Banyak Orang Pintar Banyak Tapi Sedikit Yang Kreatif
Oleh:
Marjohan M.Pd
GURU
SMA Negeri 3 Batusangkar
Dalam dunia
sastra, cerita-cerita dari Barat sangat mengglobal sejak dahulu kala. Kita
mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan malah dalam zaman sekarang
cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling yang lahir
di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber
atau internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke
media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram diciptakan
oleh orang Barat dan termasuk oleh orang Asia yang besar dan terdidik di Barat-
di Eropa dan Amerika. Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang
Barat lebih kreatif dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal
ini bisa terjadi ? Ini dapat dijawab dengan menelaah artikel yang ditulis oleh
seorang dosen dari Malaysia dan buku yang ditulis oleh dosen dari Universitas
Queensland- Australia.
Tulisan seorang dosen
yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul
"Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya
Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun
sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains
berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya
Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat
dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan
Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah
keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah
yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil. Di Asia, para pelajar dan sekolah
berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki
skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan
masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik
ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula
peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka
yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi
akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak.
Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh
skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil
porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan
sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah
itu.
Akibat iklim pendidikan
berorientasi skor-tes, para orangtua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les
pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang
panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan
intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan
kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya
keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan
dalam penemuan-penemuan ilmiah. Seorang dosen dari Universitas Queensland yang
bernama Prof. Ng Aik Kwang melihat fenomena ini. Apalagi dosen ini adalah juga
seorang Australia keturunan China merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan
fenomena ini dikupasnya dalam bentuk buku yang berjudul "Why Asians Are
Less Creative Than Westerners (2001)- Mengapa orang Asia kurang kreatif dari
orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup
controversial, namun akhirnya menjadi buku best seller dan cukup membuka mata
dan fikiran para pembaca di Australia (www.idearesort.com/trainers/T01.p).
Sebagai
dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui fenomena ini
pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat multi
kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and
the Westerners atau orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses
kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia.
Jadinya kreativitas
sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang
Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di
sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau
bertanya jawab.
Karena beda titik
pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia)
menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah, mobil, uang dan
harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer
Pertamina dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang Ulama, Jurnalis,
Wartawan dan Pelayan Publik, yang karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak
materi. Sehingga sekarang orang berbuat dan termasuk kuliah, adalah bertujuan
materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga
termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai yang memiliki sedikit materi. Guru yang
memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki.
Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan
sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan
mobil sedan. Bisa jadi orang yang hanya datang dengan jalan kaki atau punya
sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli
pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang
lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi ini juga terpantau
dari kegemaran banyak orang yang menyukai
ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya
mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh
pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun
ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
ditolerir/ diterima sbg sesuatu yg wajar.
Dalam pembelajaran,
kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan hafalan
berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan
juga tes masuk Perguruan Tinggi dll semuanya
berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan
rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami
kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang
yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejaran. Murid saya menganggap
sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas menghafal dan
mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari Jerman
yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit.
Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya
di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode
belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena
berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran.
Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu
sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis
hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam
Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah
ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang
berbasis inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah
karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau ada menjelajah,
siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki
gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin
tahu. Ya sifat eksploratif sebagai upaya
memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Rasa ingin tahu dan
eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan munculnya temuan- temuan
baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari fikiran Newton, Edwin land,
Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper,
Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya.
- Newton bertanya dalam
bathin... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas...?
Jadilah Hukum Gravitasi.
- Edwin land bertanya
dalam bathin, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..?
maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid.
- Wright bersaudara
bertanya dalam bathin mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak? maka
terciptalah pesawat udara.
- Johan Gutenberg
bertanya dalam bathin mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak
ini..? maka terciptalah Mesin Cetak.
- Ray Tomlinson
bertanya mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu
berhari-hari ?, maka terciptalah email.
- Graham Bell bertanya
bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah jarak?, maka terciptalah
telepon.
- Martin Cooper
bertanya dalam bathin mengapa telepon harus pakai kabel? bikir repot saja, maka
terciptalah Handphone.
- Mark Zuckerberg
bertanya dalam bathin Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi pencerahan
dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita..?
maka terciptalah face book yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh
dunia.
Pertanyaannya
kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini semua berasal
dari Barat dan bukan dari Indonesia ?’. Salah satu alasannya terbesarnya adalah
karena selama ini anak-anak Indonesia dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian
yang sudah ada jawabannya di buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam bathinnya sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah dunia.
Kemudian
konsep memahami ilmu kita cenderung sempit. Untuk tingkat SMA yang dianggap
sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”. Maka seorang siswa jurusan IPA
hanya tertarik memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat
jurusan sosial adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya
tertarik membaca mata pelajaran IPS saja. Untuk ukuran mahasiswa, mahasiswa
kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang
lain, demikian pula sebaliknya untuk mahasiswa jurusan lain.
Pada hal
ilmuwan besar dunia, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai bidang
ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama
atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga
ia mampu menulis 99 buku. Ibnu arami sendiri menguasai ilmu politik, teologi
atau agama, filsafat dan agama.
Untuk
ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika
Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga
seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika,
politik, diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat
mereka jadi kreatif pada konsep berfikir.
Saya jadi memahami
semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah Louis Deharveng, Anne
Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang ulang datang ke
Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk menjawab
serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang
dilakukan oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk
menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa
terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin
tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana Tanya jawab.
Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang
ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa
bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat
tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah
dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta
jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau
narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bebrapa
solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut:
1. Hargai proses
pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil mewah namun semua
diperoleh melalui cara yang tidak jelas.
2. Hentikan pendidikan
berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran.
Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka
memahami bidang studi yang paling disukainya.
3. Jangan menjejali
murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus.
Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan?
Biarkan
murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4. Biarkan anak/ siswa
memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg
lebih cepat menghasilkan uang.
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg
lebih cepat menghasilkan uang.
5. Dasar kreativitas
adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil
resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan pernah
bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau
tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6. Guru dan dosen
adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala
jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan
tersebut.
7. Passion atau rasa
cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan
guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan mereka
dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahaan dengan
cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan mahasiswa menjadi
manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga mewariskan
model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak
mereka juga menjadi generasi yang kreatif,
komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi
dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.
Artikel ini bagus,memberi motivasi kita agar lebih kreatif
BalasHapusArtikel ini bagus,memveri motifasi kita agar lebih kreatif
BalasHapusArtikelnya Mr.Jo sangat membngun. Krna membrikan solusi agar gnersi Indonseia mnjd gnersi yg kreatif
BalasHapusArtikelnya Mr.Jo sngt membngun krna membrikan msukan agr kmi gnersi muda Indonesia menjdi crdas dan jga kreatif.
BalasHapusArtikelnya Mr.Jo sngt membngun krna membrikan msukan agr kmi gnersi muda Indonesia menjdi crdas dan jga kreatif.
BalasHapusArtikel ini menyadarkan saya bahwa kita tidak harus menjadi pintar,tapi kita harus kreatif dalam menuntut ilmu
BalasHapusArtikelnya bagus sekali, apalagi didukung oleh fakta dr buku-buku tokoh dunia/ilmuan
BalasHapusDan sesuai sekali dgn pendapat saya☺
Artikel ini sangat bagus, apalagi didukung oleh fakta dr buku tokoh terkenal
BalasHapusDan sesuai dgn pendapat saya☺
Artikel ini sangat bagus, apalagi di dukung oleh fakta dr buku tokoh terkenal
BalasHapusDan sesuai dgn pendapat saya☺
Lizawahyuni
Artikel ini sangat bagus, apalagi di dukung oleh fakta dr buku tokoh terkenal
BalasHapusDan sesuai dgn pendapat saya☺
Lizawahyuni
artikel ini sangat bagus (y), kata - kata nya sangat menginspirasi kita semua agar tidak meninggkatkan kepintaran saja tapi kita juga harus meningkatkan kreatifitas juga
BalasHapusArtikel ini sangat bagus (y), kata-kata nya itu memberi inspirasi bagi kita agar tidak hanya meningkatkan kepintaran saja tapi juga meningkatkan kreatifitas
BalasHapusArtikel ini sangat bagus (y), kata-kata nya itu memberi inspirasi bagi kita agar tidak hanya meningkatkan kepintaran saja tapi juga meningkatkan kreatifitas
BalasHapusi think this articel is very good, because can change our (asians) mindset that smart is important, but creative is "more" important
BalasHapusArtikel ini sangat bagus (y), kata-kata nya itu memberi inspirasi bagi kita agar tidak hanya meningkatkan kepintaran saja tapi juga meningkatkan kreatifitas
BalasHapus#Arizal Fikri Firmana