Guru Perlu Mengaplikasikan Prinsip “Long
life education”
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMA Negeri 3 Batusangkar
Kata-kata “long life education atau belajar
sepanjang kehidupan” sering didengungkan di Perguruan Tinggi. Saya juga menerima
kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas
Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan
Perguruan Tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga
para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
Long life education telah menjadi
semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung
agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan
ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan. Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan
seperti:
“Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi-
tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama
amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
Long life education memang sudah
mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar
dalam kehidupan mereka. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang
asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne
Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya
hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat
menguntungkan saya dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi saya.
Ketiga
teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau
Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan
yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban.
Yang menarik bagi saya dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan
waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di
dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku
tentang bahasa Indonesia, adat dan way of
life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu
banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya pernah mengikuti
kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi
eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Saya juga sempat memberikan tulisan
untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
Mereka
bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan
banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa
Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku
saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang.
Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip
buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa
Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning
by doing” hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah
dimengerti. Saat balita saya menangis maka ia menenangkan balita saya dengan
Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti.
Anne
Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi
prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan
Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Saya melihat Anne Bedos sedang makan
jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu
yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada
lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
“Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang
bersarang dalam jambu ?”
“Ce naturalement, J’aime a manger les fournis-
itu alami, biar saya makan semua semut”.
Craig
Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di
Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig
Pentland juga mengadopsi prinsip long
life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung
dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat
buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia
ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan
saya juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
“See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca
semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan
terakhir bulan Oktober 2014 lalu, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga
sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang
berjudul “the rainbow troop atau
laskar pelangi” yang ditulis oleh Andre Hirata. Dalam kunjungan Craig Pentland
sebanyak enam kali ke tempat saya di Batusangkar, di Sumatra Barat, semuanya
buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan
merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer
ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang
sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar.
Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan
selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan teman saya,
Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul
sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering
mengadakan Home Stay ke tempat wista
seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di
Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home
Stay
kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami
mengundang native speaker untuk
memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya
semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para
Bule tersebut.
Semester lalu kami
mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia.
Mereka bekerja sebagai Australian Teacher
Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa
sangat senang bergabung dengan “English out
door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut
memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid
beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan
bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan
Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca
adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda
eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua,
juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat
tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat
mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami
juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti
kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur,
otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa
perintah agama yang berbunyi “iqra’
bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”
entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar
bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara
perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena
agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya
bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu,
banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan
long life education dalam wujud
membaca saat beristirahat- leisure time
reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak.
Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu
membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan
Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau
Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah
tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka
memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah
itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat
banyak, termasuk tentang konsep long life
education.
Bahwa di Swedia juga
ada konsep long life education semua
penduduk mempunyai reading time di
rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua
orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka
ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah
salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan
warna warni dengan bentuk yang cantik.
Saya terkesan bahwa
guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku
sebagai wujud dari long life education.
Membaca buku juga sebagai wujud self
learning atau autonomy learning.
Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas
guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka
tidak mengenal konsep long life education.
Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun.
Apagi dengan istilah adanya reading time.
Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long
life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah
agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri.
Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti
penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru
kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar
hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk
kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya
sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat
membaca kembali tidak ada.
Secara keseluruhan
bahwa ada yang kurang terwujud dalam system pendidikan kita, yaitu kita tidak
begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah
eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum
menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru. Di zaman teknologi komunikasi
dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik
permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada jutaan anak didik kita buta dengan buku.
Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok
tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin
kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para
guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali
hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru
kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi
buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa
tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan
sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa
membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan.
Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif
adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’
bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.
Kini kita merindukan
guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai
ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu
peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya
kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia
ini (http://penulisbatusangkar.blogspot.com
).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them