Selasa, 14 Februari 2017

Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa Sudah Dilupakan ?



Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa  Sudah Dilupakan ?
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Setiap kali saya ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran dengan sajian aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring- piring dan memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung restoran. Entahlah kenapa kebiasaan saya ini bisa terjadi dan saya sendiri juga bukan orang yang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu peduli dan mengerti dengan nilai gizi dan gaya makan yang sehat.
            Saya malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi pembaca artikel ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman yang kurang enak. Bahwa sewaktu kecil saya dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih terngiang dalam pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya sebagai anak kecil dengan perut buncit, dengan kulit kering dan tulang-tulang tubuh yang menonjol”.
Saudara saya yang lebih tua baru mau menyantap nasi yang diberi lauk terbuat dari jengkol bakar- sebuah hidang yang jauh dari standar sehat buat pertumbuhan seorang balita. Untunglah beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke kota Payakumbuh dan dia telah memperoleh pekerjaan yang lebih baik hingga mampu membeli lauk- pauk sekedarnya untuk memperbaiki pola nutrisi kami.
            Untuk tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan (kecerdasan). Namun saya merasa aneh setiap kali makan bareng teman yang walaupun lulusan perguruan tinggi namun tetap “tidak mau menjamah sayuran untuk makan siangnya”. Mereka tidak mengenal bagaimana mengkonsumsi pola makanan sehat. Piringnya hanya penuh dengan taburan bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk yang kaya dengan kolestrol. Sekali lagi bahwa mereka tidak pernah tertarik untuk menyentuh sayur-mayur dan mengkonsumsi buah untuk sekedar cuci mulut- seperti sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau buah tropis yang kaya vitamin lainnya sebelum atau setelah selesai makan.
            “Mengapa anda makannya tidak pake sayur ?”, sapaan saya pada seorang teman untuk mencari tahu.
            “Maaf saya tidak suka sayur”. Jawabnya. Dan jawaban yang sama juga sudah saya peroleh dari banyak orang setiap kali saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saya bisa membuat generalisasi bahwa begitu banyak orang-orang yang hidup di sekitar kita- sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang terdidik- namun kurang tertarik buat mengkonsumsi sayuran dan juga amat jarang makan buah-buahan yang kaya dengan vitamin dan berguna sebagai pelindung tubuh mereka.
            Parenting di negara Australia, Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus sehingga mampu mengatarkan negara mereka menjadi negara berkualitas tinggi. Namun parenting di Indonesia punya banyak kekurangan. Banyak orang tua yang berusia masih muda yang kurang memahami pola makanan sehat buat balita mereka.
Sebuah LSM internasional “Humanium” yang berdiri di Jenewa- ibu kota negara Swiss tahun 2008, yang punya visi “Together For Children’s Right- bersama memperjuangkan hak azazi anak-anak” menulis: Bahwa Indonesia kaya dengan sumber daya alam dan terbentang luas pada lebih dari 13.000 pulau, Indonesia saat ini sedang giat-giatnya pada periode pembangunan besar. Sayangnya, keunggulan ekonomi negara belum bermanfaat bagi banyak penduduknya. Karena banyak anak-anak yang masih  hidup dalam kondisi tubuh yang kurang  sehat, sehingga anak-anak tersebut tidak bisa menikmati hak azazi untuk menjadi sehat.
            Ditambahkan bahwa  Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, data pada tingkat kematian anak-anak yang merupakan suatu bencana adalah sekitar 40% dari anak-anak Indonesia yang meninggal sebelum usia 5. Bayi yang baru lahir sering menjadi korban dari beberapa penyakit seperti berat badan rendah atau kurang gizi (http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia).
            Saat melewati perkampungan penduduk, saya sering menjumpai ibu-ibu muda yang kurang peduli dan mungkin kurang tahu tentang makna hidup sehat. Mereka dengan entengnya menyuguhkan makanan-makanan yang miskin gizi dan kaya dengan zat-zat kimia dalam bentuk bumbu penyedap dan bahan pengawet untuk anak mereka yang masih berusia bayi hingga berumur lima tahun. Mereka membiarkan balita mereka untuk menjangkau jajanan yang bergelantungan di etalase warung- warung penduduk. Bagi mereka yang penting asal perut balita bisa kenyang atau asal anak- anak mereka bisa tidak rewel dan berhenti menangis.
            Kalau anak- anak hingga remaja yang punya daya tahan tubuh yang lemah adalah produk dari parenting rumah mereka yang kurang mengenal dengan pola hidup sehat yang tecermin melalui pola makan. Kemudian diperparah lagi kepada pedagang kaki lima- pedagang keliling yang telah meracik makanan murah meriah dan bernilai gizi rendah yang berjejer di sekeliling pagar sekolah untuk disuguhi buat murid-murid sebagai jajanan penyumpal perut- perut mereka yang selalu lapar. Lengkap sudah bunga- bunga bangsa ini diracuni oleh makanan rongsokan buat memangkas kesehatan mereka.
            Bila kita berkunjung ke bangsal anak-anak di ruah sakit maka akan terlihat tiap sebentar kita arus masuk pasien berusia muda belia yang jatuh sakit gara-gara salah mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Mereka berasal dari rumah yang orang tua mereka rajin menyediakan makanan cepat saji, seperti: mie instan, dan aneka makanan yang bertabur bumbu-bumbu penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak orang tua yang juga malas menghidangkan sayuran dan buahan. Sebuah artikel dalam portal tempo online menulis tentang “Serious Risks When Parents Don`t Cut Small Fruits for Children” – adalah cukup beresiko buat kesehatan anak-anak mereka bila orang orang tua malas menghidangkan potongan-potongan kecil buah-buahan buat anak mereka. Judul ini perlu diingat bagi orang tua yang mendambakan kesehatan anak mereka (https://en.tempo.co/read/news/201).
            Cukup fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan rasa ketimbang nilai gizi makanan. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita akan menyaksikan tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang belum tentu menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar, dengan warna coklat hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan belerang pada makanan. Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak arangnya, juga kuliner yang pegolahannya serba digoreng hingga mengandung kolesterol tinggi, telah memicu cukup banyak populasi penderita pasien kanker yang rajin mengunjungi rumah sakit dan juga tempat prakter dokter.
            Bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia. Itu semua berasal dari kualitas dan pola makan mereka. Memang diakui bahwa cita rasa santapan orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa kuliner orang kita. Itu karena mereka telah membudayakan menghindari pengolahan kuliner yang banyak mengandung minyak, gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap. Kuliner dan santapan orang Jepang lebih banyak yang bercorak serba “direbus” dan dan banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Maka inilah pola makanan yang lebih sehat itu.
            Apakah kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan sehat ? Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu bahwa pola makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”. Namun pola hidup sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi anak-anak SD. Seharusnya pola makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami, diketahu dan diamalkan oleh orang tua mereka di rumah. 
            Saat masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat memahami komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada “karbohidrat, protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan dengan sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu” agar bisa menjadi “lima sempurna”.
            Nah setelah tahu dengan pola makanan sehat ala Indonesia, apalagi yang bisa saya perbuat ? Tidak begitu banyak, paling hanya sekedar menjawab ujian dalam kelas. Sementara di rumah ibu saya yang hanya sempat belajar hingga kelas 3 Sekolah Rakyat (atau Sekolah Dasar) tidak pernah tahu dengan istilah “empat sehat lima sempurna, apa itu karbohidrat dan protein”. Dia hanya menyajikan pola makanan sebagamana yang ia tiru dari nenek saya atau generasi sebelumnya.
            Bila waktu untuk makan tiba, ibu sering menitip pesan “makanlah nasinya tetapi berhemat untuk makan lauk-pauk”. Ya kami harus makan lauk- pauk dengan gigitan yang kecil-kecil, karena harganya mahal dan gaji ayah yang terbatas. Keluarga lain juga mengalami hal yang sama. Jadinya banyak anak-anak saat itu yang menderita kurang gizi, karena lauk pauk adalah sumber gizi yang kaya dengan protein.
Selain itu kalau ibu sempat menghidangkan “buahan dan juga segelas susu” maka itu adalah sebuah keajaiban dan suprised bagi pertumbuhan kami. Dan keajaiban ini- menghidangkan buahan dan susu hampir-hampir tidak pernah terjadi. Kalau ibu pulang dari pasar, kadang-kadang buah tangan yang ibu beli adalah dalam bentuk salak, duku, rambutan, dan rebus kacang. Ibu mungkin membeli materi tersebut sebanyak satu kilo maka begitu sampai di rumah langsung dibagi rata menurut jumlah anggota keluarga. Buah-buahan yang dibagi rata buat kami langsung ludes kami saat pada saat itu juga.
            Melihat foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh  tidak begitu membahagiakan. Terlihat fisik kami tidak terawat, model pakaian yang terkesan tertinggal, kulit kami kering dan bersisik dan juga berat badan yang kurang dari ukuran standar, sebagai pertanda bahwa kami mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi buat pertumbuhan.
            Pola makan yang kurang sehat dan kondisi orang tua yang juga miskin dengan ilmu parenting bukan hanya terjadi pada keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-teman saya, mereka juga berasal dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan kondisi orang tua mereka juga minus ilmu pengetahuannya.
Tulisan yang berjudul: Pola Makan “Empat Sehat- Lima Sempurna” Apa  Sudah Dilupakan ? Saya tulis karena saya sedang bersimpati dengan seorang anak kecil, anak dari teman saya. Dia sedang dirawat di rumah sakit karena menderita bentuk penyakit yang tidak jelas namanya. Namun gejala yang terpantau sebelum sakitnya datang adalah pengalaman pola makannya yang juga kurang sehat: tidak mengenal konsumsi sayuran dalam pola makannya, juga tidak terbiasa memperoleh potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk melindungi tubuhnya. Yang banyak saya lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang kaya zat kimia yang bergelantungan di kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak dikonsumsi oleh balita, apalagi oleh seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia yang dikonsumsinya selama berbulan-bulan dari rentang usia kehidupannya telah mengotori (merancuni) organ percernaakannya, dari mulut hingga usus, juga ginjal dan empedunya.
Sudah berhari-hari dan malah juga berminggu-minggu balita ganteng ini terbaring di rumah sakit. Tubuhnya dijejali oleh pipa-pipa kecil untuk memasukan bahan infus, penyedot cairan tubuh dan buat pernafasan. Moga- moga Tuhan (Allah Swt) mengulurkan tanganNya untuk kesembuhan dan juga memberi ketabahan serta kesabaran terhadap ayah dan bundanya yang sepanjang hari- selama 24 jam- telah menjadi malaikatnya penjaganya.
Namun untuk mencegah bertambahnya populasi pasien balita- yang terbaring bergelimpangan di rumah sakit maka marilah kita raih kembali dan kita praktikan bagaimana bentuk pola makan sehat ala bangsa Indonesia, yaitu “Empat Sehat Lima Sempurna”. Mohon frase “Empat Sehat Lima Sempurna” tidak lagi sekedar hafalan bagi anak-anak kita, namun sangat perlu ditindak lanjut oleh orang tua mereka di rumah. Tulislah frase “Empat Sehat Lima Sempura ini” pada dinding ruang makan kita dan betul-betul hidangkanlah sajian “Empat Sehat Lima Sempurna” buat anak-anak dan semua anggota keluarga. Janganlah ini hanya sekedar semboyan untuk dihafal, namun semboyan ini harus diwujudkan untuk perbaikan kesehatan kita.

Orang Tua Yang Ambisius Berpotensi Menciptakan Anak-anak Yang Penggugup



Orang Tua Yang Ambisius Berpotensi Menciptakan Anak-anak Yang Penggugup
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


            Berkompetisi atau perlombaan dan persaingan terjadi pada semua lini, termasuk pada dunia pendidikan. Setiap awal tahun akademik banyak anak-anak dan memperoleh dorongan dari papa dan mama agar bisa memasuki sekolah yang bergengsi. Cukup mudah untuk mengenali sekolah yang punya nama, biasanya punya label ekstra seperti “sekolah model, sekolah percontohan, sekolah excellent, sekolah unggulan, sekolah perintisan, dll”. Mayarakat sangat mencatat nama-nama sekolah tersebut.
            Sejak level Sekolah Dasar, para guru, kepala sekolah untuh mewanti-wanti dan mempersiapkan anak didik mereka buat meneruskan pendidikan ke SMP dan ke Madrasah yang bergengsi. Begitu juga buat tamatan SMP/ MTsN juga memompa motivasi siswa mereka untuk berlomba sebanyak mungkin untuk memasuki SMA favorite. Itu sangat bagus karena di sekolah tersebut terjadi percepatan proses pembelajaran. Lingkungan belajar terkondisi agar anak-anak bisa belajar lebih mandiri dan lebih bertanggung jawab.
            Apa keuntungan bagi suatu sekolah mendorong para siswa untuk memasuki sekolah favorite ? Tentu saja buat mendongkrak nama sekolah dengan sebutan sebagai “sekolah yang berprestasi, sekolah yang sukses, sekolah berkualitas, sekolah unggulan, dll” agar sekolah tersebut menjadi lebih laris dan selalu diincar oleh para calon siswa dan para orang tua mereka.
            Bagi para siswa di tingkat SLTA (terutama di SMA, Madrasah) mereka berlomba-lomba mempersiapkan diri buat melanjutkan ke Perguruan Tinggi favorite yang mana utamanya berjejer di pulau Jawa. Semua siswa sudah hafal nama PT favorite seperti ITB, UI, IPB, UNPAD, UNDIP, UGM, UB, ITS, UPI dan untuk di luar pulau Jawa mereka menyerbu Jurusan Kedokteran, karena dianggap masa depannya lebih cerah.
            “Pucuk dicinta ulam pun tiba- harapan bersambut”, maka para CEO industri pendidikan berlomba mendirikan pelayanan bimbingan belajar (Bimbel) agar para siswa yang berbakat bisa meraih skor yang tinggi. Pada mulanya tempat tempat bimbel hanya berada di ibukota propinsi, seperti di Padang buat Propinsi Sumatra Barat. Namun akses bimbel yang berkualitas sejak beberapa tahun terakhir telah hadir dan menjamur hingga ibukota kabupaten. Malah bagi sekolah yang ingin selalu menjaga gengsi sekolah sebagai sekolah peraih skor akademik tertinggi telah berlapang dada dan membuka tangan untuk mendatangkan “Program Bimbel” di lingkungan sekolah, dengan harapan anak didik mereka bisa megisi bangku-bangku di PT favorite di pulau Jawa.
            Memang keberadaan program pencerdasan siswa fokusnya adalah pada bidang akademik. Anak atau siswa yang dianggap hebat adalah kalau dia mampu meraih rata-rata skor 100, khususnya untuk bidang studi yang terlibat dalam UN (Ujian Nasional). Untuk memotivasi agar semua siswa mampu meraih skor sempurna maka “nama siswa yang jagoan bimbel”  dengan skor tinggi, fotonya dan pujiannya dipajang pada baliho dengan ukuran besar di sepan sekolah dan di depan gedung bimbel.
            Para orang tua juga diundang agar terlibat untuk menggiring siswa buat menjangkau skor setinggi mungkin, sebab bila skornya tinggi maka PT yang favorite juga jurusan yang favorite sudah menunggu siswa cerdas di depan mata. Lagi pula bila mampu kuiah di PT favorite maka lulusan dari sana bakal mampu berkarir di perusahan hebat dengan gaji yang sangat menjanjikan.
Tentu saja para orang tua menjaga baik-baik akan statement ini. Jadi sejak awal sekolah, mungkin di semester satu, para orang tua sudah memprogram agar anak mereka harus ikut bimbel di luar jam sekolah. Tentu saja biaya bimbel cukup mahal, karena program pengayaannya memang bagus dan ruang kelas dibikin sejuk- full AC- dan terang benderang. Bagi orang tua harga bimbel memang terasa namun “Indak kayu janjang dikapiang- nggak ada uang tetap akan diusahakan” buat membiayai bimbel putra-putri mereka.        
Setelah putra-puti mereka ikut bimbel yang berharga mahal, maka para orang tua memotivasi, menagih hingga memaksa mereka ikut program bimbel hingga tuntas. Kalau malas berarti mengecewakan orang tua. Kini semua anak peserta bimbel harus bisa membuktikan dan memberikan skor yang tinggi.
“Wah sebagian merasa senang dan cukup banyak merasa terpaksa dan stress. Apalagi mereka dipaksa bisa menjadi perfek: hebat dengan angka, hebat dengan huruf dan hebat pengetahuan umum. Ibarat seekor hewan ajaib dimana dia harus hebat berenang, hebat terbang, hebat memanjat dan dan hebat merayap”. Inilah hakikat dari pengejaran untuk pencerdasan secara kognitif.
Dari jatah waktu anak yang berjumlah 24 jam, mayoritas hanya tersedia buat tidur dan amat banyak untuk urusan akademik. Al-hasil mereka kesulitan mencari waktu buat ikut kegiatan sosial, utuk bisa berbagi dengan sesama, untuk melatih otot dan kesenian mereka. Memang cukup banyak peserta bimbel yang saat mengakhiri bangku SLTA mereka menorehkan skor akademik yang tinggi dan akhirnya disambut oleh PT favorite.
Setelah melalui proses pembelajaran di PT selama 8 semester, tentumereka juga terbiasa dengan pola tumbuh dan berkembang yang kurang luwes, sekedar cerdas akademik namun miskin dengan keterampilan hidup. Akhirnya bisa wisuda, namun mereka terlahir sebagai orang cerdas namun hanya sebagai penumpang kendaraan atau “pencaker- pencari kerja”. Buka sebagai driver/ pengemudi atau seorang yang punya naluri untuk mendirikan lapangan pekerjaan.
Headline pada koran Singgalang (13 Januri 2017), sebuah koran terbitan Padang, dengan yaitu: Lowongan di PT Seen Padang, Kuota kurang dari 100, namun pelamar 40 ribu orang” Apa maksudnya ? Bahwa 40 ribu pelamar termasuk bagi mereka yang sangat yakin bahwa kalau IPK Tinggi, kalau Juara Satu sejak dari bangku sekolah maka hidup akan muda. Pernyataan ini sangat diyakini oleh para guru, kepala sekolah, para siswa dan banyak orang tua.
Tidak ada ruginya bagi kita- para orang tua yang mampu secara finansial- untuk mendaftarkan anak untuk ikut belajar di lembaga bimbel. Karena bisa memperkaya wawasan kognitif anak dan juga membantu anak buat memahami pelajaran yang kurang dia pahami. Yang kurang bijak adalah “mendaftarkan anak ke bimbel kemudian memberi tekanan padanya agar mampu menjadi orang yang “the best” untuk semua bidang studi. Bila sang anak mampu meraih skor setinggi mungkin maka kelak jalan mudah menuju PTN favorite terbuka lebar dan pada akhirnya kehidupannya, lewat kemampuan kognitif yang hebat, hidupnya akan indah dan mudah. Apakah memang benar ?
Cerdas hanya sebatas kemampuan “kognitif atau teori yang diperoleh dari sekolah saja”  tidak cukup buat sukses dalam kehidupan. Namun juga harus punya multi-intelegensia, terutama cerdas afeksi dan soft-skill (keterampilan sosialnya).
Tony Wagner, dalam bukunya The Global Achievement Gap (2008) menulis tentang cerdas afeksi. Kalau anak mau survive di abad 21, maka dia perlu memiliki tujuh skill, yaitu:
1)      Critical Thinking and Problem Solving
2)      Collaboration across network and leading by influence.
3)      Agility and adaptability
4)      Initiative and entrpreneurealism
5)      Effective oral and written communication
6)      Accessing and analyzing information
7)      Curiosity and imagination.
Nah telah banyak putra-putri kita yang kuliah di PT dan wisuda menjadi sarjana, tetapi mengapa ? Dari 100 % yang lulus, yang mampu mencari kerja sebanyak 20 % dan yang menjadi pengangguran cukup banyak, yaitu 80 %. Kenapa demikian...?? Ya karena mayoritas hanya sekedar menonjol untuk cerdas dalam berteori- sekedar jago dengan kognitif. Dan teori- teori yang dipelajari dalam ruangan kelas tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Apa yang harus mereka miliki ?
Wagner melakukan survey ke berbagai perusahaan. CEO perusahaan-perusahaan besar seperti Apple mengaku tidak tertarik dengan score test- seperti Score IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) atau nilai Ujian Nasional. Kalau mereka merekrut tenaga atau SDM, yang mereka perhatikan bukan hasil ujian tulis, tetapi adalah mereka yang “Pandai Bertanya” dalam berdiskusi. Assumsinya adalah bahwa orang yang pandai bertanyaberarti orang yang punya critical thingking dan tahu masalah. Maka tinggal lagi buat encari solusinya.
Tujuan utama pendidikan adalah bukan untuk anak punya skor UN yang tinggi dan lulus ujian sekolah. Tetapi mengantarkan siswa menjadi manusia yang punya pikiran kritis dan dan bisa memecahkan masalah. Selanjutnya cerdas membangun kerjasama serta jiwa kepemimpinan. Ini tidak mungkin dimiliki oleh siswa yang banyak mengurung diri, kurang bergaul dan tidak terbiasa dengan tanggung jawab.
Siswa yang punya waktu buat aktif dalam peran sosial tentu akan memiliki kecerdasan adaptif, punya inisiatif, juga cerdas mengakses dan menganalisis informasi. Melalui pergaulan yang berkualitas mereka akan memiliki kecerdasan berkomunikasi lisan dan tulisan dengan baik.
Prof. Dr Zainudin Maliki, Guru Besar UNAIR, yang tulisannya saya peroleh lewat grup WhatsUP, menulis bahwa hanya perusahaan yang enggan untuk maju yang terbiasa merekrut SDM berdasarkan skor UN dan nilai yang tinggi. Sementara itu banyak maju lebih tertarik mencari SDM yang cerdas affektif nya, mau kerja keras- ini bagi mereka yang suka berolah raga, inovatif, imajinatif, kreatif, pandai berteman dan membuka jaringan, serta berani mengambil resiko.
Orangtua bukan guru (a teacher) yang bertugas untuk bidang kognitif (proses berfikir) namun ia adalah seorang “educator” yang punya peran dalam membentuk karakter- seperti keberanian, disiplin, kerajinan, tanggung jawab, dll. Namun selama ini orang tua hampir-hampir melepaskan peran sebagai pembentuk karakter dan akhlak. Dia telah berperan pula dalam membentuk kognitif anak, dan ini tidak salah, yang salah adalah dia memaksa anak untuk menjadi jago pada semua bidang studi.
Anak-anak lewat, senyumnya, dipaksa-paksa untuk menjadi jago matematika, jago fisika, jago kimia, jago baha inggris, jago akuntansi, dan semua bidang studi. Anaknya lelah dan tumbuh menjadi orang pencemas dan penggugup. Mengapa ? Karena mereka punya orang tua yang “ambisius”.
Bagaimana seharusnya ? Apa orang tua dari negara maju juga ambisius sehingga memaksa-maksa untuk jago pada semua bidang studi ? Meggy Tandjaja- seorang Hotelier di ‎Beringin Dua Hotel- Provinsi Maluku (https://www.linkedin.com/pub/meggy-tandjaja) berbagi opini tentang bagaimana menumbuhkan (mendidik) anak-anak agar menjadi maju, dengan meniru prinsip positif para orang tua di negara maju, seperti di Jepang dan Amerika. Apa yang membuat suatu negara maju? Berdasarkan pengamatannya selama berinteraksi dengan orang-orang dari negara maju seperti Jepang dan Amerika, ada beberapa hal yang sama yang membuat mereka tampak lebih "tua" dari pada kita orang Indonesia.
Inilah prinsip dan nilai yang lebih ditekankan oleh orang tua pada anak- anak mereka;
- Mandiri, Sejak dini, mereka sudah diajarkan untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri, seperti membereskan piring setelah makan dan mencucinya, hingga mereka remaja.
- Tidak Mudah Menyerah, Secara finansial, tidak semua orang asing berasal dari keluarga berada. Secara psikologis, rata-rata dari mereka akan tetap mencoba melakukan sesuatu sendiri, tidak merengek atau meminta tolong orang lain kecuali terpaksa. Contoh sederhana saja, si A yang masih mendapat uang jajan dari orang tuanya. Ternyata uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidupnya, jadi ia putuskan mencari pekerjaan untuk menambah uang sakunya daripada meminta kepada orang tua.
- Berani Keluar dari Zona Nyaman, Rasa ingin tahu yang tinggi membuat mereka berani mengeksplorasi sesuatu. Meskipun itu berarti harus meninggalkan negerinya selama beberapa waktu. Mereka percaya bahwa eksplorasi membuka lebih banyak wawasan dari sekedar teori buku atau cerita pembawa acara di TV. Mereka cenderung lebih suka beraktifitas di luar ruangan dan pergi ke tempat-tempat yang belum mereka kunjungi sebelumnya, sekalipun hal tersebut dilakukan seorang diri.
- Menghargai Privasi, atau yang lebih dikenal dengan kata "cuek". Mungkin sikap yang satu ini agak bertentangan dengan kebiasaan kita yang senantiasa peduli dengan lingkungan sekitar kita. Saking pedulinya kita, terkadang sampai masalah pribadi orang lain juga ingin tahu.  
- Sederhana, karena sejak muda sudah terbiasa hidup mandiri, biasanya mereka cenderung berpikir praktis, tidak berbelit-belit. Yang paling nampak adalah dari segi penampilan. Mereka cenderung tampil apa adanya dalam keseharian mereka. Yang wanitanya pun hanya memakai makeup yang menonjolkan sedikit saja kelebihan wajah. Aksesoris yang dikenakan pun tidak mencolok.
- Peduli Lingkungan, masalah kesehatan dan kebersihan adalah keluhan umum yang sering didengar. Sehat tidaknya makan pagi hari itu, bersih tidaknya toilet umum, sampai polusi udara yang membuat mereka menggunakan masker saat keluar gedung. Meskipun bukan aktifis lingkungan yang sering terjun ke lapangan, mereka mengupayakan setidaknya di tempat tinggalnya memenuhi kriteria kebersihan dan kesehatan yang mereka harapkan, atau paling tidak mendekati.
- Menghargai Waktu, ini hal klise yang akan terus diulang sampai seluruh masyarakat Indonesia sendiri disiplin waktu. Orang asing dikenal sangat disiplin waktu. Untuk hal janji bertemu, rata-rata mereka biasanya sudah siap di tempat yang dijanjikan 5 menit sebelumnya. Dalam hal keseharian mereka, meskipun hanya pelajar, mereka punya segudang kegiatan layaknya orang-orang pada tahap usia orang bekerja Indonesia misalnya seperti bertemu teman baru, bekerja paruh waktu, atau membaca buku. Penggunaan telepon genggam atau smartphone sangat minim bila bersama teman-teman karena waktu bersama teman-teman pun sangat berharga.
- Sikap Baik, baik dan sopan pada siapa saja bahkan kepada orang yang paling menyebalkan sekalipun. "Selama orang itu tidak mengusik hidupku, aku akan baik-baik saja padanya." Bahkan bagi orang Jepang, mengajak orang seperti itu pergi makan bersama lebih baik. "Ia sudah berusaha keras (menjadi orang baik), hanya belum berhasil. Kita harus menyemangatinya (dengan mengajaknya pergi makan bersama)."
- Hidup Selayaknya Makhluk Sosial, meskipun dari negara maju yang teknologinya serba canggih, mereka masih memilih berkomunikasi secara riil dengan orang lain. Bahkan mereka lebih suka dikirimkan kartu pos atau surat daripada surel. Menurut mereka, komunikasi langsung sangat penting, bisa mempererat hubungan sosial satu dengan yang lain.
            Itulah beberapa sikap positif yang tumbuh dan berkembang, dimana para orang tua sangat punya peran untuk menumbuhkannya. Jadinya orang tua di negara kita tidak perlu terlalu ambisius hanya membentuk anak untuk cerdas secara kognitif, namun ia tumbuh tanpa memiliki nilai disiplin, kemandirian, keberanian, tanggung jawab, kreativitas, dll.
Jadi yang perlu dikembangkan pada anak kita adalah nilai nilai seperti: mandiri, tidak mudah menyerah, berani keluar dari zona nyaman, menghargai privasi, sederhana, peduli lingkungan, menghargai waktu, sikap baik, dan hidup selayaknya makhluk sosial.
(Catatan: Tony Wagner (2008). The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need--And What We Can Do About It. New York: Basic Books.)

Sabtu, 17 Desember 2016

Rumah-Rumah Yang Hebat Membuat Indonesia Kuat



Rumah-Rumah Yang Hebat Membuat Indonesia Kuat
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah blog tentang parenting. Penulis menjumpai blog “ayah-Edy” yang namanya diperkenalkan oleh adik/ saudara penulis yang tinggal di Pangkal Pinang- Bangka Belitung. Ia bukan seorang guru namun ia tertarik membaca tulisan- tulisan online tentang tema- tema kehidupan sosial. Ia menyarankan agar penulis tidak membaca artikel- artikel yang tidak relevan atau menulis hal-hal remah dan mempostingnya di blogger sendiri.
            Banyak orang menulis secara iseng iseng dan memposting di medsos (media sosial) yang jarang orang kurang menanggapi begitu fokus. Lebih baik menulis satu fokus, kupas dan jelaskan problem, penyebab, contoh- contoh dan tawarkan solusinya dengan bahasa yang ringan menarik, santun dan tidak terkesan menggurui. Persis seperti yang ditulis oleh pemilik blogger “ayahkita.blogspot.co.id”.
            Merasa penasaran dengan blogger ini maka menulis pun mencarinya. Ternyata nama blogger ini sangat menginspirasi dan banyak orang tua serta guru-guru lainnya di Indonesia, yaitu “Indonesia Strong From Home”. Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yang tersebar di lebih dari 12.000 pulau yang ada di nusantara. Apabila keluarga-keluarga ini kuat dengan sendirinya tanpa perlu konsep yang berbelit- belit dan biaya yang membebani negara. Pastikan keluarga dan sanak saudara kita di seluruh tanah air pedulidengan membangun Indonesia yang kuat dan keluarga, maka Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang juga kuat.
            Pada mulanya penulis agak skeptis- maksudnya merasa kurang percaya dan ragu-ragu terhadap konten blogger ini. Tentu saja penulis mencari tahu tentang seberapa jauh manfaat konten blogger ini bagi kita.
            Ternyata blogger ini sangat menginspirasi dan juga sangat patut buat dibaca oleh masyarakat- utamanya para guru dan orang tua- karena artikel-artikelnya tidak dibentangkan dengan bahasa-bahasa retorika penuh teori, yang kadang kala kita sendiri harus mengerutkan jidat untuk menangkap maknanya.
Ayah Edi, sebagaimana nama bekennya, memaparkan judul- judul artikelnya seputar pengalaman harian kita. Yaitu seputar masalah parenting yang sering dijumpai oleh orang tua di rumah, para guru dan masyarakat dalam kehidupan sehari- hari.
Ayah Edi telah menjadi salah seorang tokoh di antara ratusan tokoh parenting yang ada di tanah air ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan bahwa profilnya begitu penting. Karena ia pernah diundang buat talk show oleh Metro TV, radio dan media massa lainnya. Juga ia telah diundang oleh lebih dari 106 lembaga pendidikan, bisnis/ perusahaan, dan parenting untuk berbagi pengalaman tentang parenting dengan keluarga besar lembaga- lembaga tersebut.

Semua bangsa besar- bangsa yang maju SDM –nya bermula tumbuh dari rumah- rumah warga negaranya. Tidak lagsung serta merta jadi bagus dalam hitungan waktu melalui bengkel yang bernama seminar, pelatihan, workshp atau simposium. Tidak hal kualitas besar muncul lewat usahaan dadakan, semua melalui proses dan berevolusi sepanjang waktu.
Survey tentang the best and the worst countries to be a mother dilakukan oleh Rick Noack dan Lazaro Ganio. Mereka mengatakan bahwa suatu kejutan tentang negara yang terbaik parenting-nya adalah Norwegia, Findlandia dan Eslandia (www.washingtonpost.com). Tiga buah negara Skandinavia yang sering memiliki suhu yang sangat dingin yang terletak dekat kutub utara. Namun anak-anak di negara- negara tersebut memiliki orang tua  dengan hati dan pribadi yang hangat.
Masalah pendidikan merupakan hal yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada well-being (kesehatan dan kesejahteraan) para wanita dan anak.
Joanna Goddard menulis tentang “the secret of Norway parenting” umumnya orang tua di negara ini memperhatikan hal-hal kecil termasuk soal jam tidur anak. Anak-anak Norwegia harus tidur lebih cepat agar tidur bisa pulas dan badan serta fikiran mereka menjadi segar. Tidur mereka sekitar jam 7 atau jam 8 malam, cocok untuk ukuran di negara ini dan untuk ukuran Indonesia mungkin sekitar jam 9 atau 10 malam.
Namun hal yang kontra adalah bahwa sangat banyak anak- anak Indonesia yang kekurangan tidur. Mereka mengikuti pola tidur orang tua. Dari wawancara ringan bahwa cukup banyak anak yang baru tidur pukul 11 hingga jam 12 malam. Mereka kemudia bangun  di pagi berikutnya dengan mata mengantuk Dan perg ke sekolah dengan fikiran dan fisik yang jauh dari bugar. Rasa mengantuk bisa menjadi sumber pertama mengapa anak menjadi bosan dan resah di sekolah.        
Kemudian orang tua di Norwegia sangat memperhatikan kualitas pendidikan anak sejak dari pra-sekolah, juga memperhatikan pakaian serta makanan anak yang berkualitas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, namun di Indonesia banyak orang tua hanya memperhatikan gizi saat anak masih bayi dan berusia balita. Saat anak lebih besar hingga remaja orang tua sudah berlepas tangan, sehingga cukup banyak ditemui kurang terbiasa mengkonsumsi makanan berserat (sayuran) dan buah-buahan. Yang malah sering ditemukan bahwa anak anak lebih merasa percaya diri dan moderen dengan rajin megkonsumsi makanan cepat saji, minuman yang kaya soda, penyedap dan bahan kimia lainnya. Sering cukup banyak ditemui anak anak yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah. 
Umumnya iba-iba dari balita Norway adalah wanita karir. Maka balita-balita merekasejak usia dini sudah ditip pada penitipan yang biayanya perbulan sekitar $ 300 atau sekitar Rp. 3.900. 000, dan tergolong sangat murah. Karena harga harga kehidupan di Eropa adalah sekitar 10 kali harga Indonesia. Harga tersebut menjadi ringan karena ada subsidi dari pemerintah.
Para balita berada di pusat pusat penitipan dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Para balita punya banyak waktu buat bermain dan tidak banyak berada dalam ruangan, kecuali bila cuaca tidak mendukung. Di sana mereka bereksplorasi dan bermain secara alami. Ada permainan sepeda, pelosotan, ayunan, jungkat-jangkit, termasuk juga permain dengan balok- balok hingga merangkai bangunan.
Para balita lebih diperkenalkan dengan benda- benda alami- bukan melulu mdia- media elektronik. Benda alam lebih memungkin bagi mereka untuk berkooperatif dengan teman dan tubuh mereka lebih banyak bergerak hingga mereka jadi sehat dan kuat.
Pola hubungan suami dan istri (ayah dan ibu) adalah partnership, dimana mereka punya peran 50 %: 50% dalam mengurus dan mengasuh anak serta mengelola rumah tangga. Adalah hal yang alami bagi suami juga terlibat memasak, mencuci, merapikan rumah hingga memandikan dan menggendong bayi. Mereka punya waktu kebersamaan dan utamanya saat makan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat banyak para ayah yang menggendong balita menuju penitipan hingga lembaga pra-sekolah, ya lazimnya dilakukan oleh para ibu.
Kalau di Amerika, kulturnya mempromosikan “individual” dan kemandirian, sementara di negara Skandinavia, seperti di Findlandia, mempromosikan “janteloven- atau nilai kebersamaan dalam grup/ kelompok’. Di sana tidak ada orang merasa hebat sendirian, yang ada adalah hebat atau sukses bersama.
Jadinya orang Skandinavia- juga mirip dengan orang Timur- tidak pernah berfikir merasa lebih baik dibanding teman dalam suatu kelompok. Jadinya tidak boleh ada “sense of boasting”- rasa menyombongkan diri.
Bgaimana tentang kualitas pendidikan anak di Findlandia ? Sheila Wayman mengatakan bahwa di Findlandia umumnya anak-anak belum bersekolah di SD hingga mereka berumur 7 tahun. Sebelum usia 7 para orang tua juga menitipkan mereka pada “Day Care Centre” yaitu penitipan balita. Penitipan ini beroperasi dari jam 6.30 hingga jam 5.30 sore, jadi sekitar 12 jam atau full day care. Di sana para balita diberi sarapan dan makan siang dan juga makanan ringan.    
Ruang penitipan cukup besar dan di luar juga ada halaman buat bermain dan ada fasilitas buat bereksplorasi seperti ayunan, mainan, mobil-mobilan, trem, balok- balok, dll. Para pengasuh (staff) menemani dan memotivasi. Mereka juga membuat catatan kemajuan tumbuh-kembang fisik dan mental untuk laporan mingguan dan laporan bulanan. Tiap minggu para balita juga diajak untuk jalan ke alam terbuka, ke alam bebas selama 2 jam.
Tentang bentuk pedagogi di negara ini, punya ciri yaitu “playful learning”. Di Universitas Helsinki terdapat sebuah “playful learning centre”. Pusat bermain dan belajar ini dirancang untuk meningkatkan kreativitas anak. Permainannya dalam bentuk green fabric canopy dengan pohon pohon besar. Ada matras dan bantal-bantal warna warni, perabot kecil (kursi dan meja kecil) yang berwarna cerah, kotak kotak yang berisi buku dan pencil warna warni, dan juga ada lemari dengan rak-rak. Pusat bermain ini merancang lingkungan yang berguna untuk “self directed learning” agar balita bisa tumbuh mandiri.
Umumnya anak-anak Findlandia diasuh dan didik agar bisa tumbuh mandiri sejak usia dini. Makanya anak anak dikondisikan agar bisa pergi jalan kaki ke sekolah (karena kondisi jalan juga cukup aman).
Pendidikan juga peduli untuk meyediakan waktu buat kegiatan fisik (berolahraga). Kebugaran fisik dan kesehatan mental selalu menjadi prioritas utama. Pemerintah merekomendasi agar kegiatan pedagogi juga peduli pada kegiatan fisik selama 3 jam setiap hari. Karena aktivitas fisik tiap hari akan bermanfaat buat kebugaran fisik dan mental. Sebagai konsekuen setiap sekolah harus membuat siswa banyak bergerak. Orang tua juga diminta untuk mendukung agar anak juga melakukan olah raga di rumah.  
Joanna Goddard menjelaskan tentang bagaimana bentuk parenting di negara Eslandia. Anak- anak Eslandia tidak banyak terkungkung di dalam rumah. Mereka diberi waktu untuk banyak bereksplorasi di luar rumah.
Orang tua Eslandia memperkenalkan alam pada anak sejak usia bayi. Para balita diperkenalkan bagaimana berenang, danau, sungai dan laut. Jadi para balita telah terbiasa bermain di alam terbuka.
Orang tua dengan ilmu parenting yang minim adalah kasus yang banyak terjadi di negara kita. Banyak orang tua di negara ini yang memperlakukan anak ibarat robot. Sebagaimana dikatakan Jeff Yang bahwa karakter anak-anak Asia adalah “cerdas tetapi tidak jelas arah, rajin tetapi rapuh semangat, mampu tetapi kurang kreatif”. Itu akibat mereka terbiasa dilatih berorientasi “kognitif”- mereka banyak dilatih untuk banyak menyalin, mematuhi, dan menghafal. Ungkapan yang keluar dari mulut orang tua pada anaknya sering kurang memotivasi. Dimana orang tua kerapkali mengungkapkan “kasian....kasian” yang berarti “poor he is....poor he is. Jadinya anak kurang percaya diri untuk mengambil aksi atau tindakan.”.
Syifa Andina mengatakan bahwa minimnya ilmu parenting sering terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi lemah dan juga tingkat pendidikan rendah. Mereka juga miskin denan wawasan umum- kurang paham tentang bagaimana makanan yang bergizi, bagaimana memperkuat kognitif anak, bagaimana menghidupkan literacy keluarga, dan bagaimana membentuk pola prilaku anak yang yang berani dan bertanggung jawab.  
Di tanah air yang indah dan tercinta ini, sebetulnya ada bayak keluarga- keluarga dan juga lembaga sekolah yang sehebat di negara Australia, Singapur, Findlandia dan Amerika Serikat. Namun umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota Pulau Jawa dan Bai, serta beberapa kota lain di luar kedua pulau ini. Maka tugas dan tanggung jawab kita untuk saling berbagi dan saling menyebarkan tentang ilmu- ilmu parenting. Utamanya adalah agar orang tua mengkodisikan anak dengan ilmu untuk memahami agama, kemudian proses berfikir yang mandiri. Mereka juga dilibatkan dalam aktivitas rumah dan masyarakat- agar mereka punya tanggung jawab. Disamping itu mereka juga perlu mengenal bagaimana tentang kemandiran, rasa sopan santun, tanggung jawab, serta hidup yang sehat. Memang Indonesia yang hebat berasal dari rumah-rumah yang juga hebat.
Bibliografi:
Jeff Yang.(2015). Asian Parents: Your Kids are Not Robot. New York: Wall Street

Joanna Goddard.(2013). 10 Surprising things About Parents in Norway. Oslo: Cup of
parenting-in-norway/).

Rick Noack and Lazaro Ganio. (2015). Map: The Best (and The Worst) Countries to
be a Mother. Washington: The Washington Post

Sheila Wayman. (2016). Let The Children Play: The Secret to Finnish Education.
Helsinki: Irish Times (www.iristimes.com)

Syifa Andina. (2016). Five Ways to Improve Parenting Education in Indonesia.
Washington: The World Bank (blogs.worldbank.org)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...