Senja
di Melbourne
1. Hotel Rydges
Bis kami berhenti di
depan Hotel Rydges. Kami semua turun dan mengambil barang dari lorry dan membua
semua barang ke dalam ruang tunggu hotel. Aku mencari tahu segala sesuatu
tentang Hotel Megah ini. Aku membuat perbandingan
tentang hotel di sini dan di tanah air. Tentu saja menurut pendapatku.
Hotel –hotel yang
pernah aku tempati di Sumatra dan di Jakarta cukup ramai pengunjungi. Hampir
tiap detik taxi datang untuk mengantarkan para tetamu. Ini karena penduduk
Indonesia sangat banyak. Namun tidak demikian di hotel- hotel Australia, terasa
agak sepi juga.
Sebelumnya
aku pernah tinggal di hotel Ibis dan hotel apartemen dan sekarang aku menginap
di Rydges Hotel. Hotel ini terletak 22 km dari pusat kota Melbourne. Semua kamarnya
dilengkapi dengan air conditioner dan heater. Penggunaan lampu juga cukup
hemat, lampu ruangan pada gang akan menyala sesuai sensor dari gelombang tubuh
kita.
Padabeberapa
Hotel di Padang terasa memberi pemanjaan pada tamunya. Dalam kamar hotel kita
bisa menikmati beberapa fasilitas seperti WiFi, sandal, televisi, air mineral
dan persedian the, kopi, gula dan crème. Semua tersedia dan gratis buat
dikonsumsi. Bagi WiFi yang punyapassword kita bisa minta password pada petugas
atau front officer.
Namun
tidak demikian dengan hotel yang aku tempati- dan agaknya semua hotel di sini. Hotel
Rydges ini memberiku charge $ 12 untuk penggunaan internet, itu untuk
penggunaan 24 jam dan itu setara dengan Rp. 120 ribu. Wah kemahalan kalau dikonversi
ke mata uang kita- itu bisa untuk biaya internet selama satu bulan. Penggunaan
audio visual dan TV musti ada konfirmasi ke pada petugas hotel. Barang kali
karena beberapa hiburan di negara ini ada yang layak atau tidak layak buat
dikonsumsi secara aman- mungkin ada program film buat orang dewasa. Untuk
menjadi warga internasional yang baik, aku berfikir bahwa kita harus bisa
beradaptasi dengan way of life
orang-orang negara modern.
Rahman,
pemandu kami, segera menemui front desk officer. Kemudian mendatangi untuk membagi
bagi kunci dan beberapa pengarahan. Aku memperoleh kunci dan teman satu kamarku
adalah Isdarmoko, seorang Kepala Sekolah berprestasi dari Sleman Jogjakarta.
Tahun lalu ia juga teman ku saat menerima anugerah dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada Hari Guru Nasional di Bogor.Namun Abdul Hajar, peserta dari
Makasar, mengusulkan agar kami satu kamar, yak arena kami sudah satu kamar
sejak dari Jakarta.
Ya
betul bahwa kami jadi tahu bahwa kami harus membayar untuk pemanfaatan WiFi.
Namun aku menunda penggunaan WiFi karena aku merasa kemahalan, sebagai ganti
aku memanfaatkan waktu buat menuliskan semua pengalaman pribadi. Di Hotel ini
kalau kami minum air mineral maka harus bayar $.3 atau Rp. 30 ribu. Ada yang
merasa berat maka mereka boleh merebus air minum dengan tea-boiler yang
tersedia pada setiap kamar. Jadinya kami bisa membuat minuman the atau kopi
buat menghangatkan perut.
2. Shark-Fin Inn
Jam
06.00 sore Rahman menelpon lewat intercome agar kami semua bisa turun ke lantai
dasar. Rahman mengajak kami semua buat makan malam di Shark-Fin Inn. Sebuah
restoran dan juga penginapan milik orang Asia, aku dengar restoran tersebut
milik orang China. Kemudian kami dihidangkan minuman teh ala China dan hidangan
lainnya. Masakan China memiliki banyak sajian sayur- tumis sayur- seperti tumis
jamur, lettuce, lobak, daun bawang. Yang aku perhatikan adalah tata cara
pelayanan hidangan China.
Begitu
kami duduk melingkari meja, pelayan segera datang menyuguhkan hidangan yang
belum disaji- kami diberi satu teko air panas, cangkir, dan teh-malah tidak ada
gula. Menjelang tiba hidangan berikutnya, kami semua menyiapkan minuman teh
sendiri- sendiri. Dan meminumnya pelan- pelan, karena bibir harushati hati agar
tidak kebakar air panas.
Kemudian
dengan gerak yang cekatan, pelayan menyajikan hidangan pembuka yaitu sup
jagung. Ya suka atau tidak suka kami harusmenikmatinya. Setelah itu tiba
hidangan utama, yaitu nasi dan lauk-pauk- seperti daging bebek, daging ikan,
dan tumis sayur. Aku separoh ragu memakan daging bebek- karena penyemblihannya
apakah secaraIslam. Maka aku hanya makan ikan saja. Lagi- lagi pelayan datang
untuk mengambil piring- piring yang sudah kosong.
Tawa
dan canda kami tidak seheboh saat lapar. Tidak terasahampir semuanya ludes,
kecuali daging bebek masih bersisa. Sebetulnya kami tidak mau menyisakan
makanan. Pelayan memperhatikan meja kami dan setelah itu kami diberi hidangan
penutup yaitu satu piring besar yang berisi irisan jeruk manis- namanya sunripe
orange..
Pada
beberapa restoran lain, sebagai hidangan penutup kami diberi irisan buah kiwi,
irisan sunripe orange dan juga irisan melon. Aku mengambil porsi sedikit lebih
banyak, karena aku khawatir kalau kekurangan vitamin selama di Australia.
Sajian
makanan di restoran China di Australa berbeda dengan restoran Padang- dimana
semua semua hidangan disajikan dalam satu termen saja dan mejanya lebih luas. Restoran
Australia juga menuntut agar pengunjung berhemat dengan air- di toilet
terpajang tulisan untuk penggunaan air yang efisien. Kita jadi tahu bagaimana
pemerintah dan penduduk Australia dalam melestarikan air.
3. Menelusuri Kota Melbourne
Usai
makan malam kami tidak langsung pulang ke hotel. Kami memutuskan buat jalan
jalan di pusat kota Melbourne di malam hari ini. Lokasinya persis di seputar
daerah China town. Lampion- lampion besar bergantungan di sepanjang
jalan-lorong kampung Cina. Aku berjalan dan mataku jadi liar untuk melihat
pernak pernik yang menggoda mata. Semua adalah pengalaman baru.
Diriku
hampir tenggelam dalam lalu lintas banyak manusia. Pasangan muda-mudi lebih
mendominasi pemandangan.namun aku tidak tahu apakah mereka semua pasangan yang
lagi jatuh cinta. Kalau mereka adik-kakak/ bersaudara maka tidak mungkin mereka
berjalan sambil berpegangan mesra.
Wah
ini kan pengalaman langka, bermalam di kota Melbourne juga langka, apa lagi
bila sudah balik ke Indonesia. Tentu bakal jadi sweet memory. Kami menyempatkan diri berfoto-foto bareng. Aku,
Nurhadi dan Sumarno- sebagai 3 guru yang yang terpilih terbaik se Indonesia
berfoto bareng. Kami berjalan terus…terus di keramaian jalan kota Melbourne.
Aku tidak tahu apa nama jalannya dan juga tidak tahu kemana arahnya. Yang jelas
sayup-sayup kami mendengar alunan musik pengamen.
Pengamennya
berwajah oriental dan alunan melodinya aku sangat kenal. Rasanya itu lagu tanah
air kita. Kalau tidak salah itu lagu keroncong. Ia sangat pintar memainkan lagu
lewat gesekan biolanya. Aku fikir bahwa orang Cina itu hanya tahu dengan melodi
dan tidak tahu darimana asal lagu itu dan apa judul lagunya. Aku coba
mengekspresikan lagu tersebut dan kami sengaja berhenti dekat pengamen itu.
“One…two….three start…!!!!. Ku lihat ibu pertiwi….sedang
berduka hati…..air matanya berlinang …..” Setelah itu aku, Nurhadi dan Sumarno
tertawa riang gembira ke arah pengamen itu.
“
Excuse me, what is the song tittle ?”
Tanyaku dan pengamen itu menggeleng.
“Where does the song come from?”
“I don’t know….may be from Taiwan”. Kata
pengamen itu.
“
That’s not true. The song comes from my
coutry, Indonesia” Kami menjelaskan dengan bangga dan rasa patriotik kami
bangkit.
“How do you learn it ?”
“Just
by instinct”.
Kami juga berfoto
bareng dengan pengamen itu. Kami kemudian menjatuhkan coin dan berlalu. Dari
kejauhan terlihat wajah pengamen itu dengan ekspresi penasaran dan mungkin ia
senang kami ganggu lebih banyak lagi. Wah biarlah, biarlah ia berekspressi buat
orang banyak.
3. Pengemis Berwajah Ganteng
Kami
merasa pegal karena banyak berjalan. Tidak ada bangku buat duduk, maka kami
hanya berhenti di sebuah persimpangan. Hanya beberapa meter saja, di belakang
kami ada seorang pengemis- seorang pemuda dengan wajah ganteng. Di depannya ada
secarik kertas dan mengekspresikan siapa dia: Tolong..saya seorang pemuda,
tidak punya rumah. Ke dua orang tuaku sudah bercerai dan pergi dan tidak pernah
mengurusku lagi. Ia terus merokok sambil mengantuk, aku khawatir kalau ia
tertidur dan rokoknya terjatuh tentu bisa membakar selimut dan kain woll-nya.
Pada akhirnya akan membakar tubuhnya. Moga moga ia tidak demikian.
“Pengemisnya
kok ganteng ya” Celetukku agak berbisik pada teman-teman. Pengemis itu usianya
mungkin sekitar 24 tahun. Aku perhatikan hampir tidak ada warga yang lalu
lalang memperlihatkan wajah simpatik. Di sana mungkin hidup dalam bentuk- siapa
lu, siapa gue. Maksudnya sangat individual.
Beberapa
saat setelah itu aku sempat bertanya lewat Facebook pada teman- pak Dadang-
apakah memang demikian nasib gelandangan di Melbourne. Aku memperoleh jawaban
bahwa gelandangan adalah urusan pemerintah, biasanya kalau ketahuan maka
petugas akan membawa mereka ke panti sosial.
Aku
tidak punya coin dollar Australia. Kalau jatuhkan satu lembar rupiah Indonesia
juga tidak ada artinya bagi pengemis tersebut. Akhirnya aku kembali melemparkan
pandangan ke arah lain. Gerak jalan orang orang malam begitu cepat. Muda mudi
yang berjalan mesra tetap mendominasi pemandanganku. Ada yang bergandengan dan
yang berangkulan cukup erat.
Aku
fikir bahwa kemesraan mereka melebihi kemesraan di depan publik di negaraku-
paling kurang untuk kota Padang, Bukitinggi, Batusangkar, untuk Sumatera Barat.
Anak anak muda di kota Padang belum berani berjalan semesra anak-anak muda di
Melbourne ini. Kemesraan di kota ini merefleksikan juga adanya gaya hidup
free-sex.
4. Sepasang remaja bertengkar
Aku
jadi kaget malam ini. Tiba-tiba sepasang remaja yang jalannya beda dari yang
lain- memperlihatkan ekspresi ngambek, tiba tiba jadi berantem. Mereka hanya
berbicara beberapa kata dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Gadis cantik itu
jadih sedih dan marah, ia berlari dan cowoknya mengejar dari belakang. Ia ingin
menyambar lengan gadis itu untuk mencegah aga tidak berlari dan bersikap
seperti demikian.
Aku
fikir bahwa tingkat emosional anak anak muda banyak yang tidak stabil. Untuk
meredakan emosi sebagian mencoba lewat merokok. Namun pada banyak tempat
merokok di larang. Di hotel. Di restoran dan dalam gedung merokok amat di
larang. Sebagai solusi banyak orang sengaja merokok dalam kota. Mereka berdiri dan berhenti dan sengaja buat
merokok. Puntung rokok segera bertebaran di mana- mana dalam kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them