makan, saat mandi, saat
berkumpul bareng keluarga dan juga saat menjelang tidur. Tentu saja anak anak
selalu menyenangi suasana berbahasa yang hangat- bukan komunikasi/ bahasa yang
penuh jengkel, hardikan dan marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them