Kamis, 01 November 2007

Siswa perlu tahu bahwa Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju

Siswa perlu tahu bahwa Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju
(Berlatih Jangan 1 Kali Lipat Tapi 10 Kali Lipat atau lebih )
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com


Semua orang tentu sudah tahu bahwa masing-masing pribadi kita itu adalah unik. Kita menjadi unik kerena later belakang dan pen­galaman hidup yang kita lalui juga berbeda. Salah satu sifat kita yang unik adalah tentang bakat.
Memang setiap orang memiliki bakat yang berbeda dan bakat-­bakat yang ada pada did kita itu masih terpendam. Bakat yang ter­pendam ini kalau dapat kita gali akan membuat kita sendiri ter­heran-heran. Lebih-lebih setelah melihat kemampuan yang ter­simpan dalam diri kita itu.
Setiap orang bisa memperkembangkan bakat-bakat dan kecakapan- kecakapan sendiri asal ia ada mempunyai cukup has­rat untuk melakukannya. Ada seorang pelajar wanita, dulu ketika masih menjadi pelajar SD dan SMP hampir selalu diabaikan oleh teman-teman. Itu semua karena pribadi wanita itu dingin dan tidak menarik. Namun setelah berada di bangku SMU, lebih-lebih setelah duduk pada bangku kelas dua dam kelas tiga, ia tampak begitu dinamis dan menjadi kesenangan teman-teman. Malah setelah lulus SMU dan beberapa bulan kemudian ado kabar tentang dirinya bahwa us lulus dalam selek­si untuk memperoleh beasiswa untuk studi tentang ilmu mekanika di salah satu negara Eropa. Seorang familinya mengatakan bahwa ia dapat meraih kemajuan pada hari-hari akhir remajanya adalah karena ia mampu berfikir untuk mengembangkan bakat­-bakat yang tersimpan dalam diri setiap orang dapat mengem­bangkan bakat-bakat dan kecakapan yang terpendam asal ia mau. Banyak lagi orang-orang lain yang pada masa kecil dan masa remajanya biasa-biasa saja dan malah kurang diacuhkan oleh teman-temen dapat berhasil dalam perjalanan hidup berikutnya setelah bertekad untuk mengem­bangkan bakat-bakat yang terpen­dam. Ini pun akan dapat anda dan kita semua, alami asal kita mau berlatih dan berusaha sekeras­-kerasnya. Kita harus mau terus bertekun tanpa merasa bosan-bosan. Ada orang, sebagai contoh pada mulanya kurang memiliki rasa percaya diri karena tidak men­guasai cara berkomunikasi. Pada hal melihat dari latar belakang orang tua dan familinya menunjuk­kan bahwa ia bukanlah orang yang bertipe pendiam dan kaku. Maka ia melakukan praktek-praktek melatih diri dengan caranya sen­diri, akan tetapi tentu ia memer­lukan ketabahan den keberanian dan sampai pada akhirnya kekakuan-kekakuannya itu men­cair ibarat es diterpa panas mata­hari. Mereka yang kelak menjadi orang-orang yang pandai berbica­ra, mula-mula juga bersifat malu-malu dan merasa khawatir setelah mati.
Kebanyakan bakal ada yang membutuhkan pengekspresian lewat bahasa seperti bakat ber­pidato, menyanyi, bakat menjadi psikolog dan sebagainya. Tetapi kekakuan dalam berbahasa selalu sebagai kendala utama, kecuali setelah melatih diri. Bagi yang gering dilanda kegugupan dan mengekspresikan bahasa lisan mungkin baik sekali kalau setengah menit sebelum memulai berbicara untuk menarik notes dalam-dalam beberapa kali saja. Dengan demikian memasukkan banyak zat asam ke dalam badan kita dan ini akan menambah rasa percaya kepada diri sendiri dan menambah keberanian.
Dale Carnegie dalam bukunya “Cara mencapai sukses dalam memperluas pergaulan dan pandai bicara” mengatakan bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah jangan memperlihatkan kegelisahan seperti dengan membuka dan menutup kancing baju. Atau jangan pula memperlihatkan kegelisahan dengan memutar-mutar tangan. Jika perlu kita jelmakan kegelisahan kita dengan meletakkan tangan kita di belakang badan. Dengan cara begini terserah kita lagi.. Apakah kita menggerak-gerakan jari yang jelas tidak ada orang yang melihat dan tahu bahwa kita lagi. merasa gelisah.
Bagi orang yang ingin berpidato, dalam rangka mengembangkan bakat terpendam yang diperlukan bukanlah keberanian moril akan tetapi adalah kecakapan untuk menguasai syarat-syarat. Dengan berlatih terus menerus kita bisa menguasai syaraf dan diri sendiri. Dalam hal ini adalah kita harus membiasakan diri dengan cara mencobanya berulang-ulang kali. Dan kita harus tetap tekun dan jan­gan berhenti-henti atau seperti is­tilah umum hangat-hangat tahi ayam.
Salah satu kapuasan orang yang memiliki bakat memimpin adalah untuk mempengaruhi dan menguasai kawan-kawan. Tentu saja ini dalam arti positif. Maka bagi remaja yang berbakat dalam tentu dapat latih diri. Salah satu usaha adalah dengan mencoba untuk menjumpai lebih banyak orang yang mau belajar bersama dengan kita. Dan kemudian dengan suka rela kita coba untuk menjadi pemimpin. Sarana lain untuk melatih diri dalam hal kepemimpinan adalah dengan cara berlatih di depan kawan-kawan, di depan anak-anak dan di depan keluarga sendiri.
Comas dan ketakutan dapat mengganggu perkembangan bakat ini timbul akibat kebodohan dan keragu-raguan kita. Tetapi cemas disebabkan oleh kurang percaya diri kepada diri sendiri. Kecemasan dan ketakutan selalu timbul jika seseorang tidak tahu apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Adapun jika kita senantiasa melakukan beberapa latihan maka, Insya Alah, kecemasan akan lenyap. Tentu saja kita jangan , terlatih sekali saja akan tetapi kalau perlu kita berlatih sampai sepuluh atau dua puluh kali.
Dalam usaha awal kita untuk mengembangkan bakat memang kita merasakan kesulitan. Sebab seperti dikatakan oleh orang bijak bahwa setiap permulaan itu susah dan setiap akhir itu adalah mudah. Bagi seorang calon guru yang sering berlatih berbicara atau seorang calon penulis yang ber­latih menulis tetapi sering dilanda kehabisan bahan. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat kisah yang menarik asal kita tidak terlalu banyak berbicara tentang diri sendiri.
Ada orang yang apabila ber­cakap-cakap tentang pekerjaan hanya berbicara tentang soal-soal yang mengasyikkan dirinya sendiri belaka. Sebaliknya tidak, begitu. Kita mesti juga membicarakan yang menyinggung hal-hal yang menyenangkan bagi teman-teman dan orang lain. Untuk itu marilah kita berbacara dengan kawan-kawan dan kita bahas masalah kecil itu dari berbagai segi.
Orang membangun rumah den­gan membuat rencana lebih dahulu. Tetapi ada orang yang ingin untuk mengembangkan, bakat-bakat yang terpendam, seperti bakat untuk berpidato tanpa rencana. Perkembangan bakat adalah laksana perjalanan panjang yang mempunyai tujuan. Karena itu jalan ini harus kita rintis. Sebab siapa yang akan berangkat tanpa tujuan tentu akan tarsesat.
Seorang orator pemula atau penulis muda tentu ia perlu menyediakan catatan-catatan singkat. Sedangkan anak kecil yang berlatih berjalan, saja juga perlu memegang meja atau kursi untuk mengembangkan keinginan berjalannya.
Kita rasa dalam menggali bakat-.bakat terpendam ini tidak ada istilah terlambat. Maka sangatlah bijaksana kalau setiap orang senantiasa suka untuk mengembangkan bakat dan menggali bakat yang terpendam demi kemajuan diri terutama, dan dami kemajuan bangsa secara umum.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Memilih Sekolah Perlu Kearifan

MEMILIH SEKOLAH PERLU KEARIFAN
Oleh: Marjohan
marjohanusman@yahoo.com

Sudah menjadi pendapat umum bahwa sekolah yang berlokasi di kota kualitasnya lebih bagus dari pada sekolah yang berlokasi di desa. Sehingga fenomena yang terlihat setiap awal tahun pelajaran adalah adanya mobilisasi remaja/pelajar ke kota untuk mencari sekolah yang mereka idamkan. Mereka yang me­miliki nilai ijazah tinggi dari sekolah sebelumnya, tentu saja boleh merasa bangga dan berharap agar mimpi untuk belajar di sekolah yang bermutu itu bukan di desa. Mencari sekolah berkualitas merupakan faktor yang mendorong untuk ikut melakukan urbanisasi. Masalah juga ada siswa yang memiliki nilai rendah ikut-ikutan melakukan urbanisasi pendidikan.
Berbicara tentang sebuah sekolah, kualitasnya tentu saja ditentukan oleh berbagai aktor seperti kondisi input dan proses yang ada dalam suatu sekolah dan faktor lingkungan, kualitas guru serta sarana pendukung untuk memperoleh output atau lulusan yang berkualitas. Setiap anak didik tentu punya hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harapan agar memiliki ilmu, keterampilan, wawasan dan pergaulan yang lebih luas.
Setiap anak didik perlu untuk cerdas dalam memilih sekolah. Disamping itu orang tua perlu untuk memberi pertimbangan yang masuk akal. Orang tua harus selalu bersikap arif terhadap anaknya. Dalam kenyataan banyak ditemui orang tua dan yang kurang arif (tidak punya pengalaman) dalam memilih sekolah. Tiap awal tahun ajaran mereka ikut meramaikan arus mobilisasi untuk mencari sekolah di perkotaan. Atau bagi mereka yang berdomisili di perkotaan untuk mencari sekolah yang jauh dari rumah dengan kata lain jauh dari orang tua, sehingga mereka harus men­cari tempat kos atau rumah kontrakan. Untuk selanjut­nya tinggal bersama teman-teman dan lingkungan yang belum tentu berkualitas baik. Padahal sebetulnya mereka bisa belajar di sekolah yang terdekat agar bisa tetap berada di bawah penga­wasan dan kasih sayang or­ang tua. Kita tahu bahwa anak-anak usia SD sampai SMA seharusnya masih be­rada dalam pengawasan or­ang tua dengan suasana rumah yang harmonis penuh dengan berbagai kegiatan agar dapat tumbuh cerdas dan sehat secara intelektual, emosional dan spiritual. Dari pengalaman dapat dijumpai banyak anak-anak yang ketika masih kecil, di SD dan SMP, tergolong dalam kategori pintar dan berbudi pekerti terpuji tetapi setelah berpisah dari orang tua, karena sekolah jauh, kurang bisa mengontrol diri dan memilih pergaulan yang te­pat. Sehingga mereka telah membuat orang tua menjadi resah, karena jangankan memperoleh nilai akademis baik malah memperoleh kualitas dan reputasi yang jelek.
Kadang-kadang orang tua latah dengan kata “demok­rasi” dan kata “pendidikan” tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat kedua kata tersebut. Ada penga­laman yang terjadi pada seorang orang tua dan anak laki-lakinya yang baru saja tamat SD, tergolong cerdas termasuk dalam berkomuni­kasi. Dalam usia yang tergolong relatif masih kecil tapi atas nama mencari pendidikan berkualitas di kota yang jarak rumah dengan sekolah itu cukup memakan waktu. Tentu saja orang tua tidak bisa memantau perkembangan anak secara berkala tiap hari atau tiap minggu. Pada mulanya hanya bisa memantau anak sekali dua minggu, menjadi sekali sebulan dan terus molor dan akhirnya sekali enam bulan. Tapi catatan yang diberikan pihak sekolah berbeda dengan catatan anak yang banyak membela diri. Pihak sekolah menyodorkan fakta data bah­wa anak sudah menjadi or­ang pemalas dan tidak disip­lin. Kalau begitu idealnya sejak awal orang tua ini harus punya pendapat dan pandangan yang mantap tentang hakekat mendidik dan membesarkan anak dan dunia yang luas agar tidak menyesal di belakang hari.
Banyak orang tua berfikir dan bertanya tentang kapan sebaiknya sorang anak bo­leh bersekolah jauh dari orang tua (?). Jawabannya sangat relatif sesuai dengan perspektif masing-masing.
Keberhasilan pendidikan seorang anak tidak ditentu­kan oleh jauh atau dekatnya lokasi sebuah sekolah. Bila kualitas sekolah dekat rumah lumayan bagus buat apa harus mencari sekolah yang jauh (?).
Sangat wajar orang tua, untuk memahami sekolah untuk anaknya dan meng­hindari sekolah dengan bu­daya belajar jelek, suasana belajar santai, guru-guru tidak disiplin dan anak didik dengan kontrol diri dan moti­vasi belajar rendah. Bila suasana belajar di sekolah terdekat seperti demikian maka sangat patut orang tua mencarikan sekolah dan pemondokan anak yang cu­kup terjamin baik. Namun orang tua perlu tahu bahwa apakah anak sudah cukup matang untuk mandiri dan berpisah dari orang tua?
Suasana pemondokan di luar sekolah dan dalam komplek sekolah bagi sekolah khusus ikut menentukan bagaimana output anak di kemudian hari. Sebelum me­lepas anak untuk hidup man­diri di pemondokan, baiknya orang tua melakukan “Cek dan Ricek” atau melakukan observasi langsung ke tem­patnya. Jangan minta pen­dapat orang agar bebas dari kesan pembohongan. Se­kolah dengan pemondokan yang didampingi oleh tenaga pembina yang bebas dari sikap otoriter tapi disiplin adalah sungguh sangat bagus. Pemondokan tanpa ada tenaga pengontrol atau pembina, maka disana akan mun­cul bibit penyimpangan dalam usia dini seperti pencurian kecil-kecilan, penyemaian hukum rimba dimana yang berkuasa adalah anak yang berotot kekar, dan tak terkecuali juga terjadi akti­fitas seksual iseng-iseng dengan kawan sejenis atau beda jenis kelamin (?), karena usia remaja adalah usia sek­sual sekunder dengan ciri-ciri dorongan libido yang cukup tinggi, perlu penyaluran posi­tif seperti olahraga, seni dan lain-lain. Kisah-kisah demi­kian dapat diperoleh lang­sung dari anak-anak muda yang pernah tinggal di asrama atau pemondokan dengan kontrol yang rapuh.
Sekolah dengan pemondokan yang terjamin kualitasnya, dalam komplek sekolah atau di rumah-rumah penduduk seputar sekolah, yakni dengan hadirnya orang dewasa pengganti figur orang tua sendiri yang hangat pribadinya dan tahu dengan disiplin adalah harapan orang tua untuk menempatkan anaknya untuk menuntut ilmu. Tetapi pemondokan atau asrama sekolah yang dikelola asal-asalan saja maka disana akan terjadi pelabuhan berbagai watak­ yang hasilnya adalah cenderung jelek. Anak dari keluarga baik-baik tetapi lemah kontrol diri setelah bergabung dengan anak-anak yang berwatak amburadul akan memperlihatkan karakter kompensasi untuk dapat diterima menjadi anggota genk dengan membuat tato, tindik te­linga, rambut funk-rock, ce­lana metal dan segudang aksesoris lain yang menghiasi tubuh mereka. Sementara itu tanggung jawab untuk belajar dikesampingkan.
Kalau kualitas pribadi anak akan cenderung jelek gara-gara sekolah jauh dari rumah lebih baik orang tua membuat alternatif terakhir yaitu daripada sekolah jauh dari rumah, tinggal di pe­mondokan atau rumah kos yang kualitasnya centang prenang, lebih baik sekolah dekat orang tua sebagai pe­ngontrolnya. Tidak ada salahnya bersekolah di pe­desaan karena keberhasilan seorang tidak ditentukan oleh faktor desa atau kota tapi ditentukan oleh priba­dinya sendiri.
Apa yang musti dilakukan oleh orang tua agar bisa memiliki anak yang berkua­litas adalah dengan mena­namkan budaya belajar man­diri, belajar secara otodidak dan mengembangkan anak agar memiliki kecerdasan berganda. Agus Nggermanto (dalam buku Quantum Quotient, cara melejitkan IQ, EQ dan SQ:2003) menja­barkan kecerdasan berganda seperti : cerdas matematika, cerdas berbahasa, cerdas intrapersonal dan interper­sonal, cerdas dengan seni dan gerak dan cerdas dengan spiritual. Untuk mele­jitkan kecerdasan berganda adalah dengan mengkondisikan otak, buku-buku, psi­komotorik, rasa cinta atau emosi positif, spiritual dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan bersikap selalu aktif dan kreatif.
Beberapa usaha untuk mencapai hal-hal diatas ada­lah seperti menggalakan ke­biasaan membaca dan dis­kusi keluarga agar anak men­jadi mantap dalam melakukan komunikasi. Usaha lain ada­lah membiasakan anak untuk melakukan penjelajahan da­lam rangka menambah wa­wasan anak, melakukan rek­reasi edukasional seperti per­gi ke toko buku, tempat ber­main anak, pabrik, tempat-tempat profesi lain agar anak memiliki segudang cita-cita dan tak kalah pentingnya adalah menyediakan sarana dan prasaran serta memberi contoh langsung pada keluarga.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)


Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)









MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)


























Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

















Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

















Kemandirian Dalam Belajar Perlu Untuk Ditingkatkan

KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR PERLU DITINGKATKAN
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar,
Program Layanan Unggulan Kab. Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP
marjohanusman@yahoo.com

Kita tidak perlu merasa kaget apabila mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta tetapi masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh-contoh seperti itu di seputar kita.
Agak memprihatinkan, remaja-remaja sekarang kurang menenggang perasaan atau kesulitan orangtua. Mereka lebih memperhatikan kebutuhan dan kesenangan diri. Ada seorang mahasiswa baru, sebagai contoh, menuntut ilmu pada jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Walaupun orangtuanya telah mengeluarkan dana hampir 5 juta rupiah sejak dari mengikuti kegiatan bimbingan belajar sampai dengan membayar SPP semester pertama tetapi ia belum bisa merasakan kesulitan orangtua. Tentu saja ketampanan wajahnya tidak dapat menutupi keletihan fisik dan jiwa orangtua dalam memikirkannya.
Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajaran sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca.
Aktivitas guru-guru pada waktu senggang mereka, yang mana lebih gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog sementara tugas-tugas murid banyak yang tidak diperiksa dan persiapan mengajar serba belum beres adalah gambaran ketidakmandirian kalangan pendidik dalam menjalankan profesi mereka. Tidak hanya guru-guru tetapi malah pegawai-pegawai lainnya, barangkali juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Prilaku mereka seperti suka berpikir mengambang, melakukan debat kusir dan berkelakar hampir sepanjang waktu, mereka baru melakukan tugas dengan baik kalu masih dikontrol oleh pihak atasan saban waktu adalah ciri-ciri dari ketidakmandirian dalam belajar meski secara biologis mereka sudah sangat dewasa.
Cukup banyak penulis lain Cuma membahas kegagalan pendidikan atau membahas dan tema tentang ketidakmandirian siswa dalam belajar, lebih mempersalahkan faktor sekolah. Mereka lupa untuk membahas secara rinci tentang faktor lingkungan rumah.
Lingkungan rumah cukup dominan untuk menentukan atas kemandirian dalam belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak kepada sekolah semata adalah faktor penyebab di samping faktor lain. Kealpaan orang tua untuk mengajar anak dalam memanfaatkan waktu telah meyebabkan anak terbiasa berkeliaran, hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai kembali memejamkan mata pada malam berikutnya.
Pelajar-pelajar yang gemar berkeliaran pada jam belajar, meski mereka bersekolah pada kelas atau sekolah favorit, dan hanya untuk pergi mengobrol dengan teman-teman adalah produk lingkungan rumah, atau orang tua yang tidak acuh atas masalah pendidikan sementara itu mereka mengabaikan pelajaran dan keberadaan buku-buku yang ada dalam tas mereka atau pada perpusatan. Gambaran sekolah sekarang tidak lagi mewarnai sebagai tempat arena untuk menuntut ilmu, dimana para pelajar asyik menekuni aneka buku ilmu pengetahuan, tetapi citra atau gambaran sekolah sekarang adalah sekedar huru-hara, atau pergi ke sekolah hanya sebagai suatu mode saja.
Dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif yang harus dikembangkan terhadap pelajar melalui PBM dan kegiatan ekstra kurikuler terlihat kurang berimbang. Dalam kegiatan ekstra kurikuler saja, kegiatan pengembangan afektif atau pembinaan sikap cukup kurang karena wadah-wadah penyaluran tidak ada. Dan wajar saja kalau sikap pelajar sekarang cenderung makin lama makin beringas, karena di rumah mereka tidak diwarisi dengan sikap dan nilai-nilai moral dan agama yang mantap kecuali hanya segelintir keluarga saja yang memperhatikannya. Dan sekolah lebih memperhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan dan olahraga.
Kerap kali siswa yang telah belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka.
Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah bertambah membengkak angka ‘drop out’ mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun disana ada dosen sebagai ‘penasehat akademis’ tetapi seringkali belum melakukan peranan sebagaimana idealnya.
Dan andai kata mereka yang tidak memiliki kemandirian dalam belajar, tidak beruntung untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tentu akan terjun ke tengah masyarakat untuk menambah angka pengangguran yang telah bengkak juga. Untuk kesudahannya adalah mereka sering menjadi parasit dalam sosial. Pergi merantau untuk pengalaman hidup dan mengadu untung, akan tidak berani dan kalau tetap tinggal di kampung akan tetap bersandar, atau malah juga mengganggu pihak sosial lainnya. Kemudian apabila mereka berumah tangga, tentu juga akan mengganggu pihak wanita, paling kurang keberadaannya adalah sebagai beban bagi mertua. Kecuali kalau mereka telah berani untuk mengambil keputusan dan melakukan perobahan sikap hidup secara total.
Untuk zaman sekarang sudah mulai cukup banyak pria yang bertekuk lutut kepada kaum wanita. Penyebabnya adalah sekarang banyak wanita yang sukses dalam menuntut ilmu dan memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai tempat untuk mengembangkan kepribadian mereka. Dan cukup banyak pria yang tidak mandiri menikah dengan wanita mandiri dimana pada akhirnya keberadaan mereka adalah bukan sebagai pemimpin bagi wanita tetapi adalah sebagai pembawa bencana.
Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu penyandung untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain.
Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Disamping itu pengabdian guru belum sepenuhnya bersifat ideal sebagai guru. Ada kalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis dimana mereka baru sudi untuk berbuat kalau ada imbalannya.
Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya.
Taman Kanak-kanak sekarang, sebagian kecil telah ada mendorong usaha anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu Taman Kanak-kanak lebih terfokus untuk tempat belajar, menyanyi, menari dan kemudian dilupakan. Sekarang TK telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sebagai teori. Kita merasa salut melihat telah ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya untuk berlangganan majalah dan memesankan kepada orang tua di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh kita harapkan terhadap tingkatan sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Disamping menyediakan fasilitas belajar bagi anak-anak kita juga menginginkan orang tua ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar agaknya perlu ditingkatkan untuk menyongsong masa depan.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program Layanan Keunggulan. rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Senin, 29 Oktober 2007

Danau Singkarak Tempat Pembuangan sampah atau Tempat rekreasi ?

Danau Singkarak, tempat pembuangan sampah atau tempat rekreasi ?
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com

Dalam pelajaran sejarah disebutkan bahwa kepualauan nusantara yang bernama Indonesia itu alamnya sungguh elok ibarat untaian batu permata zamrud yang berharga amat mahal. Kecantikan atau keelokan ala mini telah diakui oleh banyak orang, wisatawan, yang datang dari manca Negara. Salah satu kepingan dari untaian permata yang cantik itu bernama “alam Minangkabau” atau “daerah Propinsi Sumatra Barat”.
Memang benar bahwa alam daerah Sumatra Barat memang terkenal cantik. Orang orang yang terbang di atas permukaan Propinsi ini akan asik membidikan kamera digital mereka untuk merekam indahnya danau- danau yang ada di daerah ini : Singkarak, Maninjau, Danau diateh dan danau dibawah (danau kembar). Kemudian mereka juga akan mengagumi indahnya alam pegunungan dengan bukit-bukit dan gunung- gunung yang menjulang tinggi dengan warna biru yang sejuk. Sungai- sungainya yang tersebar dari kaki- kaki pegunungan, mengalir berliku- liku dengan airnya yang deras mampu untuk membangkitkan nafsu tualang dari pencinta alam untuk menaklukan arung jeram mereka. Ditambah lagi dengan hamparan sawah dan lading dengan warna hijau sampai kuning ibarat lautan emas dari kaki bukit sampai ke pinggir jalan. Sungguh cantik dan melebihi kecantikan permadani yang dibuat di negeri Persia sekalipun.
Orang- orang yang datang dari luar daerah Sumatra Barat dan wisatawan manca negara semuanya mengakui kecantikan alam Minangkabau ini. Tidak perlu untuk ditanya langsung, tetapi sebagai bukti kita dapat melihat bahwa setiap kali liburan datang maka daerah ini dikunjungi oleh banyak orang datang berkunjung. Apalagi setelah infrastruktur transportasi menjadi baik dan lancer maka maka kita akan menemui bahwa banyak jalan- jalan raya dilewati oleh deretan mobil dan sepeda motor dari berbagai merek dan berbagai nomor polisinya. Buat apa mereka datang ? tentu saja salahsatu alasanya adalah untuk menyatu dengan alam dan merasakan bagaiman segarnya terapi yang diberikan oleh aroma alam terhadap kesehatan mental dan kesehatan psiko-sosial mereka.
Kemudian bila kita turun dan berjalan- jalan , maka kita akan merasakan dan mendapatkan bahwa setiap langkah dari permukaan bumi yang kita injak adalah ibarat berada di tempat objek wisata. Sementara setiap orang bisa memanjakan mata, hati, fikiran dan perutnya dengan mencari tempat wisata alam, wisata rohani, wisata pendidikan, wista selera sampai kepada wista budaya.
Di Payakumbuh ada lembah Harau dan pacu itiknya, di Tanah datar ada peningggalan purbakala dan pisang salainya, di Bukittinggi ada panorama dan kebun binatang, di Padang ada pusat pendidikan, plaza dan pantai, dan lain- lain. Kemudian di tempat lain ada fasilitas dan objek wisata yang khas pula.
Minangkabau atau daerah Sumatra Barat, daerahnya sungguh menakjubkan, ada banyak orang yang datang berulang-ulang karena merasa sudah jatuh inta dengan daerah ini. Kita dapat membuat parable atau perumpamaan atas provinsi Sumatra Barat ini ibarat gedung megah yang luas. Hutan- hutan adalah tamannya Sumatra Barat, Universitas dan sekolah adalah ruangan pustakanya. Hotel, losmen dan homestay sebagai kamar keluarga, danau dan laut sebagai berandanya. Atau setiap orang bisa saja membuat perumpamaan menurut versi mereka pula.
Setiap kali bulan puasa berlalu, maka datanglah hari lebaran yang menyenangkan dan membahagiakan setiap orang. Setiap orang berbagi kebahagian dan kegembiraan dengan sanak saudara, famili dan teman- teman. Salah satu dari bentuk kegembiraan itu mereka ungkapkan dengan cara pergi plesiran atau pergi ke tempat rekreasi bersama-sama. Mereka bisa saja pergi ke daerah Kelok Sembilan di Kabupaten lima Puluh Kota, melihat tambang batubara dan mandi- mandi di waterboom di Sawahlunto atau pergi ke Pantai Carocok di Painan. Tentu ada juga yang memilih tempat yang sensasional untuk melepaskan ketegangan jiwa dan melegakan emosi secara empati dan simpati bersama famili dan teman dengan cara mengunjungi danau kembar (danau Diateh dan danau dibawah), Danau Maninjau dan Danau Singkarak.
Danau Singkarak adalah salah satu danau popular di Pulau Sumatra, di Indonesia dan bisa jadi juga popular di dunia. Danau ini popular karena banyak orang mengatakan bahwa Danau Singkarak ini alamnya begitu indah. Namun begitu ada orang yang mau mampir di tepi danau ini, mengapa tiba- tiba ada yang membatalkan kunjungan mereka ke sana. Penyebabnya adalah karena mata mereka terasa perih menatap sampah yang betul- betul sudah mencemari keindahan danau ini. Mereka tak bisa lagi membedakan antara mana yang bunga tumbuh di pinggir danau dan mana yang sampah. Volume sampah yang bertaburan di bumi Singkarak jumlahnya sudah jutaan sampai milyaran keping.Kemudian pasti banyak orang yang berceloteh dan mengatakan “Danau Singkarak Tempat pembuangan sampah atau tempat rekreasi ?”
Celoteh seperti itu pasti diucapkan oleh banyak orang yang lewat di seputar pinggir danau ini. Mereka bisa jadi orang Sumatra Barat sendiri, atau orang dari luar Sumatra Barat. Wisatawan mancanegara tentu akan mengatakan “West Sumatra is beautiful but…but….full of rubbish”.
Agaknya untuk membuat Danau Singkarak ini bersih, rapi, segar dan asri kembali maka penanggungjawabnya perlu membuka mata dan membuka telinga dan membuka hati lebih dalam. Bisa jadi mereka belajar dan melakukan studi banding ke daerah yang danaunya masih bersih. Tetapi kalau hanya melakukan studi banding sekedar membuat wacana dan membuang buang dana masyarakat bukankah mereka lebih baik bertukar pikiran tentang bagaimana mengelola kebersihan tempat berwudlu dan toilet yang ada pada bebera mesjid. Cukup mudah disana ada celengan tempat memungut sumbangan dan ada petugas kebersihan.
Manajemen yang sederhada ini tentu dapat pula diadopt untuk menjagi kebersihan Danau Singkarak. Pungutlah retribusi dan kemudian cari petugas kebersihan dan beri mereka gaji yang layak (upah yang besar), maka pasti Danau ini akan selalu akan tampak asri dan terhindar sebagai TPA atau sebagai tempat pembuangan akhir sampah. I love Singkarak dan aku cinta akan kebersihan.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar.
Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

.

Danau Singkarak, tempat pembuangan sampah atau tempat rekreasi ?

Danau Singkarak, tempat pembuangan sampah atau tempat rekreasi ?
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com

Dalam pelajaran sejarah disebutkan bahwa kepualauan nusantara yang bernama Indonesia itu alamnya sungguh elok ibarat untaian batu permata zamrud yang berharga amat mahal. Kecantikan atau keelokan ala mini telah diakui oleh banyak orang, wisatawan, yang datang dari manca Negara. Salah satu kepingan dari untaian permata yang cantik itu bernama “alam Minangkabau” atau “daerah Propinsi Sumatra Barat”.
Memang benar bahwa alam daerah Sumatra Barat memang terkenal cantik. Orang orang yang terbang di atas permukaan Propinsi ini akan asik membidikan kamera digital mereka untuk merekam indahnya danau- danau yang ada di daerah ini : Singkarak, Maninjau, Danau diateh dan danau dibawah (danau kembar). Kemudian mereka juga akan mengagumi indahnya alam pegunungan dengan bukit-bukit dan gunung- gunung yang menjulang tinggi dengan warna biru yang sejuk. Sungai- sungainya yang tersebar dari kaki- kaki pegunungan, mengalir berliku- liku dengan airnya yang deras mampu untuk membangkitkan nafsu tualang dari pencinta alam untuk menaklukan arung jeram mereka. Ditambah lagi dengan hamparan sawah dan lading dengan warna hijau sampai kuning ibarat lautan emas dari kaki bukit sampai ke pinggir jalan. Sungguh cantik dan melebihi kecantikan permadani yang dibuat di negeri Persia sekalipun.
Orang- orang yang datang dari luar daerah Sumatra Barat dan wisatawan manca negara semuanya mengakui kecantikan alam Minangkabau ini. Tidak perlu untuk ditanya langsung, tetapi sebagai bukti kita dapat melihat bahwa setiap kali liburan datang maka daerah ini dikunjungi oleh banyak orang datang berkunjung. Apalagi setelah infrastruktur transportasi menjadi baik dan lancer maka maka kita akan menemui bahwa banyak jalan- jalan raya dilewati oleh deretan mobil dan sepeda motor dari berbagai merek dan berbagai nomor polisinya. Buat apa mereka datang ? tentu saja salahsatu alasanya adalah untuk menyatu dengan alam dan merasakan bagaiman segarnya terapi yang diberikan oleh aroma alam terhadap kesehatan mental dan kesehatan psiko-sosial mereka.
Kemudian bila kita turun dan berjalan- jalan , maka kita akan merasakan dan mendapatkan bahwa setiap langkah dari permukaan bumi yang kita injak adalah ibarat berada di tempat objek wisata. Sementara setiap orang bisa memanjakan mata, hati, fikiran dan perutnya dengan mencari tempat wisata alam, wisata rohani, wisata pendidikan, wista selera sampai kepada wista budaya.
Di Payakumbuh ada lembah Harau dan pacu itiknya, di Tanah datar ada peningggalan purbakala dan pisang salainya, di Bukittinggi ada panorama dan kebun binatang, di Padang ada pusat pendidikan, plaza dan pantai, dan lain- lain. Kemudian di tempat lain ada fasilitas dan objek wisata yang khas pula.
Minangkabau atau daerah Sumatra Barat, daerahnya sungguh menakjubkan, ada banyak orang yang datang berulang-ulang karena merasa sudah jatuh inta dengan daerah ini. Kita dapat membuat parable atau perumpamaan atas provinsi Sumatra Barat ini ibarat gedung megah yang luas. Hutan- hutan adalah tamannya Sumatra Barat, Universitas dan sekolah adalah ruangan pustakanya. Hotel, losmen dan homestay sebagai kamar keluarga, danau dan laut sebagai berandanya. Atau setiap orang bisa saja membuat perumpamaan menurut versi mereka pula.
Setiap kali bulan puasa berlalu, maka datanglah hari lebaran yang menyenangkan dan membahagiakan setiap orang. Setiap orang berbagi kebahagian dan kegembiraan dengan sanak saudara, famili dan teman- teman. Salah satu dari bentuk kegembiraan itu mereka ungkapkan dengan cara pergi plesiran atau pergi ke tempat rekreasi bersama-sama. Mereka bisa saja pergi ke daerah Kelok Sembilan di Kabupaten lima Puluh Kota, melihat tambang batubara dan mandi- mandi di waterboom di Sawahlunto atau pergi ke Pantai Carocok di Painan. Tentu ada juga yang memilih tempat yang sensasional untuk melepaskan ketegangan jiwa dan melegakan emosi secara empati dan simpati bersama famili dan teman dengan cara mengunjungi danau kembar (danau Diateh dan danau dibawah), Danau Maninjau dan Danau Singkarak.
Danau Singkarak adalah salah satu danau popular di Pulau Sumatra, di Indonesia dan bisa jadi juga popular di dunia. Danau ini popular karena banyak orang mengatakan bahwa Danau Singkarak ini alamnya begitu indah. Namun begitu ada orang yang mau mampir di tepi danau ini, mengapa tiba- tiba ada yang membatalkan kunjungan mereka ke sana. Penyebabnya adalah karena mata mereka terasa perih menatap sampah yang betul- betul sudah mencemari keindahan danau ini. Mereka tak bisa lagi membedakan antara mana yang bunga tumbuh di pinggir danau dan mana yang sampah. Volume sampah yang bertaburan di bumi Singkarak jumlahnya sudah jutaan sampai milyaran keping.Kemudian pasti banyak orang yang berceloteh dan mengatakan “Danau Singkarak Tempat pembuangan sampah atau tempat rekreasi ?”
Celoteh seperti itu pasti diucapkan oleh banyak orang yang lewat di seputar pinggir danau ini. Mereka bisa jadi orang Sumatra Barat sendiri, atau orang dari luar Sumatra Barat. Wisatawan mancanegara tentu akan mengatakan “West Sumatra is beautiful but…but….full of rubbish”.
Agaknya untuk membuat Danau Singkarak ini bersih, rapi, segar dan asri kembali maka penanggungjawabnya perlu membuka mata dan membuka telinga dan membuka hati lebih dalam. Bisa jadi mereka belajar dan melakukan studi banding ke daerah yang danaunya masih bersih. Tetapi kalau hanya melakukan studi banding sekedar membuat wacana dan membuang buang dana masyarakat bukankah mereka lebih baik bertukar pikiran tentang bagaimana mengelola kebersihan tempat berwudlu dan toilet yang ada pada bebera mesjid. Cukup mudah disana ada celengan tempat memungut sumbangan dan ada petugas kebersihan.
Manajemen yang sederhada ini tentu dapat pula diadopt untuk menjagi kebersihan Danau Singkarak. Pungutlah retribusi dan kemudian cari petugas kebersihan dan beri mereka gaji yang layak (upah yang besar), maka pasti Danau ini akan selalu akan tampak asri dan terhindar sebagai TPA atau sebagai tempat pembuangan akhir sampah. I love Singkarak dan aku cinta akan kebersihan.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar.
Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

.

Sabtu, 27 Oktober 2007

Guru Perlu Kreatif untuk Meredakan Kebosanan

Guru Perlu Kreatif untuk Meredakan Kebosanan
Oleh
Marjohan
marjohanusman@gmail.com

Cukup banyak guru-guru mengatakan merasa capek atau lesu apabila harus segera masuk kelas untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam pengontrolan absensi, hampir setiap hari ada surat-surat guru yang datang mengabarkan halangan mereka untuk tidak datang ke sekolah.
Pada umumnya alasan serius atau alasan berpura-pura guru dalam suratnya sehingga berhalangan untuk tidak hadir di sekolah karena sakit. Sering alasan lain adalah untuk memohon izin karena ada urusan keluarga yang sangat mendesak. Kalau kita fikirkan siapakah orang di dunia yang luput dari urusan keluarga. Tetapi rasanya tidak logis kalau seorang guru sempat dalam satu bulan membuat alasan sepele dan berhalangan untuk mengajar sebanyak sekian kali. Dan alasan sepele ini cukup banyak dilakukan oleh guru-guru.
Dapat dikatakan, buat sementara, bahwa keabsenan guru-guru dari sekolah alasan, berpura-pura dalam alasan, karena rasa tersandung oleh bosan selama proses belajar mengajar. Kemalasan guru-guru yang lain sering terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menaikkan kewajiban dalam PBM. Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu namun masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru. Malah ada sebagian guru ada yang sengaja hilir-mudik atau berpura kasak-kusuk dalam mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.
Kebosanan dalam PBM disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari guru dan faktor yang berasal dari murid.
Pengabaian kedua faktor ini akan menyebabkan masalah dalam PBM tidak teratasi. Untuk memuluskan PBM maka kedua faktor ini harus dipahami dan diatasi.
Rata-rata guru merasa enggan untuk memasuki kelas-kelas dengan siswa mempunyai daya serap rendah atau bodoh. Gairah mengajar guru untuk mengajar kerap kali terpancing karena di dalam kelas ada beberapa orang siswa yang cukup pintar.
Namun sejak keberadaan kelas unggul di setiap sekolah maka siswa-siswa yang memiliki daya serap tinggi terkonsentrasi ke dalam satu kelas saja. Maka gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya lebih tertuju untuk kelas unggul.
Sedangkan untuk kelas-kelas non unggul yang jumlahnya cukup banyak dengan kemampuan siswa rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa lesu dan letih. Tentu tidak semua guru yang menunjukkan gejala yang demikian.
Pada umumnya penyebab melempemnya daya serap siswa di sekolah adalah karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca sehingga mereka lambat dalam menganalisa.
Kebiasaan dalam belajar cuma menghafal melulu. Dapat diamati bahwa siswa yang telah terbiasa dalam budaya membaca tidak mengalami kesulitan dalam PBM.
Tidak banyak siswa yang terbiasa dengan budaya membaca sehingga akibatnya adalah tidak banyak pula siswa yang memiliki daya serap tinggi. Daya serap yang tinggi selain disebabkan oleh faktor IQ juga ditentukan oleh pelaksanaan agenda kehidupan atau pemanfaatan waktu. Seringkali orang tua yang ikut campur dalam masalah waktu anak dan gemar “mencikaraui” anak akan menjadikan anaknya sebagai siswa yang memiliki daya serap tinggi di sekolah.
Faktor yang datang dari guru cukup bervariasi. Dulu menjadi guru memang serba dihormati dan tentu saja menyenangkan. Tetapi belakangan ini, bahkan terlalu banyak korban perasaan apalagi semenjak remaja banyak mengalami emosi moral.
Karena terus terang saja, siswa-siswanya terdiri dari anak-anak yang kebanyakan tidak diwarisi nilai agama yang mantap oleh orang tua. Ada juga siswa yang merupakan anak-anak pejabat yang kaya-kaya dan anak orang berada sedangkan guru-gurunya miskin.
Faktor yang menyebabkan guru merasa bosan dalam PBM mungkin karena kelelahan. Barangkali ia memiliki jumlah jam yang terlalu banyak.
Walau pada sekolah pengabdiannya hanya mengajar beberapa jam saja, tetapi karena tuntutan hidup ia menjadi guru sukarela pula pada suatu atau dua sekolah lain. Atau bisa jadi karena kelelahan fisik setelah menjadi guru selama puluhan tahun. Sering kita lihat para guru-guru tua yang belum sudi untuk pensiun merasa segan untuk melakukan PBM.
Secara mayoritas guru kelihatan kurang termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Mereka tidak banyak membaca, walaupun sebatas membaca koran dan majalah, sehingga jadilah ilmu pengetahuan mereka sempit dan dangkal. Kebanyakan guru-guru sehabis mengajar ya habis begitu saja. Begitulah kegiatan rutin mereka hari demi hari sampai akhirnya rasa bosan menyelinap ke dalam fikiran.
Ada guru yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas dan cukup hangat dalam bergaul bersama siswa. Namun juga sering mengeluh bosan untuk melakukan PBM sehingga mengajar secara serampangan dengan metode kuno sepanjang hari. Guru yang seperti ini sebaiknya harus segera melakukan introspeksi diri dan kemudian memutuskan apakah karir sebagai guru cocok baginya atau tidak. Tetapi pada umumnya mereka tetap bertahan mengajar dalam kebosanan karena tidak mampu mencari pekerjaan jenis lain yang cocok bagi diri, maklum banyak orang terserang sindrom pegawai negeri dengan alasan jaminan untuk hari tua.
Setiap guru banyak terdengar keluhan guru-guru. Ada yang mengeluhkan badan kurang enak karena sakit kepala, sakit gigi, perut terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua adalah kompensasi dari bentuk rasa bosan. Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab. Dan penyebab lain dari rasa bosan ini adalah karena umumnya guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional.
Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif dan sebagian kecil tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun. Penanganan masalah yang ditemui selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa menekur atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang entah guru-guru banyak yang tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau karena penghargaan murid semakin berkurang karena kurang diwarisi nilai agama oleh orang tua maka sekarang seakan melebar jurang dalam komunikasi.
Kreativitas guru pun terlihat lemah dalam PBM. Presentasi pengajaran sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode itu ke itu juga. Gema hasil mengikuti penataran, apakah dalam bentuk MGMP, sekali sekali dalam bentuk aplikasi. Kecuali yang terlihat adalah setelah guru mengikuti MGMP guru cuma semakin tertib dalam menulis satuan pelajaran tetapi belum bentuk aplikasi.
Diantara guru-guru yang belum lagi mampu memperlihatkan kreativitas, kita juga melihat guru-guru yang kreatif. Meski mengajar banyak, namun karena kreatif mereka tetap tampak ceria dan segar dalam mengajar.
Kreatifitas seseorang, juga guru, sangat ditentukan oleh keleluasaan dan kedalaman pengetahuan dan wawasan. Oleh sebab itu menjadi guru ideal haruslah selalu membiasakan untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai khazanah dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya akan tidak pernah kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagi seni.
Mengikuti program penyegaran dalam bentuk kegiatan penataran, musyawarah kerja, dan program peningkatan kualitas lain sungguh tepat. Sayang selama ini terlihat kegiatan-kegiatan penyegaran yang ada belum dikemas secara profesional. Dengan arti kata selama mengikuti program penyegaran, guru-guru hanya terlihat secara pasif dan paling kurang bertindak sebagai pendengar abadi. Itulah dampaknya setiap kali seorang guru selesai mengikuti MGMP dan penataran lain, misalnya, seolah-olah tidak membawa perubahan dalam proses belajar mengajar. Terasa seakan-akan apa yang diperoleh selama mengikuti penataran-penataran digambarkan dengan ungkapan “masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja.”
Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dalam bentuk berpidato atau berceramah untuk masyarakat dan menyempatkan diri untuk menulis artikel-artikel adalah bentuk lain dari pengembangan kreativitas guru.
Mendalami psikologi remaja sehingga guru dapat memahami meningkatkan kreativitas guru dalam bertindak. Rata-rata guru yang kreatif adalah guru yang kaya akan ide-ide dan menerapkan bentuk nyata. Dalam realita tampak bahwa kreativitas dapat mengatasi rasa bosan.

Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

PERANG MELAWAN SAMPAH SECARA TOTAL

Perang melawan sampah secara total Mulai dari Diri dan lingkungan Sendiri


Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Unggulan Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP


Di mana - mana sekarang banyak orang membicarakan tentang lingkungan hidup. Topik lingkungan hidup dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai seminar,simposium, dan diskusi di berbagai tempat mulai dari level sederhana sampai ke ruangan konvensi berharga mahal. Namun setelah itu hasilnya hanya cukup sebagai agenda dan bahan berita pada media cetak dan media elektronik yang bertajuk lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dibicarakan itu eksistensinya tak akan lebih baik kalau tidak diikuti oleh aksi perbaikan lingkungan di lapangan.
Dalam membahas masalah lingkungan hidup tidak salah kalau kita juga meminjam ungkapan internasional yang berbunyi sebagai berikut ”think globally and act locally”. Ungkapan ini berarti bahwa berfikirlah secara luas dan bertindaklah secara lokal. Pengaplikasian ungkapan ini bahwa secara global kita tahu bahwa kondisi lingkungan hidup dunia saat ini juga menjadi pembicaraan orang - orang yang duduk di tingkat antar negara. Sekarang masalah global yang dirasakan adalah seperti pemanasan bumi, masalah kekurangan pangan, kemiskinan, dan berbagai multi krisis lainnya.
”Act locally” atau bertindaklah secara lokal. Saat ini bila kita berpergian di pulau Sumatra ini dan khususnya di Sumatera Barat, mari kita lemparkan pandangan ke depan dan ke alam sekitar. Bila kita arif maka kita akan melihat bahwa alam atau lingkungan hidup tidak lagi seharmonis lingkungan hidup di masa silam atau beberapa puluh tahun yang lalu. Dulu dalam foto dan dari pengalaman masa kecil, bila kita berpergian ke luar kota maka kita masih bisa melihat dan menemui banyak pohon-pohon raksasa yang berdaun rindang, air sungai mengalir dengan warna bening, kicauan burung, langit yang biru dan udara dengan aroma alam yang bebas dari asap kendaraan. Tapi sekarang hal- hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang mahal dan langka untuk ditemui.
Kita bersyukur bahwa pemerintah dan sebagian masyarakat sudah mengelola dan mengatasi kehancuran alam dan mencegah terjadinya ”illegal logging”. Kita masih punya harapan untuk bisa bermimpi untuk memiliki lingkungan hidup dengan alam yang indah pada masa mendatang.
Mengembalikan kualitas alam seperti kualitas alam (lingkungan hidup) seperti pada beberapa puluh tahun yang silam, alam yang hijau dan bersih terhampar ibarat permadani atau ibarat susunan permata zamrud seperti yang didendangkan oleh lagu-lagu lama. Ini tidak mungkin diperoleh secara ”top down” atau menunggu perintah dari atas turun ke bawah semata untuk kembali menata alam ini. Mengembalikan alam yang lestari dan harmoni adalah sangat tepat lewat prosedur ”bottom up”, yaitu kebijakan yang tumbuh dari masyarakat atau dari ”grass root level”. Kebijakan bersifat ”top down” tidak akan bertahan lama kalau orang orang di tingkat ”grass root level” atau rakyat biasa bersikap masa bodoh.
Dalam kenyataan kita temui bahwa banyak orang yang berada di tingkat ”grass root level”, dan orang itu bisa jadi adalah juga kita sendiri, cendrung bersifat masa bodoh atas masalah kebersihan lingkungan hidup. Bila tidak percaya dan untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah berdiri di tempat di mana banyak kendaraan lewat dan kita dapat melihat bahwa akan ada tangan imut-imut sampai ke tangan yang dibaluti emas dan intan berlian dengan senang hati melemparkan secuil sampah bungkus makan instant untuk mengotori jalan raya yang asri.
Kebiasaan melemparkan sampah nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita. Atau kalau tidak sudi dengan pernyataan ini, maka kita bisa membuat pernyataan bahwa membuang sampah adalah bagian dari gaya hidup kita sendiri. Kepedulian kita atas topik sampah baru sebatas kepedulian akan masalah kebersihan di lingkungan rumah semata-mata. Memang banyak orang dan kita sendiri yang sudah peduli untuk membersihkan dan merapikan rumah dua kali sehari dan merapikan lingkungan rumah sekali dalam seminggu. Namun sampahnya bagaimana ?
Banyak orang yang suka punya kebiasaan buruk mereka membuat dan menjaga lingkungan rumah sendiri menjadi bersih namun bersikap masa bodoh terhadap kebersihan lingkungan orang. Secara masa bodoh mereka menumpuk sampahnya ke lahan orang lain. Dan bila ada papan peringatan dengan tulisan ”dilarang membuang sampah di sini” maka mereka dengan senang hati menumpuk sampah ke tempat yang dimana mereka suka tanpa memikirkan efek selanjutnya terhadap alam dan terhadap orang lain.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, seperti pernyataan di atas tadi, bahwa membuang sampah sembarangan sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang desa dan orang kota. Untuk kondisi rumah tangga di desa, masalah membuang sampah dan penumpukan sampah tidak begitu masalah karena di sana mungkin masih ada lahan untuk menguburkan sampah. Namun untuk kebersihan lingkungan hidup seperti di tempat keramaian dan di sepanjang jalan. Sampah seolah-olah sudah menjadi dekorasi sepanjang pinggir jalan raya mengalahkan indahnya dekorasi alam dengan tanaman dan tumbuhan bunga yang warna warni.
Bagaimana dengan lingkungan perkotaan ? Adalah sesuatu yang memalukan untuk dideskripsikan. Kita akan sulit membedakan antara mana pasar dan mana kandang kerbau (maaf) kita sering susah payah kalau berjalan untuk mencari tempat yang akan kita injak. Karena lumpur bercampur kompos, sampah yang membusuk, sudah menjadi aspal di areal pasar. Begitu pula dengan para penghuni wilayah perkotaan, mereka itu, sekali lagi, adalah bisa jadi kita semua sebagai orang-orang yang sudah menjadikan membuang sampah sebagai gaya hidup. Di sana cukup banyak orang yang yang sudi mengotori dan mencemari lingkungan hidup perkotaan. Tidak percaya ? Coba lihat air yang mengalir dalam got dan sungai (di dalam kota), betapa kualitas airnya sudah memberi isyarat bahwa tidak ada lagi kehidupan biota air di dalamnya. Kemudian bagaimana dengan kualitas udara dan pohon-pohonan ?
Kebiasan membuang sampah yang sudah menjadi budaya jelek atau bahagian dari hidup kita, agaknya sulit untuk dikikis habis kalau ajakan untuk mengobah kebiasaan ini hanya ”bersifat ajakan atau cuma sekedar semboyan”. Himbauan, semboyan dan peringatan yang hanya tertulis pada sekeping papan. Seribu kali seminar dan diskusi untuk mengatasi masalah sampah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup akan tidak berarti apa-apa tanpa ada aksi dan contoh atau model dari figur- figur bagi generasi yang lebih muda.
Untuk bisa berubah ke arah yang baik atau ke arah yang kurang baik, maka model atau ”suri teladan” punya peran yang cukup penting. Kalau sekarang kita lihat gaya hidup dan prilaku anak-anak muda sekarang cenderung berubah dan tampak aneh dimata famili dan orangtua. Itu semua karena mereka terinspirasi dan mengikuti model yang mereka lihat- mungkin dalam media elektronik atau cetak dan bisa jadi figur yang mereka pungut langsung di jalanan raya sebagai panutan hidup. Syukur bila bila figur atau model yang mereka pungut tersebut bermental, berakhlak, berpribadi dan berwawasan baik.
Adalah contoh atau model untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan berasal dari pribadi orangtua, kakak, guru, pejabat pemerintah dan lain-lain. Pendek kata figur-figur yang demikian itu adalah kita semua.
Sering pelajaran yang diperoleh di sekolah kenyataannya berbeda dari fakta yang diperlihatkan oleh para figur model lewat prilaku dan gaya hidup mereka. Di sekolah kita diajarkan agar kita ”tidak boleh merokok dan harus hidup disiplin”. Tapi dalam kenyatan orang yang menjadi panutan hidup ini model bagi kehidupan kita melanggar aturan ini. Di sekolah ibu guru dan bapak guru mengajarkan agar kita harus membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula dari buku bacaan yang kita baca di rumah agar kita mesti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun fakta, ayah, ibu dan paman kita melempar sampah ke tengah jalan atau ke dalam got seenaknya.
Alangkah bingungnya anak anak yang dididik dan diajar agar bisa mencintai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup ini. Namun dalam realita, mereka melihat bahwa begitu banyak orang dewasa, guru, orangtua dan tetangga mereka dan apalagi orang orang yang mereka anggap terdidik tidak berbuat seperti yang mereka baca dan mereka pelajari. Akhirnya mereka juga berbuat seperti hal demikian. Akhirnya adalah lazim bila lingkungan ini menjadi kotor dan tidak rapi karena tangan orang-orang mulai dari usia muda sampai berusia tua, dari orang biasa sampai orang yang menganggap dirinya terdidik dan elit dan dari orang orang desa sampai kepada orang orang kota. Melihat kebersihan di daerah daerah lain di Indonesia dan juga negara tetangga, mereka bisa menjadi negara yang bersih dan asri, ini karena di sana sudah ada sistem dan sistem kebersihan itu sudah berjalan.
Ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk membuat alam atau bumi ini menjadi lestari, bersih dan harmoni. Kebijakan itu bisa bersifat ”top down” dan ”bottom up”. Kota Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi dan sekarang kota Batusangkar juga berbenah diri dan berbagai kota di Sumatera Barat, begitu juga dengan berbagai kota dan kabupaten lain di Indonesia, bergerak menuju kota dan daerah bersih adalah melalui kebijakan ”top down”- pemerintah bersama pemuka masyarakat telah mengumandangkan terompet ”jaga kebersihan dan jangan membuang sampah sembarangan”. Seruan ini kemudian diikuti dengan melakukan aksi melibatkan berbagai unsur dan lapisan masyarakat dan mendorong bagaimana agar sistem kebersihan ini bisa berjalan.
Namun bila diamati secara seksama bahwa sistem kebersihan bisa terganggu oleh sikap dan kebiasaan orang orang- mereka bisa jadi anak sekolah, pejalan kaki, pegawai, buruh, pedagang dan lain-lain- melempar puntung rokok, kulit permen, bungkus makanan dan beraneka macam pembukus terbuat dari plastik, sampah atau material lainnya berjatuhan mengotori bumi. Dan orang lain merasa tidak peduli atas keberdaaan alam yang bersih berubah menjadi ”amburadul” ini. Jalan raya telah menjadi ”tong sampah yang terpanjang dan terbesar di dunia” karena pengguna jalan raya dan pemilik kendaraan bermotor tidak punya perasaan sensitif dan tega untuk mencemari kebersihan ini. Coba lihat sekarang bila anda berpergian. Arahkanlah pandangan dan kita akan menjumpai ribuan sampai jutaan keping sampah bertebaran mengganti indahnya tanaman bunga. Namun apakah masih ada perasaan risih mereka (dan kita) melihat kenyataan ini.
Bila perasaan sensitif sudah hilang atas masalah kebersihan. Maka adalah tugas kita, sebagai figur model, untuk kembali mengembalikan perasaan ”sense of sensitive” dan kita patut mengajak dan memberi contoh masyarakat ”groot grass level” dan juga masyarakat yang berpendidikan tinggi tapi berhati kurang sensitif untuk memiliki rasa peduli kepada lingkungan. Pada mulanya usaha untuk mengembalikan rasa peduli ini bisa bersifat”bottom up”. Dengan meminjam istilah ungkapan seorang Kyai Indonesia, yakni ”memulai usaha pelestarian lingkungan hidup” dan menjaga kebersihan dan ”tidak membuang sampah sembarangan” dari diri sendiri dan sekarang ini juga. Ini dimulai dari rumah tangga, sekolah, pemerintah dengan kantornya, pemilik usaha ekonomi dengan toko-tokonya dan para pemilik kendaraan dan pengguna jalan raya agar memahami bagaimana pentingnya makna kebersihan dan kebersihan alam itu sendiri.
Merenungkan kembali, seperti yang kita nyatakan di atas tadi, bahwa sungai yang dulu berair bening sekarang berubah menjadi sungai dengan tumpukan sampah. Pinggir jalan raya dan taman-taman yang dulu hijau oleh tumbuhan serta rerumputan dan sekarang kotor dan semraut oleh tebaran sampah botol minuman sampai sampah bungkus makanan. Itu semua disebabkan oleh perbuatan orang orang yang datang kesana dan para pengguna jalan. Dimana yang bertebaran itu bersumber dari sampah yang mereka bawa dari rumah atau sampah yang sumbernya dan dari toko-toko untuk kemudian mereka lemparkan ke bumi seenaknya. Maka figur yang amat bertanggung jawab atas penggotoran bumi ini adalah para pemilik toko, pemilik warung, pengguna jalan raya, pengusaha transportasi, orang tua dan guru dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai orang terdidik.
Untuk mencegah agar setiap orang tidak membuang sampah seenaknya maka sangat diperlukan seribu sampai sejuta lagi spanduk yang bertuliskan ”jangan buang sampah” agar di pasang dan diukir di berbagai tempat mulai dari rumah, sekolah, kampus, pasar, persimpangan jalan, rumah ibadah, di desa dan di kota sampai ke tempat keramaian dan diikuti oleh perbuatan atau prilaku. Para figur harus melakukan agar bisa menjadi model bagi anak-anak dan generasi yang sedang sibuk menjadi figur atau model dalam usia indentifikasi diri mereka. Kemudian diperlukan pula agar kita menyediakan seribu sampai sejuta tong sampah. Namun jangan biarkan tong sampah itu tergeletak penuh dengan tumpukan sampah untuk jangka waktu lama apalagi bila menumpuk sampai sampai bertahun-tahun tindakan ”top down” amat dibutuhkan. Mimpi kita bisa terwujud untuk menjadikan daerah ini, negara ini agar bebas dari sampah lewat gerakan ”perang melawan sampah secara totalitas” sekarang ini juga dan mulai dari diri sendiri, sekolah sendiri, rumah sendiri, lingkungan sendiri.

Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...