Senin, 22 Juni 2009

Paradigma Baru: Menjadi PNS Plus

Paradigma Baru: Menjadi PNS Plus
Oleh Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Judul artikel ini memberi label “plus”, untuk apa gerangan ? Pertama, karena adanya fenomena bahwa masyarakat sangat peduli pada label atau merek. Keberadaan label cukup mampu dalam menggenjot kualitas dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, bahwa PNS (Pegawai Negeri Sipil) adalah aparatur negara, hidup mereka dibiayai oleh negara, jumlah mereka cukup banyak. Kualitas dan eksistensi mereka menentukan wibawa pemerintah, apakah mereka menjadi PNS yang penuh amanah atau PNS penyedot anggaran negara ?
Shakespeare,tokoh sastra dari Eropa, berkata ”what is the name ?”, apalah arti sebuah nama atau apalah artinya sebuah label ? Bukan demikian halnya, ternyata nama sangat memiliki arti dan nilai yang tinggi. Saat seorang bayi lahir ke dunia, orang tuanya sibuk mencari nama. Ada yang pergi ke internet dan mengklik pass word koleksi nama-nama indah pada mesin google. Sebagian ada yang meminjam, secara diam-iam, nama-nama figur dari kalangan selebriti, atlet, ilmuwan, alim ulama dan negarawan. Bagi yang minder dengan nama dalam budaya dan budaya sendiri, karena kurang mengenal hakikat budaya dan agama, maka mereka memungut nama dari dunia barat. Syukur kalau nama yang dipungut adalah nama tokoh yang baik bukan nama tokoh sindikat kriminal. .
Seharusnya orang tua membei nama haruslah penuh dengan pertimbangan, jangan membuat anak malu dan rendah diri gara-gara nama. Orang tua perlu melakukan koreksi nama sebelum terlanjur, misal nama anak ”maisir atau annar”, walau kata-kata ini ada dalam alquran, tetapi berarti ”judi dan neraka”. Ada lagi orang tua memberi anak nama ”mastur, tanya” maka ditambah menjadi masturbasi, dan tanya jawab. Atau memberi anak nama bernuansa maskulin untu anak perembuan atau nama bernuansa feminin untuk anak laki-laki, ”Mana dia ibu Nurbadri ?” tahu-tahu yag muncul adalah pria tulen bertubuh atletis.
Nama atau label berpotensi dalam mengangkat citra atau kualitas sesuatu. Label lama yang menunjukan kualitas adalah menggunakan kata ”bangko”, sebagai contoh ”ayam bangkok” atau produk alam lain yang bentuk dan kualitasnya prima. Atau label alam lain seperti ”beras solok, rambutan binjai, salak medan, petai lintau, apel wasington, karpet persia, dan lain-lain”. Label produk alam ini selalu dicari orang.
Kemudian orang menggunakan kata ”super” atau ”unggul” untuk produk ternak dan produk alam. Maka orang pasti lebih menyukai ”jagung super, sapi unggul, beras unggul, sayur organik super dan jeruk super”. Kata-kata super berarti menggambarkan suatu produk alam yang berkualitas- sehat, gemuk, segar, gurih, cerah dan bergizi tinggi. Untuk memperolehnya orang tidak segan-segan untk merogoh kocek untuk membayar produk berlabel unggul atau super, kalau itu memang terbukti, kalau tidak ”ya, say good bye”.
Ketika fenomena prestasi dan kualitas pendidikan kita selalu jalan di tempat, maka para pemikir dan stakeholder pendidikan melakukan gebrakan dalam pembaharuan. Untuk institusi pendidikan kemudian munculah label. Label yang menjelaskan bahwa telah terjadi peningkatan kualitas atau pelayanan dalam pendidikan seperti label dengan menggunakan kata-kata ”plus, unggul, alami, akselerasi, satu atap, perintis, dan sekarang dengan program RSN (Rintisan standar nasional) dan SNBI (Sekolah nasional berstandar internasional). Maka bermunculanlah sekolah dengan program dan pelayanan yang sesuai dengan label yang diadopsi seperti; sekolah plus, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah alam, sekolah satu atap, sekolah unggul, sekolah akselerasi, sekolah standar nasional, sekolah berstandar intenasional, dan belum tertutup kemungkinan untuk muncul label-label yang baru dan unik. Tentu saja penggunaan label-label ini sangat positif dan efektif untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Siswa yang belajar di sekolah yang belabel sekolah model tentu akan malu kalau belajar denga gaya santai dan malas.
Setelah kualitas anak-anak bangsa anjlok dan banyak disoroti sehingga lahirlah kata-kata atau label seperti yang telah disinggung dalam kalimat sebelumnya. Kini bagaimana pula dengan kualitas dan ekistensi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang jumlahnya sangat banyak.
Menurut pantauan masyarakat- dan banyak yang mengatakan- bahwa menjadi PNS itu enak, rajin atau malas atau sakit dan senang tetap menerima gaji tiap bulan. Namun sebagian masyarakat juga banyak yang kritis dan memberikan kritik untuk perubahan. Mereka berpendapat bahwa profesi PNS sebagai profesi yang miskin tantangan dan kurang mengenal kompetitif. Hal ini terlihat pada anggota masyarakat yang minus jiwa kreativitas dan jiwa innovasinya.
Memang, orang jarang melihat PNS yang kreatif. Yang sering terlihat adalah PNS yang suka keluyuran, PNS yang suka makan gaji buta, PNS yang suka menerima amplop, PNS yang kurang bisa untuk merawat diri. Sapai kepada PNS yang suka berselingkuh dan kawin batambuah. Sesungguhny di belakang PNS yang kurang berkualitas tentu ada banyak PNS yang berkualitas dan penuh inovasi. Inilah PNS yang dikatakan sebagai ”PNS Plus”.
PNS adalah corp (dalam bahasa Perancis yang berarti ”tubuh”). PNS adalah kesatuan dari aparatur pemerintah dan ia terdiri dari puluhan jenis profesi. Profesi PNS yang dikenal luas adalah seperti ”dosen, insinyur, hukum, dan guru. Ada lagi orang yang kalau mendengar kata ”PNS” maa bagi mereka adalah orang-orang yang bekerja di kantor kantor pemerintah, berseragam pemda, berjalan sedikit terkesan santai dan hari-hari penuh enjoy. Mereka tidak melihat dibalik pemandangan yang demikian juga ada PNS yang berkualitas lebih atau PNS plus.
Di seputar diri kita ada banyak PNS yang berkualitas plus. Cerita PNS yang berkualitas plus juga bisa dibaca daam kumpulan biografi orang-orang sukses. Dalam buku ”Siapa mengapa sejumlah orang Minang” (Zoelverdi,1995) juga terdapat sejumlah tokoh PNS yang tergolong sukses dan mereka adalah seperti Alis Marajo, Averdi, Mochtar Naim, Djoko Syarief, Mohammad Anshar, serta ada beberapa nama lain, mereka adalah PNS berlabel plus.
Alis Marajo ketika kecil memilih cita-cita yang tinggi dan bersitungkin dalam belajar (belajar keras). Anak-anak yang tidak punya budaya belajar keras diragukan akan berhasil. Ia tertarik untuk kuliah di ITB atau Kedokteran dan memilih kuliah di Kedokteran. Menjadi mahasiwa tidak harus terkungkung dengan mencatatat dan menghafal catatan seperti kebiasaan banyak mahasiswa. Arlis juga aktif berorganisasi di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan AMPI. Di kemudian hari, karirnya adalah di bidang kedokteran, namun ia bukan dokter yang biasa. Ia adalah dokter yang luar biasa. Ia adalah dokter yang tahu politik dan tahu dengan adat istiadat. Inilah yang membuat Arlis sebagai dokter berlabel plus.
Averdi adalah seorang dokter yang juga dapat dikatakan sebagai dokter plus karena ia aktif dan tahu dengan adat istiadat. Karakter berkualitas plus terbentk karena ia terbiasa dengan disiplin dan sikap jujur.
Mochtar Naim berasal dari orang tua yang berprofesi sebagai pedagang harian dan ia didik dengan agama yang kuat. Waktu kecil ia gemar membaca dan ia mempunyai tokoh idola seperti Soekarno, Hatta, Assa’at dan lain-lain. Ia kuliah di Yogyakarta dan mendirikan study club dan mengundang tokoh terkenal untuk berdialog. Menjadi orang berkualitas plus harus aktif dalam hidup. Ia kemudia menjadi dosen yang berkualitas plus- ahli sosilog dan penulis.
Djoko Sarif juga termasuk kategori orang berkualitas (dosen). Sejak kecil semangat menunut ilmunya sangat tinggi. Saat kuliah, karena susah dengan keuangan maka ia kuliah sambil bekerja- sambil kuliah ya dagang buku- ia jadi agen penerbit luar negeri. Ia mempunyai pustaka pribadi dengan koleksi buku 20.000 judul dan ia sendiri telah menulis 20 judul buku. Inilah yang membuatnya menjadi dosen berkualitas plus.
Mohammad Anshar adalah juga dosen berkualitas plus. Ia mengatakan bahwa di Indonesia banyak pelajar dan mahasiswa yang menggantungkan diri pada guru atau dosen. Di Amerika mahasiswa dan pelajar punya inisiatif- belajar sendiri dan membaca sendiri- karena membaca sudah menjadi budaya dalam keluarga. Ia mempunya semboyan ”tiada hari tanpa belajar”.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah keharusan dan bukan paradigma baru seperti judul artikel ini. PNS yang berkualitas plus akan mempunyai martabat lebih tinggi di mata masyarakat. Banyak orang saat kecil sangat rajin dan saat kuliah bisa mengukir berbagai prestasi tetapi begitu lolos menjadi PNS mereka berhenti untuk belajar dan mengembangkan diri. Mereka memilih menjadi orang biasa-biasa saja, PNS yang biasabiasa saja, PNS yang suka dengan istilah enjoy ingin serba senang saja. Rutinitas hidupnya sangat monoton ” dari rumah ke tempat tugas, kerja sedikit kemudian santai dan pulang lagi ke rumah”. Kemudian pandangan di rumah kurang memperlihatkan aktifitas plus atau kegiatan yang berbeda dari orang-orang yang biasa. Maka figurnya juga menebarkan prilaku hidup santai sehingga orang berfikir ”oo begini ya yang namanya PNS itu”. Maka seharusnya jadilah PNS plus lewat budaya selalu belajar dan berkarya dalam hidup, mengikuti berbagai aktifitas dan memberikan nilai plus bagi orang dan bagi dri sendiri.

Rabu, 10 Juni 2009

Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru


Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru

Oleh: Marjohan M.Pd

Guru SMAN 3 Batusangkar





Hampir semua orang setuju bahwa institusi sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) bangsa ini. Untuk menjaga imej ini, pihak sekolah dan stake holder dalam bidang pendidikan selalu melakukan pembenahan diri namun tentu saja selalu ada kendala. Agustinus (2009) dalam laporan utamanya yang berjudul “Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?” menyebutkan bahwa sistem pendidikan kita masih jauh dari idealnya proses humanisasi (pemanusiaan) sebagai inti dari pendidikan itu. Sekolah lebih dijadikan laboratorium untuk transfer pengetahuan dari pada menjadi pendopo (balai-balai) untuk pengolahan kepribadian yang terintegrasi, baik dari sisi pengetahuan maupun kesadaran perilaku. Para siswa dijejali dengan materi-materi pelajaran dan kurang mempunyai ruang dan waktu untuk mengembangkan kreativitas. Sementara sistem pengajaran di kelas pun cenderung satu arah. Ruang diskusi dan kritis kurang dibuka lebar. Guru masih mengklaim diri sebagai otorita pemegang kebenaran tunggal di dalam kelas. Akibatnya kelas itu hanya melahirkan orang-orang yang doyan membebek alias patuh, tidak kritis dan emoh membantah.

Ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena di atas terjadi seperti faktor minimnya quota dana untuk menjalankan pendidikan. Sehingga kesulitan dalam menyediakan atau memenuhi fasilitas pendidikan. Namun faktor guru adalah faktor kunci yang menentukan pendidikan kualitasnya meningkat atau menurun. Semestinya profesi guru atau pribadi guru dengan segala eksistensinya harus memberikan daya tarik yang kuat bagi anak-anak didik mereka. Ibarat bagaimana tertariknya anak-anak kecil pada profesi polisi, tentara, dokter dan pilot.

Anak-anak kecil sampai yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, sekali lagi, banyak yang tertarik untuk menjadi polisi, tentara, dokter dan pilot karena di mata mereka bahwa penampilan orang-orang dengan profesi ini tampah begitu elegant. Anak-anak kecil begitu antusias melihat parade militer atau barisan polisi yang sedang berlatih dengan postur tubuh gagah dan seragam berwibawa. Mereka berlari-lari mengikuti iringan-iringan mereka dan tidak sudi mereka lenyap dari pandangan mereka. Demikian pula bagi seorang anak yang memutuskan menjadi pilot setelah seorang pilot dengan postur gagah dan pakaian juga gagah melintas dan melangkah menuju pesawat. “Wah gagah sekali pilot itu, bila dewasa aku juga ingin menjadi pilot”, celetuk seorang bocah sekolah dasar bergelantungan di gerbang bandara.

“Fall in love at the first sight” adalah berarti jatuh cinta pada pandangan pertama. Penampilan dalam seragam profesi bisa dan seharusnya menjadi daya tarik dan ini sangat menentukan bagi anak-anak yang berusia junior dalam memilih karir/profesi sebagai cita-cita pertama mereka. Namun bagaimana dengan profesi keguruan dan bagaima dengan penampilan dan postur tubuh guru-guru ?

Di lapangan, di berbagai sekolah, dapat ditemukan bahwa banyak guru-guru yang tidak begitu peduli dengan penampilan mereka. Mereka membiarkan sepatu berdebu, kumis dan jenggot menjalar, warna pakaian pudar, pasangan lipstick tidak pas (bagi guru wanita). Sehingga wajarlah penulis naskah film dan sutradara melukiskan figur guru dalam sinetron bagi guru pria; tampil lugu, bercelana panjang longgar, rambut berminyak, berjalan menggandeng sepeda. Sementara guru wanita berdandan dengan baju kebaya, bersanggul, berkacamata dan tampil bersahaja.

Siswa-siswa cerdas pada banyak sekolah jarang yang sudi memilih karir sebagai guru, kecuali karena alasan ekonomi. Banyak anak-anak cerdas yang memilih untuk bekerja di bank, perusahaan, dokter, atau menjadi pengacara. Sejak teknologi berkembang maka banyak pula yang ingin berkarir dalam bidang ICT (Information Computer Technology), programmer, analist, dan syukur kalau ada yang memilih karir dalam bidang wiraswasta (karena sekarang semangat wiraswasta juga mulai meluntur). “Barangkali kalau kamu nanti jadi guru saja, supaya bangsa lebih cerdas?”, Tanya seorang guru. “Wah janganlah bapak, saya tidak berminat mengajar”, jangan seorang siswa dengan enteng”.

Barangkali siswa-siswa cerdas kurang melihat adanya daya tarik dari profesi guru yang dipantulkan oleh penampilan guru itu sendiri. “Gurunya cerdas tapi sayang kurang rapi, yang lain ada guru cerdas tapi hidupnya susah, di tempat lain saya lihat banyak guru-guru yang santai saja dari pagi”, komentar seorang siswa. Faktor lain yang membuat siswa cerdas lari dari karir guru adalah karena factor pribadi guru tersebut, seperti guru pemarah, pendedam, killer dan dianggap kikir dalam member nilai atau terlalu memberatkan fikiran siswa. Tidak zamannya lagi menjadi guru killer.

Ada pengalaman dan cerita yang masih terlintas dalam fikiran penulis tentang seorang siswa cerdas. Saat berusia remaja termasuk siswa bandel diberi hukuman “memasak air minum buat guru”. Namun ia sempat memasukan air kencingnya kedalam periuk sebelum meletakkannya ke atas kompor. Bayangkan hamper semua guru sempat mencicipi air minum bercampur kencing hari itu (na’uzubillah min zalik). Namun setelah jadi orang (dapat pekerjaan bagus) ia datang ke sekolah tersebut untuk minta maaf.

Kalau begitu seharusnya guru-guru juga harus berpenampilan gagah, anggun dan menarik. Kemudian juga harus memiliki wawasan luas dan cerdas bergaul serta berkomunikasi. Sebaliknya guru tidak harus tampil bersahaja, kulit bibir melepuh, tubuh kurang terurus, minim dengan wawasan dan cara berbicara yang kampungan. Inilah agaknya yang dikhawatirkan oleh pemerintah dan pemikir pendidikan agar tidak terjadi. Sehingga lahirlah Peraturan Pemerintah (Permen) no 14 tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen.

Permen ini mengharapkan agar guru memiliki kompetensi. Kompetensi tersebut adalah seperti kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik maupun kompetensi profsional. Kompetensi secara wajar perlu mendapat kesempatan untuk ditumbuh kembangkan sehingga berdampak postif pada siswa.

Kompetensi adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran bagi peserta didik yang berkaitan dengan pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengatulisasikan. Kompetensi kepribadian yang merupakan perwujudan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan menjadi teladan bagi siswa. Kompetensi professional merupakan komponen penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan dalam membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi. Namun sekarang bagaimana realita kompetensi yang dimiliki oleh guru ? Untuk siapa permen 14/2005 ini dibuat, apakah untuk siswa, untuk orang tua, untuk penjaga sekolah, tukang kebun atau untuk guru ? Permen 14/2005 dibuat, tiada lain-tiada bukan, adalah untuk kaum guru agar mereka menjadi profesi yang bermartabat dan terhormat.

Sekali lagi, apa faktor penyebab siswa mengidolakan figur lain seperti artis dan olahragawan dan banyak siswa cerdas yang enggan jadi guru ? “Profesi guru kurang punya tantangan bila dibandingkan dengan profesi di bidang BUMN dan dunia industry, yang saya lihat cuma banyak guru yang santai, datang ke sekolah hanya saat jam mengajar saja, kalaupun cepat datang itupun mereka gunakan untuk tertawa dan mengerumpi ala anak ABG”, kata seorang siswa saat menentukan pilihan karirnya.

Menjadi guru dengan gaya hidup santai, apalagi juga banyak guru yang gagap dengan tekhnologi (gaptek) telah membuat nyali siswa cerdas, kecuali yang punya alasan ekonomi, untuk menuju professi keguruan. Ini tidak dapat dipungkiri, malah guru-guru sendiri kurang bangga dengan profesinya, “kamu nak, kalau sudah dewasa tidak usah jadi guru, karena tidak ada guru yang jadi conglomerate”.

Last but not least (akhir kata), sebenanya guru tidak perlu takut untuk dimarginalkan- dikesampingkan- kalau mereka bias memperlihatkan keunggulan. Guru tidak perlu mengemis penghargaan- bermohon untuk dihargai- dan bermohon minta martabat dari orang lain kalau mereka bisa tampil gagah dan berwibawa, tidak loyo dan tidak berdaya. Guru akan punya harga diri dan profesinya akan selalu dikagumi kalau mereka semua bias menjadi guru yang professional, kalau sekarang guru yang menerima sertifkasi guru belum semuanya dapat dikatakan guru professional kalau kalau portofolionya lahir lewat jalan yang penuh kong kalingkong (penuh rekayasa dan dengan sejumlah dokumen copy paste). Guru yang professional harus peduli dengan anak didik, peduli dengan dunia pendidikan dan tahu dengan job description, mereka harus sibuk mengurus diri dan bukan sibuk mengurus pribadi orang lain.

Note: Agustinus.(2009). Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?. Bogor: Tabloid Gocara, Edisi 14/II/April 2009

Selasa, 09 Juni 2009

Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba


Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba

oleh: Marjohan, M.Pd

Guru SMA



Dalam penggunaan bahasa bahwa kata “orang tua” dan “guru” sering disandingkan dan menjadi frase “orang tua dan murid”. Ini terjadi karena kedua tokoh ini memegang peranan penting dalam mendidik dan menemani anak untuk tumbuh dan berkembang.


Hampir semua orang menyadari tentang keberadaan keluarga, orang tua (ayah-ibu) sebagai figure sentral dalam melaksanakan tugas mendidik anak. Kemudian di sekolah, guru sebagai figur atau tokoh sentral dalam mendidik murid di sekolah. Namun orang tua dan guru perlu menyadari bagaimana menjadi pendidik yang baik.


Orang tua adalah guru pertama dalam kehidupan setiap anak. Mereka terlibat dalam proses pembelajarannya di rumah dan dimana saja, dengan alokasi waktu belajar selama 24 jam setiap hari. Berarti di rumah pada umumnya ada dua guru (ayah dan ibu) dan satu atau dua orang anak. Apalagi karena orang tua muda sekarang cenderung mengadopsi program keluarga berencana- cukup dua anak (pria wanita sama saja !). Itu berarti bahwa mereka melakukan proses pengajaran di rumah untuk menjadi manusia yang baik dengan intensif mulai dari anak bangun tidur sampai kepada anak tidur lagi.


“Nah habis tidur kita harus baca doa, kemudian sholat, kemudian merapikan tempat tidur…”, kata seorang ibu (ayah) sambil menuntun anak untuk mulai beraktifitas dengan bahasa yang santun. “hei buyung …. bangun, mandi….matahari dan sekolah…., hai banguun”, bentak orang tua di tempat yang lain dengan gaya bahasa yang penuh emosi. Tentu ada pula proses pembelajaran model lain, yaitu membiarkan anak tidur atau bangun kapan saja suka, terlalu membiarkan atau serba banyak membantu anak. Bentuk-bentuk sentuhan dan cara berkomunikasi antara anak dan orang tua akan menentukan kualitas pendidikan mereka kelak.


Untuk mendapatkan pendidikan rumah (untuk anak) yang berkualitas maka proses beraktifitas di rumah juga harus unggul. Untuk itu apakah orang tua (sesuai dengan kemampuan) telah menyediakan fasilitas pembelajaran. Kalau tidak salah lihat bahwa banyak orang tua yang cenderung menghujani anak dengan fasilitas hiburan. Untuk membuktikannya mari kita kunjungi ke rumah-rumah mereka dan temukan: “mana yang banyak koleksi yang dimiliki anak antara koleksi mainan dengan koleksi bacaan ?”. Apakah anak-anak kita telah memiliki koleksi cerita-cerita nabi, koleksi biografi tokoh untuk membantu mereka dalam mencari identitas diri. Memiliki koleksi mainan untuk anak tidak salah, karena ini bisa membuat anak berani dan cerdas tapi bacaan jangan diabaikan. Namun malah cukup banyak orang tua yang sudi memiliki koleksi keramik dari pada menyediakan perpustakaan bagi anggota keluarga.

Eksistensi guru di sekolah sebagai pendidik juga ikut mewarnai bagaimana mutu anak-anak bangsa ini kelak. Tentu saja untuk menghasilkan generasi yang terdidik dengan baik (cerdas dan ungggul) maka juga diperlukan sentuhan tangan guru-guru yang cerdas dan unggul. Orang mengatakan bahwa ada guru-guru yang unggul dan guru-guru yang tidak unggul. Dalam bahasa plesetannya “ada guru luar biasa dan ada guru yang biasa di luar”. Bangsa ini begitu sibuk membenahi pendidikan gara-gara kualitas pendidikan belum kunjung memuaskan, sementara di negara maju mereka sibuk berbikir bagaimana bisa menghasilkan teknologi baru. Maka ini pasti karena populasi guru-guru tidak unggul atau “guru-guru biasa di luar” guru-guru yang terkesan suka santai, belum kreatif, belum professional, dan kurang suka berinivasi.


Seperti disebutkan sebelumnya bahwa orang tua dan guru adalah dua buah kata yang selalu disandingkan menjadi “parents and teacher”. Mereka perlu tahu tentang permasalahan pendidikan anak-anak/siswa. Permasalahan umum mereka adalah malas belajar, tidak mandiri, kurang memiliki harga diri, tidak patuh, dan suka membangkang. Ini semua dapat dikatakan sebagai penyakit pedagogie atau penyakit dalam pendidikan. Ini mungkin disebabkan oleh gaya kiya sendiri yang salah asuh.


Tanpa merujuk pada teori, maka orang awam pun tahu bahwa anak jadi malas adalah karena mereka miskin motivasi hidup. Orang tua gagal dalam menumbuhkan memotivasi mereka. Anak kurang terbiasakan dalam melakukan aktifitas, no house work and no school work. Atau kita sebagai orang tua malah menjadi figur yang juga pemalas, anak disuruh belajar dan kita tidak pernah belajar untuk jadi orang tua yang ideal.


Pengalaman di sekolah bahwa siswa laki-laki yang pemalas bisa jadi karena memiliki ayah yang juga pemalas- tidak peduli dalam urusan pendidikan anak. Selanjutnya anak menjadi pemalas karena mungkin ayah dan ibu mereka sedang dilanda broken home, selalu bertengkar dan cekcok sehingga anak jadi bingung dan putus asa.


Anak tidak mandiri ? Orang awam juga tahu bahwa anak yang kurang mandiri adalah karena mereka terbiasa banyak dibantu mulai dari bangun sampai tidur lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan- tidak dibiasakan mengurus yang kecil-kecil (merapikan kamar), menjaga keberhasilan diri (banyak anak laki-laki tampil sembraut), sampai ikut berpartisipasi dalam merapikan rumah. Atas nama rasa sayang, banyak orang tua yang memonopoli semua pekerjaan rumah sehingga anak tidak memperoleh kuota kegiatan. Seharusnya anak diberi kerja paling kurang memotong rumput di depan rumah, memungut sampah, atau membersihkan pakaian sendiri. Kalau mereka tidak terbiasa beraktifitas maka mustahil bisa menjadi generasi yang mandiri kelak. Malah mereka akan miskin dengan life skill hingga jadi beban hidup bagi orang lain.


Hargailah pribadi anak sejak usia dini kalau tidak maka mereka akan kehilangan harga diri. Sebahagian kita banyak yang hanya gemar banyak menyuruh, memerintah sampai kepada mengomeli anak, namun kurang peduli dalam menghargainya- acuh saja kalau mereka berbicara dan kikir dalam memberi pujian atau prestasi mereka. Sering orang dewasa (orang tua, guru, tante, paman, pengasuh) dalam bertindak menggunakann segenggam kekuasaan. Ini terlihat dari gaya bahasa yang banyak memerintah “kamu harus…., kamu jangan…., kamu musti…., kamu tidak boleh….., pokok nya harus patuh”. Dibalik kekuasaan dalam bentuk banyak menyuruh dan melarang mereka malah miskin dalam memuji dan dan menjaga hati anak. Akibatnya maka lahirlah anak-anak yang pendendam, tidak punya harga diri dan generasi yang berjiwa labil- mudah stress dan mudah putus asa.


Selanjutnya tentang gejala membangkang pada anak, selain karena faktor remaja (kalau ia berusia remaja) yang memperlihatkan gejala suka berontak, juga karena faktor pemodelan orang tua yang juga gemar dengan budaya menghardik. Orang tua penghardik, berbahasa kasar, tidak kenal mufakat berpotensi melahirkan anak yang berkarakter pembangkang. Demikian pula bagi keluarga yang kurang tersentuh oleh sajadah dan alquran, anak-anak mereka juga cendrung terlihat gemar membangkang, itu karena miskin dengan sentuhan spiritual.


Seharusnya mendidik dan mengasuh anak itu menjadi lebih mudah, indah dan menghadirkan banyak anugerah bagi orang tua. Jika kita mau memahami ungkapan popular: dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup mudah dan dengan seni hidup indah. Ini memberi penekanan bahwa orang tua dan juga guru perlu untuk menuntut ilmu (yang relevan untuk kepentingan parenting dan teaching adalah ilmu psikologi dan pedagogi) dan membudayakan otodidak dan gemar membaca.


Banyak orang tua merasakan kehadiran anak menjadi beban hidup. Ini terjadi karena mereka menjadi orang tua tanpa punya bekal dalam mendidik. Fenomena dalam masyarakat bahwa banyak orang saat menikah tidak mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik dan bagaimana kelak dalam mendidik anak. Maka tidak heran kalau sebahagian orang tua menjadi orang tua yang miskin dengan ilmu dan konsep penidikan. Yang terpantau adalah mendidik anak dengan “metode warisan”. Anak perlu dihardik dan dimarahi karena orang tua sebelumnya juga menghardik dan memarahi. “Aku harus bersikap keras pada anak karena ayah-ibu seperti itu dulu”. Malah sebahagian orang tua mendidik anak dengan konsep coba-coba- try and error.


Pendidikan di negara maju bisa menjadi maju adalah karena faktor rekruitmen guru yang berkualitas. Mereka menjaring guru yang berpotensi- cerdas dan professional, bukan menjaring guru hanya lewat sebatas “tes potensi akademik- TPA” yang bisa dikuasai secara ngebut semalam suntuk dan lulus dalam test PNS. Test atau seleksi model begini sangat bagus dalam menjaring guru yang smart street atau guru yang pandai-pandai dan bukan guru smart akademic atau guru yang pandai, tapi bukan menjaring guru berpotensi dan professional. Faktor lain yang membuat negara maju jadi maju adalah juga faktor kesiapan orang lewat program parenting untuk menjasi orang tua, guru pertama anak di rumah.


Potensi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang cukup pesat adalah sejak dalam kandungan hingga usia delapan tahun. Ini berarti bahwa rumah menjadi faktor penting untuk menentukan seorang anak tumbuh prima sebelum mereka pergi ke sekolah. Maka di Amerika Serikat dan juga di negara maju lainnya banyak orang teetarik untuk mengikuti kursus bagaimana menjadi orng tua yangb ideal melalui program “parents as the teacher”. Keluarga dengan anak-anak yang berusia 0-3 tahun mengikuti program tersebut, di Indonesia mungkin semacam kegiatan posyandu- namun posyandu harus lebih berkualitas lagi, jangan terkesan asal-asalan melulu: datang, timbang bayi, tetes vitamin dan pulang (kemudian di rumah orang tua tidak belajar tentang merawat dan mendidik balita dan sang ayah tidak mau tahu). Bagi negara maju Inilah rahasianya mengapa mereka bias maju dan kita tidak heran kalau anak-anak mereka tumbuh cerdas karena pasangan suami isteri ketika menikah mereka sudah disiapkan jadi orang tua. Sementara fenomena pendidikan kita, dalam urusan mendidik, terlalu menyerahkan peran mendidik pada pihak sekolah. Ada yang beranggapan bahwa sekolah adalah perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Kalau begitu apa saja peran dan tanggung jawab orang tua lagi ?


Kini sudah saatnya bagi kita untuk mengubah paradigm lama dan memiliki paradigm baru. Mari menjadi orang tua sebagai educator yang baik dan bertnggung jawab. Kita menyuruh anak belajar dan kita sendiri juga belajar- long life education- untuk menjadi orang tua yang ideal.

Kamis, 04 Juni 2009

”Rokok dalam Carano” atau “Sirih dalam Carano

”Rokok dalam Carano” atau “Sirih dalam Carano”
Oleh: Marjohan, M.Pd

Hidup ini penuh dengan kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut dikemas dalam bentuk seremonial, mulai dari seremonial penuh kesedihan sampai kepada seremonial penuh glamour. Orang Minang mengatakan bahwa “kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahamburan- kabar baik diberitahukan dan kabar buruk berhamburan”.

Peristiwa kematian salah seorang anggota keluarga adalah termasuk kabar buruk, bad news, dan orang berhamburan datang dan berhamburan pula memberiitahunya. Sementara itu acara tentang resepsi pernikahan adalah berita paling baik, kabar baik atau good news. Kabar baik ini diberitahu terlebih dahulu dan orang-orang pun berdatangan.

Bisaanya sebelum menggelar acara resepsi perkawinan dan pernikahan, orang bisaanya menyebarkan undangan resmi untuk kaum kerabat dan handai tolan (teman dan kaum keluarga). Kemudian ada lagi bentuk undangan setengah-resmi atau informal, yaitu perwakilan keluarga calon mempelai mengutus seseorang datang kepada tetangga, famili dekat untuk memberi tahu bahwa akan digelar sebuah resepsi perkawinan. Saat mengundang atau memberi tahu, mereka menyuguhkan “sirih dalam carano”.

“Sirih dalam carano ?”. Namun fenomena yang ditemui bahwa sekarang undangan semi-resmi buat tetangga adalah dengan menyuguhkan “rokok dalam carano”. Barangkali pihak industri rokok pasti merasa senang karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk promosi atau iklan agar semakin banyak orang menjadi pencandu rokok. Memang ada kecendrungan perubahan dalam budaya dalam mengundang, menyuguhkan sirih dalam carano menjadi rokok dalam carano. Fenomena ini bisa sebagai pertanda bahwa suku bangsa kita melangkah menjadi suku bangsa perokok berat- heavy smoker.

“Konsumsi rokok indikator kemiskinan” adalah judul salah satu berita kesehatan dalam Harian Singgalang (29 Mei 2009). Berita ini mengatakan bahwa konsumsi rokok diyakini sebagai salah satu indikator kemiskinan masyarakat Indonesia selama ini. Akibat prilaku tersebut tidak hanya dapat mengurangi pendapatan belanja bulanan keluarga, hingga berujung pada kematian.
Setiap orang bisa menemui kesaksian tentang bagaimana tembakau (rokok) sudah menyusup ke dalam life style dalam budaya kita. Penghisap rokok atau pencandu rokok terlihat sangat banyak berkeliaran di kawasan pasar tradisionil dan terminal mobil. Seorang sopir angkot- angkutan kota- mungkin bisa memperoleh penghasilan harian sebanyak Rp. 50.000 dan memiliki dua atau tiga orang anak. Tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya penghasilan pada umumnya telah membuat anak-anak mereka putus sekolah. Alasan klasik mereka adalah karena tidak memiliki biaya buat sekolah anak.

Namun kalau kita telusuri ternyata cara penggunaan uang mereka cukup aneh. Sang sopir mampu memanjakan pabrik rokok karena ia membakar uang atau membeli rokok Rp. 20.000 per-hari untuk membeli tiga bungkus rokok tiap hari, karena mulutnya tak henti-henti mengepulkan asap rokok. Sementara ia memberi istri uang belanja lauk pauk Rp. 25.000 per-hari. Sekali lagi bahwa ini adalah fenomena umum yang sering ditemui diantara masyarakat kita yang tergolong miskin- miskin ekonomi dan miskin pendidikan.

Fenomena lain adalah bahwa tembakau sudah menyusup ke dalam relung kehidupan kita. Seperti yang dinyatakan di atas bahwa “rokok dalam carano telah menggantikan peran sirih dalam carano”. Dalam acara batagak penghulu, batagak kudo-kudo rumah, upacara turun mandi atau aqikah bayi, acara meminang calon menantu, atau acara kenduri yang lain maka rokok dengan berbagai merek, entah sejak kapan, wajib hadir untuk memanjakan selera pengunjung. Maka bergegaslah undangan dari kaum laki-laki dengan gaya berbasa basi untuk menghisap rokok dan berlomba untuk mengepulkan asap yang penuh dengan racun dan bakteri ke udara ruangan yang masih bersih.

Tidak jarang kemudian topik pembicaraan beralih dari pokok acara menjadi ajang diskusi tentang bagaimana hebatnya mereka dalam melahap asap rokok:
“Kalau ambo, sutan, paralu dalam saku ado satangah bungkuih rokok tiok ari, ka ganti kawan dalam bajalan- bagi saya, Sultan, perlu ada setengah bungkus rokok dalam kantong tiap hari sebagai teman dalam perjalanan”, kata seorang tamu.

“ Kalau ambo, minantu tau jo salero ambo, nyo kirim tigo pak rokok tiok minggu- kalau saya, menantu mengerti dengan selera saya, dia menghadiahkan tiga pak rokok setiap minggu”, kata teman yang lain.

Sekali lagi bahwa merokok sudah meresap ke dalam relung kehidupan bangsa kita. Iklan-iklan kesehatan tentang rokok yang mengatakan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan, dan gangguan kehamilan dan janin” hampir-hampir tidak dipercaya lagi, dianggap sebagai isapan jempol belaka. Para oknum perokok akan menjadi jera untuk tidak mengkonsumsi rokok apabila paru-paru mereka sudah penuh dengan cairan, atau gangguan jantung sudah datang untuk menyerang kesehatan.

Saat menulis artikel ini, paman penulis tengah berjuang untuk bertahan hidup, bernafas dengan tersengal-sengal setelah paru-parunya terserangan pneumonia, penyakit paru-paru berair. Sewaktu sehat beliau selalu mengklaim diri sebagai jago merokok. Menghabiskan lusinan batang rokok tiap hari. Saat itu kalau dilarang merokok maka akan berkilah “ah, indak rokok doh nan kamambunuah, sadang duduak elok-elok pun banyak urang nan mati- saya rasa tidak rokok yang akan membunuh, sedang duduk dengan santai juga ada orang yang mati”. Kini sang paman betul-betul kapok untuk tidak merokok, tetapi sudah terlambat karena kangker paru-paru sudah terlanjur datang.

Memang kepedulian orang-orang kita untuk kesehatan sangat rendah. Ini menjadi alasan bagi produsen rokok untuk menyusup kedalam struktur kehipunan. Coba lihat bahwa untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan olahraga (sepak bola, volli, dan lain-lain) dan konsert musik maka pembuat acara paling senang mencari sponsor pada perusahaan rokok. Kemudian dengan meriah berkibarlah baliho dan spanduk gerakan gemar merokok untuk menyambut pengunjung acara olah raga dan konser musik. Usai mengikuti kegiatan acara olah raga dan konser musik, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah penghisap rokok akan meningkat menjadi dua kali. Mereka adalah penghisap rokok pemula; anak anak baru ABG (anak baru gede) usia tingkat SMP dan SMA.

Mengkonsumsi rokok dalam usia pertumbuhan membuat daya tahan tubuh kurang prima. Pantaslah dalam berbagai event bergengsi banyak pemuda yang susah untuk berprestasi. Diperkirakan karena daya tahan tbuh mereka kurang prima “sudahlah terbiasa makan tidak bergizi dan menjadi pencandu rokok pula”. Rendah daya tahan tubuh angkatan generasi produktif membuat mereka kurang banyak berbuat bagi Negara, malah sebaliknya mereka menjadi beban Negara.

Faktor rendahnya kesadaran atas nilai kesehatan barangkali disebabkan oleh rendahnya kualitas pengetahuan dan pendidikan. Akibatnya kita menjadi pengguna tembakau. Kita menghargai eksistensi rokok, membeli asbak berukir dari perak untuk memanjakan tamu-tamu kita yang perokok- yang tidak peduli dengan arti sebuah kesehatan dan seenaknya mencemari udara di rumah orang. Kebisaaan merokok sudah dipelihara/dilestarikan di rumah-rumah, di pasar, di terminal, di tempat ibadah, di warung, di restaurant dan di kantor-kantor pemerintah, BUMN dan swasta. Seolah-olah dianggap sangat berbudaya kalau tuan rumah bisa menyediakan sebuah asbak rokok di ruang tamu mereka. Atau malah tuan rumah sendiri adalah perokok berat yang siap berkampanya, tanpa dibayar, mengajak orang lain seputar rumah untuk sudi menjadi perokok.

Sering dijumpai di berbagai kantor dan ruangan komputer banyak keyboard komputer sudah berlumuran debu rokok. Kenapa demikian ? Karena komputer tersebut bukan milik mereka. Fenomena bahwa properti milik umum kurang terpelihara dan mudah hancur. Jalan raya milik umum selalu dilempari sampah oleh pengguna jalan (sebaiknya pengguna kendaraan juga menyediakan tong sampah, kalau tidak ya ditilang, karena merekalah yang berkontribusi dalam mengotori jalan raya). Anggota legislative perlu meninjau ulang tentang larangan membuang sampah “Bagi siapa membuang sampah didenda Rp. 50 Juta atau penjara enam bulan”, namun dalam kenyataan di depan spanduk terbentang taburan sampah.

Bagaimana suasana di kantor-kantor pemerintah dan swasta ? Banyak karyawan pria lebih suka memanjakan diri dengan merokok daripada menekuni job-description, sehingga mereka sering kucar kacir begitu ada kegiatan pemeriksaan. Terkesan bahwa banyak karyawan kurang mampu menjalankan fungsi profesi mereka dan seolah-olah sebagian cenderung hanya makan gaji buta- pergi ke kantor hanya sekedar kongkow-kongkow saja.

Selama ini untuk menilai kegiatan lomba berprestasi- lomba kantor sehat, nagari berprestasi, guru dan pegawai beprestasi sampai kepada sekolah berprestasi, maka menjelang lomba peserta sibuk- kasak kusuk melengkapi porto folio, mencari yang hilang dan merekayasa yang tidak ada. Maka munculah kemudian angka portofolio yang lucu. Dalam nilai porto folio, kantor atau sekolah tersebut nilainya hebat tetapi dalam kenyataan banyak warganya sebagai perokok berat dan menang. Nah apakah ini namanya yang berprestasi, apalagi kalau assessor lomba sendiri juga seorang perokok berat maka jadilah lomba sebagai ajang iseng-iseng saja.

Semestinya kita harus setuju kalau “konsumsi rokok” sebagai inikator kemiskinan dan mencerminkan masih rendahnya kualitas pendidikan dan kesadaran atas nilai kesehatan. Untuk menghilangkan dan menghentikan kiabisaan merokok dan agar peran sirih dan carano dalam mengundang kembali pada posisinya maka stakeholder, ninik mamak, cadiak pandai dan bundo kanduang perlu membuat kebijakan dan peraturan yang konsisten. Perlu model adanya gerakan berhenti merokok bagi guru, karyawan, polisi, ABRI dan pimpinan/ pengayom masyarakat yang terkesan sebagai perkok berat. Di rumah, di kantor dan di tempat ibadah tidak perlu lagi menyediakan asbak rokok untuk memanjakan selera perokok. Akhir kata harus ada banyak pesan yang bertuliskan “ no smoking, no asbak, no asap rokok” dan diikuti oleh pembuktian atau tindakan serius.

Senin, 25 Mei 2009

Zulfadli, Sang Ayah Muda


Anak ku Bernama "Zilal"

assalamualaikum wr, wb..
nah itulah yang membingungkan ipad skr father...biasanya kalau disuruh buat konsep ceramah/khutbah oleh bos selalu bisa..tapi pas nulis buat sendiri susahnya minta ampun..hehe kenapa ya bisa gitu??
Visi misi ipad untuk zilal pasti ada..Karna dalam hidup prinsip ipad yang paling asasi adalah harus punya perencanaan yang matang..bagi ipad hasil gak terlalu penting..yg penting adalah prosesnya gimana kita susah payah atau senang mudah dalam proses itu..hehe mungkin karna prinsip ini dari dulu sampe sekarang gak pernah merasakan juara kelas atau yg terbaik kecuali waktu kuliah s2 jadi pemuncak akhirnya diberi kesempatan ngasih sambutan waktu wisuda seperti foto yang bisa father lihat di FB ipad..
oh ya.. sebelumnya father harus konfirmasi/terima pertemanan kita..klick permintaan pertemanan yang ada di kanan atas FB ini..biar bisa lihat foto2 FB ipad..ada foto dari kecil sampai yang terbaru..

let's go..Anak kecil memang putih n bersih..belum tau apa2 ttg apa yang dia lihat n rasakan..memulai untuk mengetahui dengan lidahnya..soalnya apa yang ada ditangan slalu dicoba untuk dimakannya..hehehe..mungkin itulah kadar yang diberikan Allah untuk anak kecil..
Ipad beruntung punya anak pertama laki-laki...karena dulu almarhum Bapak pernah bilang anak pertama tu bagusnya laki2 supaya kelak bisa menjaga adek2nya n kehormatan keluarga...Alhamdulillah waktu zilal lahir kata2 itu rasanya terngiang lagi...sekali lagi alhamdulillah ala kulli nikmah..
Pendidikan zilal memang dari skr. ipad beri dia kebebasan..skr dia dah bisa merangkak n berdiri sendiri..kalau jatuh gak boleh terkejut atau mengejutkan dia..karena kalau digitukan malah nangis..tapi kalau diam aja dia malah ketawa...asal tak terbentur kepalanya aja...hehehe
Insya allah kalau dah besar kelak pendidikan agama adalah dimulai dari rumah..ortunya harus mengajarkan nilai2 agama dan kebaikan..gak mesti apa dia kelak harus sekolah agama..karna pendidikan agama harus sudah terbentuk dari kecil skr..menurut ipad ilmu pengetahuan pun ada trend nya juga..skr mungkin ilmu a yang diminati orang besok ilmu b..jadi liat bakatnya dulu...

mungkin sekian dulu father..insya allah kita sambung lagi nanti

wassalam

Minggu, 03 Mei 2009

Ratusan Ribu Siswa SD, SMP dan SLTA di Indonesia Mungkin Alergi Melihat Buku (?)

Ratusan Ribu Siswa SD, SMP dan SLTA di Indonesia Mungkin Alergi Melihat Buku (?)
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Hidup bahagia dan sejahtera adalah cita-cita semua manusia di dunia. Adaikata bahagia dan sejahtera ada di balik samudera kehidupan dan memerlukan kualitas SDM yang tinggi untuk mencapainya. Maka kapal dengan merek Indonesia, menurut laporan Bank Dunia tahun 1999, menempati peringkat SDM yang ke 102 dari semua Negara anggota PBB. Itu berarti kapal Indonesia membawa penumpang yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa namun kualitas SDM bangsa nya baru sekedar bisa membaca, menulis dan berhitung. Setelah sekedar “bisa” untuk ke tiga skill ini mereka berhenti dalam mengembangkan ilmu. Maka dapat diartikan bahwa kualitas rata-rata SDM bangsa kita mungkin sama dengan kualitas seorang bocah di negara maju yang telah terbiasa dengan pola hidup “long life education”- pendidikan seumur hidup. Sementara itu kita sendiri terbiasa menjadi malas membaca, malas menulis dan malas berhitung, itu gara-gara kita menerapkan pola hidup “long life watching- menonton seumur hidup atau long life day dreaming- mimpi sepanjang kehidupan. Kalau demikian maka apakah kita mampu mencapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera ?

Uraian di atas menunjukan bahwa kualitas pendidikan kita masih belum bagus. Andai ada suatu sekolah yang melaporkan bahwa di sana terjadi peningkatan angka-angka kesuksesan belajar menjadi 100 persen. Maka jangan buru-buru percaya, sebab kita khawatir kalau proses memperoleh angka itu penuh dengan rekayasa atau cara-cara yang tidak valid. Buktikan saja ke lapangan, bagaimana sorotan mata, prilaku murid dan gaya berjalan nya, apakah smart atau pada bengong (?). Anak-anak yang berada di lingkngan yang berbudaya belajar tinggi, cara berjalannya cepat/ tangkas , bicaranya mantap, percaya diri tinggi dan daya tahan belajar hebat serta bacaan serta teknologi tinggi menjadi kebutuhan mereka. Kalau ciri-ciri ini tidak dijumpai maka itulah dia angka-angka rekayasa untuk mendustai publik.

Masalah peningkatan SDM adalah juga tanggung jawab dunia pendidikan. Yaitu mulai dari tingkat SD, kalau perlu sejak tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK, terus SMP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pemerintah dan education stake holder telah melihat indikasi ini dan menyediakan alokasi dana untk meningkatkannya. Namun kadang-kadang kegiatan peningkatan mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kurang tepat sasaran. Saat kualitas pendidikan siswa anjlok maka guru-guru ditatar dan dilatih. Namun sebagian guru kurang bersemangat dalam mengikuti pelatihan, mereka tampak malas. Mereka ikut hanya sekedar memenuhi kuota saja atau untuk mengharapkan selembar sertifikat untuk bahan naik pangkat dan sertifikasi guru. Di saat siswa disuruh bergiat dan diberi program akselerasi, sementara sebagian guru mengalami deteriorasi- pemunduran atau stagnasi (jalan di tempat). Maka Nonsense bagi guru yang tidak peduli dengan kualitas diri akan mampu untuk meningkatkan kualitas SDM anak didik mereka. Namun kita salut dan berterima kasih pada bapak dan ibuk guru yang selalu membudayakan belajar dalam kehidupan.

Tanggung jawab meningkatkan kualitas SDM generasi kita yang dilakukan sejak dari bangku SD sampai ke bangku SLTA (SMA, SMK DAN Madarasah) dan sebenarnya tidak hanya bergantung pada guru, tapi juga pada peran orang tua (ayah dan ibu) di rumah. Karena anak-anak berada di rumah lebih lama dibanding berada di sekolah. Selama ini ada anggapan tersirat bahwa guru merupakan perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Anggapan ini tidak salah, namun cenderung agak melepaskan tanggung jawab dan sayangnya bahwa mayoritas orang tua belum memberikan peran mendidikan mereka secara optimal. Bentuk peran mendidik mereka sangat dangkal hanya sekedar menyuruh dan melarang saja, “Belajar lah nak…, belajar lah nak…!”.

Sementara itu sebahagian kaum bapak-bapak ada yang bersikap apatis, tidak mau tahu dalam hal mendidik anak dan menyerahkan urusan mendidik sepenuhnya pada ibu. “Tugas ayah kan mencari nafkah dan tugas ibulah mendidik itu”. Demikian kira-kira pembelaan sebahagian kaum laki-laki. Namun bagaimana kalau sang ibu juga ikut berkarir di luar rumah, mungkin sebagai PNS, pegawai swasta, BUMN, dan lain-lain. Maka kalau ditanya pada kaum bapak-bapak mengapa tidak ikut mendidik anak. “Oh itu tidak sesuai dengan kodrat kami kaum pria, …atau aku tidak berbakat mendididik, ….saya tidak sabaran menghadapi anak-anak, ….saya tidak punya waktu dalam mendidik anak”.

Begitulah, cukup banyak pria yang malas terjun langsung dalam mendidik atau bermain dengan anak. Sebahagian mereka menekuni hobi, melowongkan waktu untuk anjing pemburu, mengurus ayam jago atau burung. Yang lain mengaku tidak punya waktu , namun waktunya berlimpah untuk main domino atau menguruh motor second yang baru dibeli. Ada pula kaum pria yang merasa kehilangan sifat maskulin bila terlibat mengendong anaknya, pada hal Allah Swt, dalam Alqur’an, sangat memuji karakter Luqman (Surat Luqman, 16-19) yang mengasuh dan mendidikan anak-anak nya untuk bertauhid dan bersosial. Maka dari mana asal mulanya kok sebahagian kaum lelaki dari bangsa kita beranggapan bahwa mendidik kurang layak bagi lelaki ?

Kini banyak orang tua yang punya kelebihan financial peduli untuk meningkatkan kualitas SDM anak-anak mereka. Mereka mndatangkat guru privat atau mengirim anak ketempat les, mungkin mengambil les fisika, les matematika, kimia, atau les bahasa Inggris. Ada anak yang telah mengikuti les Bahasa Inggris selama bertahun-tahun tapi hasilnya tetap nol, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan dan tidak pernah mempraktekan bagaimana berbaha Inggris tersebut. “Ibarat belajar beberanang, seseorang telah membaca lusinan buku tentang berenang namun ia sendiri tidak pernah terjun ke dalam air, ya gagal terus sebagai perenang”.

Dikatakan bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu dan buku-buku musti menjadi benda wajib untuk disukai dan dibaca siswa. Namun kalau ditanya apkah mereka senang membaca, maka banyak yang menjawab “saya tidak suka membaca”. Malas membaca adalah ungkapan klasik yang diucapkan oleh ribuan bahkan ratusan ribu anak-anak sekolah di Indonesia. “Saya kalau membaca buku, mata cepat berair, …saya kalau membaca mata cepat mngantuk, … saya kalau membaca cepat bosan”. Apa yang menyebabkan sehingga begitu banyak anak sekolah (dan juga mahasiswa) tidak suka membaca ? Jawabnya adalah karena tidak terbiasa dengan buku “aku alergi kalau memegang buku, cepat bosan dan mengantuk”.

“Bosan, mengatuk, mata berair kalau membaca” benar ini adalah cirri-ciri orang yang belum punya budaya belajar, bukan orang yang terpelajar dengan baik, well educated person. Mayoritas bangsa kita beragama Islam, namun tidak seharusnya kita mengabaikan nasehat Khalik seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an yang mengajarkan tentang perintah “iqra- bacalah…!” sebagai ayat pertama turun buat manusia. Namun mengapa kita banyak yang kurang merespon nya, tidak terbiasa dan terkondisi dalam membaca. Selanjutnya kita malah terbiasa bermain, bersenda gurau, nonton, hura-hura atau buang-buang waktu. Pada hal perintah pertama ang turun dari Allah Swt buat manuasia bukanlah “la’ibun- bermainlah, atau lahwun- berguaraulah…!”.

Tentu pemerintah dan pakar pendidik menjadi sangat repot dalam menggenjot kualitas SDM kita. “Kalau begitu apa penyebab kualitas SDM kita cenderung tumbuh agak lambat ?” Ada banyak penyebabnya yang membuat kualitas pendidikan ini susah untuk meningkat. Salah satu penyebab adalah pembinaan semangat membaca sejak dini tidak tuntas. Target guru ketika anak belajar membaca di bangku SD hanya sekedar bisa membaca “ini budi…ini budi…”, setelah bisa membaca kalimat-kalimat pendek tadi, maka pembinaan membaca terhenti, guru tidak pernah/ jarang memperkenalkan apa yang harus dibaca, seharusnya mereka mengatakan “nak untuk bisa lebih pintar, kita harus banyak membaca buku, buku cerita, komik, buku agama, majalah, buku petualang, semuanya ada di pustaka, yok kita ke sana….!” Namun fenomena yang terjadi adalah bahwa system pembinaan semangat membaca sejak usia dini di SD sampai ke tingkat Universitas tidak terjadi dengan baik. Itu karena keberadaan perpustakaan pada banyak sekolah tidak punya arti apa-apa dalam memajukan mutu pendidikan lewat keberadaan reading society- masyarakat yang gemar membaca.

Di negara yang luas ini tentu terdapat ribuan sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, SMK, MA sampai ke Perguruan Tinggi. Mayoritas perputakaan mereka hanyalah sebagai symbol atau sebagai pelengkap dalam system administrasi sekolah. Malu rasanya kalau suatu sekolah tidak punya perpustakaan. Namun kita seharusnya menjadi lebih malu lagi karena ada ratusan ribu anak-anak sekolah di nusantara ini yang tidak suka membaca.

Untuk membuktikan pernyataan ini, maka cobalah lakukan survey mendadak ke berbagai sekolah dasar yang berlokasi agak di luar kota, atau boleh jadi juga yang dalam kota, maka akan ditemukan banyak SD yang perpustakaanya terkunci, menjadi ruangan yang tidak menarik untuk dikunjungi . Yang dijumpai hanyalah koleksi buku buku, Koran, majalah usang yang telah berdebu dan kurang terurus dan koleksinya tidak pernah bertambah, karena tidak punya uang untk membeli. “tidak punya uang untuk membeli tetapi gerbang sekolah bisa disulap jadi megah, inilah trendinya, pembangunan fisik lebih penting daripada pembangunan mental”. Dan kalau pun ada perpustakaan yang memiliki koleksi menarik, namun tetap kekurangan pengunjung karena kurangnya sosialisasi untuk menanamkan minat membaca pada siswa.

Di sekolah kecintaan membaca dan menyemarakan perpustakaan kurang aktif, maka tak heran banyak murid SD yang kerjanya hanya berkeliaran, melompat dan berlarian kian kemari, saling mengejek, belajar bulyiing (menggertak) kawan-kawan yang kecil dan lemah. Bagaimana kalau kita mulai bermimpi supaya anak-anak ini ramai-ramai menyerbu perpustakaan, tenggelam dalam mencintaai bacaan dan berkelana keliling dunia lewat buku. Kalau ini bisa terwjud pasti sekolah yang bersangkutan akan lebih menarik, siswanya lebih kaya wawasan dan cerdas. Gurunya tidak perlu lagi mundar mandir dari kelas ke kantor saat jam PBM karena bosan mengajar siswa-siswa yang dianggap begok.

Di rumah amat jarang orang tua yang menyediakan perpustakaan bagi keluarga. Yang ada hanya family theatre atau teater keluarga. Lihat begitu banyak rumah dengan lemari bagus untuk menempatkan televisi dengan layar besar, play station, VCD player, tumpukan kepingan kaset CD, dan lain-lan yang siap untuk menyala siang malam. Anak terbius atau terpukau di depan layar, menikmati suguhan musik, iklan, sinetron, dan film-film lain yang dating silih berganti. Sehingga ada pertanyaan “Siapakah ibu yang ke dua bagi anak-anak mu yang membuatnya lupa beraktivitas, berkarya dan belajar ?” Ya tentu saja adalah televisi.

Aktifnya home thetra di rumah dan kurang berfungsinya perpustakaan di sekolah telah membuat banyak anak didik kita menjadi asing, gagap dan alergi dengan bacaan. Mereka tidak berselera melihat buku. Kalau begitu apa saja yang diperbncangkan oleh anak-anak sejak dari bangku sekolah dasar sampai ke Perguruan Tinggi.

Karena umumnya pelajar kita amat gemar menonton maka anak-anak yang duduk di bangku SD pada saat senggang akan berbagi cerita tentang hantu, pocong, tuyul dan kutilanak yang keluyuran untuk menakuti jiwa-jiwa mereka. Itu adalah akibat mereka asik tenggelam menonton film-film sirik dan tahyul yang banyak disuguhkan oleh televisi. Anak-anak yang duduk di SMP akan asik ngobrol tentang model rambut punk, bagaimana membikin rambut bisa warna warni, bagaimana penampilan bisa gagah dengan model celana melorot. Kemudian anak-anak di SMA mungkin sibuk merawat kulit agar tidak hitam dan mendownload lagu dengan lirik-lirik yang banyak merangsang libido, karena kata-kata yang sering muncul dalam lagu idola mereka adalah katakata; peluk aku, cium aku, dekap aku, bla…bla..bla.,? Remaja yang sering mendengar lirik-lirik lagu yang menggambarkan kegiatan seksualitas dapat mendorong mereka untuk mewujudkan dalam kehidupan seks mereka, na’uzubillah.

Perguruan Tinggi rata rata punya gedung atau ruang perpustakaan yang bagus. Tetapi percuma, karena budaya malas membaca dan alergi dengan buku sudah tertanam sejak dalam rumah tangga dan sejak dari SD maka yang terlihat bahwa perpustakaan cendrung sepi pengunjung atau tanpa pengunjung. Paling paling tempat ini dijadikan sebagai tempat alternative untuk mojok atau pacaran , karena tenang, sepi dan jauh dari usikan. “Nah mahasiswa sebagai calon sarjana, kaum intelektual, sebagai agent of change- agen perubahan, namun malas membaca, lantas kemudian bagaima kualitas intelektualnya, kemudian sebagai agent of change ya apa yang mau diobahnya ?” Bukan rahasia lagi kalau gaya hidup mahasiwa juga seperti ABG, suka pamer penampilan, suka buang-buang waktu, kerjanya cuma sekedar hadir ke kampus dan pulang buat tidur, bermain gitar, main play station atau jangan –jangan menghabiskan waktu untuk yang bukan-bukan, pantasan banyak mereka yang enggan untuk wisuda “lebih enak kuliah, dari pada tamat dan buru-buru jadi pengangguran”.

Lantas apa yang harus dilakukan untk menggenjot kualitas SDM bangsa ini. Tentu saja ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk ini, salah satunya adalah kembali melakukan pemberdayaan gerakan gemar membaca. Pemerintah, alumni, stakeholder sekarang janganlah hanya berfikir bagaimana bisa memiliki sekolah dengan gedung bertingkat, sekolah dengan gerbang dan jalan hotmix namun bagaimana bisa mengjajak anak anak dan memberi model untuk kembali bisa mencintai membaca, tidak lagi alergi melihat buku-buku. Kalau perlu di mana mana yang ada bukan iklan rokok, atau iklan hiburan duniawi lain. Namun adalah juga iklan dan baliho tentang buku-buku baru dan iklan agar pada rumah dan tiap sekolah perlu punya pustaka yang representarif.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...