Kamis, 25 Februari 2016

Home Schooling Sebagai Alternatif Buat Menjadi Cerdas

Home Schooling Sebagai Alternatif Buat Menjadi Cerdas

Untuk bisa menjadi cerdas setiap orang perlu belajar. Belajar itu penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ada dua jenis cara belajar yaitu belajar dengan bimbingan dan belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bimbingan atau belajar sendiri yang juga disebut dengan istilah Self Learning.
Sebetulnya self learning telah dilaksanakan oleh banyak orang dalam kehidupannya. Saat usia kecil, dengan gigih sebagai bentuk naluri kecerdasan ia berlatih untuk belajar berjalan secara mandiri. Kelak setelah agak besar jugabelajar sendiri untuk menyuap nasi, memasang pakaian, hingga belajar sepeda. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk belajar secara mandiri akan tumbuh menjadi lebih cerdas dan pribadi lebih mandiri.
Konsep belajar mandiri yang kerap kita lakukan baru sebatas menguasai keterampilan atau kecakapan hidup harian seperti belajar bersepeda, belajar main layang-layang, belajar berenang. Sementara kecakapan hidup yang lebih spesifik, sebagaimana yang dilakukan oleh Titik Puspa yang menjadi penulis syair lagu dan penyanyi tanpa melalui universitas. Gayatri (almarhumah) seorang siswa dari Ambon yang menguasai 14 bahasa dunia, Haji Agus Salim, pahlawan nasional, yang menguasai 9 bahasa asing, politik dan ilmu sosial budaya tanpa pergi ke perguruan tinggi. 
                               Marjohan Usman juga ikut berkunjung ke Kedubes RI Sydney
                               (Pakai batik merah, nomor 3 dari kiri)

Self learning akhirnya juga menjadi sebuah teori pembelajaran yaitu “automous learning”. Autonomous learning adalah pembelajaran yang menitik beratkan pada aktivitas peserta didik, baik secara individual maupun kelompok dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam memilih substansi yang akan dipelajari. Sinonim dari “self learning”  adalah otodidak (autodidact).
Otodidak berasal dari bahasa Yunani yaitu autodidaktos yang artinya belajar sendiri. Istilah self learning tentu saja istilah dalam Bahasa Inggris, sementara istilah otodidak lebih kita kenal di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh hebat Indonesia, yang jadi hebat melalui otodidak. Orang otodidak tidak membutuhkan figur seorang guru atau pembimbing untuk mempelajari satu hal. Tanpa bantuan dari orang lain seseorang yang belajar secara otodidak mampu mempelajari hal-hal dasar dari ilmu yang sedang mereka pelajari.
Orang yang sukses karena otodidak dikagumi karena mereka mampu mempelajari sesuatu dengan baik dan dibarengi oleh prakteknya, sebagian dari mereka mampu mengungguli kemampuan orang yang belajar ilmu yang sama dengan cara dibimbing. Misal, seorang jago music yang pintar karena otodidak dan jago musik karena belajar melalui kuliah.
Sang otodidak jago dalam praktek, sementara yang jago lewat universitas hanya tahu dengan teori, dan kualitas musiknya sering tidak begitu menarik. Bidang yang paling banyak dihuni sama orang-orang otodidak ini adalah bidang seni, sastra, kerajinan tangan, pokoknya bidang-bidang yang menghasilkan sebuah karya seperti bermusik dan akting juga termasuk.
Sekarang istilah “home schooling” lebih dikenal luas dari pada otodidak atau self learning. Home schooling menurut Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki) adalah metode pendidikan alternatif yang dilakukan di rumah, dibawah pengarahan orang tua atau tutor pendamping, dan tidak dilaksanakan di tempat formal lainnya seperti di sekolah negeri, sekolah swasta, atau di institusi pendidikan lainnya dengan model kegiatan belajar terstruktur dan kolektif.
Home-schooling bukanlah lembaga pendidikan, bukan juga bimbingan belajar yang dilaksanakan di sebuah lembaga. Tetapi home-schooling adalah model pembelajaran di rumah dengan orang tua sebagai guru utama dan bisa juga mendatangkan guru pendamping atau tutor untuk datang ke rumah. home-schooling juga bukan berarti kegiatannya selalu dilaksanakan di rumah, siswa dapat belajar di alam bebas baik di laboratorium, perpustakaan, museum, tempat wisata, dan lingkungan sekitarnya. Tetapi inti dari home-schooling tetap yaitu model pendidikan yang dilaksanakan di rumah dengan orang tua sebagai guru utama.
Para orang tua memiliki sejumlah alasan yang membuat mereka memilih model pendidikan home-schooling untuk anak-anak mereka. Tiga alasan yang kebanyakan dipilih oleh orang tua di Amerika Serikat adalah masalah mengenai lingkungan sekolah, untuk lebih menekankan pengajaran agama atau moral, dan ketidaksetujuan dengan pengajaran akademik di sekolah negeri atau sekolah swasta.
Home-schooling tidak hanya ditujukan buat anak- anak, malah juga bisa dilakukan oleh remaja dan orang-orang dewasa. Atau dilakukan oleh seseorang sejak dari usia yang sangat muda, terutama di masa lalu. Di masa lalu sekolah belum dianggap orang sebagai satu-satunya opsi pendidikan untuk anak-anak. Di masa lalu sekolah tidak wajib, orang tua masih sadar sepenuhnya bahwa bersekolah adalah pilihan, bukan kewajiban. Orang tua masa lalu masih sadar bahwa belajar tidak harus di sekolah karena mereka masih sadar dunia di luar tembok sekolah tidak selebar daun kelor.
Zaman sekarang home-schooling dianggap sebagai pendidikan alternatif yang tidak efektif, kurang sosialisasi, dan sebagainya. Apakah betul tanpa sekolah, anak-anak tidak mungkin sukses? Sejarah membuktikan bahwa tanpa memilih sekolah pun, jika orang tua memfokuskan memfasilitasi pendidikan pada kelebihan anak-anaknya, sukses tidak akan berada jauh dari anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan juga dari mereka yang tidak cocok dengan pengkondisian di sekolah.
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home-schooling. Cukup banyak tokoh-tokoh dunia dari berbagai bidang seperti penulis, penemu, fotografer, penyair, composer (penulis lagu) hingga Presiden belajar secara home-schooling atau otodidak untuk bidang yang mereka minati. Jumlah mereka sangat bayak, beberapa di antaranya adalah seperti:
1). Penulis yaitu Agatha Christie dan Laura Ingalls. Agatha Christie (1890-1976), penulis novel dengan nuansa detektif. Novelnya cukup laris sepanjang masa. Figur novelnya adalah Hercule Poirot dan Miss Marple. Waktu kecil dia sangat pemalu sehingga ibunya memutuskan mendidiknya sendiri di rumah meskipun kedua saudara kandungnya disekolahkan di sekolah swasta. Keputusan ibunya tersebut terbukti tepat karena anak pemalu itu tumbuh menjadi penulis yang terkenal melewati masa hidupnya.
Laura Ingalls Wilder (1867-1957) adalah penulis bacaan anak dan guru dari Amerika. Penulis menonton filmnya berdasarkan novelnys ysng berjudul “Little House on the Prairie”. Ia tidak bersekolah sampai keluarganya menetap di Daerah Teritori Dakota- Amerika Serikat. Ia sendiri menjadi guru sekolah ketika usianya baru 15 tahun. Buku-bukunya yang menceritakan kehidupan sehari-hari keluarga pionir di masa itu sangat terkenal hingga saat ini, membuktikan kesuksesan pendidikannya ber-home-schooling.
2). Penemu yaitu Alexander Graham Bell dan Thomas AlvaEdison. Alexander Graham Bell (1847-1922, penemu dan pendidik dari Amerika kelahiran Skotlandia, penemu telepon (1876) ). Ibunya mendedikasikan hidupnya untuk mendidiknya tanpa sekolah sampai sang ibu kehilangan pendengaran. Ibunya mengilhami dia untuk meneliti bunyi dan suara.
Thomas Alva Edison (1847-1931, penemu bola lampu dari Amerika). Dianggap bodoh dan selalu melamun oleh guru sekolahnya sehingga ibunya menarik dia keluar setelah hanya tiga bulan. Pada masa kini Edison mungkin didiagnosis mengidap ADD (Attention Deficit Disorder). Ibu Edison bukan jenius dan bisa dibayangkan bahwa sebentar saja kecerdasannya telah terlampaui oleh anaknya. Namun kelebihan home-schooling adalah keluwesannya sehingga Edison tumbuh menjadi penemu besar.
3). Fotografer yaitu Ansel Easton Adams (1902-84) dari Amerika, pionir dalam penelitian teknologi dan teori. Belajarnya hanya lewat homeschool dengan ayahnya setelah usia 12 tahun karena dia tidak bisa diam dan pernah menghina gurunya. Didikan ayahnya tidak sia-sia karena ia menjadi fotografer berbakat dan terkenal.
4) Penyair yaitu Robert Lee Frost (1874-1963), seorang penulis puisi Amerika, karyanya A Boy’s Will- Suatu Keinginan Anak Laki-Laki (1913). Ia tidak tertarik dengan sekolah dan sampai-sampai selalu merasa  sakit kalau harus pergi ke sekolah. Untung dia belajar lewat home-schooling, tidak dipaksa sekolah. Kalau sekolah terus, mungkin dia jadi ‘biasa-biasa saja’, tertekan jiwanya, dan dunia tidak bisa menikmati puisi-puisinya.
5). Komposer yaitu Wolfgang Amadeus Mozart. Seorang komposer Austria, penulis lebih dari 40 simfoni, hampir 30 konserto piano, lebih dari 20 string kwartet, dan 16 opera, termasuk opera Perkawinan Figaro (1786), Don Giovanni (1787), Cosi fan tutte (1790), The Magic Flute (1791). Bayangkan kalau Mozart masuk sekolah, dunia akan kehilangan begitu banyak karya-karya musik brilian yang ditulisnya semasa kecil.
6). Presiden yaitu Woodrow Wilson, presiden ke-28 AS (1913-21). Ia juga pelopor berdirinya PBB, penerima Nobel perdamaian (1919). Ia belajar lewat home-schooling dan diajar sendiri oleh ayahnya. Dia tidak bisa membaca sampai usia 12. Namun ketika dewasa ia meneruskan pendidikannya di Universitas Princeton, dan selanjutnya ia aktif dalam bidang politik hingga bisa menjadi Presiden.
Dewasa ini belajar melalui jalur formal sudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun kualitas pendidikan melalui pendidikan formal sering  kurang kurang memberi dampak pada rasa sukses. Juga melihat realita bahwa cukup banyak orang yang berkarir tidak sesuai dengan ijazah kuliah yang ia peroleh. Ijazahnya adalah sebagai sarjana tekhnik namun bekerja sebagai pegawai bank. Atau ijazahnya sebagai sarjana Hubungan Internasional dan karirnya adalah dalam bidang kuliner.
Untuk mendukung kesuksesan maka dianjurkan agar yang tertarik untuk melakukan home schooling, misal dalam bidang olah raga, mungkin ingin menjadi atlit badminton, atlit renang, atau atlit catur yang professional. Home-school yang lain adalah mungkin ingin menjadi seorang penulis, seorang penceramah/ motivator, pemain music seperti biola, piano atau penggubah lagu. Karena home schooling dalam bidang ini bisamembuat seseorang lebih cepat sukses dan melengkapi kualitas pribadinya melalui pendidikan formal.
Siapa saja bisa melakukan home schooling untuk meningkatkan kualitas diri atau sebagai alternative belajar buat sukses. Maka mereka musti melakukannya dengan sungguh-sungguh.  Tip-tip agar sukses untuk home-schooling meliputi konsisten, target, pengumpulan materi/ buku-buku, manajemen waktu, uji coba/ latihan, dan membuat kelompok belajar.
a). Konsisten, yaitu tingkat konsistensi yang tinggi. Ini sangat berpengaruh pada hasil pembelajaran yang akan kita dapatkan.
b). Target, yaitu sebelum belajar, alangkah baiknya kalau kita menentukan terlebih dahulu target apa yang akan kita capai dan jadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk kita. Dengan adanya target, pembelajaran maka insyaallah kita akan lebih terarah.
c) Pengumpulan materi atau buku-buku, yaitu kita tentu membutuhkan bahan untuk home-schooling berupa buku-buku, kliping dari Koran dan majalah. Atau malah mendownload beberapa e-book yang menurut kita bagus dari internet. Setelah itu, kita focus untuk mempelajarinya. Misalnya pengalaman penulis pribadi dalam melakukan home schooling untuk belajar Bahasa Perancis dan berlatih menulis artikel dan menyelesaikan naskah buku hingga bisa diterbitkan.
d). Manajemen waktu, ini berguna untuk lebih mengorganisir dan mengoptimalkan pembelajaran, perlu sekiranya dibuat jadwal belajar secara berkala dan jangan sampai proses pembelajaran terputus begitu saja ditengah jalan.
e) Uji coba atau latihan, tentu saja dalam belajar otodidak dalam home-schooling, kita memerlukan latihan-latihan. Dalam mendalami bidang olah raga atau music kita juga butuh latihan yang sering dan porsi yang besar. Tentunya kita tidak akan berhasil begitu saja dalam satu kali percobaan. Kita tentu mengalami banyak sekali kegagalan, namun dari sanalah secara tidak sadar ilmu Anda akan semakin bertambah.
f). Membuat kelompok belajar, kalau boleh kita mencari teman-teman yang seide untuk saling belajar bersama. Sebenarnya pembuatan kelompok belajar tidak begitu diharuskan, namun tidak ada salahnya kita juga mengajak teman lain untuk juga meningkatkan kualitas diri.

Home-schooling sangat cocok dengan ajakan agama kita (agama Islam) agar kita senantiasa belajara dalam hidup ini. Motivasi dalam afama kita yang berbunyi “tuntutlah ilmu dari ayunan hingga sampai ke liang lahat”. Juga seruan Unesco- sebuah badan pendidikan PBB agar warga dunia senantiasa melakukan prinsip “long life education atau belajar sepanjang hidup”. Home schooling juga akan berguna bagi kita sebagai alternatif untuk menuju sukses.

Sejarah Rasulullah Sebagai Parenting Terbaik Bagi Kita

Sejarah Rasulullah Sebagai Parenting Terbaik Bagi Kita

            Akhir-akhir ini penulis amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa memperoleh informasi bahwa kualitas parenting orang tua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori sebagai fail-parenting- atau orang tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
            Kualitas SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.

            Negara Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras- kerja yang serius dan berkualitas.
            Kita boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan negara Barat lainnya.
Negara Australia merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia juga memili kualitas pendidikan terbaik di dunia. Saat penulis berada di Melbourne dan Sydney, penulis melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
            Namun sayangnya saat penulis berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure  dan hotel lainnya di Melbourne, penulis menjumpai muda-mudi bergaul bebas, persis saat berpesta di akhir pekan. Mereka mengadopsi budaya pergaulan bebas yang cukup taboo diadopsi oleh pemuda Indonesia. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada Allah Swt. Itulah yang penulis temukan bahwa parenting mereka adalah parenting sekuler, hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya penulis ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting ala Barat, namun adalah parenting yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah Swt dalam kitab suci Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam (SAW) bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari makanan fast-food di mall, pergi eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah, pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orang tua telah mencetak anak-anak yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja. Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak, membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi. Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan  kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang, penulis dan anak perempuan penulis, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya juga terlihat tidak pas untuk usianya. Penulis bertanya pada anak perempuan penulis: “ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah Swt- Tuhan Pencipta Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena kesalahan parenting. Ilmu mendidik kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab- pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda Nabi Muhammad (SAW) adalah ibunya sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah (SAW). Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya. Suatu ketika, ditempat yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang sudah terjadi.
Maka Halimah takut kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah mengembalikan Nabi (SAW) kepada ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya ketika Nabi Muhammad (SAW) berusia empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad (SAW) dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia pada saat beliau (SAW) masih berada dalam kandungan ibunya. Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad (SAW) ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam tahun, beliau (SAW) diajak pergi oleh ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi (SAW) pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan. Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau (SAW) wafat pada saat beliau berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad (SAW) diasuh oleh paman beliau Abu Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai Rasulullah (SAW). Kehidupan Abu Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad (SAW). Ketika berusia 12 tahun, beliau dibawa oleh pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup, kaya hati, mengenal kekuasaan Allah Swt, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan. Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab dan juga mengabdi pada Allah Swt.

Moga-moga sejarah Nabi Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam hal parenting. Bila kita- anda dan juga penulis- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura, pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan, jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang bertanggung jawab.  Untuk itu mari kita jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting bagi kita.   

Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif

Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif

            Dalam dunia sastra, cerita-cerita dari Barat sangat mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan malah dalam zaman sekarang cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling yang lahir di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber atau internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram diciptakan oleh orang Barat dan termasuk oleh orang Asia yang besar dan terdidik di Barat- di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ini dapat dijawab dengan menelaah artikel yang ditulis oleh seorang dosen dari Malaysia dan buku yang ditulis oleh dosen dari Universitas Queensland- Australia.

Tulisan seorang dosen yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara).
Menurutnya bahwa akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.  Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu. 
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Seorang dosen dari Universitas Queensland yang bernama Prof. Ng Aik Kwang melihat fenomena ini. Apalagi dosen ini adalah juga seorang Australia keturunan China merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dikupasnya dalam bentuk buku yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang Asia kurang kreatif dari orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup kontroversial, namun akhirnya menjadi buku best-seller dan cukup membuka mata dan fikiran para pembaca di Australia (www.idearesort.com/trainers/T01.p).
            Sebagai dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui fenomena ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the Westerners -orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau bertanya jawab.
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia) menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah, mobil, uang dan harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang ulama, jurnalis, wartawan dan pelayan public (PNS), yang melalui karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang orang berbuat/ beraktivitas, bersekolah dan termasuk menuntut ilmu pada perguruan tinggi dengan tujuan materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai  dibandingkan orang yang memiliki sedikit materi. Guru yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan mobil sedan. Bisa jadi orang yang hanya datang dengan jalan kaki atau punya sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai  ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan juga tes masuk perguruan tinggi  dll semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejaran. Murid penulis menganggap sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari Jerman yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit. Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau ada menjelajah, siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya sifat eksploratif sebagai  upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Adi Jaderock melalui Forum Orisinil (http://forum.orisinil.com/index) menggagas dialog online tentang mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan dengan bangsa Barat.Ia menjelaskan tentang rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari fikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya.
“Newton bertanya dalam bathin... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas...? Jadilah Hukum Gravitasi”.
“Edwin land bertanya dalam bathin, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..? maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid”.
“Wright bersaudara bertanya dalam bathin mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak? maka terciptalah pesawat udara”.
“Johan Gutenberg bertanya dalam bathin mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak ini..? maka terciptalah Mesin Cetak”.
“Ray Tomlinson bertanya mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu berhari-hari ?, maka terciptalah email”.
“Graham Bell bertanya bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah jarak?, maka terciptalah telepon”.
“Martin Cooper bertanya dalam bathin mengapa telepon harus pakai kabel? bikir repot saja, maka terciptalah Handphone”.
“Mark Zuckerberg bertanya dalam bathin Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita..? maka terciptalah face book yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh dunia”.
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat dan bukan dari Indonesia ?’. Salah satu alasannya terbesarnya adalah karena selama ini anak-anak Indonesia dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya di buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam bathinnya sendiri untuk memecahkan masalah-masalah dunia.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit. Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”. Maka seorang siswa jurusan IPA hanya tertarik memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat jurusan sosial adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya tertarik membaca mata pelajaran IPS saja. Untuk ukuran mahasiswa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu Arabi sendiri menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif pada konsep berfikir. 
Penulis jadi memahami semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang ulang datang ke Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk mencari  serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang dilakukan oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana tanya jawab. Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bebrapa solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut: 
1). Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya. Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil mewah namun semua diperoleh melalui cara yang  tidak jelas.
2). Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran. Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka memahami bidang studi yang paling disukainya.
3). Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4). Biarkan anak/ siswa memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang
lebih cepat menghasilkan uang.
5). Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan pernah bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6). Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan tersebut.
7). Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan mereka dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.

Mudah- mudahaan dengan cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan mahasiswa menjadi manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga mewariskan model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak mereka juga menjadi generasi yang kreatif,  komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.

Kasihan pada "DS" dan bersimpati pada Saipul Jamil..."Ayah dekatkanlah jiwamu dengan anak lelakimu ...!!!!!

Kasihan pada "DS" dan bersimpati pada Saipul Jamil
Saya tidak ikut latah menghakimi atau mencela Saipul Jamil, Sebelum saya berkomentar saya harus mengupload foto yang saya unggah secara random dari Google image. ya sebagai berikut:

Judulnya adalah bahwa "ayah perlu lebih dekat dengan anak-anak nya secara emosional". Sebab bila hubungan batin anak, terutama anak laki-laki, dengan sang ayah maka ia akan bengong dengan identifikasi dan dia pun juga nggak ngerti dalam mengekspresikan cinta yang sehat.

Saya nggak melihat, tetapi saya memahami dari bacaan tentang Bang Ipu;, bahwa ia punya ayah (orang tua) dengan banyak anak. Dan ayah bang Ipul saat ia kecil terkesan cukup tegas, pemarah (sebagaimana saya dengar/ tonton dari program Insert dan juga Gossip di TV swasta). Sehingga bang Ipul terkesan agak penakut. Teman temannya banyak wanita dan di rumah ia suka ngpel lantai rumah )kerjaan begini tidak salah). Tetapi saya pikir emosi dan jiwa bang Ipul cukup jauh dari sosok ayahnya.

Saya bukan artis, saya hanya orang biasa saja. Namun saya juga punya pengalaman bahwa saya merasa jauh emosi saya dengan ayah.

Penyebabnya karena ayah saya punya banyak istri. Saat saya terlahir, dari istri ke dua ayah saya, itupun saya sudah menjadi anak ke enam dari jumlah sekitar 11 orang. Waktu kecil saya nggak begitu dekat dengan ayah.

Penyebabnya karena ayah saya nggak punya ILMU PARENTING- bagaimana jadi ayah yang baik. Penyebab lain karena ayah saya sibuk cari duit buat menghidupin kami semua.

Ibu saya juga nggak punya ilmu parenting. Mereka mendidik dan membesarkan kami seperti generasi sebelumnya...dengan hardikan, pembiaran, dan hanya sekedar memenuhi kebutuhan fisik.

Waktu kecil saya juga penyakitan,...dan tubuh saya kurusan. Sehingga pisik saya lemah dan saya suka menghndar dari permainan kasar.
Mungkin ada peran pengganti...saya suka sholat di musholla dima saat itu ada 3 pria dewasa/ tua yang cukup sholeh, baik dan menganggap saya dan teman teman saya sebagai anaknya.

Masih ada sedikit efek dari jarak jiwa yang jauh dengan ayah. Saya jadi nggak tahu cara ngucapin I LOVE YOU pada wanita. Akhirnya saya otodidak..saya belajar mencintai wanita. Dalam usia saya 26 tahun saya menikah....ha ha ha...saya belajar bagaimana mewujudkan cinta pada istri saya.

Selama satu minggu saya belajar bagaimana untuk menjadi suami....maksudnya menunaikan tugas suami secara lahir dan bathin..... alhamdulillah sukses.

Walau untuk mendapatkan buah hati juga cukup terlambat. Kami menunggu selama 6 tahun hingga muncul baby son. dan tahun berikutnya juga lahir, namun meninggal karena ibunya mengalami blooding. Dan 2 tahun setelah itu lahir lagi seorang baby girl.

Sekarang mereka sudah berusia remaja dan sebagai teman buat kami...mama dan papanya.

Bang ipul....mungkin juga merasa jauh jiwanya dengan ayahnya....dan saya yakin Bang Ipul telah tumbuh normal. Namun karir sebagai artis..penyanyi...membuat dia dipuja dan diidolakan oleh banyak orang, terutama remaja..

Salah satunya adalah inisial "DS" yang merupakan cowok remaja berkulit cerah, bibir bersih, mata dengan pandangan teduh...maka godaan dari dalam diri muncul. Seharusnya Bang Ipul tidak usah menjadi artis...tidakusah menjadi selebriti...nggak perlu menjadi orang ngetop.

Karena ngetop mendadak bisa bikin kita lupa diri dan ngetop dengan balutan kecantikan, ketampanan, kegantengan, bisa memancing naluri yang nggak sehat meledak ledak.

Bagi kaum remaja dan siapa saja yang suka galau gara gara medsos "media sosial" seperti facebook, twitter, instagram, bbm, dubsmash, flicker....tinggalkanlah medsos ini. Ata gunakanlah sedikit mungkin. Gunakan waktu anda yang banyak buat MENGABDI PADA SANG PENCIPTA JAGAT RAYA INI....MENGABDI PADA ALLAH Swt......ngetop di dunia ini nggak banyak manfaatnya. Kecuali ngetop karena prestasi kita yang kita peroleh dengan susah payah...lewat ilmu pengetahuan. Itupun jangan membuat kita sombong.

Rabu, 24 Februari 2016

Mengaplikasikan Prinsip “Long life education

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Penulis juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            “Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Penulis membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, penulis berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman penulis hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan penulis dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi penulis.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi penulis dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Penulis pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Penulis juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Penulis sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga penulis dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita penulis menangis maka ia menenangkan balita penulis dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Penulis melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan penulis sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan penulis secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan penulis juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat penulis di Batusangkar, di Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Penulis dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Penulis memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman penulis, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang penulis jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga penulis di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah penulis di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Penulis terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.

Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini. 

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...