Rabu, 26 Agustus 2009

Langkah-Langkah Menjadi Penulis Dan Manfaatnya Dalam Pengembangan Diri



Langkah-Langkah Menjadi Penulis Dan Manfaatnya Dalam Pengembangan Diri
Oleh . Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com

Menulis adalah aktifitas yang sulit bagi sebagian orang. Banyak orang mengatakan bahwa menulis itu sungguh sulit. Ada yang mengatakan tidak punya waktu untuk menulis, kalau menulis mata menjadi berair. Ada pula yang senang berlindung berlindung dibalik alas an dan kata “tapi”. Saya ingin menulis tapi sibuk, saya ingin menulis tapi anak sering mengganggu, saya ingin …”tapi”, dan masih ada belasan alas an dibalik kata “tapi”.


Bagi saya sendiri pada mulanya juga beranggapan bahwa menulis itu juga sulit. Beruntung saya berlangganan majalah Kawanku saat belajar di SMP Negeri 1 Payakumbuh di tahun 1980an. Ada profil Leila Chudori Budiman (yang kemudian sering menulis dalam Koran Kompas) pada majalah tersebut dan bercerita bagaimana ia bisa menjadi penulis. Saat itu saya berfikir “wah enak sekali ya menjadi penulis, bisa menjadi orang ngetop, punya banyak teman dan mendapat bonus”.


Rasa ingin tahu saya tentang bagaimana menjadi penulis terobati saat saya berkenalan dengan berbagai buku biografi para penulis. Ada tetangga saya, Bapak Maran mantap Camat di kota Payakumbuh yang bisa bermain biola dan memiliki koleksi buku-buku. Maka saya sangat suka membaca biografi Ernest Hemingway, Zakiah Daradjat, Buya Hamka dan beberapa biografi penulis novel dan saya menjadi tahu bahwa untuk.


Saat saya remaja, tidak banyak godaan untuk tumbuh dan berkembang. Tidak banyak stasium televise dan program yang mengganggu kosentrasi belajar, kecuali hanya tayangan televise. Tidak ada HP kamera untuk diotak atik dan juga tidak ada VCD player untuk home theatre, apalagi computer, laptop dan internet seperti zaman sekarang. Oleh karena itu saya bisa berlatih banyak dan saya mempunyai lusinan buku diari yang penuh dengan coretan-coretan mimpi dan pengalaman.


Pulang sekolah saya terbiasa menulis. Saya merasa sebagai siswa yang paling jago dalam segala hal. Saya jago dalam bidang olah raga, jago matematik dan beberapa mata pelajaran lain, jago dengan bahasa Inggris dan semua teman kagum pada saya. Saya juga jatuh cinta dengan teman sekelas. Mimpi dan ilusi saya sebagai orang yang paling jago saya paparkan dalam buku tulis. Apabila selesai menulis, maka saya serahkan pada teman yang gemar membaca namun tidak bisa menulis. Kadang-kadang saya juga mengundang adik-adik dan anak tetangga untuk mendengar kisah kisa cinta yang saya tulis.


Bertambah umur tentu bertambah pula pengalaman hidup. Saat kuliah di UNP (saat itu IKIP Padang) saya bekerja paroh waktu sebagai pemandu wisata. Ada pengalaman suka duka selama menjadi guide; dibentak oleh bule-bule, karena mereka tidak memakai bahasa Inggris, atau memperoleh uang tip dari perusahaaan. Pengalaman tersebut juga saya tulis pada buku diari.
Membaca banyak buku, artikel dan fikiran-fikiran orang lain tentu bisa membuat tulisan lebih berkualitas. Tahun 1997, saya memutuskan untuk menjadi pembaca yang baik. Saya berlatih, membuat target untuk membaca 100 halaman setiap hari. Banyak membaca tentu akan membuat tulisan lebih menarik, saya bisa memaparkan banyak ilustrasi dan contoh-contoh dalam kehidupan.


Tahun 1990-an, saya menajdi guru di SMAN 1 Lintau. Saya tidak ingin menjadi guru kebanyakan yang aktifitasnya sangat monoton dan tidak bervariasi- pulang ke sekolah, masuk kelas dan mengajar dengan metode konvensional. Saya ingin menjadi guru dengan kepintaran berganda- guru, menguasai bidang studi, menguasai seni berkomunikasi, menguasai bahasa asing yang lain dan trampil dalam menulis. Untuk itu saya membaca banyak buku seputar paedagogy, psikologi, filsafat, biografi dan kisah kisah pencerahan dari orang lain. Akhirnya kemampuan dan energi menulis saya makin meningkat.


Setiap minggu saya mampu menulis satu atau dua artikel per-minggu. Saya memutuskan untuk mempublikasikanya pada Koran-koran di Sumbar. Saat itu ada tiga Koran yaitu Canang, Haluan dan Singgalang. Tahun 1992 tulisan saya pertama terbit di Koran Singgalang engan judul “Melacak pergaulan remaja dan tidak perlu frustasi bila gagal masuk perguruan tinggi”. Saya sangat bahagia dan energi menulis semakin bertambah, saya terus mengirim artikel ke Koran-koran. Bila dipublikasi saya tentu senang dan kalau ditolak saya berusaha untuk idak kecewa apalagi sampai menjadi frustasi. Frustasi tentu bisa membunuh kreatifitas menulis dan energi untuk melakukan aktifitas lain.


Di awal tahun 1990-an ada beberapa orang asing dari Perancis- Francoise Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Mereka bertugas di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta dan melakukan penelitian tentang hutan tradisionil di Lintau. Orang- orang Perancis tersebut kemudian menjadi temn baik saya dan mereka dating ke Sumatra dan berkunjung ke Rumah saya. Mereka membatu saya dalam mempelajari bahas Perancis dan meminta saya menulis untuk dipublikasi dalam. Dengan demikian tulisan saya tentang parawisata juga dipublikasi pada journal mereka, speleologie,di kota Tarbes, Perancis.


Ternyata ada manfaat menulis dalam pengembangan karir saya sebagai guru. Tahun 1998 ada seleksi guru teladan (sekarang guru berprestasi). Porto folio penuh dengan klipping artikel-artikel dan tulisan saya dalam bentuk lain, seperti resensi buku. Kemampuan menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Perancis, dan skor ujin tulis membuat saya bisa mewakili kecamatan Lintau Buo dan selanjutnya untuk tingkat Kabupaten Tanah Datar untuk seleksi guru TEladan. Di tingkat Provinsi, saya masuk nominasi dan akhirnya tahun 1998 saya tercatat sebagai guru teladan Sumatera Barat dalam usia tiga puluh tahun.


Tahun 2005, saya mutasi ke kota Batusangkar dan bertugas di sekolah baru pada sekolah “Pelayan Unggul” satu atap SMP-SMA unggul, yang mana kemudian berubah nama menjadi SMP Negeri 5 Batusangkar dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Berdomisili di kota batusangkar membuat saya mudah bersentuhan dengan tekhnologi- computer dan internet. Saya terus menulis dan menyalurkan tulisan lewat internet, mengirim artikel ke berbagai Koran lewat e-mail. Kemudian saya juga membuat situs gratisan lewat blogspot. Sebetulnya ada beberapa bentuk blog gratisan lain seperti wordpress dan multiply. Namun saya suka fitur blogspot. . Situs saya bernama http://penulisbatusangkar.blogspot.com/.


Tahun 2006, saya memperoleh beasiswa untuk mengikuti program pascasarjana di Universitas Negeri Padang. Kemampuan menulis membuat kuliah lancer dan saya bisa selesai pendidikan pada Pascasarjana. Kemampuan menulis membuat tesis saya bisa selesai lebih cepa, saya wisuda pada pertengahan tahun 2008.


Issue sertifikasi untuk guru professional pun bergulir dan segera menjadi realita. Bagi yang mampu memenuhi angka atau skor porto folio bisa lulus dan memperoleh sertifikasi sebagai guru professional. Saya mengetik ulang semua artikel yang pernah diterbitkan pada Koran-koran. Artikel yang telah diketik ulang saya kirim lagi ke Koran, tentu saja diedit lagi. Semuanya terbit lagi dan saya memperoleh honorarium lagi. Saya juga mempostingkan tulisan tadi dalam blogspot saya dan kumpulan artikel yang pernah dipublikasikan membuat saya bisa lulus sertifikasi lewat portofolio. Betul-betul dana sertifikasi yang telah saya terima membuat saya dan keluarga menjadi lebih sejahtera, bisa membeli laptop dan memperbaiki bangunan rumah.
Saya inginmenjadi penulis buku dan tidak harus menulis buku tebal dari awal sampai akhir sebanyak 250 halaman. Saya menseleksi beberapa tulisa yang sama temanya menjadi satu buku. Temanya tentang pendidikan dan saya beri judul: SCHOOL HEALING MENYEMBUHKAN PROBLEM PENDIDIKAN. Bulan Februari 2009 ini saya punya rencana untuk menyerahkan pada teman untuk diterbitkan di Provinsi Riau, namun lebih dahulu ada telepon dari Jogjakarta- penerbit Pustaka Insan Madani- ingin mencetak dan meberbit naskah buku atau tulisan saya. Saya menyetujui. Insyaallah, menurut pihak penerbit bahwa dalam bulan Agustus 2009 ini buku saya sudah siap cetak dan siap untuk diluncurkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Moga-moga bermanfaat oleh masyarakat.


Kemampuan menulis ternyata adalah sebuah keterampilan. Semua orang bisa menjadi penulis asal dia banyak berlatih dan menyenangi aktifitas menulis. Menulis bisa mendatangkan manfaat. Penulis bisa berbagi ide dan opini dengan pembaca, bisa memperoleh honor dan sangat membantu bagi guru untuk memperoleh skor portofolio untuk sertifikasi guru. Penulis artikel bisa mengembangkan diri menjadi penulis buku dan memperoleh royalty pada akhir tahun.

Minggu, 23 Agustus 2009

Bercermin Pada Pendidikan Negara Lain

Bercermin Pada Pendidikan Negara Lain
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dan Smith (1999) menyusun buku dengan buku dengan judul “The State of The World Atlas”. Dalam buku tersebut juga digambarkan tentang ranking Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa bangsa se Dunia. Tentu saja posisi Indonesia belum menggembirakan, karena berada pada urutan ke 88 di Dunia. Namun ini bisa menadi cermin diri bagi bangsa kita untuk memacu diri. Bangsa kita juga seharusnya merasa malu dan bertanggung jawab untuk mengatasi problem pendidikan kita, karena kualitas pendidikan adalah tentu menjadi tanggung jawab semua, yaitu tanggung jawab pemerintah, para guru, orangtua, pemikir dan komponen pendidik yang lain.
Malik Fajar (dalam Agustiar Syah Nur: 2001) mengatakan tantangan pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan yang tertinggal sangat besar, apalagi dalam kerangka globalisasi, otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Ia mengatakan bhwa survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia menempati urutan ke 12 di Asia, setelah Vietnam, dan di urutan pertama dan ke dua adalah Singapura dan Korea Selatan. Disamping itu juga ada survei yang meneliti tentang mutu tenaga kerja kita yang juga termasuk dalam kategori rendah. Ini terjadi akibat kualitas pendidikan kita (Indonesia) yang juga rendah. Maka melihat hal ini Indonesia perlu meningkatkan pendidikan. Komponen pendidik di Indonesia seharusnya juga membandingkan diri dengan bangsa lain, dalam rangka mengembangkan kualitas diri tersebut.
Agustiar Syah Nur (2001) telah melakukan studi dan menulis buku dengan judul “Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara” di dunia. Negara-negara yang menjadi pembahasannya adalah di Amerika (Amerika Serikat, Kanada, Cuba), Asia (Arab Saudi, Cina, Iran, Jepang, Korea Selatan, Mesir), Eropa (Belanda, Inggris, Jerman, Perancis) dan dua negara lain yaitu Australia dan Rusia. Namun hanya pendidikan pada beberapa negara yang maju pendidikanya akan disorot pada tulisan berikut.
1.Pendidikan Amerika Serikat
Karakteristik utama sistem pendidikan Amerika Serikat adalah berkarakter desentralisasi. Pemeintah ferderal, negara bagian, dan pemerintah daerah memiliki aturan dan tanggung jawab administrai masing-masing yang sangat jelas. Amerika Serikat tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun bukan berarti pemerintah federal tidak memberikan arah dan pengaruhnya terhadap masalah pendidikan. Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif fedaral sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan.
Pengangkatan guru adalah wewenang pemerintah negara bagian. Masing- masing negara bagian mempunyai ketentuan sendiri mengenai persyaratan untuk memperoleh sertifikat mengajar. Ada negara bagian yang meminta persyaratan mengajar, seperti menguasai tentang penyuluhan narkoba, menguasai bidang komputer dan sebagainya. Ada pula negara bagian yang memberikan sertifikat mengajar untuk lulusan sarjana (S.1), tahap sertifikat ke dua untuk lulusan Magister (S.2). Kemudian memberikan ujian tertulis dan praktek mengajar sebagai syarat pengangatan guru. Negara bagian juga mengeluarkan sertifikat untuk staf administrasi sekolah- keala sekolah dan kakanwil pendidik.
Tentang kurikulum dan metodologi pengajaran di Amerika Serikat, bahwa pemikir pendidik selalu mengembangkan inovasi baru. Maka muncullah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif.
2. Pendidikan Kanada
Ada tiga tingkat pendidikan di Kanada, yaitu tingkat sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Bersekolah adaah wajib di Kanada selama 10 tahun dan berlaku pada semua propinsi. Tahun ajaran untuk sekolah dasar dan menengah rata-rata 180 – 200 hari belajar. Biasanya antara bulan September dan akhir Juni. Pendidikan prasekolah juga lazim di negara ini dan kurikulumnya mengintegrasikan aspek pendidikan, kesehatan, sosial dan rekreasi. Pandangan orang Kanada bahwa pendidikan merupakan persiapan untuk pekerjaan. Maka sekolah vokasional, teknik dan bisnis sangat memperoleh apresiasi dalam masyarakat (Bandingkan dengan fenomena di Indonesia yang mengagungkan sekolah SMA, dan entah mengapa masyarakat menjadikan SMK dan MAN sebagai sekolah kelas 2 atau sekolah bagi orang yang kurang mampu menurut kognitif dan finansial).
Meneruskan pendidikan setelah terputus di tengah jalan, merupakan elemen penting di Kanada. Banyak orang dewasa yang mendaftarkan diri pada adult education. Teknologi komunikasi telah mempolerkan belajar di luar kelas- open learning. Konsep-konsep pembelajaran di Kanada adalah seperti child centered, continous progress, team teaching, discoery method, open plan school dan audiovisual aids. Sistem pendidikan di sini berkembang kea rah desentralisasi. Pengajaran makin lebih bersifat informal dan ebih banyak partisipasi murid sebagai respon dari metode lama yang berbentuk kuliah dan belajar dengan menghafal.
Kurikulum juga sering mengalami revisi. Kurikulumnya (pendidikan dasar dan menengah) mencakup bidang matematika, sains, bahasa dan ilmu sosial (sejarah dan geografi). Kurikulum sekarang memasukan komputer, berfikir kreatif, belajar mandiri dn pendidikan lingkngan.
3. Pendidikan Cina
Manajemen pendidikan di Cina ialah tersentralisasi, mulai dari level pusat, propinsi, kotamadya, kabupaten dan termasuk derah otonomi setingkat kotamadya. Pendidikan di Cina terdiri atas empat sektor yaitu basic education, technical dan vocational education, higher education dan adult education. Disamping itu juga terdapat pendidikan prasekolah yang materinya meliputi permainan, olah raga, kegiatan kelas , observasi, pekerjaan fisik, serta aktivitas sehari-hari.
Pendidikan teknik dan vokasional memperoleh tempat dalam masyarakat. Pendikan ini merupkan indikator penting bahwa Cina mengarah pada proses modernisasi. Kemudian, pendidikan bagi orang dewasa merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Cina. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas orang-orang dalam masyarakat dan secara langsung akan menumbang pada pengembangan sosio ekonomis penduduk.
Untuk memperoleh guru-guru yang bermutu maka Pemerintah mendorong lulusan sekolah menengah yang berbakat untuk memasuki lembaga pendidikan guru. Hal ini juga terdapat perfedaan persepsi dimana kalau di Indonesia, para pelajar, apalagi yang berotak cerdas, kurang terosebsi untuk menjadi guru, kecuali berlomba untuk memperoleh pendidikan di universitas bergengsi di Pulau Jawa.
4. Pendidikan Jepang
Jepang mempunyai penduduk yang homogen, yang terdiri dari 99.4 % orang Jepang. Bahasa Jepang dipakai sebagai bahasa resmi dan dipakai mulai dari prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Sebagian besar anak-anak di Jepang memasuki taman kanak-kanak. Kemudian pada usia enam tahun mereka mulai masuk sekolah dsar yang wajib bagi semua orang, berlangsung selama enam tahun. Sekolah tingkat pertama adalah termasuk pendidikan wajib. Kurikulum pada tingkat pendidikan ini juga mulai memperkenalkan pendidikan vokasional.
Guru guru di Jepang, sekolah dasar dan sekolah menengah, memperoleh pelatihan dan juga pendidikan di universitas, program pasca sarjana dan junior college. Sekolah sekolah sangat emperhatikan kegiatan ekstra kurikuler seperti organisasi murid (osis), event olah raga, study tour, dan sebagainya. Pada sekolah menengh ada mata pelajaran wajib dan mata pelajaran elektif.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat kita untuk memajukan pendidikan tidak jauh berbeda dengan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh beberapa negara di atas. Pendidikan kita juga sudah menganut karakter desntralisasi dengan otonomi daerahnya. Kemudian Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya juga sudah sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan. Pemerintah kita juga mendorong guru guru untuk memperoleh pendidikan dengan program kualifikasi pendidikan yang non sarjana untuk memperoleh pendidikan S.1 (strata sarjana). Memberikan beasiswa bagi bagi sarjana untuk mengikuti program Magister (S.2). Maka berbondong bondonglah para sarjana untuk mengambil kesempatan emas ini. Namun kemudian puluhan atau ratusan musti Drop-Out, karena terkendala tidak mampu menulis atau menyelesaikan tesis. Sebagian kecil bisa selesai lewat jalur non halal, menjiplak tesis, mendatangi jasa teman, atau jasa biro tesis kalau tidak bisa harus puas dan bernostalgia ”karena pernah kuliah pada program S.2”. Penyebab gagalnya ratusan mahasiswa pascasarjana dalam menyelesaikan Tesis (atau juga disertasi bagi mahasiswa post-graduate) karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca dan budaya menulis. Itu akibat tidak ada budaya belajar mandiri dan berfikir kreatif serta inovatif.
Kurikulum pendidikan kita yang populer akhir-akhir ini adalah seperti KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kedua bentuk kurikulum kita mungkin sudah sama effektifnya dengan kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif yang dianut oleh negara-negara maju.
Bedanya mungkin terletak pada bagaimana masyarakat menghargai lembaga pendidikan tingkah menengah. Kira-kira 20 tahun lalu, masyarakat mengenal jenis-jenis sekolah seperti ’SPG (Sekolah Pendidikan Guru), STM (Sekolah Teknologi), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Ini semua adalah beberapa bentuk dari sekolah vokasional atau kejuruan yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia dan ada beberapa jenis vokasional yang lain. Kemudian sistem persekolah disederhanakan maka ada sekolah SMA dan SMK (untuk sekolah Vokasional/kejuruan). Entah bagaimana kebijakan yang dilakukan maka sekolah SMA telah menjadi begitu populer dan begitu banyarakar masyarakat yang mengirim anak-anak mereka ke sekolah SMK.
Barangkali hal itu akibat di negeri ini terlalu menjamur sekolah SMA, tiap kecamatan selalu ada SMA, sementara untuk SMK mungkin hanya dihitung per Kabupaten. Sebaliknya kalau di negara negara maju di Eropa, Asia dan Amerika yang banyak betebaran adalah sekolah kejuruan. Maka sekolah vokasional, teknik dan bisnis sangat memperoleh apresiasi dalam masyarakat. Kemudian bagaimana dengan pendidikan untuk orang dewasa kalau di negara maju banyak orang dewasa yang mendaftarkan diri pada adult education.
Methode pengajaran di negara maju berkarakter ”child centered, continous progress, team teaching, discovery method, open plan school. Metode pengajaran yang yang popular di Indonesia adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), namun sering diplesetkan menjadi “Catat buku sampai habis”. Plesetan ini terjadi karena memang demikianlah kenyataan suasana mengajar pada sekolah sekolah yang jarang terpantau oleh team penilai. Atau kalau pun banyak guru yang sudah mengetahui tentang teknik-teknik pengajaran maka lagi-lagi teknik mengajar konvensional lebih terasa manis bagi mereka.
Kalau demikian kita masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk membenahi kesemrautan pendidikan di bumi Indonesia ini. Yang kita perlukan untuk maju dan memajukan pendidikan kita adalah tead dan keseriusan kita sepanjang waktu.
(note: 1). Nur, Agustiar Syah. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung : Lubuk Agung. 2) Smith, Dan. (1999). The State of the World Atlas. London: Penguin Reference)

Bercermin Pada Pendidikan Negara Lain

Bercermin Pada Pendidikan Negara Lain
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Dan Smith (1999) menyusun buku dengan buku dengan judul “The State of The World Atlas”. Dalam buku tersebut juga digambarkan tentang ranking Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa bangsa se Dunia. Tentu saja posisi Indonesia belum menggembirakan, karena berada pada urutan ke 88 di Dunia. Namun ini bisa menadi cermin diri bagi bangsa kita untuk memacu diri. Bangsa kita juga seharusnya merasa malu dan bertanggung jawab untuk mengatasi problem pendidikan kita, karena kualitas pendidikan adalah tentu menjadi tanggung jawab semua, yaitu tanggung jawab pemerintah, para guru, orangtua, pemikir dan komponen pendidik yang lain.
Malik Fajar (dalam Agustiar Syah Nur: 2001) mengatakan tantangan pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan yang tertinggal sangat besar, apalagi dalam kerangka globalisasi, otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Ia mengatakan bhwa survei yang dilakukan oleh The political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia menempati urutan ke 12 di Asia, setelah Vietnam, dan di urutan pertama dan ke dua adalah Singapura dan Korea Selatan. Disamping itu juga ada survei yang meneliti tentang mutu tenaga kerja kita yang juga termasuk dalam kategori rendah. Ini terjadi akibat kualitas pendidikan kita (Indonesia) yang juga rendah. Maka melihat hal ini Indonesia perlu meningkatkan pendidikan. Komponen pendidik di Indonesia seharusnya juga membandingkan diri dengan bangsa lain, dalam rangka mengembangkan kualitas diri tersebut.
Agustiar Syah Nur (2001) telah melakukan studi dan menulis buku dengan judul “Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara” di dunia. Negara-negara yang menjadi pembahasannya adalah di Amerika (Amerika Serikat, Kanada, Cuba), Asia (Arab Saudi, Cina, Iran, Jepang, Korea Selatan, Mesir), Eropa (Belanda, Inggris, Jerman, Perancis) dan dua negara lain yaitu Australia dan Rusia. Namun hanya pendidikan pada beberapa negara yang maju pendidikanya akan disorot pada tulisan berikut.
1.Pendidikan Amerika Serikat
Karakteristik utama sistem pendidikan Amerika Serikat adalah berkarakter desentralisasi. Pemeintah ferderal, negara bagian, dan pemerintah daerah memiliki aturan dan tanggung jawab administrai masing-masing yang sangat jelas. Amerika Serikat tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun bukan berarti pemerintah federal tidak memberikan arah dan pengaruhnya terhadap masalah pendidikan. Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif fedaral sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan.
Pengangkatan guru adalah wewenang pemerintah negara bagian. Masing- masing negara bagian mempunyai ketentuan sendiri mengenai persyaratan untuk memperoleh sertifikat mengajar. Ada negara bagian yang meminta persyaratan mengajar, seperti menguasai tentang penyuluhan narkoba, menguasai bidang komputer dan sebagainya. Ada pula negara bagian yang memberikan sertifikat mengajar untuk lulusan sarjana (S.1), tahap sertifikat ke dua untuk lulusan Magister (S.2). Kemudian memberikan ujian tertulis dan praktek mengajar sebagai syarat pengangatan guru. Negara bagian juga mengeluarkan sertifikat untuk staf administrasi sekolah- keala sekolah dan kakanwil pendidik.
Tentang kurikulum dan metodologi pengajaran di Amerika Serikat, bahwa pemikir pendidik selalu mengembangkan inovasi baru. Maka muncullah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif.
2. Pendidikan Kanada
Ada tiga tingkat pendidikan di Kanada, yaitu tingkat sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Bersekolah adaah wajib di Kanada selama 10 tahun dan berlaku pada semua propinsi. Tahun ajaran untuk sekolah dasar dan menengah rata-rata 180 – 200 hari belajar. Biasanya antara bulan September dan akhir Juni. Pendidikan prasekolah juga lazim di negara ini dan kurikulumnya mengintegrasikan aspek pendidikan, kesehatan, sosial dan rekreasi. Pandangan orang Kanada bahwa pendidikan merupakan persiapan untuk pekerjaan. Maka sekolah vokasional, teknik dan bisnis sangat memperoleh apresiasi dalam masyarakat (Bandingkan dengan fenomena di Indonesia yang mengagungkan sekolah SMA, dan entah mengapa masyarakat menjadikan SMK dan MAN sebagai sekolah kelas 2 atau sekolah bagi orang yang kurang mampu menurut kognitif dan finansial).
Meneruskan pendidikan setelah terputus di tengah jalan, merupakan elemen penting di Kanada. Banyak orang dewasa yang mendaftarkan diri pada adult education. Teknologi komunikasi telah mempolerkan belajar di luar kelas- open learning. Konsep-konsep pembelajaran di Kanada adalah seperti child centered, continous progress, team teaching, discoery method, open plan school dan audiovisual aids. Sistem pendidikan di sini berkembang kea rah desentralisasi. Pengajaran makin lebih bersifat informal dan ebih banyak partisipasi murid sebagai respon dari metode lama yang berbentuk kuliah dan belajar dengan menghafal.
Kurikulum juga sering mengalami revisi. Kurikulumnya (pendidikan dasar dan menengah) mencakup bidang matematika, sains, bahasa dan ilmu sosial (sejarah dan geografi). Kurikulum sekarang memasukan komputer, berfikir kreatif, belajar mandiri dn pendidikan lingkngan.
3. Pendidikan Cina
Manajemen pendidikan di Cina ialah tersentralisasi, mulai dari level pusat, propinsi, kotamadya, kabupaten dan termasuk derah otonomi setingkat kotamadya. Pendidikan di Cina terdiri atas empat sektor yaitu basic education, technical dan vocational education, higher education dan adult education. Disamping itu juga terdapat pendidikan prasekolah yang materinya meliputi permainan, olah raga, kegiatan kelas , observasi, pekerjaan fisik, serta aktivitas sehari-hari.
Pendidikan teknik dan vokasional memperoleh tempat dalam masyarakat. Pendikan ini merupkan indikator penting bahwa Cina mengarah pada proses modernisasi. Kemudian, pendidikan bagi orang dewasa merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Cina. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas orang-orang dalam masyarakat dan secara langsung akan menumbang pada pengembangan sosio ekonomis penduduk.
Untuk memperoleh guru-guru yang bermutu maka Pemerintah mendorong lulusan sekolah menengah yang berbakat untuk memasuki lembaga pendidikan guru. Hal ini juga terdapat perfedaan persepsi dimana kalau di Indonesia, para pelajar, apalagi yang berotak cerdas, kurang terosebsi untuk menjadi guru, kecuali berlomba untuk memperoleh pendidikan di universitas bergengsi di Pulau Jawa.
4. Pendidikan Jepang
Jepang mempunyai penduduk yang homogen, yang terdiri dari 99.4 % orang Jepang. Bahasa Jepang dipakai sebagai bahasa resmi dan dipakai mulai dari prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Sebagian besar anak-anak di Jepang memasuki taman kanak-kanak. Kemudian pada usia enam tahun mereka mulai masuk sekolah dsar yang wajib bagi semua orang, berlangsung selama enam tahun. Sekolah tingkat pertama adalah termasuk pendidikan wajib. Kurikulum pada tingkat pendidikan ini juga mulai memperkenalkan pendidikan vokasional.
Guru guru di Jepang, sekolah dasar dan sekolah menengah, memperoleh pelatihan dan juga pendidikan di universitas, program pasca sarjana dan junior college. Sekolah sekolah sangat emperhatikan kegiatan ekstra kurikuler seperti organisasi murid (osis), event olah raga, study tour, dan sebagainya. Pada sekolah menengh ada mata pelajaran wajib dan mata pelajaran elektif.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat kita untuk memajukan pendidikan tidak jauh berbeda dengan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh beberapa negara di atas. Pendidikan kita juga sudah menganut karakter desntralisasi dengan otonomi daerahnya. Kemudian Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kotamadya juga sudah sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan. Pemerintah kita juga mendorong guru guru untuk memperoleh pendidikan dengan program kualifikasi pendidikan yang non sarjana untuk memperoleh pendidikan S.1 (strata sarjana). Memberikan beasiswa bagi bagi sarjana untuk mengikuti program Magister (S.2). Maka berbondong bondonglah para sarjana untuk mengambil kesempatan emas ini. Namun kemudian puluhan atau ratusan musti Drop-Out, karena terkendala tidak mampu menulis atau menyelesaikan tesis. Sebagian kecil bisa selesai lewat jalur non halal, menjiplak tesis, mendatangi jasa teman, atau jasa biro tesis kalau tidak bisa harus puas dan bernostalgia ”karena pernah kuliah pada program S.2”. Penyebab gagalnya ratusan mahasiswa pascasarjana dalam menyelesaikan Tesis (atau juga disertasi bagi mahasiswa post-graduate) karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca dan budaya menulis. Itu akibat tidak ada budaya belajar mandiri dan berfikir kreatif serta inovatif.
Kurikulum pendidikan kita yang populer akhir-akhir ini adalah seperti KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kedua bentuk kurikulum kita mungkin sudah sama effektifnya dengan kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif yang dianut oleh negara-negara maju.
Bedanya mungkin terletak pada bagaimana masyarakat menghargai lembaga pendidikan tingkah menengah. Kira-kira 20 tahun lalu, masyarakat mengenal jenis-jenis sekolah seperti ’SPG (Sekolah Pendidikan Guru), STM (Sekolah Teknologi), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Ini semua adalah beberapa bentuk dari sekolah vokasional atau kejuruan yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia dan ada beberapa jenis vokasional yang lain. Kemudian sistem persekolah disederhanakan maka ada sekolah SMA dan SMK (untuk sekolah Vokasional/kejuruan). Entah bagaimana kebijakan yang dilakukan maka sekolah SMA telah menjadi begitu populer dan begitu banyarakar masyarakat yang mengirim anak-anak mereka ke sekolah SMK.
Barangkali hal itu akibat di negeri ini terlalu menjamur sekolah SMA, tiap kecamatan selalu ada SMA, sementara untuk SMK mungkin hanya dihitung per Kabupaten. Sebaliknya kalau di negara negara maju di Eropa, Asia dan Amerika yang banyak betebaran adalah sekolah kejuruan. Maka sekolah vokasional, teknik dan bisnis sangat memperoleh apresiasi dalam masyarakat. Kemudian bagaimana dengan pendidikan untuk orang dewasa kalau di negara maju banyak orang dewasa yang mendaftarkan diri pada adult education.
Methode pengajaran di negara maju berkarakter ”child centered, continous progress, team teaching, discovery method, open plan school. Metode pengajaran yang yang popular di Indonesia adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), namun sering diplesetkan menjadi “Catat buku sampai habis”. Plesetan ini terjadi karena memang demikianlah kenyataan suasana mengajar pada sekolah sekolah yang jarang terpantau oleh team penilai. Atau kalau pun banyak guru yang sudah mengetahui tentang teknik-teknik pengajaran maka lagi-lagi teknik mengajar konvensional lebih terasa manis bagi mereka.
Kalau demikian kita masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk membenahi kesemrautan pendidikan di bumi Indonesia ini. Yang kita perlukan untuk maju dan memajukan pendidikan kita adalah tead dan keseriusan kita sepanjang waktu.
(note: 1). Nur, Agustiar Syah. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung : Lubuk Agung. 2) Smith, Dan. (1999). The State of the World Atlas. London: Penguin Reference)

Senin, 22 Juni 2009

Paradigma Baru: Menjadi PNS Plus

Paradigma Baru: Menjadi PNS Plus
Oleh Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Judul artikel ini memberi label “plus”, untuk apa gerangan ? Pertama, karena adanya fenomena bahwa masyarakat sangat peduli pada label atau merek. Keberadaan label cukup mampu dalam menggenjot kualitas dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, bahwa PNS (Pegawai Negeri Sipil) adalah aparatur negara, hidup mereka dibiayai oleh negara, jumlah mereka cukup banyak. Kualitas dan eksistensi mereka menentukan wibawa pemerintah, apakah mereka menjadi PNS yang penuh amanah atau PNS penyedot anggaran negara ?
Shakespeare,tokoh sastra dari Eropa, berkata ”what is the name ?”, apalah arti sebuah nama atau apalah artinya sebuah label ? Bukan demikian halnya, ternyata nama sangat memiliki arti dan nilai yang tinggi. Saat seorang bayi lahir ke dunia, orang tuanya sibuk mencari nama. Ada yang pergi ke internet dan mengklik pass word koleksi nama-nama indah pada mesin google. Sebagian ada yang meminjam, secara diam-iam, nama-nama figur dari kalangan selebriti, atlet, ilmuwan, alim ulama dan negarawan. Bagi yang minder dengan nama dalam budaya dan budaya sendiri, karena kurang mengenal hakikat budaya dan agama, maka mereka memungut nama dari dunia barat. Syukur kalau nama yang dipungut adalah nama tokoh yang baik bukan nama tokoh sindikat kriminal. .
Seharusnya orang tua membei nama haruslah penuh dengan pertimbangan, jangan membuat anak malu dan rendah diri gara-gara nama. Orang tua perlu melakukan koreksi nama sebelum terlanjur, misal nama anak ”maisir atau annar”, walau kata-kata ini ada dalam alquran, tetapi berarti ”judi dan neraka”. Ada lagi orang tua memberi anak nama ”mastur, tanya” maka ditambah menjadi masturbasi, dan tanya jawab. Atau memberi anak nama bernuansa maskulin untu anak perembuan atau nama bernuansa feminin untuk anak laki-laki, ”Mana dia ibu Nurbadri ?” tahu-tahu yag muncul adalah pria tulen bertubuh atletis.
Nama atau label berpotensi dalam mengangkat citra atau kualitas sesuatu. Label lama yang menunjukan kualitas adalah menggunakan kata ”bangko”, sebagai contoh ”ayam bangkok” atau produk alam lain yang bentuk dan kualitasnya prima. Atau label alam lain seperti ”beras solok, rambutan binjai, salak medan, petai lintau, apel wasington, karpet persia, dan lain-lain”. Label produk alam ini selalu dicari orang.
Kemudian orang menggunakan kata ”super” atau ”unggul” untuk produk ternak dan produk alam. Maka orang pasti lebih menyukai ”jagung super, sapi unggul, beras unggul, sayur organik super dan jeruk super”. Kata-kata super berarti menggambarkan suatu produk alam yang berkualitas- sehat, gemuk, segar, gurih, cerah dan bergizi tinggi. Untuk memperolehnya orang tidak segan-segan untk merogoh kocek untuk membayar produk berlabel unggul atau super, kalau itu memang terbukti, kalau tidak ”ya, say good bye”.
Ketika fenomena prestasi dan kualitas pendidikan kita selalu jalan di tempat, maka para pemikir dan stakeholder pendidikan melakukan gebrakan dalam pembaharuan. Untuk institusi pendidikan kemudian munculah label. Label yang menjelaskan bahwa telah terjadi peningkatan kualitas atau pelayanan dalam pendidikan seperti label dengan menggunakan kata-kata ”plus, unggul, alami, akselerasi, satu atap, perintis, dan sekarang dengan program RSN (Rintisan standar nasional) dan SNBI (Sekolah nasional berstandar internasional). Maka bermunculanlah sekolah dengan program dan pelayanan yang sesuai dengan label yang diadopsi seperti; sekolah plus, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah alam, sekolah satu atap, sekolah unggul, sekolah akselerasi, sekolah standar nasional, sekolah berstandar intenasional, dan belum tertutup kemungkinan untuk muncul label-label yang baru dan unik. Tentu saja penggunaan label-label ini sangat positif dan efektif untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Siswa yang belajar di sekolah yang belabel sekolah model tentu akan malu kalau belajar denga gaya santai dan malas.
Setelah kualitas anak-anak bangsa anjlok dan banyak disoroti sehingga lahirlah kata-kata atau label seperti yang telah disinggung dalam kalimat sebelumnya. Kini bagaimana pula dengan kualitas dan ekistensi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang jumlahnya sangat banyak.
Menurut pantauan masyarakat- dan banyak yang mengatakan- bahwa menjadi PNS itu enak, rajin atau malas atau sakit dan senang tetap menerima gaji tiap bulan. Namun sebagian masyarakat juga banyak yang kritis dan memberikan kritik untuk perubahan. Mereka berpendapat bahwa profesi PNS sebagai profesi yang miskin tantangan dan kurang mengenal kompetitif. Hal ini terlihat pada anggota masyarakat yang minus jiwa kreativitas dan jiwa innovasinya.
Memang, orang jarang melihat PNS yang kreatif. Yang sering terlihat adalah PNS yang suka keluyuran, PNS yang suka makan gaji buta, PNS yang suka menerima amplop, PNS yang kurang bisa untuk merawat diri. Sapai kepada PNS yang suka berselingkuh dan kawin batambuah. Sesungguhny di belakang PNS yang kurang berkualitas tentu ada banyak PNS yang berkualitas dan penuh inovasi. Inilah PNS yang dikatakan sebagai ”PNS Plus”.
PNS adalah corp (dalam bahasa Perancis yang berarti ”tubuh”). PNS adalah kesatuan dari aparatur pemerintah dan ia terdiri dari puluhan jenis profesi. Profesi PNS yang dikenal luas adalah seperti ”dosen, insinyur, hukum, dan guru. Ada lagi orang yang kalau mendengar kata ”PNS” maa bagi mereka adalah orang-orang yang bekerja di kantor kantor pemerintah, berseragam pemda, berjalan sedikit terkesan santai dan hari-hari penuh enjoy. Mereka tidak melihat dibalik pemandangan yang demikian juga ada PNS yang berkualitas lebih atau PNS plus.
Di seputar diri kita ada banyak PNS yang berkualitas plus. Cerita PNS yang berkualitas plus juga bisa dibaca daam kumpulan biografi orang-orang sukses. Dalam buku ”Siapa mengapa sejumlah orang Minang” (Zoelverdi,1995) juga terdapat sejumlah tokoh PNS yang tergolong sukses dan mereka adalah seperti Alis Marajo, Averdi, Mochtar Naim, Djoko Syarief, Mohammad Anshar, serta ada beberapa nama lain, mereka adalah PNS berlabel plus.
Alis Marajo ketika kecil memilih cita-cita yang tinggi dan bersitungkin dalam belajar (belajar keras). Anak-anak yang tidak punya budaya belajar keras diragukan akan berhasil. Ia tertarik untuk kuliah di ITB atau Kedokteran dan memilih kuliah di Kedokteran. Menjadi mahasiwa tidak harus terkungkung dengan mencatatat dan menghafal catatan seperti kebiasaan banyak mahasiswa. Arlis juga aktif berorganisasi di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan AMPI. Di kemudian hari, karirnya adalah di bidang kedokteran, namun ia bukan dokter yang biasa. Ia adalah dokter yang luar biasa. Ia adalah dokter yang tahu politik dan tahu dengan adat istiadat. Inilah yang membuat Arlis sebagai dokter berlabel plus.
Averdi adalah seorang dokter yang juga dapat dikatakan sebagai dokter plus karena ia aktif dan tahu dengan adat istiadat. Karakter berkualitas plus terbentk karena ia terbiasa dengan disiplin dan sikap jujur.
Mochtar Naim berasal dari orang tua yang berprofesi sebagai pedagang harian dan ia didik dengan agama yang kuat. Waktu kecil ia gemar membaca dan ia mempunyai tokoh idola seperti Soekarno, Hatta, Assa’at dan lain-lain. Ia kuliah di Yogyakarta dan mendirikan study club dan mengundang tokoh terkenal untuk berdialog. Menjadi orang berkualitas plus harus aktif dalam hidup. Ia kemudia menjadi dosen yang berkualitas plus- ahli sosilog dan penulis.
Djoko Sarif juga termasuk kategori orang berkualitas (dosen). Sejak kecil semangat menunut ilmunya sangat tinggi. Saat kuliah, karena susah dengan keuangan maka ia kuliah sambil bekerja- sambil kuliah ya dagang buku- ia jadi agen penerbit luar negeri. Ia mempunyai pustaka pribadi dengan koleksi buku 20.000 judul dan ia sendiri telah menulis 20 judul buku. Inilah yang membuatnya menjadi dosen berkualitas plus.
Mohammad Anshar adalah juga dosen berkualitas plus. Ia mengatakan bahwa di Indonesia banyak pelajar dan mahasiswa yang menggantungkan diri pada guru atau dosen. Di Amerika mahasiswa dan pelajar punya inisiatif- belajar sendiri dan membaca sendiri- karena membaca sudah menjadi budaya dalam keluarga. Ia mempunya semboyan ”tiada hari tanpa belajar”.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah keharusan dan bukan paradigma baru seperti judul artikel ini. PNS yang berkualitas plus akan mempunyai martabat lebih tinggi di mata masyarakat. Banyak orang saat kecil sangat rajin dan saat kuliah bisa mengukir berbagai prestasi tetapi begitu lolos menjadi PNS mereka berhenti untuk belajar dan mengembangkan diri. Mereka memilih menjadi orang biasa-biasa saja, PNS yang biasabiasa saja, PNS yang suka dengan istilah enjoy ingin serba senang saja. Rutinitas hidupnya sangat monoton ” dari rumah ke tempat tugas, kerja sedikit kemudian santai dan pulang lagi ke rumah”. Kemudian pandangan di rumah kurang memperlihatkan aktifitas plus atau kegiatan yang berbeda dari orang-orang yang biasa. Maka figurnya juga menebarkan prilaku hidup santai sehingga orang berfikir ”oo begini ya yang namanya PNS itu”. Maka seharusnya jadilah PNS plus lewat budaya selalu belajar dan berkarya dalam hidup, mengikuti berbagai aktifitas dan memberikan nilai plus bagi orang dan bagi dri sendiri.

Rabu, 10 Juni 2009

Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru


Bila Siswa Cerdas Enggan Jadi Guru

Oleh: Marjohan M.Pd

Guru SMAN 3 Batusangkar





Hampir semua orang setuju bahwa institusi sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) bangsa ini. Untuk menjaga imej ini, pihak sekolah dan stake holder dalam bidang pendidikan selalu melakukan pembenahan diri namun tentu saja selalu ada kendala. Agustinus (2009) dalam laporan utamanya yang berjudul “Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?” menyebutkan bahwa sistem pendidikan kita masih jauh dari idealnya proses humanisasi (pemanusiaan) sebagai inti dari pendidikan itu. Sekolah lebih dijadikan laboratorium untuk transfer pengetahuan dari pada menjadi pendopo (balai-balai) untuk pengolahan kepribadian yang terintegrasi, baik dari sisi pengetahuan maupun kesadaran perilaku. Para siswa dijejali dengan materi-materi pelajaran dan kurang mempunyai ruang dan waktu untuk mengembangkan kreativitas. Sementara sistem pengajaran di kelas pun cenderung satu arah. Ruang diskusi dan kritis kurang dibuka lebar. Guru masih mengklaim diri sebagai otorita pemegang kebenaran tunggal di dalam kelas. Akibatnya kelas itu hanya melahirkan orang-orang yang doyan membebek alias patuh, tidak kritis dan emoh membantah.

Ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena di atas terjadi seperti faktor minimnya quota dana untuk menjalankan pendidikan. Sehingga kesulitan dalam menyediakan atau memenuhi fasilitas pendidikan. Namun faktor guru adalah faktor kunci yang menentukan pendidikan kualitasnya meningkat atau menurun. Semestinya profesi guru atau pribadi guru dengan segala eksistensinya harus memberikan daya tarik yang kuat bagi anak-anak didik mereka. Ibarat bagaimana tertariknya anak-anak kecil pada profesi polisi, tentara, dokter dan pilot.

Anak-anak kecil sampai yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, sekali lagi, banyak yang tertarik untuk menjadi polisi, tentara, dokter dan pilot karena di mata mereka bahwa penampilan orang-orang dengan profesi ini tampah begitu elegant. Anak-anak kecil begitu antusias melihat parade militer atau barisan polisi yang sedang berlatih dengan postur tubuh gagah dan seragam berwibawa. Mereka berlari-lari mengikuti iringan-iringan mereka dan tidak sudi mereka lenyap dari pandangan mereka. Demikian pula bagi seorang anak yang memutuskan menjadi pilot setelah seorang pilot dengan postur gagah dan pakaian juga gagah melintas dan melangkah menuju pesawat. “Wah gagah sekali pilot itu, bila dewasa aku juga ingin menjadi pilot”, celetuk seorang bocah sekolah dasar bergelantungan di gerbang bandara.

“Fall in love at the first sight” adalah berarti jatuh cinta pada pandangan pertama. Penampilan dalam seragam profesi bisa dan seharusnya menjadi daya tarik dan ini sangat menentukan bagi anak-anak yang berusia junior dalam memilih karir/profesi sebagai cita-cita pertama mereka. Namun bagaimana dengan profesi keguruan dan bagaima dengan penampilan dan postur tubuh guru-guru ?

Di lapangan, di berbagai sekolah, dapat ditemukan bahwa banyak guru-guru yang tidak begitu peduli dengan penampilan mereka. Mereka membiarkan sepatu berdebu, kumis dan jenggot menjalar, warna pakaian pudar, pasangan lipstick tidak pas (bagi guru wanita). Sehingga wajarlah penulis naskah film dan sutradara melukiskan figur guru dalam sinetron bagi guru pria; tampil lugu, bercelana panjang longgar, rambut berminyak, berjalan menggandeng sepeda. Sementara guru wanita berdandan dengan baju kebaya, bersanggul, berkacamata dan tampil bersahaja.

Siswa-siswa cerdas pada banyak sekolah jarang yang sudi memilih karir sebagai guru, kecuali karena alasan ekonomi. Banyak anak-anak cerdas yang memilih untuk bekerja di bank, perusahaan, dokter, atau menjadi pengacara. Sejak teknologi berkembang maka banyak pula yang ingin berkarir dalam bidang ICT (Information Computer Technology), programmer, analist, dan syukur kalau ada yang memilih karir dalam bidang wiraswasta (karena sekarang semangat wiraswasta juga mulai meluntur). “Barangkali kalau kamu nanti jadi guru saja, supaya bangsa lebih cerdas?”, Tanya seorang guru. “Wah janganlah bapak, saya tidak berminat mengajar”, jangan seorang siswa dengan enteng”.

Barangkali siswa-siswa cerdas kurang melihat adanya daya tarik dari profesi guru yang dipantulkan oleh penampilan guru itu sendiri. “Gurunya cerdas tapi sayang kurang rapi, yang lain ada guru cerdas tapi hidupnya susah, di tempat lain saya lihat banyak guru-guru yang santai saja dari pagi”, komentar seorang siswa. Faktor lain yang membuat siswa cerdas lari dari karir guru adalah karena factor pribadi guru tersebut, seperti guru pemarah, pendedam, killer dan dianggap kikir dalam member nilai atau terlalu memberatkan fikiran siswa. Tidak zamannya lagi menjadi guru killer.

Ada pengalaman dan cerita yang masih terlintas dalam fikiran penulis tentang seorang siswa cerdas. Saat berusia remaja termasuk siswa bandel diberi hukuman “memasak air minum buat guru”. Namun ia sempat memasukan air kencingnya kedalam periuk sebelum meletakkannya ke atas kompor. Bayangkan hamper semua guru sempat mencicipi air minum bercampur kencing hari itu (na’uzubillah min zalik). Namun setelah jadi orang (dapat pekerjaan bagus) ia datang ke sekolah tersebut untuk minta maaf.

Kalau begitu seharusnya guru-guru juga harus berpenampilan gagah, anggun dan menarik. Kemudian juga harus memiliki wawasan luas dan cerdas bergaul serta berkomunikasi. Sebaliknya guru tidak harus tampil bersahaja, kulit bibir melepuh, tubuh kurang terurus, minim dengan wawasan dan cara berbicara yang kampungan. Inilah agaknya yang dikhawatirkan oleh pemerintah dan pemikir pendidikan agar tidak terjadi. Sehingga lahirlah Peraturan Pemerintah (Permen) no 14 tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen.

Permen ini mengharapkan agar guru memiliki kompetensi. Kompetensi tersebut adalah seperti kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik maupun kompetensi profsional. Kompetensi secara wajar perlu mendapat kesempatan untuk ditumbuh kembangkan sehingga berdampak postif pada siswa.

Kompetensi adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran bagi peserta didik yang berkaitan dengan pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengatulisasikan. Kompetensi kepribadian yang merupakan perwujudan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan menjadi teladan bagi siswa. Kompetensi professional merupakan komponen penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan dalam membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi. Namun sekarang bagaimana realita kompetensi yang dimiliki oleh guru ? Untuk siapa permen 14/2005 ini dibuat, apakah untuk siswa, untuk orang tua, untuk penjaga sekolah, tukang kebun atau untuk guru ? Permen 14/2005 dibuat, tiada lain-tiada bukan, adalah untuk kaum guru agar mereka menjadi profesi yang bermartabat dan terhormat.

Sekali lagi, apa faktor penyebab siswa mengidolakan figur lain seperti artis dan olahragawan dan banyak siswa cerdas yang enggan jadi guru ? “Profesi guru kurang punya tantangan bila dibandingkan dengan profesi di bidang BUMN dan dunia industry, yang saya lihat cuma banyak guru yang santai, datang ke sekolah hanya saat jam mengajar saja, kalaupun cepat datang itupun mereka gunakan untuk tertawa dan mengerumpi ala anak ABG”, kata seorang siswa saat menentukan pilihan karirnya.

Menjadi guru dengan gaya hidup santai, apalagi juga banyak guru yang gagap dengan tekhnologi (gaptek) telah membuat nyali siswa cerdas, kecuali yang punya alasan ekonomi, untuk menuju professi keguruan. Ini tidak dapat dipungkiri, malah guru-guru sendiri kurang bangga dengan profesinya, “kamu nak, kalau sudah dewasa tidak usah jadi guru, karena tidak ada guru yang jadi conglomerate”.

Last but not least (akhir kata), sebenanya guru tidak perlu takut untuk dimarginalkan- dikesampingkan- kalau mereka bias memperlihatkan keunggulan. Guru tidak perlu mengemis penghargaan- bermohon untuk dihargai- dan bermohon minta martabat dari orang lain kalau mereka bisa tampil gagah dan berwibawa, tidak loyo dan tidak berdaya. Guru akan punya harga diri dan profesinya akan selalu dikagumi kalau mereka semua bias menjadi guru yang professional, kalau sekarang guru yang menerima sertifkasi guru belum semuanya dapat dikatakan guru professional kalau kalau portofolionya lahir lewat jalan yang penuh kong kalingkong (penuh rekayasa dan dengan sejumlah dokumen copy paste). Guru yang professional harus peduli dengan anak didik, peduli dengan dunia pendidikan dan tahu dengan job description, mereka harus sibuk mengurus diri dan bukan sibuk mengurus pribadi orang lain.

Note: Agustinus.(2009). Sekolah Rusak ,siapa yang harus mengaku dosa ?. Bogor: Tabloid Gocara, Edisi 14/II/April 2009

Selasa, 09 Juni 2009

Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba


Mendidik Anak Dengan Konsep Coba-Coba

oleh: Marjohan, M.Pd

Guru SMA



Dalam penggunaan bahasa bahwa kata “orang tua” dan “guru” sering disandingkan dan menjadi frase “orang tua dan murid”. Ini terjadi karena kedua tokoh ini memegang peranan penting dalam mendidik dan menemani anak untuk tumbuh dan berkembang.


Hampir semua orang menyadari tentang keberadaan keluarga, orang tua (ayah-ibu) sebagai figure sentral dalam melaksanakan tugas mendidik anak. Kemudian di sekolah, guru sebagai figur atau tokoh sentral dalam mendidik murid di sekolah. Namun orang tua dan guru perlu menyadari bagaimana menjadi pendidik yang baik.


Orang tua adalah guru pertama dalam kehidupan setiap anak. Mereka terlibat dalam proses pembelajarannya di rumah dan dimana saja, dengan alokasi waktu belajar selama 24 jam setiap hari. Berarti di rumah pada umumnya ada dua guru (ayah dan ibu) dan satu atau dua orang anak. Apalagi karena orang tua muda sekarang cenderung mengadopsi program keluarga berencana- cukup dua anak (pria wanita sama saja !). Itu berarti bahwa mereka melakukan proses pengajaran di rumah untuk menjadi manusia yang baik dengan intensif mulai dari anak bangun tidur sampai kepada anak tidur lagi.


“Nah habis tidur kita harus baca doa, kemudian sholat, kemudian merapikan tempat tidur…”, kata seorang ibu (ayah) sambil menuntun anak untuk mulai beraktifitas dengan bahasa yang santun. “hei buyung …. bangun, mandi….matahari dan sekolah…., hai banguun”, bentak orang tua di tempat yang lain dengan gaya bahasa yang penuh emosi. Tentu ada pula proses pembelajaran model lain, yaitu membiarkan anak tidur atau bangun kapan saja suka, terlalu membiarkan atau serba banyak membantu anak. Bentuk-bentuk sentuhan dan cara berkomunikasi antara anak dan orang tua akan menentukan kualitas pendidikan mereka kelak.


Untuk mendapatkan pendidikan rumah (untuk anak) yang berkualitas maka proses beraktifitas di rumah juga harus unggul. Untuk itu apakah orang tua (sesuai dengan kemampuan) telah menyediakan fasilitas pembelajaran. Kalau tidak salah lihat bahwa banyak orang tua yang cenderung menghujani anak dengan fasilitas hiburan. Untuk membuktikannya mari kita kunjungi ke rumah-rumah mereka dan temukan: “mana yang banyak koleksi yang dimiliki anak antara koleksi mainan dengan koleksi bacaan ?”. Apakah anak-anak kita telah memiliki koleksi cerita-cerita nabi, koleksi biografi tokoh untuk membantu mereka dalam mencari identitas diri. Memiliki koleksi mainan untuk anak tidak salah, karena ini bisa membuat anak berani dan cerdas tapi bacaan jangan diabaikan. Namun malah cukup banyak orang tua yang sudi memiliki koleksi keramik dari pada menyediakan perpustakaan bagi anggota keluarga.

Eksistensi guru di sekolah sebagai pendidik juga ikut mewarnai bagaimana mutu anak-anak bangsa ini kelak. Tentu saja untuk menghasilkan generasi yang terdidik dengan baik (cerdas dan ungggul) maka juga diperlukan sentuhan tangan guru-guru yang cerdas dan unggul. Orang mengatakan bahwa ada guru-guru yang unggul dan guru-guru yang tidak unggul. Dalam bahasa plesetannya “ada guru luar biasa dan ada guru yang biasa di luar”. Bangsa ini begitu sibuk membenahi pendidikan gara-gara kualitas pendidikan belum kunjung memuaskan, sementara di negara maju mereka sibuk berbikir bagaimana bisa menghasilkan teknologi baru. Maka ini pasti karena populasi guru-guru tidak unggul atau “guru-guru biasa di luar” guru-guru yang terkesan suka santai, belum kreatif, belum professional, dan kurang suka berinivasi.


Seperti disebutkan sebelumnya bahwa orang tua dan guru adalah dua buah kata yang selalu disandingkan menjadi “parents and teacher”. Mereka perlu tahu tentang permasalahan pendidikan anak-anak/siswa. Permasalahan umum mereka adalah malas belajar, tidak mandiri, kurang memiliki harga diri, tidak patuh, dan suka membangkang. Ini semua dapat dikatakan sebagai penyakit pedagogie atau penyakit dalam pendidikan. Ini mungkin disebabkan oleh gaya kiya sendiri yang salah asuh.


Tanpa merujuk pada teori, maka orang awam pun tahu bahwa anak jadi malas adalah karena mereka miskin motivasi hidup. Orang tua gagal dalam menumbuhkan memotivasi mereka. Anak kurang terbiasakan dalam melakukan aktifitas, no house work and no school work. Atau kita sebagai orang tua malah menjadi figur yang juga pemalas, anak disuruh belajar dan kita tidak pernah belajar untuk jadi orang tua yang ideal.


Pengalaman di sekolah bahwa siswa laki-laki yang pemalas bisa jadi karena memiliki ayah yang juga pemalas- tidak peduli dalam urusan pendidikan anak. Selanjutnya anak menjadi pemalas karena mungkin ayah dan ibu mereka sedang dilanda broken home, selalu bertengkar dan cekcok sehingga anak jadi bingung dan putus asa.


Anak tidak mandiri ? Orang awam juga tahu bahwa anak yang kurang mandiri adalah karena mereka terbiasa banyak dibantu mulai dari bangun sampai tidur lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan- tidak dibiasakan mengurus yang kecil-kecil (merapikan kamar), menjaga keberhasilan diri (banyak anak laki-laki tampil sembraut), sampai ikut berpartisipasi dalam merapikan rumah. Atas nama rasa sayang, banyak orang tua yang memonopoli semua pekerjaan rumah sehingga anak tidak memperoleh kuota kegiatan. Seharusnya anak diberi kerja paling kurang memotong rumput di depan rumah, memungut sampah, atau membersihkan pakaian sendiri. Kalau mereka tidak terbiasa beraktifitas maka mustahil bisa menjadi generasi yang mandiri kelak. Malah mereka akan miskin dengan life skill hingga jadi beban hidup bagi orang lain.


Hargailah pribadi anak sejak usia dini kalau tidak maka mereka akan kehilangan harga diri. Sebahagian kita banyak yang hanya gemar banyak menyuruh, memerintah sampai kepada mengomeli anak, namun kurang peduli dalam menghargainya- acuh saja kalau mereka berbicara dan kikir dalam memberi pujian atau prestasi mereka. Sering orang dewasa (orang tua, guru, tante, paman, pengasuh) dalam bertindak menggunakann segenggam kekuasaan. Ini terlihat dari gaya bahasa yang banyak memerintah “kamu harus…., kamu jangan…., kamu musti…., kamu tidak boleh….., pokok nya harus patuh”. Dibalik kekuasaan dalam bentuk banyak menyuruh dan melarang mereka malah miskin dalam memuji dan dan menjaga hati anak. Akibatnya maka lahirlah anak-anak yang pendendam, tidak punya harga diri dan generasi yang berjiwa labil- mudah stress dan mudah putus asa.


Selanjutnya tentang gejala membangkang pada anak, selain karena faktor remaja (kalau ia berusia remaja) yang memperlihatkan gejala suka berontak, juga karena faktor pemodelan orang tua yang juga gemar dengan budaya menghardik. Orang tua penghardik, berbahasa kasar, tidak kenal mufakat berpotensi melahirkan anak yang berkarakter pembangkang. Demikian pula bagi keluarga yang kurang tersentuh oleh sajadah dan alquran, anak-anak mereka juga cendrung terlihat gemar membangkang, itu karena miskin dengan sentuhan spiritual.


Seharusnya mendidik dan mengasuh anak itu menjadi lebih mudah, indah dan menghadirkan banyak anugerah bagi orang tua. Jika kita mau memahami ungkapan popular: dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup mudah dan dengan seni hidup indah. Ini memberi penekanan bahwa orang tua dan juga guru perlu untuk menuntut ilmu (yang relevan untuk kepentingan parenting dan teaching adalah ilmu psikologi dan pedagogi) dan membudayakan otodidak dan gemar membaca.


Banyak orang tua merasakan kehadiran anak menjadi beban hidup. Ini terjadi karena mereka menjadi orang tua tanpa punya bekal dalam mendidik. Fenomena dalam masyarakat bahwa banyak orang saat menikah tidak mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik dan bagaimana kelak dalam mendidik anak. Maka tidak heran kalau sebahagian orang tua menjadi orang tua yang miskin dengan ilmu dan konsep penidikan. Yang terpantau adalah mendidik anak dengan “metode warisan”. Anak perlu dihardik dan dimarahi karena orang tua sebelumnya juga menghardik dan memarahi. “Aku harus bersikap keras pada anak karena ayah-ibu seperti itu dulu”. Malah sebahagian orang tua mendidik anak dengan konsep coba-coba- try and error.


Pendidikan di negara maju bisa menjadi maju adalah karena faktor rekruitmen guru yang berkualitas. Mereka menjaring guru yang berpotensi- cerdas dan professional, bukan menjaring guru hanya lewat sebatas “tes potensi akademik- TPA” yang bisa dikuasai secara ngebut semalam suntuk dan lulus dalam test PNS. Test atau seleksi model begini sangat bagus dalam menjaring guru yang smart street atau guru yang pandai-pandai dan bukan guru smart akademic atau guru yang pandai, tapi bukan menjaring guru berpotensi dan professional. Faktor lain yang membuat negara maju jadi maju adalah juga faktor kesiapan orang lewat program parenting untuk menjasi orang tua, guru pertama anak di rumah.


Potensi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang cukup pesat adalah sejak dalam kandungan hingga usia delapan tahun. Ini berarti bahwa rumah menjadi faktor penting untuk menentukan seorang anak tumbuh prima sebelum mereka pergi ke sekolah. Maka di Amerika Serikat dan juga di negara maju lainnya banyak orang teetarik untuk mengikuti kursus bagaimana menjadi orng tua yangb ideal melalui program “parents as the teacher”. Keluarga dengan anak-anak yang berusia 0-3 tahun mengikuti program tersebut, di Indonesia mungkin semacam kegiatan posyandu- namun posyandu harus lebih berkualitas lagi, jangan terkesan asal-asalan melulu: datang, timbang bayi, tetes vitamin dan pulang (kemudian di rumah orang tua tidak belajar tentang merawat dan mendidik balita dan sang ayah tidak mau tahu). Bagi negara maju Inilah rahasianya mengapa mereka bias maju dan kita tidak heran kalau anak-anak mereka tumbuh cerdas karena pasangan suami isteri ketika menikah mereka sudah disiapkan jadi orang tua. Sementara fenomena pendidikan kita, dalam urusan mendidik, terlalu menyerahkan peran mendidik pada pihak sekolah. Ada yang beranggapan bahwa sekolah adalah perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Kalau begitu apa saja peran dan tanggung jawab orang tua lagi ?


Kini sudah saatnya bagi kita untuk mengubah paradigm lama dan memiliki paradigm baru. Mari menjadi orang tua sebagai educator yang baik dan bertnggung jawab. Kita menyuruh anak belajar dan kita sendiri juga belajar- long life education- untuk menjadi orang tua yang ideal.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...