Rumah-Rumah
Yang Hebat Membuat Indonesia Kuat
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Tulisan
ini terinspirasi oleh sebuah blog tentang parenting.
Penulis menjumpai blog “ayah-Edy” yang namanya diperkenalkan oleh adik/ saudara
penulis yang tinggal di Pangkal Pinang- Bangka Belitung. Ia bukan seorang guru
namun ia tertarik membaca tulisan- tulisan online tentang tema- tema kehidupan
sosial. Ia menyarankan agar penulis tidak membaca artikel- artikel yang tidak
relevan atau menulis hal-hal remah dan mempostingnya di blogger sendiri.
Banyak
orang menulis secara iseng iseng dan memposting di medsos (media sosial) yang
jarang orang kurang menanggapi begitu fokus. Lebih baik menulis satu fokus,
kupas dan jelaskan problem, penyebab, contoh- contoh dan tawarkan solusinya
dengan bahasa yang ringan menarik, santun dan tidak terkesan menggurui. Persis
seperti yang ditulis oleh pemilik blogger “ayahkita.blogspot.co.id”.
Merasa
penasaran dengan blogger ini maka menulis pun mencarinya. Ternyata nama blogger
ini sangat menginspirasi dan banyak orang tua serta guru-guru lainnya di
Indonesia, yaitu “Indonesia Strong From Home”. Indonesia pada hakikatnya merupakan
kumpulan dari keluarga yang tersebar di lebih dari 12.000 pulau yang ada di
nusantara. Apabila keluarga-keluarga ini kuat dengan sendirinya tanpa perlu
konsep yang berbelit- belit dan biaya yang membebani negara. Pastikan keluarga
dan sanak saudara kita di seluruh tanah air pedulidengan membangun Indonesia
yang kuat dan keluarga, maka Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang juga
kuat.
Pada
mulanya penulis agak skeptis- maksudnya merasa kurang percaya dan ragu-ragu
terhadap konten blogger ini. Tentu saja penulis mencari tahu tentang seberapa
jauh manfaat konten blogger ini bagi kita.
Ternyata
blogger ini sangat menginspirasi dan juga sangat patut buat dibaca oleh
masyarakat- utamanya para guru dan orang tua- karena artikel-artikelnya tidak
dibentangkan dengan bahasa-bahasa retorika penuh teori, yang kadang kala kita
sendiri harus mengerutkan jidat untuk menangkap maknanya.
Ayah Edi, sebagaimana nama
bekennya, memaparkan judul- judul artikelnya seputar pengalaman harian kita.
Yaitu seputar masalah parenting yang
sering dijumpai oleh orang tua di rumah, para guru dan masyarakat dalam
kehidupan sehari- hari.
Ayah Edi telah menjadi salah
seorang tokoh di antara ratusan tokoh parenting
yang ada di tanah air ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan bahwa profilnya
begitu penting. Karena ia pernah diundang buat talk show oleh Metro TV, radio dan media massa lainnya. Juga ia
telah diundang oleh lebih dari 106 lembaga pendidikan, bisnis/ perusahaan, dan parenting untuk berbagi pengalaman
tentang parenting dengan keluarga
besar lembaga- lembaga tersebut.
Semua bangsa besar- bangsa
yang maju SDM –nya bermula tumbuh dari rumah- rumah warga negaranya. Tidak
lagsung serta merta jadi bagus dalam hitungan waktu melalui bengkel yang
bernama seminar, pelatihan, workshp atau
simposium. Tidak hal kualitas besar muncul lewat usahaan dadakan, semua melalui
proses dan berevolusi sepanjang waktu.
Survey tentang the best and the worst countries to be a
mother dilakukan oleh Rick Noack dan Lazaro Ganio. Mereka mengatakan bahwa
suatu kejutan tentang negara yang terbaik parenting-nya adalah Norwegia,
Findlandia dan Eslandia (www.washingtonpost.com).
Tiga buah negara Skandinavia yang sering memiliki suhu yang sangat dingin yang
terletak dekat kutub utara. Namun anak-anak di negara- negara tersebut memiliki
orang tua dengan hati dan pribadi yang
hangat.
Masalah pendidikan merupakan
hal yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan sosial. Pendidikan juga
berpengaruh pada well-being (kesehatan dan kesejahteraan) para wanita dan anak.
Joanna Goddard menulis
tentang “the secret of Norway parenting”
umumnya orang tua di negara ini memperhatikan hal-hal kecil termasuk soal jam tidur
anak. Anak-anak Norwegia harus tidur lebih cepat agar tidur bisa pulas dan
badan serta fikiran mereka menjadi segar. Tidur mereka sekitar jam 7 atau jam 8
malam, cocok untuk ukuran di negara ini dan untuk ukuran Indonesia mungkin
sekitar jam 9 atau 10 malam.
Namun hal yang kontra adalah
bahwa sangat banyak anak- anak Indonesia yang kekurangan tidur. Mereka
mengikuti pola tidur orang tua. Dari wawancara ringan bahwa cukup banyak anak
yang baru tidur pukul 11 hingga jam 12 malam. Mereka kemudia bangun di pagi berikutnya dengan mata mengantuk Dan
perg ke sekolah dengan fikiran dan fisik yang jauh dari bugar. Rasa mengantuk
bisa menjadi sumber pertama mengapa anak menjadi bosan dan resah di sekolah.
Kemudian orang tua di
Norwegia sangat memperhatikan kualitas pendidikan anak sejak dari pra-sekolah,
juga memperhatikan pakaian serta makanan anak yang berkualitas. Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia, namun di Indonesia banyak orang tua hanya
memperhatikan gizi saat anak masih bayi dan berusia balita. Saat anak lebih
besar hingga remaja orang tua sudah berlepas tangan, sehingga cukup banyak
ditemui kurang terbiasa mengkonsumsi makanan berserat (sayuran) dan
buah-buahan. Yang malah sering ditemukan bahwa anak anak lebih merasa percaya
diri dan moderen dengan rajin megkonsumsi makanan cepat saji, minuman yang kaya
soda, penyedap dan bahan kimia lainnya. Sering cukup banyak ditemui anak anak
yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah.
Umumnya iba-iba dari balita
Norway adalah wanita karir. Maka balita-balita merekasejak usia dini sudah
ditip pada penitipan yang biayanya perbulan sekitar $ 300 atau sekitar Rp.
3.900. 000, dan tergolong sangat murah. Karena harga harga kehidupan di Eropa
adalah sekitar 10 kali harga Indonesia. Harga tersebut menjadi ringan karena
ada subsidi dari pemerintah.
Para balita berada di pusat
pusat penitipan dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Para balita punya banyak
waktu buat bermain dan tidak banyak berada dalam ruangan, kecuali bila cuaca
tidak mendukung. Di sana mereka bereksplorasi dan bermain secara alami. Ada
permainan sepeda, pelosotan, ayunan, jungkat-jangkit, termasuk juga permain
dengan balok- balok hingga merangkai bangunan.
Para balita lebih
diperkenalkan dengan benda- benda alami- bukan melulu mdia- media elektronik.
Benda alam lebih memungkin bagi mereka untuk berkooperatif dengan teman dan
tubuh mereka lebih banyak bergerak hingga mereka jadi sehat dan kuat.
Pola hubungan suami dan
istri (ayah dan ibu) adalah partnership, dimana mereka punya peran 50 %: 50%
dalam mengurus dan mengasuh anak serta mengelola rumah tangga. Adalah hal yang
alami bagi suami juga terlibat memasak, mencuci, merapikan rumah hingga
memandikan dan menggendong bayi. Mereka punya waktu kebersamaan dan utamanya
saat makan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat banyak para ayah
yang menggendong balita menuju penitipan hingga lembaga pra-sekolah, ya
lazimnya dilakukan oleh para ibu.
Kalau di Amerika, kulturnya
mempromosikan “individual” dan kemandirian, sementara di negara Skandinavia,
seperti di Findlandia, mempromosikan “janteloven- atau nilai kebersamaan dalam
grup/ kelompok’. Di sana tidak ada orang merasa hebat sendirian, yang ada
adalah hebat atau sukses bersama.
Jadinya orang Skandinavia-
juga mirip dengan orang Timur- tidak pernah berfikir merasa lebih baik
dibanding teman dalam suatu kelompok. Jadinya tidak boleh ada “sense of boasting”- rasa menyombongkan
diri.
Bgaimana tentang kualitas
pendidikan anak di Findlandia ? Sheila Wayman mengatakan bahwa di Findlandia
umumnya anak-anak belum bersekolah di SD hingga mereka berumur 7 tahun. Sebelum
usia 7 para orang tua juga menitipkan mereka pada “Day Care Centre” yaitu penitipan balita. Penitipan ini beroperasi
dari jam 6.30 hingga jam 5.30 sore, jadi sekitar 12 jam atau full day care. Di sana para balita
diberi sarapan dan makan siang dan juga makanan ringan.
Ruang penitipan cukup besar
dan di luar juga ada halaman buat bermain dan ada fasilitas buat bereksplorasi
seperti ayunan, mainan, mobil-mobilan, trem, balok- balok, dll. Para pengasuh
(staff) menemani dan memotivasi. Mereka juga membuat catatan kemajuan tumbuh-kembang
fisik dan mental untuk laporan mingguan dan laporan bulanan. Tiap minggu para
balita juga diajak untuk jalan ke alam terbuka, ke alam bebas selama 2 jam.
Tentang bentuk pedagogi di
negara ini, punya ciri yaitu “playful
learning”. Di Universitas Helsinki terdapat sebuah “playful learning centre”. Pusat bermain dan belajar ini dirancang
untuk meningkatkan kreativitas anak. Permainannya dalam bentuk green fabric canopy dengan pohon pohon
besar. Ada matras dan bantal-bantal warna warni, perabot kecil (kursi dan meja
kecil) yang berwarna cerah, kotak kotak yang berisi buku dan pencil warna
warni, dan juga ada lemari dengan rak-rak. Pusat bermain ini merancang
lingkungan yang berguna untuk “self
directed learning” agar balita bisa tumbuh mandiri.
Umumnya anak-anak Findlandia
diasuh dan didik agar bisa tumbuh mandiri sejak usia dini. Makanya anak anak
dikondisikan agar bisa pergi jalan kaki ke sekolah (karena kondisi jalan juga
cukup aman).
Pendidikan juga peduli untuk
meyediakan waktu buat kegiatan fisik (berolahraga). Kebugaran fisik dan
kesehatan mental selalu menjadi prioritas utama. Pemerintah merekomendasi agar
kegiatan pedagogi juga peduli pada kegiatan fisik selama 3 jam setiap hari.
Karena aktivitas fisik tiap hari akan bermanfaat buat kebugaran fisik dan
mental. Sebagai konsekuen setiap sekolah harus membuat siswa banyak bergerak.
Orang tua juga diminta untuk mendukung agar anak juga melakukan olah raga di
rumah.
Joanna Goddard menjelaskan
tentang bagaimana bentuk parenting di
negara Eslandia. Anak- anak Eslandia tidak banyak terkungkung di dalam rumah.
Mereka diberi waktu untuk banyak bereksplorasi di luar rumah.
Orang tua Eslandia
memperkenalkan alam pada anak sejak usia bayi. Para balita diperkenalkan
bagaimana berenang, danau, sungai dan laut. Jadi para balita telah terbiasa
bermain di alam terbuka.
Orang tua dengan ilmu parenting yang minim adalah kasus yang
banyak terjadi di negara kita. Banyak orang tua di negara ini yang
memperlakukan anak ibarat robot. Sebagaimana dikatakan Jeff Yang bahwa karakter
anak-anak Asia adalah “cerdas tetapi tidak jelas arah, rajin tetapi rapuh semangat,
mampu tetapi kurang kreatif”. Itu akibat mereka terbiasa dilatih berorientasi
“kognitif”- mereka banyak dilatih untuk banyak menyalin, mematuhi, dan
menghafal. Ungkapan yang keluar dari mulut orang tua pada anaknya sering kurang
memotivasi. Dimana orang tua kerapkali mengungkapkan “kasian....kasian” yang
berarti “poor he is....poor he is. Jadinya
anak kurang percaya diri untuk mengambil aksi atau tindakan.”.
Syifa Andina mengatakan
bahwa minimnya ilmu parenting sering
terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi lemah dan juga tingkat pendidikan
rendah. Mereka juga miskin denan wawasan umum- kurang paham tentang bagaimana
makanan yang bergizi, bagaimana memperkuat kognitif anak, bagaimana
menghidupkan literacy keluarga, dan bagaimana membentuk pola prilaku anak yang
yang berani dan bertanggung jawab.
Di tanah air yang indah dan
tercinta ini, sebetulnya ada bayak keluarga- keluarga dan juga lembaga sekolah
yang sehebat di negara Australia, Singapur, Findlandia dan Amerika Serikat.
Namun umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota Pulau Jawa dan Bai, serta
beberapa kota lain di luar kedua pulau ini. Maka tugas dan tanggung jawab kita
untuk saling berbagi dan saling menyebarkan tentang ilmu- ilmu parenting. Utamanya adalah agar orang
tua mengkodisikan anak dengan ilmu untuk memahami agama, kemudian proses
berfikir yang mandiri. Mereka juga dilibatkan dalam aktivitas rumah dan
masyarakat- agar mereka punya tanggung jawab. Disamping itu mereka juga perlu
mengenal bagaimana tentang kemandiran, rasa sopan santun, tanggung jawab, serta
hidup yang sehat. Memang Indonesia yang hebat berasal dari rumah-rumah yang
juga hebat.
Bibliografi:
Jeff
Yang.(2015). Asian Parents: Your Kids are Not Robot. New York: Wall Street
Jounal (www.edition.cnn.com).
Joanna
Goddard.(2013). 10 Surprising things About Parents in Norway. Oslo: Cup of
Jo online magazine (http://cupofjo.com/2013/07/10-surprising-things-about-
parenting-in-norway/).
Rick
Noack and Lazaro Ganio. (2015). Map: The Best (and The Worst) Countries to
be a Mother.
Washington: The Washington Post
Sheila
Wayman. (2016). Let The Children Play: The Secret to Finnish Education.
Helsinki: Irish Times (www.iristimes.com)
Syifa
Andina. (2016). Five Ways to Improve Parenting Education in Indonesia.
Washington: The World Bank
(blogs.worldbank.org)