Mencegah
Drop-Out Sedini Mungkin
Semua
orang tua sangat memahami tentang betapa
pentingnya manfaat pendidikan bagi anak. Mereka semua selalu mendukung
kelangsungan pendidikan dan malah mencarikan sekolah terbaik buat anak-anak
mereka. Sekaligus ini juga bentuk respon yang kuat atas kebijakan pemerintah dalam
menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Kemudian malah secara spontan mereka melanjutkan
wajib belajar secara spontan buat anak hingga kelas 12 (di Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas).
Fenomena sosial bahwa
cukup banyak orang tua yang juga menginginkan putra-putri mereka untuk
memperoleh pendidikan tinggi. Hingga sekarang di berbagai kota telah
bermunculan cukup banyak perguruan tinggi, dan ini memberi sinyal bahwa orang
tua sangat peduli untuk memberi anak-anak mereka pendidikan yang lebih tinggi.
Harapan
mereka pada anak adalah agar mereka bisa menyelesaikan pendidikan mereka dari
SD, SLTA terus hingga SLTA dan Perguruan tinggi. Namun dalam pelaksanaannya
tidak mudah- tidak seperti membalik telapak tangan- karena ada harapan yang tidak terpenuhi. Kita dapat menjumpai fenomena
bahwa banyak pendidikan anak-anak mereka yang tercecer di tengah jalan.
Maksudnya mereka putus sekolah atau drop
out dalam menjalani pendidikan ini.
Angka
putus cukup banyak terjadi di tengah- tengah kehidupan kita. Bila kita
bandingkan tentang fenomena putus sekolah di negara kita dengan di negara-
negara maju, maka kita menjadi malu karena
memikirkan eksistensi pendidikan dan kegagalan akademik negara kita. Menurut
Ketua Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan- Kerlip (http://rumahkerlip.blogspot.co.id/),
tentang angka drop out- menyebutkan bahwa jumlah anak terlantar tersebar di 34
provinsi mencapai 4,1 Juta jiwa (Kemensos RI, 2014) dan menurut Ditjen
Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal - PAUDNI, tahun 2014 tercatat
bahwa ada 7,39 juta anak putus sekolah.
Bruce Stronach (1995)
menulis tentang sosial, budaya dan pendidikan di Jepang. Drop out juga terjadi di negara maju, seperti di negara Jepang-
namun angkanya sangat kecil, kalau angka drop out kita sangat besar. Kementerian
Pendidikan Budaya Olahraga Sains dan Teknologi Jepang
mengumumkan hasil surveinya- Maret 2014
(http://www.tribunnews.com/internasional/2014) tentang angka drop-out pendidikan masyarakatnya. Bahwa
sekitar 60.000 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan dan Perguruan
tinggi (universitas) di Jepang mengundurkan diri di tengah jalan alias drop out (DO). Jumlah tersebut tersebut
terjadi karena faktor pencarian kerja paruh waktu atau kerja non permanen yang dilakukan
oleh siswa dan mahasiswa. Dorongan mencari kerja ini karena kehidupan di Jepang
memang sangat mahal, membutuhkan biaya
untuk hidup yang besar.
Persentase 60 ribu dari
total penduduk Jepang 127 juta adalah sekitar 0,0005 % (5 per sepuluh ribu)
pertahun. Sebaliknya kalau di negara kita, seperti yang telah disebutkan di
atas, ada 7,39 juta anak yang drop out dari sekolah pertahun.
Persentasenya untuk ukuran penduduk kita 260 juta adalah 0,029 % (29 perseribu)
pertahun. Angka 60 ribu dibandingkan dengan angka 7,39 juta tentu jauh sangat
kecil, yaitu 1:125.
Angka drop out di Jepang juga ada penyebabnya.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Japan
Institute for Labour Policy and Training, terhadap 2.000 responden yang
berusia 20-an yang berdomisili di Tokyo pada tahun 2011 memperlihatkan hasil
bahwa separuh (50 persen) dari yang berhenti sekolah/kuliah (drop out) tersebut karena desakan hidup
yaitu memiliki pekerjaan tidak tetap dan 14 persen di antaranya tidak bekerja.
Sementara itu penyebab
utama putus sekolah di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Kondisi ekonomi
negara kita dibandingkan negara maju masih belum beruntung. Jumlah anak miskin
mencapai 44,4 juta anak atau lebih dari 50% dari seluruh populasi anak
(UNICEF, 2012). Separuh dari 83 juta anak Indonesia tidak memiliki akta
kelahiran yang seharusnya menjadi hak mereka. Jumlah anak yang kekurangan gizi
pada tahun 2014 meningkat dari 15% menjadi 17%. Mereka berasal dari daerah
kantong-kantong kemiskinan, terpencil, terluar dan tertinggal.
Selain faktor
kemiskinan, faktor pendidikan orang tua yang rendah dan minimnya ilmu parenting orang tua juga pemicu
terjadinya putus sekolah bagi anak- anak Indonesia. Malah karena kegagalan
mendidik orang tua- fail parenting- maka jumlah anak berhadapan
dengan hukum/berstatus tahanan atau narapidana jugasignifikan banyak yaitu
5.730 orang. BNN menyebutkan bahwa 22% pengguna narkoba di Indonesia adalah
pelajar dan mahasiswa.
Terkait dengan fenomena
drop-out, ada 2 bentuk respon sekolah
yaitu ada sekolah yang sungkan untuk mengungkapkan jumlah drop out, takut akan mengganggu proses perekrutan murid di sana,
tetapi ada pula sekolah yang secara terbuka mengungkapkan jumlah murid yang drop out dari sekolahnya. Namun kalau di
negeri kita pihak sekolah atau Dinas Pendidikan seolah-olah membiarkan saja
anak-anak yang drop-out. Semua
berpulang kepada keputusan orang tua mereka.
Kalau digambarkan
perbandingan grafik demografi antara Jepang dan Indonesia, maka akan terlihat
gambar yang sangat mencolok. Yaitu kalau di Jepang saat memasuki pendidikan
Sekolah Dasar tercatat jumlah muridnya sebanya 100 %. Kemudian saat masuk SMP
dan tamat SMP populasinya tetap sebanyak saat berada di SD. Kemudian ke
pendidikan SLTA dan tamat dari SLTA juga tetap 100 %. Kemudian masuk ke Perguruan
tinggi dan tamat dari Perguruan tinggi populasi mahasiswa tetap 100 % atau
karena ada yang tercecer di jalan karena drp-out dalam angka yang kecil maka
tamatan Perguruan tinggi tetap mendekati angka 100 %. Dengan demikian grafik
demografi pendidikan Jepang dari SD hingga Perguruan tinggi menyerupai sebuah
limas yang hampir sempurna.
Cukup kontra dengan
gambar grafik pendidikan di tanah air kita. Saat masuk SD ada populasi siswa
sebanyak 100 %, saat tamat SD bisa jadi menjadi 90 %, karena ada sekitar 7 juta
anak yang drop out. Kemudian terus ke
SMP dan saat tamat ada lagi yang tercecer dan tingga menjadi 80 %. Selanjutnya
melanjutkan ke SLTA dan saat tamat tercecer lagi dan tinggal 65 %. Kemudian
yang melanjutkan ke Perguruan tinggi juga berkurang, mungkin hanya 40 % dan
nanti saat wisuda dari Perguruan tinggi hanya 35 %, karena juga ada yang
tercecer di jalan. Dengan demikian gambaran grafik demografi pendidikan kita
hampir menyerupai sebuah Piramida. Dengan demikian kira perlu merasa bersimpati
atas fenomena pendidikan dan harus bisa menemukan penyebab dan solusinya.
Penyebab tercecernya
pendidikan anak-anak kita, sehingga mengalami drop-out, adalah faktor kemiskinan. Secara umum orang hanya melihat
gara-gara kemiskinan harta. Pendapatan yang sangat rendah sehingga tidak punya
dana buat menggenjot mutu pendidikan anak. Dibalik itu bahwa beberapa bentuk
kemiskinan yang memberi dampak pada anak-anak untuk melarikan diri dari sekolah
atau drop-out. Yaitu kemiskinan pada
SDM orang tua, SDM guru di sekolah dan faktor media atau sarana buat mendorong
anak untuk termotivasi dalam bergairah untuk belajar.
Saat lahir semua anak
memiliki tingkat kepintaran yang sama, yaitu menangis dan mengeluarkan bunyi
yang belum punya makna. Namun setelah 5 tahun, 10 tahun atau berusia remaja
terlihat perbedaan kepintaran pada unsur verbal,
numerical dan sosial, dll. Semua
perubahan yang menunjukan kualitas diri sangat ditentukan oleh peran sentuhan,
rangsangan, pengarahan dan didikan dari orang tua. Seperti kata sebuah ungkapan
“the man behind the gun”. Kualitas
penggunaan sebuah senjata ditentukan oleh siapa orang yang memegangnya. Apakah
mau bertujuan baik atau bertujuan kurang baik (?).
Seorang yang terlahir
dari keluarga yang tidak mengenal konsep parenting,
bagaimana menjadi orang tua yang ideal, dan orang tua yang tidak memahami
bagaimana mengelola rumah tangga dan mengadopsi gaya memimpin keluarga bersifat
laizes faire (serba membiarkan) maka mereka akan menumbuhkan anak ibarat
bunga liar yang tumbuh di luar taman. Yaitu seorang anak yang berpotensi yang
terkesan salah urus dan salah asuh.
Bila kita sempat
tinggal dengan saudara-saudara kita yang mengadopsi pola keluarga di kelas,
maka terlihat manajemen keluarga tanpa job-description
yang jelas. Rumah mereka dari pagi hingga datang lagi malam bising dengan
hingar binger suara televisi. Anak- anak tidak mengenal disiplin waktu,
sehingga cukup banyak yang bisa tertidur hingga larut malam. Makanya banyak
anak anak Indonesia yang kurang tidur hingga pergi sekolah dengan mata
mengantuk.
Cukup banyak kritikan
yang bisa dilontarkan pada orang tua. Mulai dari gaya berbahasa orang tua yang
satu arah- hanya sebatas menyuruh, memerintah dan memarahi, hingga kepada orang
tua yang tidak tahu cara melatih anak untuk tahu memiliki tanggung jawab dimana
semua pekerjaan dimonopoli oleh orang tua. Anak anak yang miskin dengan
pengalaman hidup akan tumbuh menjadi orang yang juga kurang kualitas.
Guru di sekolah
merupakan orang tua kedua bagi anak. Dimana mereka punya tanggung jawab dalam “teaching and educating”, yaitu mendidik
dan mengajar atau menumbuhkan kognitif dan karakter positif. Namun dalam
realita adalah banyak guru yang bersifat sebagai “guru kurikulum”.
Ngainun Naim (2009)
mengatakan bahwa guru kurikulum adalah mereka hanya sekedar pintar memindahkan
isi buku ke dalam otak anak. Mereka tepat disebut sebagai “academic worker”. Yang dibutuhkan anak adalah guru yang inspiratif,
guru yang berbagi waktu untuk memberi pencerahan. Maka sang guru paling kurang
harus betul-betul menguasai dan mengaplikasikan kompetensi guru seperti
“kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesioinal”.
Guru yang memiliki dan
mengaplikasikan empat kompetensi perlu untuk selalu belajar dalam kehidupan.
Belajar tentu butuh membaca, namun inilah fenomena bahwa banyak guru yang tidak belajar lagi dalam kehidupannya.
Mereka hanya sekedar mengulang ulang menyentuh buku-buku teks untuk ditampilkan
buat siswa pada hari berikutnya. Saat siswa kehilangan gairah belajar, lemah
minat dan motivasi belajar maka mereka kurang bisa memberi respon yang
dibutuhkan anak- malah cukup banyak membuat jarak atau menjadikan konflik. Maka
tumbuhlah problem demi problem dalam pengajaran.
Agar angka drop-out bisa berkurang, dan bila perlu
bisa mencapai titik nol, dengar arti kata menciptakkan “zero drop out” maka perlu dicari solusi.
Pencegahan sejak dini lebih bagus sebelum drop-out
terjadi. Penyebab utamanya adalah dari rumah. Pengalaman penulis yang beberapa
tetangga yang anak-anaknya mengalami drop-out
pada usia dini.
Anak-anak ini memang berasal
dari keluarga yang miskin. Tidak hanya miskin secara finansial, namun juga
terbelakang dari segi budaya. Tidak ada materi bacaan di rumah, tidak ada
fasilitas pendidikan dan tidak ada konsep mendidik.
Sangat diperlukan
campur tangan pemerintah untuk menyelenggarakan program atau kursus parenting bagi pasangan yang ingin
melaksanakan pernikahan. Agar kelak mereka bisa membina rumah tangga tanpa
meraba- raba. Lebih lanjut pemerintah perlu memberikan kursus-kursus parenting untuk berbagai lapisan masyarakat
agar bisa terbentuk keluarga yang punya kualitas dalam mendidik keluarga
mereka.
Bagi keluarga perlu
untuk memiliki perpustakaan keluarga dan mengajak anggota keluarga mereka untuk
peduli dengan membaca untuk menambah wawasan. Bagi keluarga yang telah
mempunyai anak maka perlu segera untuk memperkenalkan disiplin waktu kepada
mereka. Anggota keluarga perlu memiliki jadwal kegiatan di rumah, mulai dari
bangun hingga pergi tidur lagi. Kemudia anak-anak perlu untuk diberi tanggung
jawab, ini berguna untuk melatih mereka menjadi warga yang tahu dengan tanggung
jawab.
Juga keluarga yang
sukses dalam membangun semangat belajar anak- dan menghindari drop out- adalah yang peduli selalu
memotivasi anak untuk belajar. Mereka membangun komunikasi yang dua arah dengan
gaya memimpin orang tua yang demokrasi. Ada suasana kebersamaan dan rumah bebas
dari suasana bising. Ada selalu budaya belajar, beraktivitas dan penghargaan
atas partisipasi buat setiap anggota keluarga.
Sekolah yang efektif
juga berkontribusi untuk mendukung semangat belajar anak. Sekolah dan guru
memberi pelayanan prima, tidak hanya sebatas mengejar target kurikulum, namun
juga mengoptimalkan proses kegiatan belajar anak untuk menumbuhkah kognitif,
psikomotorik dan afektif mereka. Sekolah efektif tentu saja merupakan sekolah
yang menarik sehingga mampu mengundang partisipasi siswa buat belajar dan
mengoptimalkan potensi mereka. Dengan demikian melalui peran rumah dan sekolah
akan mampu mengurangi drop out
anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them