Merencanakan
Studi Perguruan Tinggi Sejak Dini
Saat kecil kita sudah
punya cita-cita. Di sekolah ibu dan bapak guru sering menanyakan tentang
cita-cita kita. Sekarang saatnya penulis, sebagai guru, juga sering ngobrol
dengan siswa tentang pilihan studi dan karirnya di masa depan. Namun pada
umumnya mereka bingung dalam memilih cita-citanya. Mereka berkata: “Saya tidak
tahu ingin jadi apa” atau “saya tidak tahu bagaimana mencapai cita-citaku
kelak.
Berdasarkan pengalaman
ini penulis menyimpulkan bahwa sungguh banyak siswa yang memiliki pemahaman
tentang masa depan yang sangat minim. Mengapa setelah berusia remaja mereka
bingung dengan masa depan atau pilihan karir mereka, pada hal saat sekolah di
TK dan SD mereka dengan lantang meneriakan pilihan karir mereka. Orang tua kita
juga punya peran dalam menumbuhkan cita-cita kita. Mereka membisikan sekeping
cita-cita guna memotivasi semangat belajar kita. Ketika kita sekolah di SD
(Sekolah Dasar) orang tua kita punya peran yang banyak dalam memilihkan sesuatu
untuk kita, tentu saja mereka membisikan cita-cita yang masuk akal buat kita:
“Moga-moga kamu bisa
menjadi seorang tokoh masyarakat, menjadi dokter, polisi, perawat, jadi pilot,
juga menjadi pemuka agama, dll”.
Terasa saat di SD orang
tua kita juga memilihkan banyak hal buat kita, termasuk memilihkan kebutuhan
kita dan juga bentuk cita-cita kita. Namun selepas dari SD, kita mulai
dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan studi kita. Walau kemudian, lagi-lagi
orang tua masih berperan besar- misalnya memberi pertimbangan- dalam keputusan
yang kita ambil.
Usai SD terus kita
belajar di SMP, dimana di usia SMP kita juga melakukan sejumlah pilihan dalam
studi dan kehidupan. Ketika di SMA, pilihan-pilihan itu semakin banyak. Mulai
dari memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan yang akan diambil, lulus sekolah
mau kuliah atau bekerja. Dan peran orang tua dalam menentukan pilihan kita
sudah berkurang. Termasuk dalam menentukan pilihan kuliah.
Kalau mau kuliah tentu
ada sejumlah pilihan. Kita diharapkan bisa memutuskan sendiri. Mulai dari
menentukan mengambil program studi D3 atau S1, di universitas mana, program
studi atau jurusannya apa, dan ada sederet pilihan lainnya. Sekarang bagi
lulusan SLTA/ SMA, terutama remaja, semestinya sudah bisa memutuskan pilihannya
sendiri. Karena semua pilihan yang mereka ambil sebenarnya adalah pilihan
tentang masa depan mereka.
Dulu saat zamat
rekruitmen PNS terasa agak mudah, pilihan kuliah terasa cukup mudah. Orang bisa
menunjuk apakah mereka mau berkarir pada bidang kedokteran, perawat, farmasi.
Kemudia kalau mereka pilih studi di IPA atau IPS maka mereka akan berkarir di
dunia sains atau sosial. Namun sekarang, atau sejak beberapa tahun
belakang, tidak demikian lagi. Fenomena
sekarang bahwa pilihan jurusan di perguruan tinggi tidak mutlak menentukan
karir. Ada orang yang lulusan fakultas tekhnik atau fakultas hukum ternyata
berkarir dalam bidang perdagangan.
Jadinya sekarang pada banyak jenjang pendidikan SMA banyak siswa yang menjadi
bingung dan tidak tahu arah untuk karir masa depan, kenapa demikian ?
Mungkin kondisi
pendidikan kita yang tidak fokus. Memang benar bahwa ini sering terjadi di
Indonesia. Pendidikan tidak banyak membicarakan tentang masa depan, hanya
sekedar memberi teori dan PR dan menagih PR keesokan harinya. Juga pendidikan
kita mungkin juga miskin tentang motivasi hidup. Mata pelajaran agama hanya 2
jam dalam seminggu dan tidak ada waktu untuk mengupas tentang kisah-kisah hidup
Rasul, para sahabat dan ulama cerdas di dunia.
Pelajaran sains kita
hanya banyak berkutat pada teori- menghafal rumus-rumus- dan hampir tidak
pernah mengupas tentang proses kreatif sang penemu (tokoh sains) mengapa mereka
bisa menemukan rumus dan terkenal sebagai ilmuwan. Pelajaran olah raga hanya
melatih siswa untuk menguasai gerak dasar dan jarang sekali untuk mempersiapkan
menjadi atlit nasional, apa lagi atlit dunia. Dan lain-lain, sehingga saat
anak-anak lulus SMA, mereka kaget dan tidak tahu mau ngapain. Itulah bentuk kebingungan anak-anak soal masa depannya.
Belajar dengan motivasi
tinggi dapat kita temui pada banyak SMA, apalagi bagi sekolah yang berlabel
unggul. Motivasi terkuat mereka untuk belajar dengan sepenuh hati adalah agar
bisa jebol di perguruan tinggi favorit yang terletak berjejer di pulau Jawa.
Malah untuk menghadapi persaingan yang ketat dan agar bisa menang dalam
persaingan dengan menggapai skor yang tinggi maka mereka jugabelajar pada
bimbel (bimbingan belajar) yang sekarang sudah menjamur di penjuru tanah air.
Tapi mereka tetap
sekedar bisa belajar keras dan bisa meraih skor yang depan. Untuk ke depannya
mereka tidak tahu mau kuliah dimana dan mau jadi apa. Rata- rata siswa ingin
berkarir di jurusan yang fantastis. Pada umumnya ingin kuliah di Fakultas
Kedokteran UI dimana ini hampir tidak mungkin buat menampung banyak siswa yang
kualitasnya rendah. Ada juga siswa yang memilih jurusan yang juga secara
ikut-ikutan.
Kita bisa
menemukan/membaca banyak kasus siswa yang galau dengan karir masa depan. Yaitu
banyak mereka yang sudah berpayah-payah mengikuti bimbel dan juga SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) hingga bisa diterima di jurusan yang mereka tuju,
tapi malah akhirnya mundur karena merasa tidak cocok dengan pilihan kuliahnya.
Malah ada sebahagian
siswa yang sangat ngotot ikut “bimbel” dan ikut lagi SPMB berulang-ulang agar
bisa jebol ke fakultas kedokteran dan fakultas favorite lainnya namun juga tak
juga lulus. Mengapa mereka memaksa diri, karena bisa jadi peruntungannya atau
kapasitasnya tidak di sana (?). Mengapa mereka selalu memaksakan kehendak,
tentu saja itu efek dari prilaku yang penuh dengan kebingungan terhadap masa
depan studi dan karirnya.
Dalam mengikuti
pelajaran, para siswa seolah-olah menganut prinsip “like atau dislike” untuk sejumlah mata pelajaran. Namun mereka
harus juga mengikuti pelajaran yang mereka tidak suka. Berbeda dengan
pendidikan di luar negeri, seperti di Amerika dimana para siswa boleh memilih
mata pelajaran yang mereka suka, sehingga untuk ke depan mereka sudah memahami
seperti apa dan dimana karir mereka kelak.
Tentu saja terjadi fenomena
“kebingung dengan masa depan”. Mereka tidak tahu kemana mau kuliah dan apa
karir mereka kelak. Seharusnya mereka memerlukan bimbingan orang tua.
Kurang fokusnya siswa
terhadap masa depan yang akan mereka jalani terjadi karena minimnya wawasan dan
pengalaman siswa itu sendiri, peran orang tua sangat dibutuhkan. Memang belum
banyak orang tua yang bisa mengarahkan dan membimbing anaknya untuk fokus pada
masa depan.
“Bagi saya kemana dan
dimana anak mau kuliah saya serahkan padanya. Saya hanya memberi dukungan
secara moral, spiritual dan finansial padanya”.
Namun juga ada sebagian
orang tua yang kelihatannya cukup peduli. Namun mereka hanya menginginkan masa
depan anaknya sesuai dengan patokannya
tanpa melibatkan anak untuk berargumen tentang masa depan mereka. Mereka ingin
anaknya kelak sebagaimana yang mereka inginkan, misalnya menjadi dokter,
bankir, dan sebagainya. Sekali lagi- sayangnya keinginan anak berdasarkan
potensi kurang mereka hiraukan.
Sementara di sisi lain,
ada orang tua yang permisif- seperti yang telah kita ungkapkan di atas- pokonya
dimana anak/ siswa mau kuliah yan terserah mereka, apa saja boleh. Tipe orang
tua seperti ini tidak memberi arahan sama sekali. Sekali lagi bahwa akibatnya
anak menjadi kebingungan sendiri. Seharusnya peran orang tua tidak memaksakan
diri. Orang tua perlu lebih arif dan lebih cerdas. Mereka harus mengenali
potensi anak, setelah itu baru membantu dan memberikan alternatif yang bisa
dilakukan anak.
“Mari kita berikan anak-
anak kita beberapa alternative pilihan studi, dan biarkan mereka yang
memutuskannya. Karena urusan masa depan- apa jurusan dan dimana mau kuliah-
adalah tergantung minat dan potensi anak itu sendiri, jadinya anak harus tetap
dilibatkan dalam urusan masa depannya”.
Ketika seorang anak
sudah beranjak remaja, namun ia belumn juga punya cita-cita atau pilihan karier
di masa depan, maka ini adalah warning
bagi guru dan orang tua untuk secepatnya memberi arahan masa depan bagi
anak-anak/ siswa. Ini sebagai pertanda
bahwa mereka adalah remaja tidak punya cita-cita atau target hidup, dan
seharusnya mereka punya cita-cita masa depan.
Bagaimana merancang
masa depan buat anak ? Sebenarnya sudah dapat dimulai sejak dari rumah. Orang
tua dapat mengarahkan anak tentang masa depannya yaitu dengan pengenalan kepada
berbagai pekerjaan yang bisa dijalaninya di masa depan bisa dimulai sejak usia
TK atau SD. Mungkin saat libur orang tua dan anak sengaja mengunjungi
objek-objek karir seperti pertokoan, properti, plaza, kantor, pabrik, lembaga
sains, areal peternakan hingga bandara.
Selama jalan-jalan tersebut mereka perlu melakukan percakapan seputar karir.
Selain itu percakapan
tentang karir juga bisa dilakukan dengan membahas biografi para tokoh. Hingga
anak mendapatkan tentang karir, bahwa karir itu tidak hanya seputar karir dalam
lingkungan PNS namun jauh melampui itu. Menjadi atlit, pengusaha dan seniman
adalah juga karir. Kemudian pemantapan atau pematangan baru bisa dilakukan saat
anak duduk di bangku SMP dan SMA.
Pada usia SMP dan SMA
inilah orang tua harus mulai membicarakan masa depan secara lebih serius.
Tentunya dengan gaya berkomunikasi interaktif (dua arah) yang bisa diterima
anak. Sebab, anak-anak usia belasan tak bisa diatur dan diajak bicara dengan
gaya directive- gaya berkomunikasi
satu arah dan banyak mendikte- yang bernada serba mengatur begini dan begitu.
Pendekatan
berkomunikasi dengan anak musti secara perlahan dan kesadaran harus timbul dari
dalam diri mereka. Orang tua harus bersikap lebih bijaksana dan berusaha agar
bisa memberi gambaran tentang masa depan itu dan bagaimana tuntutan buat anak
untuk mengejar masa depan, tidak mungkin dengan cara berpangku tangan, bukan ?
Kemudian orang tua juga harus mengenal potensi anak. Dengan potensi yang
dimilikinya, apa kira-kira yang bisa dilakukan anak untuk menjawab tantangan
masa depannya.
Dalam zaman dahulu
untuk memilih suatu studi (sekolah) orang punya banyak pertimbangan.
Pertimbangan utama adalah soal finansial dan mereka berfikir tentang
kesanggupan finansial orang tua. Ujung-ujungnya banyak yang mengambil sekolah
kejuruan yang dianggap sebagai pendidikan siap bisa bekerja bila sudah
menamatkan jenjang pendidikan SLTA, seperti SMEA, STM atau sekolah kejuruan
lainnya.
Anak-anak yang
bersekolah di sekolah unggulan, seperti di SMA Unggul, cenderung memilih
cita-cita setinggi mungkin. Malah terkesan mereka cenderung memilih juruan yang
dianggap keren. Mereka juga tidak begitu mempertimbangkan apakah orang tua
cukup mampu secara finansial, apalagi dengan adanyak iming-iming beasiswa yang
berlimpah ruah yang datang dari mana
saja- kebenarannya harus dilacak. Malah mereka lebih mendengar sugesti para
senior dari pada saran para guru dan juga dari para orang tua. Idealnya sang
anak tetap melakukan pertimbangan keuangan untuk memilih kuliah yang
kemungkinan butuh dana yang besar.
Memang orang tua akan
melakukan apa pun untuk masa depan anak, namun tentu kemampuannya terbatas.
Untuk itu beri gambaran padanya. Saat anak merasa mantap dengan keputusannya,
disertai pertimbangan yang matang terkait dengan potensinya dan pertimbangan
lainnya, juga sudah melibatkan orang tua, maka keputusan ini dapat dianggap
sebagai keputusan terbaik. Kini orang tua mesti mengawasi konsistensi anak
dalam menjalankan semua rencananya.
Agaknya ada beberapa
saran untuk menentukan masa depan buat para siswa yang akan menamatkan sekolah
SMA atau SLTA-nya. Sebaiknya mereka focus untuk belajar, misal lewat bimbel
atau belajar secara mandiri (otodidak) untuk sekedar menghemat biaya, karena
untuk bisa kuliah tidak perlu melalui bimbel segala. Namun juga nikmati
suasanaberlibur untuk menambah wawasan sosial. Kadang-kadang jalan kehidupan kita
tidak berjalan sesuai rencana. Untuk itu jangan kaku dan terlalu terpaku pada “planning”. Bisa saja rencana kita keluar dari jalur dan
itu adalah wajar dan biasa saja. Yang penting kita tidak perlu mengikuti mimpi
atau rencana orang lain. Karena mimpi orang lain adalah milik orang lain. Yang
yang terpenting kita harus mengetahui talent
atau bakat kita. Untuk itu mari kita pertimbangkan bakat kita sendiri.
Agaknya cita-cita kita
yang lebih konkrit adalah saat kita sudah berusia 18 tahun, yaitu di ujung masa
remaja kita dan dimana usia dewasa kita datang menyambut. Keputusan kita buat
kuliah sudah cukup logika dan masuk akal. Beberapa hal yang kita rasakan dulu
mungkin akan berubah. Itu adalah hal yang biasa saja. Lagi- lagi dalam hal ini
kita perlu mencari info, mungkin lewat membaca buku/ majalah/ surat kabar atau
petunjukm orang lain. Moga- moga ada petunjuk yang bermanfaat bagi kita.
Ada sebuah ungkapan
baru yaitu: Habiskan waktu sebelum
menghabiskan uang. Ya untuk hal ini kita perlu berinvestasi dalam
membaca, membicarakan, dan mencari tahu sebelum kita menyalurkan sejumlah besar
uang untuk meraih sebuah gelar, sertifikasi, atau relokasi. Perlu kita sadari
bahwa kita tidak perlu selalu mengeluarkan uang untuk menyusun masa depan.
Ada lagi prinsip yang
harus kita punya untuk menyiapkan karir masa depan yaitu kita tidak perlu
menjadi yang terbaik- ini tentu saja pendapat penulis. Karena sangat sedikit
orang yang menjadi terbaik dalam suatu hal. Melakukan yang terbaik bukan
berarti harus jadi yang terbaik. Kadang kita mungkin gagal pada percobaan
pertama, tapi hidup adalah kata lain dari kesempatan.
Anak-anak muda sekarang
perlu tahu dengan prinsip pendakian. Bahwa untuk mendaki sebuah tangga tentu
saja dimulai dari injakan paling bawah. Banyak siswa sekarang yang berfikir
dengan cara menggampangkan.
Saat terjadi
perbincangan antara guru dan siswa di sekolah, salah seorang siswa mengangkat
tangannya bahwa dia kelak setelah tamat dari SMA ingin melanjutkan studi ke
jurusan Hubungan Internasional, dengan alasan setelah itu ia ingin menjadi
seorang Duta Besar, demikian penjelasannya dengan mantap.
Apakah ada orang yang
menjadi Duta Besar di usia 20 tahunan ? Tentu saja tidak. Bahwa jabatan Duta
Besar adalah kebijakan dari seorang Presiden, dan rata-rata seorang menjadi Duta
Besar dalam usia di atas 50 tahun. Makanya setiap remaja, siswa dan mahasiswa
perlu selalu menambah ilmu, memperluas wawasan dan juga menajamkan visinya.
Namanya orang tua tentu
saja dia tetap membimbing anaknya dalam menempuh kehidupan di dunia ini. Ada
seorang teman penulis, sebagai contoh, tidak memperoleh pendidikan tinggi dari universitas.
Dia hanya banyak belajar dari alam dan berpendapat bahwa sekarang pintu untuk
bekerja di jalur PNS (Pegawai Negeri Sipil) sudah sangat susah. Maka semua orang
tetap dimotivasi untuk selalu meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan melalui
pendidikan formal dan non formal.
Teman tersebut
berpendapat kalau seorang anak tidak mungkin bisa menciptakan lapangan
pekerjaan, maka lebih baik kalau ia ingin melajutkan pendidikan ke Perguruan
tinggi untuk memilih jurusan yang tamatannya jelas dimana tempat untuk
berkarir. Misalnya anak memilih jurusan tekhnik maka tempatnya cukup banyak
berlimpah di pelosok negeri, atau memilih jurusan perhotelan dan parawisata
maka usaha karirnya juga terlihat jelas. Ia berpendapat untuk tidak memilih
jurusan yang abu-abu karena tamat kuliah, menjadi sarjana namun bingung apa
yang mau dikerjakan. Kita sebagai guru dan orang tua sangat tepat untuk
menganjurkan pada anak-anak kita buat studi lanjutan mereka dan menulis pesan
pada dinding kamar mereka dengan frase: Rencanakan studi perguruan tinggimu sedini
mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them