Sabtu, 15 April 2017

Bagaimana Memilih Profesi



Bagaimana Memilih Profesi
Oleh: Marjohan, M.Pd

            Profesi merupakan topik yang cukup banyak diperbincangkan orang. Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau karir”. Mencari profesi telah terjadi sejak masa anak-anak. Seorang anak kecil dengan lantang menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara, dan beberapa profesi yang konkrit lainnya di depan mata mereka.
            Saya dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penual jeruk”. Kalau dijadikan dengan istilah kerennya bahwa kami ingin menjadi “pengusaha ternak dan pengusaha buahan”. Kenapa demikian ?
            Sewaktu kecil ayah saya seringmengajak saya (dan abang saya)pergi rekreasi ke luar rumah- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah sangat baik. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan kebun jeruk mereka. Ketika mau pulang teman ayahmenyelipkan oleh-oleh/ bingkisan ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi kelak ingin seperti profesi yang mereka geluti.
            Seiring bergulir waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena kulit saya lebih cerah dibanding abang saya. Sementara abang saya yang badannya lebih tegap dan kuat ingin menjadi polisi atau tentara- ya persis profesi ayah  sebagai seorang polisi.
Setamat SMA malah profesi kami ternyata masih belum jelas. Saya ingin melanjutkan kuliah ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian, sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun kami berdua gagal dalam pilihan profesi tersebut.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tenaga perekrut  siswa baru buat sekolah tempat saya mengajar. Saya mewawancarai para calon siswa dan mengajukan sejumlah pertanyaan, contohnya:
“Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas calon siswayang sedang saya  wawancarai menjawab mereka  ingin menjadi dokter, yang lain ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa begitu banyak yang ingin jadi pegawai?”.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah jumlahnya, sehingga anak-anak  dan cucunya juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang apa?”
Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.    Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi”.
Terlihat bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat konvensional dan berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi  yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih jelas). Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS sudah hampir ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi punya kesempatan yang kuat  buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil- karena perguruan tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh bahwa  IPK hanya berguna untuk bisa wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
            Suatu ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya berfikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional ?, karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Malaysia. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut (?). Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian mereka- termasuk  para siswa dari sekolah unggulan-  hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah yang favorit saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian cita-cita banyak siswa yang nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student-exchange, ada rombongan siswa dari Jerman. Saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di internet. Sayamemahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
            Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Kita berharap agar para siswa di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa depan mereka?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu para guru hanya sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik mereka melebihi dari ilmu buku teks.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep literasi, banya anak-anak sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak tenggelam dalam permainan game on-line.
Seperti yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir atau profesi. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi/karir dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki profesi yang lebih jelas. Siswa kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil T.O. Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan profesi ala Box-Hill (2011) atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/ profesi  yang merupakan hasil dari interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orang tua, mentor atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.
John Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin, Amerika Serika. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan profesi.  Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor, guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa.


Menyingkirkan Semua Alasan Untuk Menjadi Maju



Menyingkirkan Semua Alasan Untuk Menjadi Maju
Oleh: Marjohan, M.Pd

            Umumnya orang ingin menjadi maju dan mereka senang untuk dimotivasi. Namun motivasi yang diberikan pada seseorang ada yang bertahan lama dan cukup banyak tidak begitu dipedulikan. Motivasi yang diberikan oleh orangtua pada anak atau dari guru buat murid banyak yang kurang mujarab. Banyak orang yang ingin sukses namun ketika mau melangkah mereka buru-buru berarguen dengan seribu alasan.
            “Saya ingin maju tetapi..., saya ingin pandai tetapi..., saya ingin seperti anda tetapi..., tetapi saya nggak punya waktu”. Demikianlah bagaimana banyak orang gemar berlindung dibalik kata “tetapi”. Kata-kata penuh alasan selalu membenamkan banyak orang dalam kemunduran danketidak berdayaan. Pada hal untuk bisa sukses dan berjaya kita harus mampu menyingkirkan seribu satu alasan yang telah menjadi kerikil penyandung pada langkah kaki kita.
Benar sekali bahwa untuk bisa maju kita harus menyingkirkan semua alasan yang membelenggu mental dan semangat kita. alasan yang bertumpuk tumpuk ini telah membuat kita untuk memilih jalan yang stagnan- jalan di tempat.
Kondisi secara umum bahwa orang yang berasal dari keluarga besar dan didera oleh kemiskinan yang berkepanjangan akan susah untuk sukses. Namun tidak semuanya yang demikian, sebagian juga ada yang mampu untuk melompati kondisi ini. Juga menjadi fenomena bahwa orang-orang yang berasal dari daerah terpencil dan jauh dari sentuhan teknologi akan susah buat menjadi maju. Juga sebagian ada yang mampu melompati kondisi ini.
Saya memperoleh wawasan baru setelah membaca artikel yang ditulis oleh Alison Bert, editor in chief dari www.elsevier.com. Dia memaparkan tentang perjuangan lima ilmuwan wanita yang merangkak untuk menggapai sukses dalam artikelnya yang berjudul: five women scietis tell their stories of hard-earned success.
Para wanita tersebut berasal dari negara-ngara yang tidak begitu tersohor di dunia, yaitu Vietnam, Sudan dan Nigeria. Mereka membuktikan bahwa sukses bisa datang dari mana saja, tidak harus datang dari Jepang, Eropa, Amerika atau Australia, namun juga bisa dari Vietnam, Sudan dan Nigeria.
Para wanita yang yang diekspos oleh Alison Bert adalah Rabia Sa’id, Mojisola Usikalu dan Mojisola Adeniyi yang berasal dari Nigeria, Nashwa Eassa dari Sudan, dan Dang Thi Oanh dari Vietnam. Mereka semua berasal dari dunia ketiga- alias dari negara yang sedang berkembang. Secara terperinci bahwa mereka tidak berasal dari kota besar. Mereka malah berasal dari daerah pinggiran atau kota kecil, berasal dari keluarga besar, juga ada yang berasal dari keluarga broken home. Dengan keadaan ekonomi pas-pasan dan malah cenderung mendekati garis kemiskinan.
The Elsevier Foundation merupakan yayasan di bidang kemanusiaan dengan tujuan non profit, dan setiap tahun menyelenggarakan kompetisi untuk menjaring ilmuwan wanita terkemuka di dunia. Yayasan ini lebih mengutamakan untuk menyeleksi  para ilmuwan wanita dari dunia ke tiga, seperti negara- nagara dari Asia dan Afrika. Profil ilmuwan yang terpilih akan diekspos guna memotivasi para wanita lainnya di dunia untuk bisa bangkit dan berperan lebih banyak.
Para wanita pemenang yang telah diseleksi oleh The Elsevier Foundation untuk tahun 2015 yaitu seperti yang telah kita paparkan di atas (Alison Bert adalah Rabia Sa’id, Mojisola Usikalu dan Mojisola Adeniyi yang berasal dari Nigeria, Nashwa Eassa dari Sudan, dan Dang Thi Oanh dari Vietnam). Berikut profil sikat mereka yang berguna buat menginspirasi kita:
1). Dang Thi Oanh, Ph.D (Vietnam)
Sebagaimana banyak orang yang tumbuh dan dibesarkan dalam kesusahan, ini juga dialami oleh Dang Thi Oanh. Ia dibesarkan di sebuah di pedalaman Vietnam. Ia dan orangtuanya hidup dalam rumah yang sangat bersahaja. Atap rumah terbuat dari anyaman daun kelapa dan tanpa ada penerangan listrik. Motivasinya tumbuh oleh semangat belajar yang tinggi, meskipin di malam hari ia belajar hanya dengan penerangan lampu minyak tanah. Buat memasak makanan, keluarganya belum mengenal bahan bakar minyak, apalagi tabung gas, namun menggunakan kayu bakar yang ia kumpulkan dari hutan di belakang rumahnya untuk memasak.
“Saya harus berjuang agar lolos dari kelaparan dan kemiskinan”. Demikian tekad Dang Thi Oanh, dan sering kesusahan hidup, sebagai uncomfort zone, membuat orang memiliki semangat dan motivasi hidup yang tinggi. Sebaliknya banyak orang yang bearasal dari keluarga sangat berkecukupan- comfort zone- namun memiliki motivasi dan semangat belajar yang rendah. Ya karena mereka kurang merasakan adanya tantangan dalam hidup, sebab apa saja yang mereka mau, semua tersedia dalam lingkungan rumah.
Dang Thi Oanh dibesarkan di Vietnam Utara dari suku masyarakat Tay. Dia bersaudara 12 orang dan 7 orang yang masih hidup. Dia mengatakan bahwa dalam meraih sukses ada mentor dalam kehidupannya. Mentor itu adalah seseorang yang selalu memberinya semangat dan bimbingan hidup. Maka mentornya Dang Thi Oanh adalah kakak perempuannya yang berprofesi sebagai guru matematika di sebuah SMA. Dang Thi Oanh memperoleh pendidikan dalam bidang teknologi informatika di sebuah universitas di kota Hanoi.
2). Nashwa Eassa, Ph.d
Nashwa Eassa lahir dan dibesarkan di luar kota Khartoum, ibukota Sudan. Ayahnya seorang guru dengan 6 orang anak, dan semuanya lulus perguruan tinggi. Sering cita-cita nyata seseorang lebih terbentuk saat dia bersekolah di tingkat SLTA. Nashwa minatnya dalam bidang sains tumbuh karena rasa ingin tahunya tentang dunia saat belajar di sebuah SLTA. Ia tertarik dengan alam semesta. Di sekolah dia termasuk siswa yang cerdas, namun untuk pilihan karir ia memilih jurusan yang berbeda dari teman-temannya.
‘Dimana-mana di dunia ini sama saja, terutama di negara berkembang. Kalau seseorang memiliki nilai yang bagus, maka ia akan memilih jurusan kedokteran atau engineering (teknik). Kalau nilai agak rendah maka mereka memilih bidang sains. Banyak yang memilih kedokteran dan teknik karena memberikan pekerjaan yang lebih baik”, kata Nashwa.
Ia sendiri mendalami bidang fisika dan memperoleh pendidikan master dalam bidang sains untuk bidang fisika material dan nano teknologi dari Universitas Linkoping di Swedia. Kemudian ia meraih pendidikan doktoral dalam bidang dari Universitas Metropolitan Nelson Mandela di Afrika Selatan.
3). Mojisola Usikalu, Ph.D
Mojisola Usikalu dilahirkan di kota kecil di daerah barat daya Nigeria. Dia seorang anak yatim karena saat berusia 6 tahun ayahnya meninggal dunia. Dia dibesarkan oleh ibunya seorang guru dengan gaji yang sangat kecil, sehingga perlu dukungan keuangan dari saudaranya yang lain.
Mojisola Usikalu menjadi tertarik dalam bidang sains ketika ia belajar di SLTA. Dia memperoleh untuk meraih sukses dari mentornya, yaitu gurunya sendiri- seorang guru fisika yang memotivasinya untuk mendalami bidang fisika. Hampir semua orang sukses terjadi karena mereka puya mentor dalam belajar dan bekerja.
“Saya yakin bahwa apa yang ita berikan kepada lingkungan kita adalah apa yang kita peroleh”, kata Mojisola Usikalu. Untuk menopang kuliah dan kehidupan maka ia juga bekerja sambilan, yaitu sebagai tenaga guru honorer.
Angka putus sekolah cukup tinggi di negara-negara yang SDMnya tergolong rendah, demikian pula halnya dengan Nigeria. Sehingga Mojisola Usikalu sering berbagi motivasi (sebagai seorang motivator) terutama buat pelajar perempuan dan juga bagi siswa/ mahasiswa perempuan yang berniat untuk berhenti bersekolah/ kuliah.
“Begitu kita berjumpa dengan seorang tokoh yang sukses, maka nasehat-nasehat yang ia tuangkan sangat berpengaruh untuk membangkitkan kesuksesan kita”, demikian papar Mojisola Usikalu.
4). Rabia Sa’id, Ph.D
Rabia Sa’id dibesarkan dalam sebuah keluarga polygami dan ini dilegalkan di Nigeria. Ayahnya yang berkarir sebagai tentara punya dua orang istri dengan 10 orang anak, namun meninggal 3 orang. Pada mulanya Rabia Sa’id sempat bersekolah di tingkat SLTA saja. Dia kemudian menikah, namun setelah punya 3 orang anak ia terpikir lagi untuk melanjutkan pendidikan. Saat dia jadi mahasiswi baru di sebuah universitas, teman-temannya sudah pada bekerja dan ia hanya berstatus sebagai mahasiswi dan seorang ibu rumah tangga. Dia memotivasi dirinya sehingga dia mampu memperoleh prestasi terbaik di kampus.
Bila ingin sukses maka semua rintangan tentu harus dilalui. Untuk itu motivasi diri yang kuat adalah modal untuk memacu diri. Sekarang Rabia Sa’id menjadi dekan pada Universitas Bayero, di Kano- Sudan.
5). Mojisola Oluwayemisi Adeniyi, Ph.D
            Mojisola Oluwayemisi Adeniyidibesarkan dalam keluarga di kota kecil Iwo di Nigeria Tenggara. Dia anak kedua dari 8 bersaudara. Dia menyenangi pelajaran sains. Salah seorang guru SMA-nya membuatnya tertarik dengan mata pelajaran fisika.
            Great teacher makes great student. Seorang guru yang baik dan bisa memberi inspirasi akan mempengaruhi masa depan para muridnya. Mojisola Oluwayemisi Adeniyi menemukan guru yang hebat, yang mampu membuat pelajaran fisika menarik dan terasa lebih mudah.
            Dalam memilih cita-cita atau karir buat anak, umumnya orangtua mengarahkan anak agar mereka menjadi dokter saja. Kedua orangtua Mojisola juga demikian, menyarankan dia untuk bisa jadi dokter, karena gajinya lebih banyak. Nilainya terlalu bagus untuk mata pelajaran fisika, sehingga ia memutuskan untuk kuliah pada bidang fisika di Universitas Ibadan. Ia juga memperoleh pendidikan dari Universitas Birmingham Inggris.
            Demikian cuplikan profil lima ilmuwan wanita dalam menggapai karirnya. Bahwa lokasi daerah yang jauh dari ibu kota dan kondisi keluarga, sekalipun dari keluarga kurang berada juga bisa meraih cita-cita mereka. Malah orang yang demikian juga dikatakan sebagai orang yang berasal dari keluarga uncomfort zone- wilayah atau rumah yang kurang nyaman, biasanya memiliki tekad dan motivasi yang jauh lebih tinggi dari orang yang dibesarkan dalam keluarga comfortzone- yaitu keluarga yang berada.

Indonesia Butuh Sarjana Pemberani, Bukan Sarjana Penakut



Indonesia Butuh Sarjana Pemberani, Bukan Sarjana Penakut
Oleh: Marjohan, M.Pd

            Saya kembali membaca biografi singkat tentang Ciputra dalam buku yang editornya St. Sularto (2010), Jakarta: Penerbit Kompas. Dimana Ciputra memaparkan profilnya- dalam sub tittle- yang berjudul: Indonesia Negara Entrepreneur.
            Ciputra memang memulai hidupnya dengan sebuah mimpi yang kecil, dan kemudian dia punya mimpi yang lebih besar. Persisnya di awal usianya 30 tahun dia mampu mewujudkan mimpinya menjadi nyata- dream come true. Yaitu sebagai direktur sebuah perusahaan Pt. Pembangunan Jaya. Buat ukuran anak-anak zaman sekarang perjalanan hidup Ciputra untuk menapak karirnya sungguh sangat impossible- sangat sulit- dan juga mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka. Mengapa demikian ?
            Ciputra betul-betul mengawali hidupnya dari kondisi uncomfort zone- suasana rumah yang memang jauh dari suasana nyaman.Memasuki masa remaja sekitar zaman perang dunia ke-2, saat tinggal di Sulawesi Tengah, ia kehilangan ayahnya yang tercinta.
            Ia menyaksikan tentara Jepang menyeret ayahnya dan memisahkan dari keluarga. Ia dituduh sebagai mata-mata Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara. Ayahnya meninggal dalam tahanan Jepang, namun hingga sekarang dia tidak mengetahui kuburan ayahnya.
            Ia tidak saja kehilangan ayah, namun juga kehilangan mata pencarian. Toko kelontong, sumber rezki/ sumber keuangan buat menghidpi keluarga juga hancur. Sejak itu mereka (ia dan keluarganya) jatuh miskin. Masa remaja yang seharusnya ceria ia lalui dengan penuh suasana suram.
            Fenomena umum adalah bahwa orang miskin jarang diperhitungkan keberadaanya. Mereka sering dilihat sebelah mata. Itu sangat dirasakan oleh Ciputra. Ia merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang miskin dan tidak pernah/ jarang dihargai eksistensinya oleh orang lain. Inilah pemicunya bagi Ciputra untuk segera bangkit dan mematrikan tekad “Aku harus menjadi orang kaya dan sukses”.
            Untuk menjadi kaya dan sukses harus melalui jenjang prestasi. Makanya ia ingin berprestasi dan juga ingin independent (mandiri). Ia juga ingin bisa membantu orang lain. Tentu saja itu bisa dilakukan melalui strategi. Apa strategi yang ditempuh Ciputra ?
            “Yaitu dengan meninggalkan kampung halaman, dengan cara merantau atau hijrah”.
            Ia memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa, pulau yang SDM-nya lebih baik dari pulau-pulau lain di Indonesiasejak dahulu. Utamanya ia pergi ke pulau Jawa adalah untuk menuntut ilmu, yaitu ingin masuk ke ITB.
            Apa mustahil untuk bisa kuliah di ITB saat itu ? Transportasi menuju pulau Jawa di tahun 1940-an dan 1950-an belum lagi semudah dan senyaman zaman dirgantara sekarang. Saat itu hanya mengandalkan kapal laut dengan jarak tempuh hitungan minggu. Begitu pula masuk ITB di tahun-tahun tersebut juga tidak semudah di zaman cyber sekarang, yang kadang kala juga banyak program-program yang membuat calon mahasiswa memperoleh kemudahan.
            Dengan berbagai tantangan dan keterbatasan maka Ciputra berhasil menjadi mahasiswa ITB. Namun kehidupannya sebagai mahasiswa ITB tidak senyaman teman-temannya yang lain. Sejak tingkat dua ITB kiriman keuangan dari ibunya sudah terputus. Akibat kesulitan ekonomi, jadinya Ciputra memutar otaknya bagaimana untuk bisa mencari duit agar mampu membantu diri sendiri- menopang kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang lagi dilanda kesulitan hidup.
            Sebagian teman-temannya mempunyai kecukupan uang dan mereka bisa hangout, mengikuti kegiata ekskul, menekun hobby di bidang kesenian dan olahraga, atau meluangkan waktu untuk memadu janji dengan kekasihnya. Maka hal seperti itu sangat mustahil bagi Ciputra.
            Ia mencari kerja serabutan sambil kuliah. Ia pernah menjadi pedagang batik. Ia bukan menggelar dagangannya di pasar kakilima di kota Bandung. Namun ia mencari batik ke Bandung dan menjualnya ke Medan. Selain itu ia juga sempat menjual meubel. Ia merancang gambar meubel  dan membayar tukang meubel untuk membuatkannya.
            Banyak orang yang malah merintis usaha- bisnis- setelah mereka wisuda, menjadi seorang sarjana. Sehingga merasa kesulitan untuk eksis. Namun Ciputra memulai usaha bisnis saat masih kuliah, itu karena desakan ekonomi- kesulitan biaya hidup. Maka berama temannya mereka mendirikan konsultan yang mereka beri nama “PT Perentjanaan Djaja”. Betl-betul kesulitan hidup- suasana uncomfort zone- memberi dampak motivasi yang dahsyat. Perusahaan yang mereka rancang tersebut masih beroperasi hngga sekarang. Agar kuliah tidak terganggu, maka Ciputra sangat ketat dengan pengelolaan waktu- time management yang bagus.
            Mengapa Ciputra memulai kemandirian hidup dan semangat entrepreneur sedini mungkin ? Sekali lagi, bahwa itu karena faktor kesusahan hidup. Derita kemiskinan dan merasa tidak nyaman diremehkan orang akibat faktor kemiskinan dan juga faktor kesulitan keuangan saat kuliah di ITB telah menjadi bahan bakar buat menyalakan semangan juangnya.
            Semangat entrepreneurnya muncul karena ia lahir di tengah keluarga pedagang. Tidak heran kalau sejak kecil ia bisa bermain dan bergerak di antara barang dagangaan. Ia bertemu dan berkomunikasi dengan pelanggan toko sejak masa kanak-kanak. Orangtuanya telah berhasil menciptakan lingkungan enterpreneur buatnya. Nilai-nilai enterpreneurship tertanam sejak kecil, hingga remaja dan juga hingga dewasa.
            Seorang enterpreneur harus menghormati dan menghargai pelanggannya. Ciputra tahu dari ayah dan ibunya, bahwa seorang pedagang/ enterpreneur harus menghargai pelanggannya. Keunggulan dalam pelayanan terwujud dalam bagaimana cara memuaskan pelanggan.
            “Apa saja yang dijual Ciputra pada waktu kecilnya ?”
            Ia juga harus mampu menjual hasil pertanian untuk kehidupan keluarga sehar-hari.  Ia juga terbiasa membuat topi dari pandan dan menjual ke masyarakat. Ia tidak merasa malu atau enggan melakukannya. Begitulah cara Ciputra dalam mengisi masa remajanya, dan sekali lagi kebiasaan ini menubuhkan jiwa enterpreneur dalam dirinya.
            Bagaimana dengan orang sekarang dalam menumbuhkan jiwa enterpreneurnya ? Ya utamanya dalam bentuk membaca buku-buku tentang wirausaha, juga menghadiri seminar tentar kewirausahaan hingga yang diperoleh hanya sebatas teori demi teori tentang cara berwirausaha. Mereka umumnya buta untuk melangkah, atau juga belum kuat percaya dirinya untuk terjun sebagai seorang wirausahawan muda. Teapi that is oke dari nggak pernah tahu tentang kewirausahaan sama sekali.
Paling kurang sejak usia anak-anak hingga remaja, seseorang yang ingin berwirausaha musti rajin-rajin untuk bertandang/ berkunjung ke pusat-pusat wirausaha agar mereka keciprat semangat wirausaha.
Membangun wirausaha saat masih kuliah , ini adalah awal sukses bisnisnya Ciputra. Ya saat para temannya asyik menggeluti hobby, maka Ciputra telah memulai merajut mimpinya dengan serius. Yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dibelit kesusahan finansial.
“Saya harus menjadi arsitek yang berjiwa enterpreneurial. Hasrat inilah yang akhirnya membawa keputusan saya untuk mendirikan PT Penbangunan Jaya bersama pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional. Saya bukan pasif lagi menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain”.  Demikian papar Ciputra dalam meneguhkan dirinya.
Hidup perlu punya visi dan kita harus selalu bermimpi. Itulah prinsip hidup Ciputra. Dalam tahun 1960-an ia mendirikan Jaya Group, dan selanjutnya tahun 1970-an ia mendirikan perusahaan Metropolitan Group bersama kawan-kawannya dari ITB. Kemudian pada tahun 1980-an ia mendirikan Ciputa Group, bukan bersama teman-temannya, namun bersama anak-anaknya sendiri.
Saya yang lagi menulis artikel ini lagi merasa bersimpati kepada seseorang yang baru saja meraih gelar sarjananya dari jurusan teknik. Ia lulusan universitas terkemuka dengan nilai sangat bagus yang telah membuat bahagia orangtuanya. Namun setelah itu ia terlihat kebingungan hendak bagaimana lagi dan hendak mau diapakan ijazah sarjananya.
Terasa kalau hanya bangga dengan nilai yang tinggi itu adalah kebanggaan yang semu. Nilai yang tinggi tak lebih hanylah sebagai hiasan pada selembar ijazah. Sarjana baru ini terlihat sangat tidak berdaya dan barangkali sarjana baru ini adalah gambaran dari sebagian sarjana baru di Indonesia yang hanya sekedar jago atau cerdas dengan kertas. Setiap hari waktunya habis dengan merunduk mengotak atik gadgetnya dan ia tidak jauh berbeda dengan anak-anak SMP dan juga anak SMA yang sedang mabuk dengan gadgetnya.
Ya sarjana baru ini hanya sebatas cerdas kertas, cerdas dengan teori. Ibarat orang yang ingin pintar main bola maka dia sudah terlalu banyak membaca buku teori bagaimana cara main bola. Yang dia butuhkan bukan teori tetapi dia butuh langsung berlatih menendang bola. Semakin banyak ia berlatih menendang bola makaakan semakin hebat ia untuk menjadi pemain profesional. Jadi yang dibutuhkan mahasiswa baru ini adalah sebuah action.
“Sarjana baru yang bermental penakut ini tidak perlu lagi pendidikan, dengan arti kata kata belajar sebatas teori, belajar sebatas mencari perhatian dosen agar bisa memperoleh nilai yang tinggi. Yang dia butuhkan adalah latihan demi latihan. Ia membutuhkan ratusan kali latihan di lapangan kerja yang nyata. Berinteraksi dengan banyak orang, tidak perlu merasa alergi atau merasa lebih hebat dengan orang- orang yang bukan tamatan universitas, karena bisa jadi mereka lebih hebat lewat pengalaman lapangannya. Indonesia sangat membutuhkan sarjana yang berani, dan tidak membutuhkan sarjana yang penakut untuk menghadapi hidup.
Semua anak muda dan terutama para sarjana harus berani. Sekarang pekerjaan amat sulit, namun kesempatan buat berwirausaha sangat terbuka lebar. Ciputra menyatakan bahwa wirausaha harus dimulai dari pendidikan yang bukan asal-asalan. Karena kunci utama perubahan manusia ada pada diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain kunci utama mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan adalah dengan mendidik dan “melatih diri, pratek langsung sebanyak mungkin”.
Maka manusia seperti inilah yang kita sebut sebagai manusia enterpreneur. Manusia enterpreneur tidak akan jadi beban masyarakat, ia malah bisa menciptakan pekerjaan bagi orang lain. Ia akan mampu mengubah kekayaan alam dan budaya Indonesia menjadi produk yang dibutuhkan dunia. Kalau boleh jiwa enterpreneur harus dimulai lebih dini agar tumbuhnya dalam jiwa lebih kuat, kalau diperkenalkan saat sudah dewasa maka dampaknya sedikit membekas. Pendidikan Amerika Serikat meberikan latihan enterpreneurship lebih dini yakni sejak dari pendidikan dasar, dan enterpreneur memperkaya kurikulum mereka. Jadinya enterpreneur mereka lebih sukses. Kita di Indonesia juga harus lebih sukses, semoga.


Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...