Rabu, 07 Oktober 2015

Home Schooling Sebagai Alternatif buat Sukses



Home Schooling Sebagai Alternatif buat Sukses
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Untuk bisa menjadi cerdas setiap orang perlu belajar. Belajar itu penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ada dua jenis cara belajar yaitu belajar dengan bimbingan dan belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bimbingan atau belajar sendiri (Self Learning).
Sebetulnya self learning telah dilaksanakan oleh setiap orang dalam kehidupannya. Saat usia kecil, dengan gigih sebagai bentuk naluri kecerdasan ia berlatih untuk belajar berjalan secara mandiri. Kelak setelah agak besar jugabelajar sendiri untuk menyuap nasi, memasang pakaian, hingga belajar sepeda. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk belajar secara mandiri akan tumbuh menjadi lebih cerdas melalui pribadi yang mandiri.
Konsep belajar mandiri yang kerap kita lakukan baru sebatas menguasai keterampilan atau kecakapan hidup harian seperti belajar bersepeda, belajar main layang-layang, belajar berenang. Sementara kecakapan hidup yang lebih spesifik, sebagaimana yang dilakukan oleh Titik Puspa yang menjadi penulis syair lagu dan penyanyi tanpa melalui universitas. Gayatri (almarhumah) seorang siswa dari Ambon yang menguasai 14 bahasa dunia, Haji Agus Salim, pahlawan nasional, yang menguasai 9 bahasa asing, politik dan ilmu sosial budaya tanpa pergi ke perguruan tinggi. 
Self learning akhirnya juga menjadi sebuah teori pembelajaran yaitu “automous learning”. Autonomous learning adalah pembelajaran yang menitik beratkan pada aktivitas peserta didik, baik secara individual maupun kelompok dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam memilih substansi yang akan dipelajari. Sinonim dari “self learning  adalah otodidak (autodidact).
Otodidak berasal dari bahasa Yunani yaitu autodidaktos yang artinya belajar sendiri. Istilah self learning tentu saja istilah dalam Bahasa Inggris, sementara istilah otodidak lebih kita kenal di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh hebat Indonesia, yang jadi hebat melalui otodidak. Orang otodidak tidak membutuhkan figur seorang guru atau pembimbing untuk mempelajari satu hal. Tanpa bantuan dari orang lain seseorang yang belajar secara otodidak mampu mempelajari hal-hal dasar dari ilmu yang sedang mereka pelajari.
Orang yang sukses karena otodidak dikagumi karena mereka mampu mempelajari sesuatu dengan baik dan dibarengi oleh prakteknya, sebagian dari mereka mampu mengungguli kemampuan orang yang belajar ilmu yang sama dengan cara dibimbing. Misal, seorang jago music yang pintar karena otodidak dan jago musik karena belajar melalui kuliah.
Sang otodidak jago dalam praktek, sementara yang jago lewat universitas hanya tahu dengan teori, dan kualitas musiknya sering tidak begitu menarik. Bidang yang paling banyak dihuni sama orang-orang otodidak ini adalah bidang seni, sastra, kerajinan tangan, pokoknya bidang-bidang yang menghasilkan sebuah karya seperti bermusik dan akting juga termasuk.
Sekarang istilah “home schooling” lebih dikenal luas dari pada otodidak atau self learning. Home schooling menurut Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki) adalah metode pendidikan alternatif yang dilakukan di rumah, dibawah pengarahan orangtua atau tutor pendamping, dan tidak dilaksanakan di tempat formal lainnya seperti di sekolah negeri, sekolah swasta, atau di institusi pendidikan lainnya dengan model kegiatan belajar terstruktur dan kolektif.
Home-schooling bukanlah lembaga pendidikan, bukan juga bimbingan belajar yang dilaksanakan di sebuah lembaga. Tetapi home-schooling adalah model pembelajaran di rumah dengan orang tua sebagai guru utama dan bisa juga mendatangkan guru pendamping atau tutor untuk datang ke rumah. home-schooling juga bukan berarti kegiatannya selalu dilaksanakan di rumah, siswa dapat belajar di alam bebas baik di laboratorium, perpustakaan, museum, tempat wisata, dan lingkungan sekitarnya. Tetapi inti dari home-schooling tetap yaitu model pendidikan yang dilaksanakan di rumah dengan orang tua sebagai guru utama.
Para orangtua memiliki sejumlah alasan yang membuat mereka memilih model pendidikan home-schooling untuk anak-anak mereka. Tiga alasan yang kebanyakan dipilih oleh orangtua di Amerika Serikat adalah masalah mengenai lingkungan sekolah, untuk lebih menekankan pengajaran agama atau moral, dan ketidaksetujuan dengan pengajaran akademik di sekolah negeri atau sekolah swasta.
Home-schooling tidak hanya ditujukan buat anak- anak, malah juga bisa dilakukan oleh remaja dan orang-orang dewasa. Atau dilakukan oleh seseorang sejak dari usia yang sangat muda, terutama di masa lalu. Di masa lalu sekolah belum dianggap orang sebagai satu-satunya opsi pendidikan untuk anak-anak. Di masa lalu sekolah tidak wajib, orang tua masih sadar sepenuhnya bahwa bersekolah adalah pilihan, bukan kewajiban. Orang tua masa lalu masih sadar bahwa belajar tidak harus di sekolah karena mereka masih sadar dunia di luar tembok sekolah tidak selebar daun kelor.
Zaman sekarang home-schooling dianggap sebagai pendidikan alternatif yang tidak efektif, kurang sosialisasi, dan sebagainya. Apakah betul tanpa sekolah, anak-anak tidak mungkin sukses? Sejarah membuktikan bahwa tanpa memilih sekolah pun, jika orang tua memfokuskan memfasilitasi pendidikan pada kelebihan anak-anaknya, sukses tidak akan berada jauh dari anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan juga dari mereka yang tidak cocok dengan pengkondisian di sekolah.
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home-schooling. Cukup banyak tokoh-tokoh dunia dari berbagai bidang seperti penulis, penemu, fotografer, penyair, composer (penulis lagu) hingga Presiden belajar secara home-schooling atau otodidak untuk bidang yang mereka minati. Jumlah mereka sangat bayak, beberapa di antaranya adalah seperti:
1). Penulis yaitu Agatha Christie dan Laura Ingalls. Agatha Christie (1890-1976), penulis novel dengan nuansa detektif. Novelnya cukup laris sepanjang masa. Figure novelnya adalah Hercule Poirot dan Miss Marple. Waktu kecil dia sangat pemalu sehingga ibunya memutuskan mendidiknya sendiri di rumah meskipun kedua saudara kandungnya disekolahkan di sekolah swasta. Keputusan ibunya tersebut terbukti tepat karena anak pemalu itu tumbuh menjadi penulis yang terkenal melewati masa hidupnya.
Laura Ingalls Wilder (1867-1957) adalah penulis bacaan anak dan guru dari Amerika. Penulis menonton filmnya berdasarkan novelnys ysng berjudul “Little House on the Prairie”. Ia tidak bersekolah sampai keluarganya menetap di Daerah Teritori Dakota- Amerika Serikat. Ia sendiri menjadi guru sekolah ketika usianya baru 15 tahun. Buku-bukunya yang menceritakan kehidupan sehari-hari keluarga pionir di masa itu sangat terkenal hingga saat ini, membuktikan kesuksesan pendidikannya ber-home-schooling.
2). Penemu yaitu Alexander Graham Bell dan Thomas AlvaEdison. Alexander Graham Bell (1847-1922, penemu dan pendidik dari Amerika kelahiran Skotlandia, penemu telepon (1876) ). Ibunya mendedikasikan hidupnya untuk mendidiknya tanpa sekolah sampai sang ibu kehilangan pendengaran. Ibunya mengilhami dia untuk meneliti bunyi dan suara.
Thomas Alva Edison (1847-1931, penemu bola lampu dari Amerika). Dianggap bodoh dan selalu melamun oleh guru sekolahnya sehingga ibunya menarik dia keluar setelah hanya tiga bulan. Pada masa kini Edison mungkin didiagnosis mengidap ADD (Attention Deficit Disorder). Ibu Edison bukan jenius dan bisa dibayangkan bahwa sebentar saja kecerdasannya telah terlampaui oleh anaknya. Namun kelebihan home-schooling adalah keluwesannya sehingga Edison tumbuh menjadi penemu besar.
3). Fotografer yaitu Ansel Easton Adams (1902-84) dari Amerika, pionir dalam penelitian teknologi dan teori. Belajarnya hanya lewat homeschool dengan ayahnya setelah usia 12 tahun karena dia tidak bisa diam dan pernah menghina gurunya. Didikan ayahnya tidak sia-sia karena ia menjadi fotografer berbakat dan terkenal.
4) Penyair yaitu Robert Lee Frost (1874-1963), seorang penulis puisi Amerika, karyanya A Boy’s Will- Suatu Keinginan Anak Laki-Laki (1913). Ia tidak tertarik dengan sekolah dan sampai-sampai selalu merasa  sakit kalau harus pergi ke sekolah. Untung dia belajar lewat home-schooling, tidak dipaksa sekolah. Kalau sekolah terus, mungkin dia jadi ‘biasa-biasa saja’, tertekan jiwanya, dan dunia tidak bisa menikmati puisi-puisinya.
5). Komposer yaitu Wolfgang Amadeus Mozart. Seorang komposer Austria, penulis lebih dari 40 simfoni, hampir 30 konserto piano, lebih dari 20 string kwartet, dan 16 opera, termasuk opera Perkawinan Figaro (1786), Don Giovanni (1787), Cosi fan tutte (1790), The Magic Flute (1791). Bayangkan kalau Mozart masuk sekolah, dunia akan kehilangan begitu banyak karya-karya musik brilian yang ditulisnya semasa kecil.
6). Presiden yaitu Woodrow Wilson, presiden ke-28 AS (1913-21). Ia juga pelopor berdirinya PBB, penerima Nobel perdamaian (1919). Ia belajar lewat home-schooling dan diajar sendiri oleh ayahnya. Dia tidak bisa membaca sampai usia 12. Namun ketika dewasa ia meneruskan pendidikannya di Universitas Princeton, dan selanjutnya ia aktif dalam bidang politik hingga bisa menjadi Presiden.
Dewasa ini belajar melalui jalur formal sudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun kualitas pendidikan melalui pendidikan formal sering  kurang kurang memberi dampak pada rasa sukses. Juga melihat realita bahwa cukup banyak orang yang berkarir tidak sesuai dengan ijazah kuliah yang ia peroleh. Ijazahnya adalah sebagai sarjana tekhnik namun bekerja sebagai pegawai bank. Atau ijazahnya sebagai sarjana Hubungan Internasional dan karirnya adalah dalam bidang kuliner.
Untuk mendukung kesuksesan maka dianjurkan agar yang tertarik untuk melakukan home schooling, misal dalam bidang olah raga, mungkin ingin menjadi atlit badminton, atlit renang, atau atlit catur yang professional. Home-school yang lain adalah mungkin ingin menjadi seorang penulis, seorang penceramah/ motivator, pemain music seperti biola, piano atau penggubah lagu. Karena home schooling dalam bidang ini bisamembuat seseorang lebih cepat sukses dan melengkapi kualitas pribadinya melalui pendidikan formal.
Siapa saja bisa melakukan home schooling untuk meningkatkan kualitas diri atau sebagai alternative belajar buat sukses. Maka mereka musti melakukannya dengan sungguh-sungguh.  Tip-tip agar sukses untuk home-schooling meliputi konsisten, target, pengumpulan materi/ buku-buku, manajemen waktu, uji coba/ latihan, dan membuat kelompok belajar.
1). Konsisten, yaitu tingkat konsistensi yang tinggi. Ini sangat berpengaruh pada hasil pembelajaran yang akan kita dapatkan.
2). Target, yaitu sebelum belajar, alangkah baiknya kalau kita menentukan terlebih dahulu target apa yang akan kita capai dan jadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk kita. Dengan adanya target, pembelajaran maka insyaallah kita akan lebih terarah.
3) Pengumpulan materi atau buku-buku, yaitu kita tentu membutuhkan bahan untuk home-schooling berupa buku-buku, kliping dari Koran dan majalah. Atau malah mendownload beberapa e-book yang menurut kita bagus dari internet. Setelah itu, kita focus untuk mempelajarinya. Misalnya pengalaman saya pribadi dalam home schooling untuk belajar Bahasa Perancis dan dalam menulis artikel dan buku-buku hingga bisa diterbitkan.
4). Manajemen waktu, ini berguna untuk lebih mengorganisir dan mengoptimalkan pembelajaran, perlu sekiranya dibuat jadwal belajar secara berkala dan jangan sampai proses pembelajaran terputus begitu saja ditengah jalan.
5) Uji coba atau latihan, tentu saja dalam belajar otodidak dalam home-schooling, kita memerlukan latihan-latihan. Dalam mendalami bidang olah raga atau music kita juga butuh latihan yang sering dan porsi yang besar. Tentunya kita tidak akan berhasil begitu saja dalam satu kali percobaan. Kita tentu mengalami banyak sekali kegagalan, namun dari sanalah secara tidak sadar ilmu Anda akan semakin bertambah.
6). Membuat kelompok belajar, kalau boleh kita mencari teman-teman yang seide untuk saling belajar bersama. Sebenarnya pembuatan kelompok belajar tidak begitu diharuskan, namun tidak ada salahnya kita juga mengajak teman lain untuk juga meningkatkan kualitas diri.
Home-schooling sangat cocok dengan ajakan agama kita (agama Islam) agar kita senantiasa belajara dalam hidup ini. Motivasi dalam afama kita yang berbunyi “tuntutlah ilmu dari ayunan hingga sampai ke liang lahat”. Juga seruan Unesco- sebuah badan pendidikan PBB agar warga dunia senantiasa melakukan prinsip “long life education atau belajar sepanjang hidup”. Home schooling juga akan berguna bagi kita sebagai alternatif untuk menuju sukses.

Jangan Memaksa Anak Menguasai Semua Bidang Studi



Jangan Memaksa Anak  Menguasai Semua Bidang Studi
(Bisa Menghancurkan Kreatifitasnya)
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SM Negeri 3 Batusangar

Judul artikel ini adalah “Tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua dan lembaga pendidikan terhadap anak yang memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam UJian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua dan lembagapendidikan memahami tujuan pendidikan negara kitaini ?
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua dan sekolah selalu meluangkan waktu untuk juga memberi model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang beragama, maksudnya sangat peduli dengan unsure spiritual. Namun praktek dalam kehidupan bahwa kita (mereka) hanya menekankan pada intelektual saja, dengan bukti bahwa adanya UN, atau melalui Ujian atas beberapa mata pelajaran yang dianggap sakral seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.
Kalau ada seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu orang tua. Sungguh menjadi makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif saja.
Pada hal dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor bidang studi semata-mata. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Tiap tahun PBB mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM negara kita di dunia[1] Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei). 
- Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsure akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan  seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat saya ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, saya sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak surat stress duluan. Saya sering mempunyai anak yang down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan saya menghibur:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Di fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasih keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika saya bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel. Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang jarang, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan cara menendang bola.
Beginilah jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi, sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak dari orang tua yang sempat saya berbincang dengannya, hanya bersekolah pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis, mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.

Fenomena dunia pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.
Ini terjadi karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya. SEkali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.
Agaknya judul artikel ini membingungkan, namun tujuannya adalah agar orang tua tidak memaksakan ambisiusnya buat anak untuk berharap bisa memperoleh nilai tertinggi untuk semua mata pelajaran. Karena setiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Memaksa mereka memperoleh skor ysng tinggi tentu akan membuat merekakelelahan. Orang tua perlu tahu bahwa mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik. Jadi simpati dan empati orang tua sangat diperlukan buat anak-anak mereka.




[1] http://sukabaca-baca.blogspot.com/2011/11/urutan-kualitas-pendidikan-indonesia-di.html

Sabtu, 03 Oktober 2015

Banyak Orang Pintar Banyak Tapi Sedikit Yang Kreatif



Banyak Orang Pintar Banyak Tapi Sedikit Yang Kreatif
Oleh: Marjohan M.Pd
GURU SMA Negeri 3 Batusangkar

            Dalam dunia sastra, cerita-cerita dari Barat sangat mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan malah dalam zaman sekarang cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling yang lahir di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber atau internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram diciptakan oleh orang Barat dan termasuk oleh orang Asia yang besar dan terdidik di Barat- di Eropa dan Amerika. Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ini dapat dijawab dengan menelaah artikel yang ditulis oleh seorang dosen dari Malaysia dan buku yang ditulis oleh dosen dari Universitas Queensland- Australia.
Tulisan seorang dosen yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.  Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu. 
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Seorang dosen dari Universitas Queensland yang bernama Prof. Ng Aik Kwang melihat fenomena ini. Apalagi dosen ini adalah juga seorang Australia keturunan China merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dikupasnya dalam bentuk buku yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)- Mengapa orang Asia kurang kreatif dari orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup controversial, namun akhirnya menjadi buku best seller dan cukup membuka mata dan fikiran para pembaca di Australia (www.idearesort.com/trainers/T01.p).
            Sebagai dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui fenomena ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the Westerners atau orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia.
Jadinya kreativitas sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau bertanya jawab.
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia) menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah, mobil, uang dan harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer Pertamina dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang Ulama, Jurnalis, Wartawan dan Pelayan Publik, yang karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang orang berbuat dan termasuk kuliah, adalah bertujuan materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai  yang memiliki sedikit materi. Guru yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan mobil sedan. Bisa jadi orang yang hanya datang dengan jalan kaki atau punya sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai  ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun
ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan juga tes masuk Perguruan Tinggi  dll semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejaran. Murid saya menganggap sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari Jerman yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit. Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau ada menjelajah, siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya sifat eksploratif sebagai  upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari fikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya.
- Newton bertanya dalam bathin... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas...? Jadilah Hukum Gravitasi.
- Edwin land bertanya dalam bathin, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..? maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid.
- Wright bersaudara bertanya dalam bathin mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak? maka terciptalah pesawat udara.
- Johan Gutenberg bertanya dalam bathin mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak ini..? maka terciptalah Mesin Cetak.
- Ray Tomlinson bertanya mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu berhari-hari ?, maka terciptalah email.
- Graham Bell bertanya bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah jarak?, maka terciptalah telepon.
- Martin Cooper bertanya dalam bathin mengapa telepon harus pakai kabel? bikir repot saja, maka terciptalah Handphone.
- Mark Zuckerberg bertanya dalam bathin Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita..? maka terciptalah face book yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh dunia.
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat dan bukan dari Indonesia ?’. Salah satu alasannya terbesarnya adalah karena selama ini anak-anak Indonesia dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya di buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam bathinnya sendiri untuk memecahkan masalah-masalah dunia.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit. Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”. Maka seorang siswa jurusan IPA hanya tertarik memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat jurusan sosial adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya tertarik membaca mata pelajaran IPS saja. Untuk ukuran mahasiswa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu arami sendiri menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif pada konsep berfikir. 
Saya jadi memahami semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang ulang datang ke Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk menjawab serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang dilakukan oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana Tanya jawab. Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bebrapa solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut: 
1. Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya. Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil mewah namun semua diperoleh melalui cara yang  tidak jelas.
2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran. Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka memahami bidang studi yang paling disukainya.
3. Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan
murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4. Biarkan anak/ siswa memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg
lebih cepat menghasilkan uang.
5. Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan pernah bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6. Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan tersebut.
7. Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan mereka dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahaan dengan cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan mahasiswa menjadi manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga mewariskan model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak mereka juga menjadi generasi yang kreatif,  komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...