Rabu, 24 Februari 2016

Muhammad Fachrul, Nadhila Azzahra, Emi Surya dan Marjohan


Ini merupakan foto yang saya olah dari sejumlah foto, saya format dan crop pada power point dan setelah itu saya save melalui web page...ya jadilah koleksi foto bagus.

Beberapa semester lalu, Oktober 2014, teman saya craig pentland memutuskan buat berlibur di rumah saya di Batusangkar. Ia terbang dari Perth ke Kuala Lumpur dan terus ke Bandara Internasional Minangkabau di Padang. Dan saya welcome....ia sempat berkunjung ke rumah Naser di Payakumbuh. Saya yakin Craig liburannya tidak begitu perfect karena pada saat yang sama, saya belum libur dari sekolah....forgive me please, Craig Pentland...

Menajamkan Fokus Pendidikan Antara Kognitif dan Afektif

 Menajamkan Fokus Pendidikan Antara Kognitif dan Afektif

Menuntut ilmu sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Banyak siswa dengan dukungan orang tua berlomba agar bisa bersekolah di sekolah yang terkemuka kualitasnya. Dari  tulisan-tulisan yang kita baca pada media massa dan dari pengalaman langsung ditemui bahwa banyak pelajar Indonesia yang begitu tekun dalam aktivitas belajar termasuk juga aktif mengikuti kursus atau bimbingan belajar agar lebih cerdas.
Kita sering mendengar bahwa banyak anak-anak Indonesia yang bisa menjagoi berbagai perlombaan akademik. Putra-putri Indonesia mampu memperoleh juara olimpiade sains di tingkat internasional. Tentu saja mereka diharapkan bisa berbuat banyak dalam bidang sains dan tekhnologi.
Walaupun dalam setiap perlombaan sains internasional, putra-putri kita bampu meraih banyak penghargaan. Namun setelah mereka dewasa prestasi atau karya nyata mereka jarang terdengar. Kata seorang teman penulis mengatakan bahwa putra-putri Indonesia baru sebatas cerdas dengan teori dan belum lagi secara secara karya.
Kemudian, meskipun siswa kitamampu memperoleh banyak kemenangan dalam berbagai perlombaan, namun ini belum mewakili kualitas pendidikan Indonesia secara umum. Karena kenyataan pendidikan kita tetap tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan New Zealand.
Menurut………..penyebabnya adalah karena budaya pendidikan kita yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan (keterampilan berfikir dan kreativitas) itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Memang benar bahwa para siswa siswa kita baru sebatas cerdas dengan teori sehingga mampu meraih skor-tes setinggi-tingginya. Selama ini ada anggapan bahwa para siswa yang mampu meraih skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Jadinya Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi hanya akan bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor yang  tinggi. Begitu pula bahwa sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya. Dengan demikian bisa menjamin pendanaan (bantuan finansial) lebih banyak dari pemerinah. Akibatnya para guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah. Malah sejak sejak usia dini. Akibat waktu bersekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar kita hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Ada 3 ranah pendidikan yaitu kognitif, afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Aspek yang paling banyak disentuh oleh sekolah adalah kognitif. Agaknya aspek kognitif berhubungan langsung dengan akademik. Kita tidak mungkin menyalahkan sekolah yang lebih banyak terfokus untuk mempertajam aspek kognitif. Bila seorang siswa belajar banyak di sekolah dan kemudian belajar lagi di tempat les atau lembaga bimbingan belajar. Lagi-lagi ini adalah kegiatan untuk mempertajam aspek kognitif.
Anak harus memiliki kecerdasan yang berimbang antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Tidak tetap kalau kita masih protes pada sekolah agar juga focus pada pembinaan afektif. Karena orang tua juga harus berkontribusi untuk mempercedas anaknya sendiri.
Orang tua punya peran besar dalam menumbuh-kembangkan prilaku dan life-skill anak dalam bentuk melibatkan mereka untuk ikut beraktifitas di rumah. Misalnya orang tua mengajak anak untuk merapikan rumah, merawat tanaman dikebut, menanam pohon penghijau untuk keindahan lingkungan, dan juga mengikuti berbagai kegiatan tetangga lainnya.
Ada satu keluarga yang menginginkan anak-anak mereka menjadi cerdas dengan cara banyak belajar agar bisamemiliki prestasi akademik yang tinggi. Sementara mereka dibebaskan untuk ikut berbagi tugas di rumah. Bagaimana hasilnya ? anak-anak mereka telah tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri. Urusan pribadi seperti kebutuhan pakaian, makan dan kebutuhan kecil lainnya masih dilayani. Sang anak telah menjadi raja kecil atau boss kecil, yang kerja suka minta tolong atau serba memerintah.
Mendorong anak-anak sekuat tenaga hanya untuk satu bidang saja, yaitu bidang akademik atau kognitif dan menjaudi pengembangan afektif dan psimotorik merupakan langkah yang belum tepat. Seharusnya kita dalam mendidik anak-anak tetap berkontribusi untuk memantapkan ketiga aspek tadi yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam hidup bahwa tidak selamanya orang berkaris sesuai dengan kualitas kognitifnya, yaitu bekerja pada profesi yang didukung oleh unsur akademik, menjadi dokter, peneliti, pendidik, dan karir lain pada bidang pemerintah. Namun juga berkarir karena kekuatan afektif dan psimotorik mereka, seperti menjadi atlit, artis, pengacara, motivator, menteri, presiden, dll. 
Dalam hidup ini kita bisa mendengar langsung atau membaca kisah- kisah orang yang bisa berhasil dalam profesinya yang pada mulanya tidak didukung oleh unsur kognitif atau akademik, namun didukun oleh kematangan afektif dan psikomotorik.
Kekuatan nilai afektif dan psikomotorik juga dirasakan oleh orang lokal. Penulis menemui contoh dari salah seorang wirausaha kuliner dan seorang pedagang. Kasmiati, menekuni usaha kuliner di Payakumbuh, mengaku bahwa ia banyak menuntut ilmu pengetahuan untuk menjadi mandiri dari alam saja. Sementara itu Ibu Ade yang meninggalkan karir PNS dan menekuni usaha properti dan perdagangan di Batusangkar, suatu pekerjaan yang memberikan tantangan buatnya. Berikut kita lihat sepintas kupasan jalan sukses 5 orang, presiden, pengusaha besar, gubernur, kuliner biasa dan juga pebisnis biasa. Usaha atau prestasi mereka bisa tumbuh dan berkembang bukan semata-mata oleh kekuatan factor kognitif, namun dari kemampuan afektif dan psikomotoriknya.   
1). Presiden Sukarno
Presiden Sukarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo seorang guru, dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai, seorang perempuan Bali. Sukarno waktu kecil tinggal bareng kakeknya di Tulung Agung, Jawa Timur. Sekolah berkualitas memang penting untuk memacu motivasi, maka ayah Sukarno memasukkannya ke sekolah Eerste Inlandse School, sekolah tempat ayahnya bekerja. Berarti ayahnya juga guru yang hebab. Ayah yang hebat akan memotivasi anak untuk jadi hebat.
Sukarno sejak dari kecil sudah punya prinsip senang dengan”kemandirian”  yang dia berdiri istilah dengan “berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri” Ia berdikari dalam meningkatkan kualitas diri, melalui banyak membaca, belajar pidato sendirian, dan juga dalam menguasai bahasa asing. Ya  Bung karno menganut ideologi “berdiri di atas kaki sendiri”. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid- persetan dengan bantuanmu”.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dalam memotivasi diri Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi.
Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe-de atau Percaya Diri”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih remaja- belajar di sekolah menengah- Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya (teman-temanya). Setelah itu Sukarno menyambung sekolah ke HBS (Hogere Burger School) dan ia juga sempat sekolah di Europeesche Lagere School (ELS).
Membaca adalah kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ?  Karena didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS- Hoogere Burger School  Surabaya, dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang berasal dari orang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku-buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda), maka Bung Karno dengan sekuat hati mendalami Bahasa Belanda.
Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan. Namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Saat sekolah di HBS, Sukarno indekost di pondokan H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemuka masyarakat, cendekiawan dan teman ayahnya. Saat bersekolah Sukarno aktif berorganisasi, dan akti mengambil peran dan juga selalu berrtukar fikiran dengan para tokoh.
Sukarno mengikuti organisasi Tri Koro Dharmo, kemudian ganti nama menjadi Jong Java atau Pemuda Jawa.
Dari hasil banyak berdiskusi, Sukarno tentu punya banyak ide, dan ia jadi rajin menulis. Tulisannya terbit pada surat kabar Oetoesan Hindia, pimpinan Tjokrominito. Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya.
Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921 Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921 setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.
Saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Jadi yang juga membuat Sukarno tumbuh berkualitas, selain dia memiliki motivasi belajar yang hebat. Dia juga memiliki teman-teman yang berkualitas untuk tempat mengasah logika dan intelektual komuniasi sosialnya.
Tamat dari ITB, Sukarno tidak mencari kerja, ia malah mendirikan pekerjaan, pada tahun 1926 ia mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya. Malah ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
2). Ir. Ciputra
Ia lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, adalah seorang insinyur dan pengusaha di Indonesia. Ia terkenal sebagai pengusaha properti yang sukses, antara lain pada Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang filantropis, dan berkiprah di bidang pendidikan dengan mengembangkan sekolah dan Universitas Ciputra.
Ciputra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Parigi, Sulawesi Tengah. Sejak kecil Ciputra sudah merasakan kesulitan dan kepahitan hidup. Bapaknya Tjie Siem Poe ditangkap oleh pasukan tak dikenal, karena dituduh sebagai mata-mata Belanda/Jepang dan tidak pernah kembali lagi pada tahun 1944.
Ketika remaja ia bersekolah di SMP dan SMA Frater Don Bosco di Manado. Setamatnya dari SMA, ia meninggalkan desanya menuju Jawa. Ia kemudian kuliah di Institut Teknologi Bandung. Pada tingkat empat, ia bersama Budi Brasali dan Ismail Sofyan mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan yang berkantor di sebuah garasi. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur pada tahun 1960, ia pindah ke Jakarta.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di ITB, Ciputra mengawali kariernya di Jaya Group, perusahaan daerah milik Pemda DKI. Ciputra bekerja di Jaya Group sebagai direksi sampai dengan usia 65 tahun, dan setelah itu sebagai penasihat. Di perusahaan tersebut, Ciputra diberi kebebasan untuk berinovasi, termasuk di antaranya dalam pembangunan proyek Ancol.Ciputra saat ini dikenal sebagai sosok penyebar entrepreneurship / kewirausahaan di Indonesia. Dalam setiap kesempatan, ia selalu menanamkan pentingnya kewirausahaan untuk membuat bangsa Indonesia maju.
3) Irwan Prayitno
Ia punya nama lengkap yaitu Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc datang dari keluarga Minangkabau, Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen.
Jadi orang tua yang berpendidikan biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas. Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosial semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMA Negeri 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Teman penulis saat di SMA, Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan. Teman penulis yang lain, adalah juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis di SMA Solok, dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan di Atase Budaya di Kantor Kedutaan RI- Kuala Lumpur. Betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam karirnya.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar Nurul Fikri. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah.
Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Semula, Irwan merintis kursus bimbingan belajar Adzkia di Lolong-Padang  pada tahun 1987. Selain dirinya, beberapa pendiri Adzkia adalah sekaligus guru di antaranya Syukri Arief dan Mahyeldi Ansharullah.
Saat itu penulis kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang dan penulis juga menyibukan diri pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana penulis berkenalan dengan Bang Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan penulis mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Penulis masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Bang Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mengawas leadership, kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya.
4). Ibu Ade
Penulis tidak tahu dengan nama lengkapnya, namun penulis sempat bercerita panjang dengannya di pasar Batusangkar. Yang penulis tahu bahwa ia adalah Ibu kandung dari salah seorang murid penulis. Ibu Ade dahulu juga kuliah di IKIP Padang dan setelah itu sempat menjadi PNS yaitu sebagai seorang guru. Profesi guru akhirnya ditinggalnya, bukan profesi ini ini tidak bagus, namun bakat berbisnis atau berwirausahanya lebih menonjol dan memberi tantangan baginya. Penulis sempat bertukar cerita saat penulis berbelanja di tokonya.
Ibu Ade punya bisnis dalam bidang properti (pengembangan perumnas), jual-beliemas dan money changer. Di daerah yang tidak jauh dari rumahnya, ia mengobservasi ada hamparan tanah yang kurang produktif. Maka ia menemui pemilik tanah tersebut dan terjadi transaksi. Pendek kata tanah tersebut telah menjadi milik Ibu Ade dan selanjutnya dijadikan petak-petak atau “kavling” dan pembangunan perumahan buat warga dan utamanya para PNS. Sekarang properti atau perumnas yang dikembangkan oleh Ibu Ade menjadi Perumnas yang cukup popular di kota Batusangkar.
Selain itu Ibu Ade juga menggeluti bisnis jual beli emas dan valas (valuta asing). Ya tidak hanya Ibu Ade, tetapi juga banyak orang yang memahami bahwa Jual beli valuta asing (foreign exchange trading) semakin dilirik selain investasi saham, obligasi, emas. Berbisnis pada bidang ini menekankan pada kecepatan transaksi dan juga keuntungan. Dalam investasi ini perlu fokus penuh dan jeli dalam melihat pergerakan market dan yakin saat mengambil keputusan. Ya sama seperti investasi lainnya, kita perlu kenali dan pahami agar bisa menikmati hasilnya. Bagi pemula juga bisa melakukan bisnis ini misal dengan cara mengikuti saja aktivitas para trader yang cukup top. Dengan mengikuti pola trading mereka maka para investor pemula relatif lebih mampu mengidentifikasi peluang serta menghindari kerugian dengan lebih baik.
Penulis tidak menjelaskan bagaimana cara berbisnis properti, emas, obligasi dan valas, namun ingin menginformasikan bahwa kaum perempuan, seperti Ibu Ade, juga melihat bahwa kuliah di perguruan tinggi bukan untuk mencari kerja, namun buat mematangkan pola berfikir. Malah pekerjaan sebagai guru yang diberikan oleh perguruan tinggi telah ditinggalkan oleh Ibu Ade, menjadi seorang guru itu bagus, sekali lagi bahwa Ibu Ade merasakan adanya kepuasan kerja (satisfaction) melalui karir sebagai pebisnis. Kemampuan melihat dan membaca peluang dan keberanian untuk berbisnis telah mengantar Ibu Ade sebagai warga yang terkemuka di kota Batusangkar.
5) Kasmiati
Ia tidak pernah kuliah di perguruan tinggi. Ia menikah di usia muda, usia 22 tahun dan setelah punya 5 orang anak, terasa ada himpinan masalah ekonomi yang mendera. Gaji suaminya sebagai prajutit TNI tidak pernah mencukupi, hingga ia berhutang dan berhutang, akhirnya ia terpaksa gali lobang tutup lobang untuk menutupi masalah keuangan. Namun masalah keuangannya menjadi makin melebar.
Akhirnya ia menuntut ilmu pada life university (universitas kehidupan). Maksudnya ia curhat kepada lingkungan, tetangga, kenalan dan famili yang dianggap lebih dewasa dan tahu solusinya. Akhirnya ia tertarik berbisnis dalam bidang kuliner dengan nama warung “Warung Ketupat Uni Upik”. Usahanya tidak begitu besar, namun ia sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk membantu bisnis kulinernya. Ia mampu menyediakan kebutuhan sarapan pagi para pelanggannya yang jumlahnya cukup banyak sebagaimana yang sempat penulis saksikan. Di sini yang penting bagaimana proses kehidupan Uni Kasmiati mengalir dalam merajut sukses pada bisnis warungnya.
Kita sering mendengar bahwa urusan perut itu tidak bisa ditolerir. Ya, anggapan tersebut memang ada benarnya, karena kebutuhan manusia akan makan dan minum sudah menjadi kebutuhan pokok yang sama sekali tidak bisa ditunda-tunda. Dengan demikian, tak heran bila beberapa tahun belakang ini banyak pebisnis makanan betebaran di mana-mana, mulai dari pedagang makanan tradisional dengan istilah pedagang kaki lima, hingga pedagang makanan modern yang diklaim sebagai pengusaha kafe dan resto.
Kasmiati membuka usaha warung makanan yang modalnya cukup bisa dijangkau bagi kebanyakan orang. Sebenarnya bisnis makanan dan minuman bermodal rendah dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai jenis dan tempat usahanya.
Kasmiati dan suaminya Rostian tinggal di rumah bedeng (asrama) milik Batalyon Denzipur. Kebetulan lokasinya di pinggir jalan di persimpangan yang ramai di depan Rumah Sakit Umum. Kasmiati memanfaatkan satu petak kecil lahan tidur dan mendirikan warung sederhana yang terbuat dari papan. Semampunya ia menata perabot warung.
Ternyata Kasmiati melakukan survey sebelum membikin warung. Orang- orang di kiri dan kanan menjual sate, nasi goreng, pecal, dan beberapa jenis makanan lain. Ia menemukan produk khusus buat usahanya yaitu “ketupat gulai”, ya sebagai produk unggulannya. Ia juga bakal menjual produk yang sama seperti nasi goreng, nasi soto, nasi sup dan aneka minuman. Ya hidup memang bersaing- tentu harus dengan persaingan yang sehat, pelanggan bisa memilih sesuai dengan selera mereka.
Kasmiati merasa bersyukur karena bisa memiliki lokasi usaha yang bagus, yaitu pada daerah persimpangan jalan di dekat Rumah Sakit Umum. Ia berharap kelak pengunjung warungnya bisa ramai oleh orang-orang yang membutuhkan jajan buat mengusir lapar.
Kasmiati membuat konsep warungnya yaitu bagaimana agar outlet makannya dapat menarik pengunjung dan membuat mereka nyaman untuk memasukinya. Konsepnya ya warung dengan tata ruang yang sederhana, tetapi bersih dan nyaman. Dia juga memperhatikan pelayanan yang mengesankan. Ya Kasmiati membutuhkan beberapa orang karyawan buat membantu. Dan karyawan dilatih dan namun juga diaggap sebagai famili, agar mereka bekerja dengan ikhlas dan setia, dengan bayaran gaji yang bagus. Karena karyawan juga merupakan aset bisnis.
Kasmiati kemudian juga menguasai manajemen keuangan. Disiplin adalah kunci untuk menjamin kondisi keuangan bisa selalu baik-baik saja. Sederhananya dengan berbisnis kuliner keuntungan bersih yang bisa diperoleh adalah 20 %. Kalau bisnis menghasilkan 100 % per bulan, maka 20 % masuk ke rekening pemilik bisnis kecil ini.
Untung atau rugi musti jadi perhitungan dalam berdagang. Ada beberapa hal yang biasanya membuat bisnis kuliner bisa tidak ada untung. Antara lain biaya bahan baku yang berlebihan, mestinya biaya bahan baku bisa kontrol maksimal 60% dari target penjualan harian. Yang kedua biaya operasional yang membahana, bisa jadi karena sewa tempat yang terlalu mahal, jumlah karyawan yang terlampau banyak.
Sebelumnya Kasmiati tidak perlu menyewa warung, karena hak pakai sebagai keluarga Batalyon Denzipur. Setelah suaminya pension ia pindah dan menyewa warung untuk bisnis kulinernya. Alhamdulillah ia masih dapat mengelola keuangan dengan baik hingga ia dapat memperoleh uang dari bisnis kulinernya.

Dari uraian profil 5 orang tokoh di atas terlihat bahwa betapa setiap orang memiliki keberanian dan kecerdasan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Wawasan yang luas, selalu membuka mata dalam pergaulan sosial membuat afektif kita menjadi kaya. Bertukar fikiran dengan orang- orang yang berhasil, aktif dalam hidup (sosial) akan memberi manfaat dalam mencari posisi kita di masa depan. Tentu saja selalu diperlukan keberanian untuk mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan.     

Selasa, 09 Februari 2016

Kala Arca “Bertapa“ di Sekolah

 Suasana tenang dan sejuk khas perbukitan biasa membawa larut para siswa SMA Negeri 3 Batusangkar dalam belajar. Namun, hari itu, suasana sontak berubah. Gelaran Pameran Cagar Budaya yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar tampak menarik perhatian para siswa dan guru. Panel-panel yang memajang informasi pelbagai objek Cagar Budaya pun kerap disesaki pengunjung. Wajah-wajah penuh keingintahuan tersirat saat mereka mengamati setiap deskripsi dan piktorial objek Cagar Budaya dari tiga provinsi: Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, yang merupakan wilayah kerja BPCB Batusangkar.
Tak semata tampilan di atas kertas, para siswa juga disuguhi bentuk dari benda-benda Cagar Budaya, seperti: Arca Dwarapala, Arca Kuwera, hingga fragmen relief bata yang pada umumnya ditemukan saat ekskavasi di Dharmasraya. Tak tanggung-tanggung, Prasasti Pagaruyung dengan tinggi melebihi dua meter pun dihadirkan dalam bentuk replika. Uniknya, pameran yang berlangsung 1 s/d 2 Desember ini mencoba mengetengahkan sejarah peradaban masa lalu di Bukit Gombak yang merupakan daerah sekolah tersebut berada. Ternyata, pada umumnya siswa tidak mengetahui bahwa Bukit Gombak pernah menjadi objek penelitian Arkeolog Jerman, Prof. Dr. Dominik Bonatz pada 2011 dan 2012 silam.
“Pameran ini menambah wawasan tentang Cagar Budaya di sekitar kita. Seperti di lingkungan sekolah ini. Sebelumnya saya tidak tahu ternyata pernah ada penelitian dari peneliti luar negeri,” ungkap Padli Rahmad, siswa kelas XII.
Salah seorang guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Marjohan Usman, menambahkan, kegiatan ini dapat mengeksplorasi siswa terhadap pengenalan masa silam.
“Sehingga lewat mengenal inilah kita dapat mencintai negara, dan kita pun akan memiliki sikap patriotisme,” ujar peraih Guru Berprestasi SMA Tingkat Nasional 2012 tersebut.
Untuk lebih menarik kunjungan siswa, tim BPCB Batusangkar juga mengadakan permainan interaktif yang memiliki pendekatan dengan Cagar Budaya. Para siswa diminta merekonstruksi kembali fragmen artefak berbahan keramik dan tanah liat. Permainan ini terlihat amat diminati, terlebih setiap tim yang berhasil akan mendapat hadiah.
Annida Ikrima, mengaku permainan tersebut membantunya dalam mengenal salah satu metoda kerja arkeolog untuk memperoleh bentuk suatu benda melalui tinggalan yang tersisa.
“Untuk kegiatan pameran ke depannya, agar lebih diperbanyak lagi permainan yang bersifat pengenalan Cagar Budaya,” saran siswi kelas XI itu.
Harry Iskandar Wijaya, salah seorang tim dari BPCB Batusangkar mengatakan, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk publikasi kepada kaum muda untuk mengenal Cagar Budaya.

Minggu, 31 Januari 2016

Alvin Salendra

 Alvin Salendra, Mahasiswa dari Pontianak berkunjung ke SMAN 3 Batusangkar dan mejeng di jalan raya dekat SMAN 2 Batusangkar

Alvin berjumpa dengan Marjohan Usman

Rabu, 13 Januari 2016

Mencegah Drop-Out Sedini Mungkin



Mencegah Drop-Out Sedini Mungkin

            Semua orang tua sangat  memahami tentang betapa pentingnya manfaat pendidikan bagi anak. Mereka semua selalu mendukung kelangsungan pendidikan dan malah mencarikan sekolah terbaik buat anak-anak mereka. Sekaligus ini juga bentuk respon yang kuat atas kebijakan pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Kemudian malah secara spontan mereka melanjutkan wajib belajar secara spontan buat anak hingga kelas 12 (di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas).
Fenomena sosial bahwa cukup banyak orang tua yang juga menginginkan putra-putri mereka untuk memperoleh pendidikan tinggi. Hingga sekarang di berbagai kota telah bermunculan cukup banyak perguruan tinggi, dan ini memberi sinyal bahwa orang tua sangat peduli untuk memberi anak-anak mereka pendidikan yang lebih tinggi.
            Harapan mereka pada anak adalah agar mereka bisa menyelesaikan pendidikan mereka dari SD, SLTA terus hingga SLTA dan Perguruan tinggi. Namun dalam pelaksanaannya tidak mudah- tidak seperti membalik telapak tangan- karena ada harapan yang  tidak terpenuhi. Kita dapat menjumpai fenomena bahwa banyak pendidikan anak-anak mereka yang tercecer di tengah jalan. Maksudnya mereka putus sekolah atau drop out dalam menjalani pendidikan ini.
            Angka putus cukup banyak terjadi di tengah- tengah kehidupan kita. Bila kita bandingkan tentang fenomena putus sekolah di negara kita dengan di negara- negara  maju, maka kita menjadi malu karena memikirkan eksistensi pendidikan dan kegagalan akademik negara kita. Menurut Ketua Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan- Kerlip (http://rumahkerlip.blogspot.co.id/), tentang angka drop out- menyebutkan bahwa jumlah anak terlantar tersebar di 34 provinsi mencapai 4,1 Juta jiwa (Kemensos RI, 2014) dan menurut Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal - PAUDNI, tahun 2014 tercatat bahwa ada 7,39 juta anak putus sekolah.
Bruce Stronach (1995) menulis tentang sosial, budaya dan pendidikan di Jepang. Drop out juga terjadi di negara maju, seperti di negara Jepang- namun angkanya sangat kecil, kalau angka drop out kita sangat besar. Kementerian Pendidikan Budaya Olahraga Sains dan Teknologi Jepang mengumumkan hasil surveinya- Maret 2014 (http://www.tribunnews.com/internasional/2014) tentang angka drop-out pendidikan masyarakatnya. Bahwa sekitar 60.000 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan dan Perguruan tinggi (universitas) di Jepang mengundurkan diri di tengah jalan alias drop out (DO). Jumlah tersebut tersebut terjadi karena faktor pencarian kerja paruh waktu atau kerja non permanen yang dilakukan oleh siswa dan mahasiswa. Dorongan mencari kerja ini karena kehidupan di Jepang memang  sangat mahal, membutuhkan biaya untuk hidup yang besar.
Persentase 60 ribu dari total penduduk Jepang 127 juta adalah sekitar 0,0005 % (5 per sepuluh ribu) pertahun. Sebaliknya kalau di negara kita, seperti yang telah disebutkan di atas, ada  7,39 juta anak yang drop out dari sekolah pertahun. Persentasenya untuk ukuran penduduk kita 260 juta adalah 0,029 % (29 perseribu) pertahun. Angka 60 ribu dibandingkan dengan angka 7,39 juta tentu jauh sangat kecil, yaitu 1:125.
Angka drop out di Jepang juga ada penyebabnya. Sebuah survei yang dilakukan oleh Japan Institute for Labour Policy and Training, terhadap 2.000 responden yang berusia 20-an yang berdomisili di Tokyo pada tahun 2011 memperlihatkan hasil bahwa separuh (50 persen) dari yang berhenti sekolah/kuliah (drop out) tersebut karena desakan hidup yaitu memiliki pekerjaan tidak tetap dan 14 persen di antaranya tidak bekerja.
Sementara itu penyebab utama putus sekolah di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Kondisi ekonomi negara kita dibandingkan negara maju masih belum beruntung. Jumlah anak miskin mencapai 44,4 juta anak atau  lebih dari 50% dari seluruh populasi anak (UNICEF, 2012). Separuh dari 83 juta anak Indonesia tidak memiliki akta kelahiran yang seharusnya menjadi hak mereka. Jumlah anak yang kekurangan gizi pada tahun 2014 meningkat dari 15% menjadi 17%. Mereka berasal dari daerah kantong-kantong kemiskinan, terpencil, terluar dan tertinggal.
Selain faktor kemiskinan, faktor pendidikan orang tua yang rendah dan minimnya ilmu parenting orang tua juga pemicu terjadinya putus sekolah bagi anak- anak Indonesia. Malah karena kegagalan mendidik orang tua- fail parenting- maka jumlah anak berhadapan dengan hukum/berstatus tahanan atau narapidana jugasignifikan banyak yaitu 5.730 orang. BNN menyebutkan bahwa 22% pengguna narkoba di Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa.
Terkait dengan fenomena drop-out, ada 2 bentuk respon sekolah yaitu ada sekolah yang sungkan untuk mengungkapkan jumlah drop out, takut akan mengganggu proses perekrutan murid di sana, tetapi ada pula sekolah yang secara terbuka mengungkapkan jumlah murid yang drop out dari sekolahnya. Namun kalau di negeri kita pihak sekolah atau Dinas Pendidikan seolah-olah membiarkan saja anak-anak yang drop-out. Semua berpulang kepada keputusan orang tua mereka.
Kalau digambarkan perbandingan grafik demografi antara Jepang dan Indonesia, maka akan terlihat gambar yang sangat mencolok. Yaitu kalau di Jepang saat memasuki pendidikan Sekolah Dasar tercatat jumlah muridnya sebanya 100 %. Kemudian saat masuk SMP dan tamat SMP populasinya tetap sebanyak saat berada di SD. Kemudian ke pendidikan SLTA dan tamat dari SLTA juga tetap 100 %. Kemudian masuk ke Perguruan tinggi dan tamat dari Perguruan tinggi populasi mahasiswa tetap 100 % atau karena ada yang tercecer di jalan karena drp-out dalam angka yang kecil maka tamatan Perguruan tinggi tetap mendekati angka 100 %. Dengan demikian grafik demografi pendidikan Jepang dari SD hingga Perguruan tinggi menyerupai sebuah limas yang hampir sempurna.
Cukup kontra dengan gambar grafik pendidikan di tanah air kita. Saat masuk SD ada populasi siswa sebanyak 100 %, saat tamat SD bisa jadi menjadi 90 %, karena ada sekitar 7 juta anak yang drop out. Kemudian terus ke SMP dan saat tamat ada lagi yang tercecer dan tingga menjadi 80 %. Selanjutnya melanjutkan ke SLTA dan saat tamat tercecer lagi dan tinggal 65 %. Kemudian yang melanjutkan ke Perguruan tinggi juga berkurang, mungkin hanya 40 % dan nanti saat wisuda dari Perguruan tinggi hanya 35 %, karena juga ada yang tercecer di jalan. Dengan demikian gambaran grafik demografi pendidikan kita hampir menyerupai sebuah Piramida. Dengan demikian kira perlu merasa bersimpati atas fenomena pendidikan dan harus bisa menemukan penyebab dan solusinya.   
Penyebab tercecernya pendidikan anak-anak kita, sehingga mengalami drop-out, adalah faktor kemiskinan. Secara umum orang hanya melihat gara-gara kemiskinan harta. Pendapatan yang sangat rendah sehingga tidak punya dana buat menggenjot mutu pendidikan anak. Dibalik itu bahwa beberapa bentuk kemiskinan yang memberi dampak pada anak-anak untuk melarikan diri dari sekolah atau drop-out. Yaitu kemiskinan pada SDM orang tua, SDM guru di sekolah dan faktor media atau sarana buat mendorong anak untuk termotivasi dalam bergairah untuk belajar.
Saat lahir semua anak memiliki tingkat kepintaran yang sama, yaitu menangis dan mengeluarkan bunyi yang belum punya makna. Namun setelah 5 tahun, 10 tahun atau berusia remaja terlihat perbedaan kepintaran pada unsur verbal, numerical dan sosial, dll. Semua perubahan yang menunjukan kualitas diri sangat ditentukan oleh peran sentuhan, rangsangan, pengarahan dan didikan dari orang tua. Seperti kata sebuah ungkapan “the man behind the gun”. Kualitas penggunaan sebuah senjata ditentukan oleh siapa orang yang memegangnya. Apakah mau bertujuan baik atau bertujuan kurang baik (?).
Seorang yang terlahir dari keluarga yang tidak mengenal konsep parenting, bagaimana menjadi orang tua yang ideal, dan orang tua yang tidak memahami bagaimana mengelola rumah tangga dan mengadopsi gaya memimpin keluarga bersifat laizes faire (serba membiarkan) maka mereka akan menumbuhkan anak ibarat bunga liar yang tumbuh di luar taman. Yaitu seorang anak yang berpotensi yang terkesan salah urus dan salah asuh.
Bila kita sempat tinggal dengan saudara-saudara kita yang mengadopsi pola keluarga di kelas, maka terlihat manajemen keluarga tanpa job-description yang jelas. Rumah mereka dari pagi hingga datang lagi malam bising dengan hingar binger suara televisi. Anak- anak tidak mengenal disiplin waktu, sehingga cukup banyak yang bisa tertidur hingga larut malam. Makanya banyak anak anak Indonesia yang kurang tidur hingga pergi sekolah dengan mata mengantuk.
Cukup banyak kritikan yang bisa dilontarkan pada orang tua. Mulai dari gaya berbahasa orang tua yang satu arah- hanya sebatas menyuruh, memerintah dan memarahi, hingga kepada orang tua yang tidak tahu cara melatih anak untuk tahu memiliki tanggung jawab dimana semua pekerjaan dimonopoli oleh orang tua. Anak anak yang miskin dengan pengalaman hidup akan tumbuh menjadi orang yang juga kurang kualitas.
Guru di sekolah merupakan orang tua kedua bagi anak. Dimana mereka punya tanggung jawab dalam “teaching and educating”, yaitu mendidik dan mengajar atau menumbuhkan kognitif dan karakter positif. Namun dalam realita adalah banyak guru yang bersifat sebagai “guru kurikulum”.
Ngainun Naim (2009) mengatakan bahwa guru kurikulum adalah mereka hanya sekedar pintar memindahkan isi buku ke dalam otak anak. Mereka tepat disebut sebagai “academic worker”. Yang dibutuhkan anak adalah guru yang inspiratif, guru yang berbagi waktu untuk memberi pencerahan. Maka sang guru paling kurang harus betul-betul menguasai dan mengaplikasikan kompetensi guru seperti “kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesioinal”.
Guru yang memiliki dan mengaplikasikan empat kompetensi perlu untuk selalu belajar dalam kehidupan. Belajar tentu butuh membaca, namun inilah fenomena bahwa banyak guru  yang tidak belajar lagi dalam kehidupannya. Mereka hanya sekedar mengulang ulang menyentuh buku-buku teks untuk ditampilkan buat siswa pada hari berikutnya. Saat siswa kehilangan gairah belajar, lemah minat dan motivasi belajar maka mereka kurang bisa memberi respon yang dibutuhkan anak- malah cukup banyak membuat jarak atau menjadikan konflik. Maka tumbuhlah problem demi problem dalam pengajaran.   
Agar angka drop-out bisa berkurang, dan bila perlu bisa mencapai titik nol, dengar arti kata menciptakkan “zero drop out” maka perlu dicari solusi. Pencegahan sejak dini lebih bagus sebelum drop-out terjadi. Penyebab utamanya adalah dari rumah. Pengalaman penulis yang beberapa tetangga yang anak-anaknya mengalami drop-out pada usia dini.
Anak-anak ini memang berasal dari keluarga yang miskin. Tidak hanya miskin secara finansial, namun juga terbelakang dari segi budaya. Tidak ada materi bacaan di rumah, tidak ada fasilitas pendidikan dan tidak ada konsep mendidik.
Sangat diperlukan campur tangan pemerintah untuk menyelenggarakan program atau kursus parenting bagi pasangan yang ingin melaksanakan pernikahan. Agar kelak mereka bisa membina rumah tangga tanpa meraba- raba. Lebih lanjut pemerintah perlu memberikan kursus-kursus parenting untuk berbagai lapisan masyarakat agar bisa terbentuk keluarga yang punya kualitas dalam mendidik keluarga mereka.
Bagi keluarga perlu untuk memiliki perpustakaan keluarga dan mengajak anggota keluarga mereka untuk peduli dengan membaca untuk menambah wawasan. Bagi keluarga yang telah mempunyai anak maka perlu segera untuk memperkenalkan disiplin waktu kepada mereka. Anggota keluarga perlu memiliki jadwal kegiatan di rumah, mulai dari bangun hingga pergi tidur lagi. Kemudia anak-anak perlu untuk diberi tanggung jawab, ini berguna untuk melatih mereka menjadi warga yang tahu dengan tanggung jawab. 
Juga keluarga yang sukses dalam membangun semangat belajar anak- dan menghindari drop out- adalah yang peduli selalu memotivasi anak untuk belajar. Mereka membangun komunikasi yang dua arah dengan gaya memimpin orang tua yang demokrasi. Ada suasana kebersamaan dan rumah bebas dari suasana bising. Ada selalu budaya belajar, beraktivitas dan penghargaan atas partisipasi buat setiap anggota keluarga.
Sekolah yang efektif juga berkontribusi untuk mendukung semangat belajar anak. Sekolah dan guru memberi pelayanan prima, tidak hanya sebatas mengejar target kurikulum, namun juga mengoptimalkan proses kegiatan belajar anak untuk menumbuhkah kognitif, psikomotorik dan afektif mereka. Sekolah efektif tentu saja merupakan sekolah yang menarik sehingga mampu mengundang partisipasi siswa buat belajar dan mengoptimalkan potensi mereka. Dengan demikian melalui peran rumah dan sekolah akan mampu mengurangi drop out anak. 

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...