Senin, 03 Agustus 2015

Masa Muda Yang Beruntung- Lucky Young Life



Masa Muda Yang Beruntung- Lucky Young Life
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
 
1. Orang Tua Dengan Pengetahuan Yang Minim
            Sudah lama saya ingin menulis tentang pengalaman bagaimana mempelajari bahasa asing yang banyak. Dalam hidup ini, saya sempat mempelajari banyak bahasa, seperti Bahasa Jerman, Bahasa Spanyol, Bahasa Perancis, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Namun saat saya berusia remaja, tidak banyak sarana belajar untuk mendukung sehingga bahasa-bahasa yang saya pelajari belum terserap secara optimal. Bahasa Asing yang telah menjadi bagian hidup saya adalah bahasa Inggris, Perancis dan Bahasa Arab.
Itu semua saya pelajari secara otodidak. Hal lain yang saya pelajari secara otodidak adalah kiat- kiat untuk menjadi penulis. Jadinya saya sangat rajin membaca buku-buku biorafi penulis. Nama- nama yang masih saya ingat adalah seperti Ernest Hemingway, Hilman- penulis novel lupus, Arswendo Atmowiloto, Zakiah Darajat, Buya Hamka, Zera Zetira, Muchtar Lubis, dll. Kenapa saya suka membaca biografi para penulis ? Karena seseorang yang ingin menguasai sebuah hobi atau karir, maka ia perlu bercermin dengan orang orang yang telah sukses sebelumnya- yaitu melalui membaca biografi mereka.  
Sebelum saya mengisahkan tentang perjalanan saya dalam menguasai berbagai bahasa asing, maka saya ingin memaparkan sedikit tentang latar belakang keluarga sayai. Saya terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang ilmu pengetahuan mereka sangat minim.
Meskipun ayah saya seorang prajurit polisi dan ibu hanya memperoleh pendidikan hingga kelas 3 SR (sekolah Rakyat). Dengan demikian dalam mendidik anak mereka hanya sebatas berjuang untuk mencari sesuap nasi buat memenuhi kebutuhan makan dan minum keluarga. Kebutuhan keluarga yang mereka penuhi adalah kebutuhan sandang dan pangan.
Banyak orang-orang yang seusia saya yang waktu kecilnya- di sekitar tahun 1970-an dan 1980-an yang bercerita bahwa mereka makan dengan lauknya adalah sebutir telur yang harus dibagi enam atau dibagi empat. Dan kalau lagi menyantap hidangan maka tidak boleh boros-boros dalam mengambil lauk pauknya. Memang kami diajar untuk hidup sederhana dan bersahaja. Dan ini juga merupakan strategi hidup yang dilakoni oleh banyak orang di Indonesia.
Orang tua saya, sebagai mana banyak orang tua lainnya di negara ini, adalah orang tua yang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat terbatas. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa anak-anak perlu mengakses (memperoleh) pendidikan yang berkualitas, eksplorasi, kesehatan tubuh yang prima dan hak-hak untuk bermain dan memenuhi rasa ingin tahu setiap anak.
Tentu saja ini adalah mimpi kalau kondisi orang tua juga serba terbatas- terbatas ilmu mereka, miskin wawasan dan rendah ilmu pengetahuan mereka sehingga untuk memenuhi hak-hak anak yang ideal tentu saja adalah sebuah isapan jempol. Memang kondisi ekonomi orang tua saya saat itu berada di ambang miskin. Kami tinggal di rumah bedeng terbuat dari papan dan dinding bamboo. Tentu saja kontrakannya berharga sangat murah. Saya sering melihat ibu membayarkan kontrakan rumah hanya dengan beberapa liter beras saja. Harga nominal sekarang mungkin sekitar Rp. 80 ribu hingga Rp. 100 ribu per bulan.
Saya kadang-kadang merasa malu dengan kondisi rumah yang kami tempati yang terkesan sangat jauh dari kelayakan. Saya sering menolak atau mencari-cari alas an agar teman-teman di sekolah yang ekonomi dan rumah mereka lebih bagus untuk tidak berkunjung kev rumah saya. Jadinya saya membatasi pergaulan karena didera oleh rasa rendah diri.
Pernah suatu ketika kebetulan teman sekolah saya berkunjung secara dadakan, tidak saya layani dan saya malah menyembunyikan diri di bawah kolong rumah hingga ia berlalu. Atau ke tika saya duduk di kelas satu SMP Negeri 1Payakumbuh, saya terserang penyakit campak (measles) saya sengaja tidak memberi kabar ke sekolah. Dengan tujuan agar guru dan teman-teman tidak datang buat membezuk saya. Saya jadi lega saat para siswa dan guru mau membezuk saya pada hari yang ke tujuh, saya ternyata sudah hadir di sekolah dengan wajah yang penuh bercak- bercak hitam yang bertaburan di seluruh permukaan tubuh dan wajah saya.
Saya tidak mengerti mengapa saya memendam inferior complex (rasa rendah diri) yang berlebihan saat itu. Mungkin karena kedua orang tua tidak tahu dan tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang tidak perlu merasa rendah diri atas kekurangan harta dan kemiskinan hidup yang kita derita. Karena orang bersosial tidak selalu memandang harta, namun juga memandang fikiran yang bersih dan hati yang suci.   

2. Keluarga Kecil Versus Keluarga Besar
Saat saya kecil di tahun 1970-an, gerakan KB atau keluarga berencana sedang gencar-gencarnya dikampanyekan. Namun orang tua saya terlanjur memiliki banyak anak, anak mereka semua berjumlah 9 orang. Namun yang diboyong oleh ayah saya ke Payakumbuh sebanyak 6 orang. Yang 2 orang lagi- anak yang lebih tua tinggal di Lubuk Alung, dititip kepada nenek, dan satu saudara saya meninggal saat berusia bayi.
Hidup dalam keluarga besar saya rasa punya plus dan minus bagi pertumbuhan anak. Tidak ada istilah pemanjaan pada anak dan juga tidak ada ibu yang memonopoli semua pekerjaan rumah. Semua anggota keluarga- dan juga anak anak dilibatkan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ayah saya termasuk pimpinan yang bertipe laissez-faire yaitu tidak mau ambil pusing apa yang kami kerjakan. Yang kami tahu bahwa kerja ayah adalah buat mencarin uang. Jadi setiap kali ayah pergi ke luar rumah itu berarti ayah pergi mencari uang. Jadinya ibulah yang menjadi manajer tunggal dalam mengurus rumah tangga yang sederhana itu.
Sebetulnya ibu saya tidak tahu tentang ilmu mendidik dan ilmu parenting- nagaimana menjadi orang tua yang baik. Karena ayah tidak mau tahu tentang urusan rumah dan ibu memiliki tenaga dan tangan yang terbatas untuk mengurus rumah maka kami anak- anak yang lebih besar diberi tugas (job description) buat membantu ibu.
Abang saya, Suwirman, memperoleh tanggung jawab untuk mengurus lampu petromak. Bila sore sudah larut maka ia mulai menyalakan lampu petromak dan malam hari bila lampu bermasalah maka ia bertanggung jawab untuk menghidupkan lagi.
Saat itu rumah kami belum dialiri oleh jaringan listrik. Ia juga punya tanggung jawab untuk memarut kelapa buat ibu setiap kali memasak gulai. Sementara kerja rumah buat saya adalah mencuci piring dan menggiling cabe- hingga jari jemari saya sudah kebal menahan panasnya sengatan cabe.
Disamping itu ibu memberi saya kerja tambahan buat menggembalakan itik- melepas itik dan menjemputnya bila hari telah sore. Di belakang rumah saya terbentang sawah hingga ke kaki bukit. Dan saya sudah hafal dengan pohon-pohon dan puncak-puncak bukit tersebut karena tiap hari terutama bila sore datang saya telah berada di sawah buat menghalau itik-itik pulang ke kandangnya.
Namun bila itik-itik lagi masa dalam masa kawin- pra-bertelur- maka mereka menjadi sedikit lebih liar dan susah buat dikendalikan. Bila dikejut untuk berjalan menuju kandang, mereka ada yang lari dan terbang. Sehingga itik yang pulang ke kandang jumlahnya berkurang. Resikonya saya harus pasang ketabahan dan kesabaran menerima kemarahan ibu karena kelalaian saya. Agar tidak dimarahi ibu karena kelalaian maka saya harus mencari-cari suara itik yang kesasar agar bisa pulang ke kandang dan itu bisa berlangsung hingga gelap malam.
Manfaat hidup dalam keluarga besar yang saya rasa adalah adanya rasa kompetisi sesama saudara, dan pembentukan karakter yang berani. Agaknya anak-anak dari keluarga besar tidak ada yang berkarakter pemalu, karena sejak dari usia dini kita telah terbiasa berekspresi. Juga kemampuan berkomunikasi anak-anak dari keluarga besar lebih bagus dari keluarga kecil.
Keberanian untuk menanggung resiko dan keberanian untuk mengungkapkan fikiran lebih terasa dalam keluarga besar. Sebagaimana yang kami alami bahwa anak-anak dari keluarga besar lebih agresif untuk berbuat dan lebih berani untuk mencoba. Memang anak-anak lebih suka usil, ingin serba mencoba sehingga terkesan lebih lasak –suka coba coba atau lebih usil. Bila bersalah maka kami rentan untuk diejek dan kami sudah kenyang dikritik dan dimarahi.     
Dibanding dengan keluarga kecil, maka anak-anak dari keluarga besar lebih kaya dengan pengalaman hidup. Dalam keluarga saya, ibu lebih dominan sebagai pendidik, tentu saja hanya sebatas memberi instruksi: tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Kami tidak boleh mengganggu ketenangan orang lain, tidak boleh berkelahi, tidak boleh mencuri dan melanggar norma social. Lebih lanjut ibu tidak punya waktu buat mengawasi kami secara detil.
Dalam keterbatasan ekonomi membuat orang tua tidak sanggup membelikan kami permainan, kecuali hanya beberapa kali saja membelikan mobil-mobilan plastic yang harganya cukup murah. Namun permainan yang berbekas dalam fikiran adalah permainan yang kami peroleh dari menjelajah- atau bereksplorasi- di sawah di belakang rumah. Dari sana kami mengenal jenis-jenis serangga dan yang cukup menantang saat kami main perang-perangan dengan cara saling melemparkan lumpur ke tubuh saudara-saudara kami hingga semua pakaian berlumuran lumpur. Takut kalau dimarahi oleh ibu maka sebelum pulang kami mencuci pakaian dan membersihkan di selokan kecil.
Bereksplorasi lewat berlarian, melompat, mendaki menurun di hamparan sawah hingga lading penduduk membuat tubuh kami menjadi kuat. Karena tidak mempunyai uang jajan maka kami minta izin buat memanjat pohon-pohon perawas, jambu, pohon cherry, hingga pohon mangga milik tetangga. Kadang- kadang agar tetangga sudi memberi izin buat memanjat pohon mereka yang sedang berbuah maka kami perlu dulu menyapa mereka dan kalau perlu memberi bantuan atau sekedar mampir dan bersalaman dengan mereka.
Anak-anak dari keluarga besar terasa lebih memiliki kepekaan social. Yabagaimana tidak, interaksi yang sangat intense telah terjadi di antara mereka, kemudian mereka merasa cukup enteng untuk memberi sapaan buat tetangga dan orang-orang yang baru datang.  
3. Keluarga Kecil
            Gerakan KB (keluarga berencana) di negara kita terasa cukup berhasil. Pada umumnya orang sudah tertarik buat memiliki dua orang anak. Dan kadang- kadang memiliki 3 atau 4 orang anak. Namun jumlah yang begini lebih sedikit populasinya menurut pantauan saya.
Malah jauh di luar negeri, di Eropa, sebagaimana yang diungkapkan oleh teman saya warga Perancis yang bernama Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse bahwa kalau di negeri mereka satu keluarga cukup satu anak atau tanpanak. Itulah mengapa saya menemui bahwa mayoritas teman-teman saya yang berasal dari luar negeri jarang yang mempunyai anak. Saya tidak mau menanyakan tentang mengapa tidak mau memiliki anak, karena itu termasuk privacy atau hak—hak pribadi mereka yang taboo kalau ditanyakan.
Hal-hal taboo lainnya adalah menanyakan umur mereka, gaji mereka dan pekerjaan mereka. Jadi percakapan yang lazim buat permulaan dialog adalah tentang hal-hal yang umum. Seperti menanyakan tentang negara mereka, tentang cuaca, dan tentang hal- hal umum lainnya. Percakapan tentang hal pribadi bisa terjadi bila kita dan mereka sudah terasa lebih akrab dan memperoleh izin dari mereka.
Anak-anak dari keluarga kecil, sebagaimana yang terlihat sekarang, terlihat lebih sehat dan lebih sejahtera. Kita tidak mendengar lagi bahwa anak- anak sekarang kalau makan terpaksa lauk pauk, seperti telur harus dibagi empat  atau di bagi dua. Kebutuhan gizi tubuh anak-anak sekarang lebih baik dari generasi yang terlahir 30 tahun sebelumnya. Malah akses pendidikan dan permainan anak-anak sekarang jauh lebih baik. Lantas apakah anak-anak sekarang bakal lebih sukses ?
Orang tua zaman sekarang telah memiliki ilmu pengetahuan yang lebih baik dari orang tua 30 tahun yang lalu. Sehingga orang tua zaman sekarang telah sadar untuk memenuhi kebutuhan anak seperti kebutuhan “drink, meal, clothing, affectionate and education”. Sekarang orang tua berlomba-lomba buat menyekolahkan anak mereka ke sekolah favorite atau berlabel unggulan. Mereka sadar agar anak mereka perlu memiliki score yang tinggi untuk bidang studi yang masuk dalam UN (Ujian Nasional), seperti kimia, fisika, biologi matematik, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sosiologi, dll.
Jadinya orang tua juga mendorong anaknya agar selepas belajar di sekolah agar juga pergi ke lembaga Bimbel (Bimbingan Belajar) agar kelak anak mereka bisa sukses ujian dan kelak bisa bisa kuliah di perguruan tinggi favorite di Pulau Jawa. Perguruan Tinggi yang di pandang favorite sepanjang masalah adalah seperti UI (Universitas Indonesia), ITB, UNPAD, UNDIP, dan UGM. Sementara jurusan yang sangat mereka favoritekan adalah Kedokteran dan Jurusan Perminyakan. Mengapa ? Karena lewat ke dua jurusan ini kelak uang akan mudah mengujur ke dalam kantong mereka.
Inilah realita pendidikan kita di Indonesia. Tetap saja orang tua memiliki ilmu parenting yang kurang memadai. Memang orang tua sekarang- yang cendrung memiliki sedikit jumlah anak- telah memberi memberi mereka “love, attention  and affection- cinta, perhatian dan kasih sayang”. Namun anak- anak sekarang miskin dengan soft skill atau keterampilan social.
Cukup banyak rumah tangga sekarang tidak memiliki job description- pembagian tugas, dimana anak- anak kurang dilibatkan dalam kegiatan di rumah. Anak-anak sekarang tidak mengenal banyak seperti apa melakukan pekerjaan dasar di rumah seperti “mencuci piring, mencuci gelas, mencuci pakaian, menyapu rumah, menyapu halaman, memasak sayur, hingga mensetrika pakaian”. Anak anak hanya didorong buat belajar, kursus, dan dibikin PR dan setelah itu anak terbiasa buat berpangku tangan.
Mereka tidak lagi trampil seperti ayah dan ibu mereka dalam mengurus rumah. Miskonsepsi (salah konsep) dalam mendidik memang berasal dari pemahaman parenting orang tua. Orang tua yang memonopoli semua pekerjaan dan apalagi bagi keluarga yang memiliki pembantu di rumah telah menjadikan anak- anak mereka sebagai tuan besar di rumah, yang pintarnya hanya memberi perintah dan minta tolong.
Ternyata anak-anak yang berambisi untuk memburu skor yang tinggi mampu kuliah di Perguruan Tinggi favorite dan jurusan yang juga mereka favoritekan. Pada saat rekruitmen posisi pekerjaan hanya melihat skor ujian tulis dan IPK kuliah yang tinggi maka mereka cukup mampu menempati posisi tersebut. Namun rekruitmen job seeker telah berubah, dan malah setelah pemerintah mencabut dan membatasi MoU (memorandum of Understanding) penerimaan PNS maka para sarjana yang sekedar jago meraih skor yang tinggi namun miskin dalam soft skill atau kepintaran social akan terkatung-katung harapan sukses mereka sepanjang masa.
Memang benar bahwa pada umumnya pelajar dan mahasiswa kita di Indonesia hanya sekedar jago untuk memburu nilai kognitif. Setiap kali saya ikut dalam rekruitmen siswa baru- di sekolah unggulan- dan saya ikut memberikan wawancara, maka hampir seratus persen anak-anak yang cerdas tersebut hanya tertarik untuk menjadi dokter atau kuliah di jurusan Perminyakan di ITB. Iniberarti bahwa ujung-ujungnya mereka hanya tertarik menjadi bawahan atau menjadi anak buah di tempat yang mereka anggap cukup bergengsi.
Sejak penerimaan PNS (pegawai negeri sipil) telah dikurangi atau dihentikan oleh pemerintah maka Perguruan Tinggi, temasuk Perguruan Tinggi Negeri favorite, memang tidak lagi sebagai wadah penyedia tenaga kerja. Jadinya semua perguruan tinggi hanya sebatas tempat pendewasaan cara berfikir seluruh mahasiswa yang nanti akan dibuktikan oleh selembar ijazah. Jadi para calon sarjana yang berprinsip bahwa Perguruan Tinggi adalah jalan toll buat memperoleh pekerjaan adalah sebuah isapan jempol belaka.
Hanya pemuda yang memiliki soft skill- nilai kecakapan hidup yang lebih mudah untuk mewujudkan jadi diri mereka kelak. Sarjana yang memiliki keterampilan social dan kecakapan vokasional akan berjaya dan memperoleh pekerjaan dan malah dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru karena memiliki semangat entrepreneurship (kewirausahaan). Sementara para pemuda yang beasal dari keluarga kecil, yang terbiasa serba dibantu oleh orang tua dan urusan mereka serba dimudahkan akan memiliki pengalaman hidup yang minim dan orang lain tidak tertarik untuk merekrut mereka sebagai partner kerja, tentu akan berdiri dalam deretan para penganggur dan sebagai job-seeker yang berkepanjangan.
Adalah fenomena bahwa anak-anak yang pemalu dan dan miskin dalam ketemprilan social- social soft skill- sering lebih banyak berasal dari keluarga kecil. Karena interaksi social dan interaksi personal mereka lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
Pada sebuah unggulan yang mana siswanya cukup pintar secara kognitif. Mereka selain belajar Bahasa Inggris, juga belajar Bahasa Jepang. Dan mereka belajar teori- teori bahasa Jepang serta mempelajari huruf-huruf Jepang seperti kanji, romanji, katagana dan hiragana. Guru bahasa Jepang mereka ujian dan mereka memperoleh skor sekitar 85 hingga 100. Sebuah skor yang cukup tinggi dan patut diacungkan jempol.
Suatu ketika saya berjumpa dengan dua orang wisatawan berkebangsaan Jepang, sebut saja nama mereka Sho Shimada dan Sumitomo. Saya mengajak mereka untuk berbincang-bincang dengan para siswa yang kebetulan berkumpul dalam sebuah aula. Shimada dan Sumitomo memperkenalkan diri dan juga menjelaskan sesuatu tentang Jepang. Setelah itu mereka mengajukan pertanyaan. Ternyata dari 70 orang siswa yang rata rata memiliki skor bahasa Jepang di rapor mereka dengan angka sekitar 90, namun tidak seorang pun yang berani menjawab atau memberi sepatah kata pun respon dalam Bahasa Jepang.
Nilai 90 yang mereka peroleh di rapor hanya menggambarkan sedikit teori tentang bahasa Jepang namun belum lagi menggambarkan kecerdasan dan keberanian mereka. Inilah fenomena siswa cerdas yang hanya sebatas “smart book”, namun tidak punya nyali besar untuk mampu memaparkan kemampuan mereka. Kemampuan untuk berani dalam berkomunikasi yang santun dan cerdas kepada orang baru dan di tempat yang baru jarang terjadi di rumah.
Apa lagi dalam deskripsi keluarga kecil sekarang, dimana anak hanya didukung buat belajar semata dan kemudian dijejalkan dengan beban PR atau kegiatan bimbel, sehingga mereka hampir tidak punya waktu buat mengikuti kegiatan social dan mengekspresikan aktualisasi diri. Maka jadilah mereka sebagai remaja cerdas yang penakut. Atau remaja yang crrdas tetapi memiliki pengalaman sosial yang sangat minim.
Bukan berarti bahwa orang tua yang memiliki sedikit lebih baik kualitas anak-anak mereka dibandingkan orang tua yang memiliki anak-anak yang banyak. Juga bukan berarti bahwa orang yang berasal dari keluarga besar jauh lebih berkualitas.
Agaknya orang tua yang memiliki sedikit anak lebih memiliki kesempatan yang besar untuk melahirkan anak-anak yang cerdas. Yaitu cerdas intelektualnya, spiritual dan emosionalnya. Orang tua sendiri mutlak harus memiliki pengetahuan parenting yang memadai, agar orang tua bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing keluarga mereka.

4. Keluarga Kecil Berpeluang Lebih Sukses
            Pada umumnya keluarga di negara maju mengadopsi bentuk keluarga inti. Rumah mereka dihuni oleh ayah, ibu dan anak. Juga pada umumnya orang-orang di negara maju memiliki sedikit anak. Satu atau dua anak, malah juga banyak yang tidak memilki anak.
            Hidup dalam keluarga kecil bukan berarti anak-anak mereka memperoleh pemanjaan. Semua orang tua di sana telah memilki ilmu parenting, dan mereka cukup cerdas untuk mendidik anak untuk menjadi manusia yang cerdas dan bertanggung jawab.
            Di dunia ini agaknya ada sepuluh negara terbaik dalam kualitas pendidikannya- The best top ten nations in education quality- yaitu: Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Perancis, Israel, Swedia, England, Korea Selatan, Jepang dan Kanada. Negera-negara tersebut bisa meraih predikat sebagai negara terbaik untuk kategori pendidikan karena kemajuan kualitas SDM masyarakatnya, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Kondisi ini terbentuk karena faktor budaya membaca mereka yang sangat kuat. Juga karena kualitas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan mereka yang sangat bagus. Kemudian, kaum perempuan mereka, sebagai pembentuk kualitas keluarga, juga sangat menentukan. Inilah komponen dasar untuk menilai kualitas pendidikan  bangsa-bangsa di dunia.
            Dari 10 negara terbaik pendidikannya, saya terkesan dengan kemajuan pendidikan Amerika Serikat, Jepang dan Perancis. Alasannya adalah karena Amerika Serikat sebagai sebuah “Melting Pot” atau wadah besar sebagai tempat meleburnya berbagai ras, agama dan kebudayaan berbagai bangsa. Kalau Jepang, karena orang-orangnya yang berkarakter serius dan bersungguh-sungguh. Dan negara Perancis, sebagai negara pelopor untuk “egalite, fraternite et liberte” atau persamaan, persaudaraan dan kebebasan hidup. Pembahasan lebih detail adalah sebagai berikut:
a) Amerika Serikat terkenal sebagai negara super power yang memang superior pada segala bidang. Yang mencolok adalah pada bidang pertahanan, tekhnologi dan ekonomi. Di sekolah Amerika Serikat rasa ingin tahun dan sikap ilmiah siswa dirangsang melalui gaya belajar “learning by doing- belajar dengan cara berbuat”. Pada pelajaran sains, lab-nya pasti ramai.
Negara Amerika adalah negara sekuler, pendidikan agama diserahkan ke orang tua. Namun bukan berarti mereka tidak belajar tentang akhlak atau etiket. Di sekolah sana pendidikan budi pekerti dan etiket diberikan dalam bentuk kegiatan amal atau charity. Mereka beraktifitas untuk masyarakat yang dikelola oleh Osis dan guru/sekolah. Jadi mereka mengerti tentang etiket, bagaimana menghargai orang, menolong dan berbahasa yang sopan melalui praktek nyata. Sejak kecil secara langsung mereka telah tahu tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam masyarakat.
Sekolah dan rumah (karena orang tua mereka mengerti tentang parenting), mereka selalu memperkenalkan pada anak tentang: how to dine, telephone manner, on correspondence, be gracious pada orang lain. Setiap anak harus diberi tahu bahwa shoes are important. Mereka tidak membiasakan anak untuk bertelanjang kaki, be open to the new food, tahu tentang bertanya yang baik, santun saat berada di meja makan, mereka musti bisa bersikap ramah dan mereka musti terbiasa mengucapkan thanks.
b) Jepang, konsep pendidikannya adalah berdasarkan moral atau akhlak. Ternyata konsep akhlaknya juga sesuai dengan ajaran Islam, karena akhlak yang baik sifatnya sangat universal. Di awal tahun pembelajaran, orang tua diundang ke sekolah. Mereka diajak ke dalam kelas buat melihat langsung praktek pendidikan anak mereka. Semua mata pelajaran di sekolah Jepang juga berdasarkan moral. Sejak dari usia dini dan di SD mereka sudah diajar untuk punya rasa malu, dan punya harga diri. Mereka bukan diajar bersekolah untuk bisa berlomba menjadi kaya.
Ada 4 bentuk dari harga diri yaitu: regarding self, menghargai orang lain- relation to other, menghargai lingkungan dan keindahan- relation to nature and sublime, dan menghargai komunikasi dan kelompok- relation to group and society. Setiap anak sekolah harus memahami dan mempraktekan konsep ini dan sehingga orang Jepang jadi suka saling menghagai.
Guru/ sekolah juga menugaskan agar anak di rumah diberi tugas untuk menyikat WC, menyapu, mengepel lantai, jadi bukan harus dibebaskan- tidak terlibat- untuk ikut merapikan rumah. Mereka diajakan untuk tahu arti bertanggung jawab, bukan diajar buat bersenang- senang atau menjadi tuan besar. Ya akibatnya anak jadi menghargai orang lain dan hidup bersahaja, bukan hidup dengan tinggi hati. Anak-anak Jepang tidak ada yang membawa HP ke sekolah. Mereka tidak terbiasa berbicara tentang materi, karena itu adalah memalukan dan dianggap rendah di sana.
Di sekolah anak Jepang juga punya jadwal piket. Juga membersihkan kelas, lantai menyikat WC dan memilih sampah- kalau ada. Mereka makan siang di sekolah dan saling melayani teman- teman mereka. Setelah makan langsung ruangan dirapikan kembali. Praktek pendidikan seperti ini berlaku untuk semua sekolah, bukan hanya berlaku di sekolah unggul saja.
Anak Jepang tidak boleh memakai kendaraan. Itu untuk alasan keselamatan juga untuk kebersihan udara dan lingkungan. Dan Jepang sebagai negara modern tetap memberikan pelajaran Home Economy, dimana anak-anak diajar melakukan simple cooking dan sewing. Bagaimana dengan sekolah negara kita, ya buru-buru menghapus pelajaran life skill ini, hingga anak-anak kita tidak tahu cara memasak dan menjahit, paling kurang membetulkan kancing baju yang sudah terlepas. Seharusnya ahli pendidik kita kembali membetulkan praktek pengajaran yang salah itu lagi.
Dalam PBM- dalam kelas- anak tidak duduk berderet. Mereka duduk dalam grup kecil. Dalam kegiatan tahunan, sekolah melakukan acara jalan-jalan ke object bersejarah, ke festival dan bereksplorasi. Melakukan kegiatan ini untuk beberapa hari dan setelah itu membuat project- laporan perjalanna.
Kegiatan ekskul juga harus diikuti oleh semua siswa. Dan ada beberapa klub ekskul pilihan seperti sport team, music, art group, dan science club. Club sport yang mereka ikuti, mereka ikuti dengan serius sehingga melalui ekskul ini bermunculan para atlit kelas nasional dan kelas internasional.
c) Perancis, bumi diberi Perancis juga bisa disebut dengan bumi Air-Bus, karena pesawat udara Air Bus dibuat di negara ini. Orang Perancis sangat patriotik dengan negara dan bangsa mereka. Mereka hanya menggunakan bahasa Perancis dan suka menggunakan produk Perancis. Film Hollywood dan lagu dari Korea Pop tidak begitu terkenal di sana.
Beda dengan orang di Malaysia yang senang dan bangga memakai bahasa bangsa penjajah, sehingga kemampuan bahasa Malaysia mereka terabaikan. Demikian juga dengan sikap orang kita yang gemar mengkonsumsi produk asing dan label asing ketimbang produk dan label dari dalam negeri sendiri.     
Umumnya orang tua Perancis lebih tertarik menyekolahkan anak mereka pada Grade Ecole, dari pada ke Universitas yang mana mahasiswanya kurang mantap penguasaan life skill mereka. Grande Ecole adalah semacam Sekolah Tinggi yang jelas arahnya setelah menamatkan pendidikan.
Ada beberapa Grande Ecole, seperti Ecole Polythechnique, Ecole National d’administration, dan Ecole Normal Superirur. Orang Perancis sadar betul bahwa pendidikan itu adalah investasi. Maka setiap orang punya semangat yang kuat dalam belajar di sekolah.
Kalau lagi dalam belajar, orang Perancis menganggap bahwa merekalagi sedang bekerja. Pas deranger moi, Je suis en travailler- mohon saya nggak diganggu soalnya neh lagi bekerja (lagi belajar).
Sekali lagi bahwa di sana, pendidikan dianggap sebagai investasi. Jadi semakin tinggi pendidikan seseorang semakin luas kemungkinan ia bisa bikin peluang kerja. Sebaliknya pendidikan kita cenderung berorientasi buat cari uang: “Saya ingin kuliah dokter, saya ingin kuliah di perminyakan karena masa depannya cerah dan lebih mudah buat mendapatkan uang”. Apakah fenomena betul atau salah, maka tentu andalah yang lebih tahu.   

Kamis, 16 Juli 2015

Minggu, 05 Juli 2015

Kebijakan Pendidikan Negara Maju Sebagai Cermin Untuk Mendongkrak Kualitas Pendidikan Indonesia



Kebijakan Pendidikan Negara Maju Sebagai Cermin Untuk Mendongkrak
Kualitas Pendidikan Indonesia
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Setiap tahun lembaga independen dunia tentang pendidikan selalu memonitor tentang kualitas SDM bangsa-bangsa di dunia. Selalu ada versi negara terbaiknya, seperti tahun lalu ada versi “The best top ten nations in education quality”. Sepuluh negara terbaik dalam kualitas pendidikannya yaitu: Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Perancis, Israel, Swedia, England, Korea Selatan, Jepang dan Kanada.
            Negera-negara tersebut bisa meraih predikat sebagai negara terbaik untuk kategori pendidikan karena kemajuan kualitas SDM masyarakatnya, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Kondisi ini terbentuk karena faktor budaya membaca mereka yang sangat kuat. Juga karena kualitas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan mereka yang sangat bagus. Kemudian, kaum perempuan mereka, sebagai pembentuk kualitas keluarga, juga sangat menentukan. Inilah komponen dasar untuk menilai kualitas pendidikan  bangsa-bangsa di dunia.
            Selanjutnya bagaimana keunggulan pendidikan pada masing-masing negara tersebut, kita akan sorot secara singkat satu per-satu:
1) Kanada, negara ini memiliki mutu pendidikan yang sangat bagus sejak jenjang Pra-Sekolah, SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Kualitas masyarakat dan kaum perempuan juga sangat bagus, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Sistem pendidikan dikontrol oleh setiap propinsi. Ekonominya sangat kuat dan semua industri sangat bersaing.
2) Jepang, memiliki mutu pendidikan yang sangat bagus sejak pendidikan Pra-Sekolah, SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Kualitas masyarakat dan kaum perempuannya sangat bagus, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Yang juga menonjol adalah adanya pusat pengembangan profesi guru. Kualitas sistem pendidikan disana sudah merata dan terkontrol sangat baik pada setiap propinsi.  
3) Korea Selatan, negara memiliki mutu pendidikan yang sangat bagus sejak pendidikan Pra-Sekolah, SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Kualitas masyarakat dan kaum perempuannya  sangat bagus, punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Lembaga pendidikan memiliki ekskul yang bagus sehingga melahirkan banyak atlit (untuk bidang olah raga) dan aktor/ aktris (dari ekskul seni/ musik). Ingat dengan prestasi gemilang Boy Band, Girl Band dan K-Pop adalah berawal dari ekskul pada bidang seni. Orang tua disana juga memberikan partisipasi yang bagus.
Bandingan dengan partisipasi orang tua di negara kita yang terkesan berlepas tangan, terkesan serba menyerahkan kualitas pendidikan anak pada sekolah semata. Mungkin karena orang tua di negara kita miskin dengan ilmu parenting.
Kegiatan self-study atau otodidak sudah sangat lazim di Korea Selatan. Bandingkan dengan negara kita untuk memacu seseorang prestasi hanya tergantung sebatas belajar pada “bimbel- bimbingan belajar buat akademik”, pada sanggar seni. Di rumah motivasi belajar mampir mencapai titik nol.
Untuk contoh bahwa peningkatan kualitas Olah Raga tergantung hanya selama Diklat saja, tidak ada Diklat ya tidak ada latihan. Panteslah kualitas olah raga kita selalu dilihat orang sebelah mata di dunia. Budaya kompetitif (bersaing untuk maju) juga tumbuh di Korea Selatan untuk memacu prestasi, terutama buat bidang akademik, olah raga dan seni.   
4) England, negara ini memiliki mutu pendidikan yang sangat bagus sejak pendidikan Pra-Sekolah, SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Kualitas masyarakat dan kaum perempuan mereka sangat bagus, punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Yang sangat menonjol adalah kemampuan membaca warganya yang kuat. Wajib belajar disana sampai usia 16 tahun dan banyak sekolah menerapkan full time study. 
5) Swedia, mengapa kualitas pendidikan negara ini terbaik di dunia ? Karena masyarakatnya punya program membaca. Teman saya dari Swedia (Ulla mo, Eva dan Gunni) mengatakan bahwa di kampung mereka ada “reading time” yang dilakukan oleh semua warga. Juga ada pusat belajar bagi orang dewasa, pendidikan bagi orang berkebutuhan khusus, dan masyarakat dengan semua tingkat status sosial ekonomi punya hak yang sama buat bersekolah dan wajib belajarnya selama 12 tahun- dengan praktek/ mutu  yang bagus.     
6) Israel merupakan negara baru dan selalu konflik dengan negara tetangganya namun kualitas pendidikannya sangat bagus di-dunia. Faktor penentu adalah kualitas lembaga pendidikan, kualitas masyarakat dan kaum perempuan yang sangat tinggi. Mereka memiliki tingkat akses ilmu pengetahuan yang bagus. Kemampuan membaca anak didik di tingkat SD, SLTP dan SLTA sangat tinggi. Kemudian adanya keunggulan dalam pendidikan seni dan sains.
7) Perancis, terkenal dengan pendidikan inklusifnya ke seluruh dunia. Lycee atau sekolah SMA-nya sudah berkualitas internasional. Maaf, tidak ibarat sekolah SMA RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Nasional) yang menjamur di seantaro tanah air sebelumnya. Namanya SMA RSBI tetapi pelaksanaanya, manajemen- kualitas guru- kualitas anak didik- dan perhatian orang- semua bertaraf lokal.
Tingkat mengakses ilmu pengetahuan seluruh masyarakat Perancis sangat bagus. Tingginya skor SDM pendidikan Perancis karena desain Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan yang berkualitas, juga mutu kaum perempuan dan masyarakat Perancis yang bagus. Mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang tinggi.        
8) Jerman, kualitas lembaga pendidikan di tingkat rendah hingga pendidikan tinggi sangat bagus. Kaum perempuan dan masyarakatnya memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas. Kekuatan Jerman dalam mendorong kualitas SDM adalah dalam mendesain Pendidikan Usia Dini. Aktifitas dan desain lembaga pendidikan ini sangat berkualitas. Yang menonjol buat pendidikan Pre-School ini adalah: kurikulum, aktifitas dan visinya jelas serta cukup akuntabel, kemudian pemerintah selalu mendorong dan memonitor kualitas minat baca masyarakat di seluruh Jerman.
Bandingkan dengan pendidikan Pre-School di negara kita yang hanya di daerah perkotaan saja yang mendapat perhatian. Dan nun jauh di berbagai pelosok anak anak pra sekolah memperoleh perlakuan dan perhatian yang rendah, intelektual mereka miskin rangsangan. Malah mereka kerap memperoleh bullying, diskriminasi, eksplotasi dan kekerasan dari lingkungan.   
9) Polandia, sempat ambruk mutu SDMnya saat di bawah rezim komunis, dan sekarang negara ini sudah bercorak negara Barat. Negara ini memperoleh capaian skor indeks SDM masyarakat yang bagus. Kaum perempuan dan lembaga pendidikannya berkualitas, juga karena adanya beberapa kebijakan positif pemerintah. Pemerintah mendesain “Pusat Belajar Buat Orang Dewasa” dan “High School Online”. Pemerintah selalu mengkampanyekan- mendorong dan memonitor- minat baca masyarakat.
Sekarang mari kita lihat keadaan di negara kita. Apakah ada fasilitas perpustakaan di setiap kota ? Kalaupun ada, apa cukup ramai dikunjungi masyarakat- wah tentu tidak. Kemudian perpustakaanya berkualitas ? Bagaimana dengan perpustakaan kampus, hingga perpustakaan sekolah di seantaro nusantara ini ? Nah inilah penyebab selalu terpuruk kualitas SDM kita, yakni minat baca masyarakat yang rendah.
10) Amerika Serikat, akses pendidikan di negara ini sudah merata. Ada 50 negara bagian di negara ini dan semua negara bagian ini telah memiliki kualitas pendidikan yang sangat bagus, tidak ada kesenjangan kualitas lagi. Komposisi ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang sangat hebat pendidikannya dan terbaik se-dunia.
Sangat berbeda dengan tanah air kita, bahwa dari 34 propinsi pada 5 pulau besar, maka yang bagus kualitas pendidikannya adalah pada daerah DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogjakarta dan Propinsi Bali. Sehingga Perguruan Tinggi di daerah ini diserbu oleh alumni SLTA se-Indonesia.      
Dari 10 negara terbaik pendidikannya, saya terkesan dengan kemajuan pendidikan Amerika Serikat, Jepang dan Perancis. Saya tertarik karena untuk Amerika Serikat adalah sebuah “Melting Pot” atau wadah besar sebagai tempat meleburnya berbagai ras, agama dan kebudayaan berbagai bangsa. Jepang, saya suka,karena orang-orangnya yang berkarakter serius dan bersungguh-sungguh. Saya suka dengan Perancis karena ia sebagai negara pelopor untuk “egalite, fraternite et liberte” atau persamaan, persaudaraan dan kebebasan hidup.
Pastilah kemajuan negara- negara tersebut tergantung pada kebijakan pendidikan warga negara mereka. Negara kita juga memiliki kebijakan pendidikan, dalam teori atau di atas kertas memang bagus, namun dalam applikasi memang kualitas pendidikan bangsa kita selalu rendah. Lebih detail tentang Amerika, Jepang dan Perancis sebagai paparan di bawah.
a) Amerika Serikat terkenal sebagai negara super power yang memang superior pada segala bidang. Yang mencolok adalah pada bidang pertahanan, tekhnologi dan ekonomi.
Indonesia dan Amerika Serikat adalah sama-sama negara berukuran besar dan penduduk yang padat. Di kedua negara ini sama-sama ada sekolah swasta dan sekolah publik. Bedanya adalah kalau di Indonesia sekolah swasta dianggap lebih rendah dibanding sekolah publik. Sementara kalau di Amerika sekolah swasta dianggap lebih tinggi dan lebih elit. Karena fasilitas dan proses pembelajaran di sekolah swastanya lebih bagus, ya ibarat belajar di Sekolah: Bali International School.    
Pendidikan kita hanya mengutamakan teori, guru sekedar mengejar target kurikulum dan sebagian guru kita kurang memahami gejolak-problem-yang ada dalam jiwa anak. Supervisi sekolah hanya sebatas mengotak-atik dokumen dan minus memahami kualitas performance seorang guru dalam keseharian. Meskipun sekolah Indonesia juga punya laboratorium, tetapi laboratorium hanya digunakan seperlunya saja, malah ada yang tidak menggunakannya sama sekali. Labor belum lagi menjadi tempat untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa.
Di sekolah Amerika Serikat rasa ingin tahun dan sikap ilmiah siswa dirangsang melalui gaya belajar “learning by doing- belajar dengan cara berbuat”. Pada pelajaran sains, lab-nya pasti ramai. Kalau di Indonesia hanya pada kelas dan sekolah unggul saja yang berfungsi lab tersebut.
Negara Amerika adalah negara sekuler, pendidikan agama diserahkan ke orang tua. Namun bukan berarti mereka tidak belajar tentang akhlak atau etiket. Kita di Indonesia memang belajar tentang etiket melalui Pendidikan Agama, namun hanya sebatas teori. Guru agama hanya berceramah dan berkhotbah dari depan kelas. Dan akhirnya siswa kita cenderung tidak kenal etiket bergaul yang ideal- coba lihat prilaku tawuran missal, bullying, kekerasan sesama remaja.
Di sekolah sana pendidikan budi pekerti dan etiket diberikan dalam bentuk kegiatan amal atau charity. Mereka beraktifitas untuk masyarakat yang dikelola oleh Osis dan guru/sekolah. Jadi mereka mengerti tentang etiket, bagaimana menghargai orang, menolong dan berbahasa yang sopan melalui praktek nyata. Sejak kecil secara langsung mereka telah tahu tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam masyarakat.
Sekolah dan rumah (karena orang tua mereka mengerti tentang parenting), mereka selalu memperkenalkan pada anak tentang: how to dine, telephone manner, on correspondence, be gracious pada orang lain.
Setiap anak harus diberi tahu bahwa shoes are important. Mereka tidak membiasakan anak untuk bertelanjang kaki, be open to the new food, tahu tentang bertanya yang baik, santun saat berada di meja makan, mereka musti bisa bersikap ramah dan mereka musti terbiasa mengucapkan thanks.
Cukup kontra dengan lingkungan kita. Masyarakat kita senang trendy, suka ikut-ikutan dan berkarakter konsumerisme. Mereka suka gonta ganti hp meski hanya sebatas bergaya dan itu adalah perilaku konsumtif. Memakai behel malah juga jadi trendy dan saya malah susah menemukan bule yang memakai behel di Indonesia.
Penyebab konsumerisme adalah dampak dari iklan. Ya pengaruh iklan…yang dengan parahnya sudah menyusup ke dalam rumah melalui media elektronik. Konsumerisme juga oleh dorongan peer- teman sebaya:
“Wah kamu kuno karena HP-nya tuh udah jadul banget”. Ya diledekin oleh teman sehingga telinga jadi merah rasa terbakar emosi.
Orang di sana juga suka konsumerisme, tetapi mereka bisa menahan diri karena mereka tahu dengan konsep yang jelas tentang keuangan. Kemudian tentang remaja, bahwa remaja kita yang lagi sekolah dan kuliah banyak yang bergantung pada kucuran uang orang tua. Dan tidak memuji berlebihan pada anak Amerika, bahwa mereka terbiasa berlatih mencari uang sendiri dengan bekerja pada restoran, jadi cashier, cuci piring, bus-boy, ya mereka nggak gengsi-gengsian yang berlebihan dan merasa sok elite.
b) Jepang, konsep pendidikannya adalah berdasarkan moral atau akhlak. Ternyata konsep akhlaknya juga sesuai dengan ajaran Islam, karena akhlak yang baik sifatnya sangat universal. Di awal tahun pembelajaran, orang tua diundang ke sekolah. Mereka diajak ke dalam kelas buat melihat langsung praktek pendidikan anak mereka.
Semua mata pelajaran di sekolah Jepang juga berdasarkan moral. Sejak dari usia dini dan di SD mereka sudah diajar untuk punya rasa malu, dan punya harga diri. Mereka bukan diajar bersekolah untuk bisa berlomba menjadi kaya.
Ada 4 bentuk dari harga diri yaitu: regarding self, menghargai orang lain- relation to other, menghargai lingkungan dan keindahan- relation to nature and sublime, dan menghargai komunikasi dan kelompok- relation to group and society. Setiap anak sekolah harus memahami dan mempraktekan konsep ini dan sehingga orang Jepang jadi suka saling menghagai.
Guru/ sekolah juga menugaskan agar anak di rumah diberi tugas untuk menyikat WC, menyapu, mengepel lantai, jadi bukan harus dibebaskan- tidak terlibat- untuk ikut merapikan rumah. Mereka diajakan untuk tahu arti bertanggung jawab, bukan diajar buat bersenang- senang atau menjadi tuan besar. Ya akibatnya anak jadi menghargai orang lain dan hidup bersahaja, bukan hidup dengan tinggi hati.
Anak-anak Jepang tidak ada yang membawa HP ke sekolah. Mereka tidak terbiasa berbicara tentang materi, karena itu adalah memalukan dan dianggap rendah di sana.
Di sekolah anak Jepang juga punya jadwal piket. Juga membersihkan kelas, lantai menyikat WC dan memilih sampah- kalau ada. Mereka makan siang di sekolah dan saling melayani teman- teman mereka. Setelah makan langsung ruangan dirapikan kembali. Praktek pendidikan seperti ini berlaku untuk semua sekolah, bukan hanya berlaku di sekolah unggul saja.
Anak Jepang tidak boleh memakai kendaraan. Itu untuk alasan keselamatan juga untuk kebersihan udara dan lingkungan. Dan Jepang sebagai negara modern tetap memberikan pelajaran Home Economy, dimana anak-anak diajar melakukan simple cooking dan sewing. Bagaimana dengan sekolah negara kita, ya buru-buru menghapus pelajaran life skill ini, hingga anak-anak kita tidak tahu cara memasak dan menjahit, paling kurang membetulkan kancing baju yang sudah terlepas. Seharusnya ahli pendidik kita kembali membetulkan praktek pengajaran yang salah itu lagi.
Dalam PBM- dalam kelas- anak tidak duduk berderet. Mereka duduk dalam grup kecil. Dalam kegiatan tahunan, sekolah melakukan acara jalan-jalan ke object bersejarah, ke festival dan bereksplorasi. Melakukan kegiatan ini untuk beberapa hari dan setelah itu membuat project- laporan perjalanna.
Kegiatan ekskul juga harus diikuti oleh semua siswa. Dan ada beberapa klub ekskul pilihan seperti sport team, music, art group, dan science club. Club sport yang mereka ikuti, mereka ikuti dengan serius sehingga melalui ekskul ini bermunculan para atlit kelas nasional dan kelas internasional.
c) Perancis, bumi diberi Perancis juga bisa disebut dengan bumi Air-Bus, karena pesawat udara Air Bus dibuat di negara ini. Orang Perancis sangat patriotik dengan negara dan bangsa mereka. Mereka hanya menggunakan bahasa Perancis dan suka menggunakan produk Perancis. Film Hollywood dan lagu dari Korea Pop tidak begitu terkenal di sana.
Beda dengan orang di Malaysia yang senang dan bangga memakai bahasa bangsa penjajah, sehingga kemampuan bahasa Malaysia mereka terabaikan. Demikian juga dengan sikap orang kita yang gemar mengkonsumsi produk asing dan label asing ketimbang produk dan label dari dalam negeri sendiri.      
Umumnya orang tua Perancis lebih tertarik menyekolahkan anak mereka pada Grade Ecole, dari pada ke Universitas yang mana mahasiswanya kurang mantap penguasaan life skill mereka. Grande Ecole adalah semacam Sekolah Tinggi yang jelas arahnya setelah menamatkan pendidikan.
Ada beberapa Grande Ecole, seperti Ecole Polythechnique, Ecole National d’administration, dan Ecole Normal Superirur. Orang Perancis sadar betul bahwa pendidikan itu adalah investasi. Maka setiap orang punya semangat yang kuat dalam belajar di sekolah.
Kalau lagi dalam belajar, orang Perancis menganggap bahwa merekalagi sedang bekerja. Pas deranger moi, Je suis en travailler- mohon saya nggak diganggu soalnya neh lagi bekerja (lagi belajar).
Sekali lagi bahwa di sana, pendidikan dianggap sebagai investasi. Jadi semakin tinggi pendidikan seseorang semakin luas kemungkinan ia bisa bikin peluang kerja. Sebaliknya pendidikan kita cenderung berorientasi buat cari uang:
“Saya ingin kuliah dokter, saya ingin kuliah di perminyakan karena masa depannya cerah dan lebih mudah buat mendapatkan uang”. Apakah fenomena betul atau salah, maka tentu andalah yang lebih tahu.
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com).

Kamis, 02 Juli 2015

Ternyata Generasi Emas Itu Suka Meremehkan Tanah Air, Memuja Olah Raga Eropa dan Musik Korea Sangat Berlebihan


Ternyata Generasi Emas Itu Suka Meremehkan Tanah Air,
 Memuja Olah Raga Eropa dan Musik Korea Sangat Berlebihan
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Saya merasa sangat beruntung bisa berjumpa langsung dengan Prof. Dr. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kepemimpinan Presiden SBY. Kami para guru-guru berprestasi Indonesia memperoleh wejangan tentang rencana Pemerintah, melalui Kementrian P dan K untuk melahirkan generasi emas sebagai kado bagi hari Ulang Tahun Kemerdekaan  Republik Indonesia di tahun 2045 kelak.
            Menteri mengatakan bahwa saat itu bangsa kita akan menjadi bangsa yang sangat maju karena keberadaan Generasi Emas tersebut. Dikatakan bahwa antara tahun 2012 hingga 2045, kita menanam generasi emas tersebut. Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah usia penduduk produktif paling tinggi antara masa anak-anak dan orang tua. Generasi emas ini akan siap mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan akan menduduki posisi berkualitas setara dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.  
“Bagaimana cara melahirkan generasi emas ini ?”
Pemerintah telah menyiapkan grand-design pendidikan. Pendidikan anak usia dini digencarkan dengan gerakan PAUDisasi. Kemudian pembangunan dan rehabilitas sekolah dan ruang kelas baru secara besar-besaran. Aka nada intervensi khusus untuk meningkatkan Angka Partisipasi Khusus  (APK) siswa SMA dan minimal para pekerja kita adalah lulus SMA.
Kementrian P dan K akan mencanangkan gerakan PAUDisasi- pelayanan pemberian  pendidikan buat anak-anak usia dini, usia seputar 4 dan 5 tahun. Buat mereka- anak TK dan PAUD, diberikan pendidikan yang ramah anak. Di dalamnya terdapat penghargaan terhadap hak-hak anak, yaitu hak untuk memperoleh pendidikan berkualitas, hak buat dihargai dan untuk memperoleh lingkungan bebas dari kekerasan, eksplotasi dan diskriminasi.
Wah grand design yang sungguh hebat yang sangat tulus dari pemerintah lewat Kementrian P dan K. Namun apakah ini bisa benar- benar terwujud ? Memang andai kata negara ini luasnya sama dengan negara Singapura- negara paling mungil di Asia Tenggara dan  negara yang rajin reklamasi untuk memperluas negaranya, memiliki luas sekitar 637 km2, ya sedikit di bawah Jakarta- tentu saja kita mungkin bisa terwujud dalam hitungan semester saja.
Atau andai tanah air ini luasnya sama dengan Malaysia mungkin bisa terwujud dalam hitungan tahun. Tetapi luas tanah air ini sama dengan benua Eropa atau negara benua Australia dan penduduknya beriringan banyak dengan penduduk Amerika Serikat dan Russia. Sementara itu persoalan way of life dan kultur manusia Indonesia ini sangat multi kompleks.
Jadi harapan untuk memperoleh generasi emas seperti yang dicanangkan oleh Prof. Dr Muhammad Nuh sungguh mulia, namun dalam realita tidak semudah membalik telapak tangan. Andai para petinggi negara ini sering-sering blusukan ke bawah, tidak hanya blusukan sebatas di kota Jakarta saja akan terpantau bagaimana cara untuk merealisasikan mimpi tersebut.
Apa bisa mewujudkan generasi emas dalam kurun waktu 30 tahun terjadi, kalau orang tua dan masyarakat Indonesia pada umumnya terbiasa berlepas tangan dalam mendidik anak ?. Kalau sudah ada generasi muda yang terlihat cerdas namun mereka mengadopsi gaya hidup ingin senang- mereka bermental hedonis dan ingin hidup jalan pintas.
Kemudian cobalah para Petinggi Negara pergi blusukan ke daerah yang jauh akan dijumpai sekolah PAUD dan TK yang sangat tidak layak. Belajar di sebuah ruangan reot, kursi dan meja tidak layak pakai dan diajar oleh guru PAUD dengan wajah lesu karena honor mereka susah turun, kalaupun turun hanya bisa untuk menghidupi diri selama 3 hari. Sehingga suasana belajar PAUD dan TK tersebut sangat sepi dan jauh dari keceriaanya dunia anak-anak.
Bapak Muhammad Nuh mengatakan bahwa untuk mewujudkan generasi emas akan dilakukan pembangunan dan rehabilitas sekolah dan ruangan kelas baru secara besar-besaran. Sekarang pun ini sudah dilakukan, namun gedung-gedung pendidikan yang dibangun sangat sarat dengan mark-up- penggelembungan harga dan mentalitas korupsi.
Coba perhatian pada pembangunan ruangan sekolah yang baru. Setelah beberapa waktu kemudian, pintunya akan lepas, penggantung jendela akan copot dan di sana-sini ada- ada saja yang terkelupas. Sungguh untuk menumbuhkan generasi emas diperlukan masyarakat yang juga berhati dan berfikiran emas- bukan berhati yang gemar korupsi dan mencari komisi.
Untuk mendapatkan generasi emas juga dibutuhkan orang tua yang bertangan emas dan kenal dengan ilmu parenting agar tahu bagaimana menjadi orang tua yang punya peran yang benar. Sehingga mereka bisa membimbing putra putri mereka. Namun yang kerap terjadi adalah ‘Fail Parenting- atau orang tua yang gagal”.
Ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua yang berakibat terjadinya fail parenting. Bentuk fail parenting ini adalah: menghukum tanpa mengajarkan contoh yang seharusnya, orang tidak mengontrol ucapan yang dilontarkan pada anak, orang terbiasa banyak mengkritik dan bukan mendukung, juga sering orang tua tidak melibatkan anak dalam aktifitas keluarga di rumah.
Deskripsi atas beberapa kesalahan dalam mendidik anak atau fail perenting ini (http://lifestyle.okezone.com/read) adalah sebagai berikut:
1) Menghukum tanpa mengajarkan
Banyak orangtua yang memberi kebebasan kepada anak dengan syarat harus bertanggungjawab. Misal, orangtua memberi anak kamar pribadi agar anak memiliki privasi dan bebas melakukan yang mereka inginkan. Tapi, orangtua hanya menuntut anak merapikan kamar tanpa mengajarkan bagaimana cara merapikannya. Dan ketika orangtua mendapati kamar berantakan mereka menghukum dengan cara memarahi anak. Dalam kasus ini, anak tidak akan merasa bahagia dan dicintai walau mendapat fasilitas dari orang tuanya.
2) Tidak mengontrol ucapan
Orangtua sering banyak bicara dalam memerintah anak. Akan tetapi, kemampuan anak dalam menerima pesan cukup terbatas. Mereka hanya bisa menerima pesan pendek, selebihnya pesan orangtua justru terabaikan. Orangtua lebih baik menahan ucapan mereka yang hanya terbuang sia-sia.
3) Banyak mengkritik bukan mendukung
Percayalah, anak akan lebih merasa bahagia ketika mereka menerima dukungan dari orangtua, bukan mengkritik. Sebab anak belum memahami apa arti kritikan  seperti orang dewasa mengartikannya.
4) Tidak melibatkan anak
Alih-alih orang tua tidak ingin pekerjaan membereskan rumah mereka menjadi kacau karena keterlibatan anak, maka orangtua melarang anak ikut membantu. Seharusnya gunakan hati nurani mereka sebagai orangtua dan mengalah demi anak. Biarkan anak ikut serta membereskan rumah walaupun pekerjaan menjadi kacau atau memakan waktu lebih lama. Jangan biarkan anak merasa kecewa dan merasa tidak dicintai karena sikap orangtuanya.
Jauh sebelum Prof Dr Muhammad Nuh mengungkapkan gagasan untuk melahirkan generasi emas, telah ada gagasan kea rah itu. Pemerintah, masyarakat dan stake-holder (pengambil kebijakan) merancang program sekolah unggulan, sekolah model, sekolah percontohan, sekolah perintis. Dan masyarakat menyerbu sekolah berlabel.
Putra putri mereka memang tekun belajar dalam menuntut ilmu agar menjadi generasi emas. Terkesan mereka semua ingin menjadi intelektual dengan melahap semua pelajaran yang terlibat dalam UN- Ujian Nasional seperti. Skor UN harus tinggi agar bisa menyerbu jurusan favorite ddi Universitas bergengsi agar nanti bisa hidup senang dan kaya raya.
Impian yang begitu praktis hanya dengan sekedar mengejar skor UN yang tinggi, kapan perlu dikebut dengan metode belajar yang memang hebat di tempat Bimbel eksklusif yang berharga mahal. Beberapa semester setelah itu memang banyak yang mampu kuliah di Perguruan Tinggi favorite dan jurusan basah. Namun coba lihat setelah itu setelah mereka menjasi sarjana, apa memang mereka sukses, mendapat pekerjaan seperti yang mereka impikan dan menjadi kaya raya sementara mereka sendiri miskin dengan life skill dan makna menjalani kehidupan yang semestinya.  
Pendidikan unggul yang buat sementara dengan tujuan menciptakan generasi emas adalah dengan favoritekan nilai akademik, menganggap mata pelajaran UN itu adalah raja dan segala- galanya. Fenomena begitu bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada fenomena industry olah raga di Eropa dan industry music di Korea Selatan.
Saat anak-anak kita belajar dan hidup hanya sekedar membahas pelajaran UN, dan masa bodoh dengan hal lain, termasuk juga tidak begitu mengidolakan mata pelajaran olah raga, sehingga tubuh mereka jauh dari kesan atletik dan tidak menyukai pelajaran kesenian, tidak tahu bermain music kecuali memuja-muja produk music orang.
“Ya memang benar bahwa Generasi Emas kita adalah penggemar music bangsa lain, terutama K-Pop, dan juga penggagum berat prestasi sepak bola bangsa Eropa”.
Di Eropa dan juga di Korea Selatan, mata pelajaran UN bagi kita seperti Matematika fdan mata pelajaran Sains, atau mata pelajaran social yang diunggulkan sudah dianggap biasa-biasa saja. Mereka, terutama pemerintah, selalu mendorong untuk membentuk event Olah Raga dan Seni: lagu dan music, sehingga berkembang dan sangat bergairah. Kini prestasi Olah Raga Eropa, dengan munculnya klub-klub bola bergengsi, dan kebijakan pemerintah Korea Selatan untuk menjadi seni menjadi industry telah menghasilkan industry sepak bola dan music Korea Pop yang sangat menggoncang dunia. Sehingga Generasi Emas juga ikut ikutan mengagumi dan mengidolaka mereka. Malah merasa malu dan gengsi dengan seni dan olah raga yang ada di negara mereka sendiri.
Liga-liga sepakbola Eropa selalu menjadi daya tarik bagi pesepak bola dari berbagai belahan dunia (https://mercusuarku.wordpress.com), karena menjanjikan kebesaran nama dan tentunya penghasilan yang bisa melimpah ruah. Seorang bintang bahkan dapat mencapai nilai transfer trilyunan rupiah. Ya, sepakbola telah menjadi sebuah industri hiburan – dan menempatkan para pemain bintang menjadi selebritis. Keberhasilan Eropa membuat sepakbola  menjadi ladang uang mengubah wajah cabang olah raga ini di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Kita mungkin termasuk orang yang pesimis dengan perkembangan sepakbola nasional kita sendiri. Bayangkan, bangsa sebesar ini, dengan kesebelasan nasional dan team lokal yang pernah sanggup berbicara di pentas Asia (paling tidak), sekarang berada di titik nadir yang memilukan. Pemain asing yang didatangkan memang meramaikan persepakbolaan nasional – sebagai industri hiburan – namun tak kunjung mengangkat potensi pemain lokal menjadi kompetensi. Buktinya, dalam segala event internasional belakangan ini, team Indonesia selalu terpuruk.
“Karena mental berlatih dan bekerja keras dan juga semangat otodidak para atlit dan generasi muda memang sangat lemah. Pemerintah dan masyarakat mengagung-agungkan nilai akademik putra-putri mereka dan hanya berbasabasi saja untuk melahirkan pelajar untuk menjadi atlit kelas dunia, karena nilai otot/ keterampilan gerak otot masih dianggap sebagai prioritas kelas dua.
APA YANG HILANG dari pemain sepakbola kita? Kecerdasan, motivasi, nasionalisme, atau apa? Kenapa mereka sepertinya tidak malu selalu kalah? Hingga bisa ditebak – kalau tidak ada berita di televisi berarti kalah, tapi kalau menang pasti heboh. Atlit-atlit kita di masa lalu tidak diguyur dengan nilai gaji yang menggiurkan, tetapi dinding mereka kaya dengan medali, piagam penghargaan, dan foto kejuaraan. Bagaimana dengan atlit Indonesia sekarang?
Barangkali remaja Korea Selatan, tidak tergila gila lagi dengan mata pelajaran sains- tetapi dengan mata pelajaran kesenian: nyanyi dan  usik karena pemerintah mereka mendorong dan memberi reward muncul industri seni: nyanyi dan  usik K-Pop yang menggoncang dunia (http://korgpa5.blogspot.com/2013/10/anak-muda-lebih-suka-budaya-korea.html).
Perkembangan musik K-POP ke dunia In ternasional jelas sangat berpengaruh terhadap segala aspek permusikannya. Mulai dari jenis musiknya, packaging nya, gaya dance membawakannya dan masih banyak lagi. Demam K-Pop sepertinya mampu membuat banyak remaja Indonesia Ingin sekali bisa mengenal artis Korea idolanya lebih dekat lagi. Tak heran jika di Indonesia sendiri kita menemukan para K-Popers gemar meniru apapun yang sudah menjadi trand mark artis- artis Korea. Entah itu soal gaya bernyanyi, dance, hingga fashion yang mereka bawakan. Hingga banyak tabloid remaja yang mengulas soal profil mereka. Uniknya lagi para penggemar K-Pop pun kerap meniru gaya nge dance dan bernyanyi boyband dan girls band asal Korea tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa perkembangan musik K-POP ke Indonesia pada khususnya sangat mempengaruhi selera musik bangsa kita sendiri.
Tentu saja lewat mencintai budaya music Korea yang berlebihan memberi dampak negate pada budaya sendiri. Yaitu seperti:
1. Mengurangi rasa cinta terhadap musik Indonesia.
2. Musik asli Indonesia lama kelamaan akan hilang.
3. Membuat pergeseran budaya lokal.
4. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya KPOP yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
5. Tercampurnya kebudayaan dalam negeri dengan kebudayaan luar, khususnya permusikan itu sendiri.
Tidak ada yang salah kalau olah raga Eropa, seperti Sepakbola, dan budaya KPOP dari Korea juga ikut membuat generasi emas kita juga tergila gila, hingga hampir lupa atau telah melupakan identitas bangsa mereka sendiri. Kenapa tidak seorang anak Indonesia akan merasa bangga memakai baju kaos murahan asal di punggung mereka ada label “Club Sepak Bola Juventus”, dan merasa sangat malu memakai baju kaos berharga satu juta perak namun ada label “Club Sepakbola Nusantara”.
Memang banyak penyebabnya dan tidak dapat kita salahkan kalau “Ternyata Generasi Emas Itu Suka Meremehkan Tanah Air, Memuja Olah Raga Eropa dan Musik Korea Sangat Berlebihan. Penyebanya seperti:
1) Media lokal lebih banyak menayangkan budaya global yang lebih modern dan lebih menarik tanpa memperdulikan budaya lokal.
2) Tidak ada pembaharuan pada budaya lokal seperti pengemasan dalam pentas, sehingga banyak masyarakat yang bosan dengan budayanya sendiri.
3) Media hanya memperhitungkan bisnis semata demi mendapatkan untung yang besar tanpa melihat faktor budaya tulent.
4) Tidak ada kebijakan pemerintah terhadap media baik elektronik maupun non elektronik berkaitan dengan penayangan budaya lokal itu sendiri.
5) Dan terakhir, kegasalahan parenting kita dan juga kebijakan pendidikan yang mendorong generasi muda hanya menomorsatukan nilai akademik, dan memfasilasi nilai kehidupan social dan life skill sebagai prioritas belakang. Disamping mental “Man Jadda Wa Jadda kita semua memang sangat lemah”.  
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat I Guru Berprestasi Nasional. Email: marjohanusman@yahoo.com)



   

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...