Rabu, 14 Juni 2017

Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan



Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan

            Buat apa orang harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya masyarakat telah tahu bahwa sekolah berguna untuk mengubah nasib. Masyarakat  di lapisan yakin bahwa sekolah untuk menjadi cerdas, bisa jadi pegawai atau bekerja di perusahaan sehingga mudah mendapatkan duit.. Jadinya mereka semua memotivasi anak-anak untuk bersekolah. Belajar dengan sungguh- sungguh dalam menuntut lmu, agar kelak mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi sejahtera. Sebagai konsekuensi maka sekolah yang berkualitas telah diserbu dan diidolakan, karena diyakini akan mampu mengubah nasib para siswa. Dan mereka yang sedang menuntut ilmu di sekolah- di bangku SMA- sangat yakin bahwa sekolah bermutu akan membantu untuk bisa jebol ke perguruan tinggi yang favorit:
  “Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat kita menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”. Itulah mimpi-mimpi positif yang memotivasi mereka buat belajar serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh  banyak siswa dan juga oleh orangtua mereka.
            Untuk merespon mimpi-mimpi positif tersebut, sejak tahap awal pendidikan, banyak orangtua telah merancang konsep-konsep buat menyukseskan pendidikan anak-anak mereka. Kebijakan orangtua yang begini tidak salah karena mereka bisa dikategorikan sebagai orangtua yang punya tanggungjawab terhadap pendidikan anak. Dengan demikian mereka telah punya visi dan misi buat masa depan anak-anak mereka.    Jadinya sejak anak-anak kecil orangtua telah rajin merangsang kognitif anak.
Mereka mengantarkan anak ke pendidikan pra-sekolah. Selama belajar di PAUD dan TK, mereka memberi pujian- tepuk tangan- bila anak- anak mereka bisa mengucapkan doa-doa, mengucapkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Dan pujian juga akan ditumpahkan bila anak-anak mereka bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Ketika memasuki pendidikan SD, maka orangtua juga akan mensetting waktu buat anak-anak agar mereka bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).  Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6, waktu anak juga habis di ruangan les privat.
Terus begitu anak-anak masuk ke pendidikan di tingkat SMP dan SMA, maka terasa beban materi pelajaran lebih berat, lebih sulit bagi anak. Orangtua yang lebih mengerti tentang penjurusan mencaritahu tentang penjurusan, misal bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Kenyataanya orangtua akan berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi anak-anak bila kuliah kelak. Maka lagi-lagi para orangtua akan menggiring anak-anak mereka untuk bisa belajar tambahan. Mengiri anak ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan anak mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
            Begitulah anak-anak sekarang dibisikan dan dimotivasi buat persiapan ke masa depan mereka. Kadangkala didesak buat belajar tambahan bukan berdasarkan bakat dan potensi, namun karena memperturutkan ambisi orangtua. Dalam sebuah artikel  pendidikan saya pernah membaca bahwa banyak anak-anak sekarang yang disetting menjadi manusia karbitan, yaitu menjadi pintar yang dipaksakan. Anak yang cerdasnya karbitan akan memiliki karakter yang “instant”, maksudnya karakter yang ingin serba cepat sukses.
Adalah fenomena sosial, bahwa dewasa ini juga banyak tawaran belajar  dengan paket program instant- “cepat pintar”. Paket ini dirancang oleh pebisnis pendidikan. Membaca tawaran ini membuat banyak orangtua yang tergiur. Mereka menyerbu tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris buat anak, agar anak bisa “cas-cis-cus” segera. Pada hal menurut paedagogi bahwa semua pelajaran butuh waktu agar terjadi proses pembelajaran yang lebih benar. Kualitas-kualitas berlabel instant, hanya akan memberikan hasil yang abal-abal.
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Generasi dulu lebih terkenal dengan kemandiriannya. Mereka cari keterampilan sendiri, cari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan generasi sekarang, yang banyak menjadi “generasi anak mami”. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan atau servis, hingga mereka juga dijuluki sebagai “generasi servis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi cerdas dengan prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni oleh kemandiriannya. Kehidupan mereka banyak diprogram dan banyak diberi servis sejak usia dini.
Saat masih berusia balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat sudah lebih besar- bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
            Generasi sekarang banyak yang telah menjadi “generasi anak mami”. Generasi yang begini maksudnya bahwa “mami atau ibu mereka”, atas nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah mereka, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
            Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar anak-anak bisa menjadi hebat di sekolah. Disana anak-anak dipaksa dan dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam anak-anak terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri- seperti makan, pakaian dan pernak pernik kecil lainnya, mereka juga serba dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Akibatnya anak-anak sekarang jadi tidak punya soft-skill atau kecakapan hidup. Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai anak-anak yang miskin dengan soft skill- miskin dengan pengalaman. Tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus hal-hal kecil lainnya, karena semua pekerjaan sudah diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
            Kalau demikian maka anak-anak sekarang tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil di rumah” karena semua kebutuhannya harus dilayani. Mereka juga menjadi manusia instant dan manusia robot, karena telah diprogram agar bisa pintar- ya...pintar yang tidak bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil memang mereka mampu meraih peringkat akademik yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau termasuk peringkat 5 besar di kelas, namun prestasi akademik tersebut bersifat fatamorgana- hanya sebatas cerdas di atas kertas. Bisa dilihat namun tidak terpakai. Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena maminya rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru jadi merasa berutang budi atas kebaikan hati mami dan memberikan nilai servis buat anaknya.
            Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak untuk mejadi bintang pelajar di sekolah. Hingga nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Namun sayangnya banyak orangtua yang belum memahami konsep parenting yang benar. Para orangtua telah mengambil alih “peran guru dari sekolah” untuk urusan pengajaran atau teaching. Peran orangtua sebetulnya lebih fokus untuk urusan educating (seperti soft skill atau pengalaman sosial) dan peran guru fokus buat urusan teaching (kemampuan akademik).
Banyak orangtua yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak anak, sayangnya mereka kurang memahami bagaimana seharusnya menumbuhkan anak dengan agar bisa memiliki karakter-karakter positif (dan juga pengalaman sosial/ soft skill), yaitu seperti bagaimana anak-anak bisa “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individu, dll”.
            Walau pada akhirnya putra-putri mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga lebih banyak merekrut calon mahasiswa berdasar skor  akademik itu sendiri, dan menyingkirkan karakter-karakter positif yang menunjang kehidupan. Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya sekedar cerdas dengan kertas. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jdinya mereka  melangkah menatap kehidupan yang nyata penuh dengan rasa gamang.
            Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan, dia mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
            Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin dan berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat orangtua mereka bisa jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan sudah menjadi fenomena di dunia pendidikan. Namun dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak sekedar hanya bagus nilai akademiknya, namun juga harus memiliki soft-skill, keterampil dan pengalaman hidup, yang bervariasi.
            Ruth Callaghan  lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbicara dengan banyak mahasiswa di universitas-universitas Australia. Mereka menemukan bahwa banyak mahasiswa yang yakin prestasi akademik sebagai indikator utama yang dicari oleh dunia kerja- atau perusahaan. Ternyata keyakinan ini salah. Memang untuk masuk universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah mereka diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan semata-mata terbatas pada nilai akademik yang tinggi, namun bagaimana mahasiswa juga memiliki kemampuan dibalik nilai akademik tersebut, yaitu seperti:
            Leadership, communication skill, problem solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja- saat mereka ikut dalam proses rekruitmen di berbagai perusahaan.     
            Jadi kriteria-kriteria tersebut tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang yang dia peroleh dari perguruan tinggi. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas otaknya dalam belajar, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena sekarang banyak perusahaan yang punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen  yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok bagi atmosfir perusahaan.
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan seseorang ?. Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat, yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun  belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen. Jadi orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sekedar jago akademik, namun ia juga punya soft-skill yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina. Teman saya  yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya  juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke  London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya. 
Jadi para pemuda- siswa dan mahasiswa- di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya memiliki soft skill atau keterampilan-keterampilan yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan/ leadership, keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya  sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari/ membutuhkan orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill- keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill -kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.  

Jumat, 19 Mei 2017

Rusdi, Sahabatku, Berangkat Menemui Allah, Sang Pencipta



Rektorat UNP Berduka, Wafatnya Prof Rusdi Thaib
Posted by: Ajo Pleno in Nasional, Padang, Pendidikan, Sumbar 11 Mei 2017

Rektorat UNP Berduka, Wafatnya Prof Rusdi Thaib
Padang, PADANG-TODAY.com-Duka mendalam dirasakan civitas akademika Universitas Negeri Padang atas meninggalnya Guru Besar Prof Dr Rusdi Thaib, MA,Ph.D, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, yang juga mantan Atase Kemendikbud, KBRI Kuala Lumpur. Jajaran Rektorat UNP, para dosen dan staf tenaga kependidikan serentak berbelasungkawa mendalam atas wafatnya mantan Dekan FBS ini.
Bagi Rektor UNP, Prof Ganefri,PhD, almarhum Rusdi Thaib adalah sosok pembawa kejayaan dan figur yang mengharumkan nama UNP di berbagai forum nasional dan internasionaL . “Beliau sosok yang mampu menciptakan suasana kerja keras di tengah berbagai keterbatasan,” ujar Ganefri, Rabu (10/9).
Lanjut Ganefri, sosok almarhum lelaki kelahiran 2 Juli 1964 di mata civitas akademika UNP juga dikenal sebagai pembelajar keras bahkan almarhum pernah belajar di luar negeri, yakni Curtin University of Technology, Perth, Australia pada tahun 1997 sampai 2001. Tidak hanya itu, sosok Rusdi Thaib adalah seorang pendidik sejati sekaligus guru besar yang senantiasa tidak pernah berhenti belajar. “Beliau seorang guru besar, seorang dosen yang selalu memiliki attitude terpuji, di samping Skill dan Knowledge yang mengesankan. Bahkan Pak Rusdi juga dikenal mudah akrab dan humoris ,” kata Rektor UNP , didampingi Wakil Rektor I, II, III dan IV, Prof. Dr. Yunia Wardi, Syahril, PhD, Prof Dr. Ardipal dan Prof. Dr. Syahrial Bakhtiar.
Sebagai informasi, almarhum Prof Dr Rusdi Thaib sempat dilarikan ke Rumah Sakit Ibnu Sina yang berada di Jalan Gajah Mada, Kelurahan gunung Pangilun, Kecamatan Nangggalo. Seusai dipastikan telah wafat, Rusdi Thaib disemayamkan dan dilepas di lobby Rektorat UNP sebelum dibawa kerumah duka, Kelurahan Dadok Tunggul Hitam, Jln Dadok Raya, untuk selanjutnya dimakamkan di kanagarian Paninggahan, Kabupaten Solok.(rel/Dodi Syahputra)

In Memoriam Prof. Rusdi Thaib, M.A., Ph.D.

By: Afrianto
Alm. Prof. Rusdi, M.A., Ph.D.
Alm. Prof. Rusdi, M.A., Ph.D.
Saya memasuki ruang seminar internasional di Pangeran Beach Hotel pagi ini agak terlambat. Plenary session pertama sudah dimulai. Salah satu pembicara, Dr. Willy A Renandya, seorang scholar di pengajaran bahasa Inggris dari Singapura, sudah terlihat di panggung. Setelah bertegur sapa dengan beberapa panitia dan beberapa dosen saya dulu di UNP, saya masuk mencari tempat duduk.
Mata saya tertuju ke deretan bangku kosong di sebelah kanan agak ke tengah. Saya kemudian memilih duduk di sana. Persis di depan saya, duduk seorang lelaki berjas hitam. Dari belakang saya sudah tebak, itu pasti Prof Rusdi, sang ketua konferensi dan juga dosen saya. Karena acara sedang berlangsung, saya memilih belum menyapa. Tetapi, segera saya duduk di kursi baris belakang, beliau menoleh dan beliau reflek setengah berdiri menyapa saya.
Sayapun berdiri, berjalan ke arah beliau yang tersenyum hangat. Kami bersalaman setengah berpelukan.
‘Alhamdulillah, Pak Ustadz datang’, kata beliau dengan hangat. Beliau memang begitu, selalu punya cara membuat hati mahasiswanya senang.
‘Iya Pak. Maaf, agak telat. Thanks for inviting us’, jawab saya setengah berbisik, karena tak mau mengganggu presentasi yang sedang berlangsung.
Beliau masih meneruskan beberapa kalimat motivasi, mengomentari positif beberapa kegiatan saya yang beliau pantau lewat FB saya.
Tak lama, saya kembali ke bangku di baris belakang. Tempat dimana tas dan alat tulis saya ditinggal. Selama presentasi dari plenary speakers, beberapa kali beliau menoleh ke belakang, tersenyum, seperti ingin mengajak ngobrol, atau tertawa bersama ketika ada humor segar dari pembicara.
Sebelum sesi plenary pertama selesai, saya lihat beliau berdiri meninggalkan ruangan, sambil melirik kecil ke arah saya. Saya balas dengan anggukan. Beliau pasti sibuk mengurus konfrensi sebesar ini, pikir saya.
Selang satu jam, semua peserta konferensi dikejutkan berita yang bagai petir di siang bolong. Seorang dosen mengabarkan bahwa Prof. Rusdi telah meninggal dunia. Beliau ditemukan pingsan (atau bahkan sudah tiada) oleh seorang di dalam mobil di lapangan parkir kampus. Ketika dibawa ke RS Ibnu Sina, kabarnya beliau sudah tiada.
Semua peserta dan panitia ISELT V shocked. Mayoritas yang mengenal beliau terlihat menangis dan menahan duka yang mendalam. Wajah-wajah murung dan sedih terlihat di hampir setiap sudut. Konferensi berubah menjadi suasana berduka cita.
Ah, Prof! Hidup sungguh misterius. Bersyukur saya bisa menggenggam erat tanganmu pagi ini. Untuk yang terakhir kalinya. Saya awalnya tidak berniat ikut konferensi tahun ini, tetapi karena dimention khusus dulu di Fb, saya anggap itu undangan khusus darimu Prof. Saya kemudian datang, bertemu denganmu. Pertemuan terakhir. 😭

Mayoritas Mahasiswa UNP yang mengenalnya akan sepakat mengatakan bahwa beliau adalah salah satu dosen terbaik yang kami punya. Dulu di generasi saya, beliau adalah diantara dosen muda yang menjadi favorit banyak mahasiswa. Cerdas, energik, low profile, dan selalu berusaha memotivasi mahasiswa dengan caranya yang khas. Di dalam kelas, maupun di luar kelas.
Saya meneruskan kuliah masters dan PhD sampai ke luar Negeri, salah satunya adalah karena dorongan dari beliau. Motivasi beliau juga berpengaruh banyak dalam mendorong saya agar bisa berkarir di Perguruan Tinggi.
Terakhir, dengan rendah hati beliau bertanya, ‘Anto, Ayo apa yang bisa kolaborasikan? Saya follow up dengan request beliau sebagai salah satu reviewer journal Internasional yang saya kelola. Dengan cepat beliau jawab ‘yes’. He is indeed really helpful.
Mengapa orang baik sering cepat dipanggil Tuhan?

Selamat jalan guruku, guru kami. InshaAllah husnul khatimah. Ya, Allah. Peluklah guru Kami!
Duka sedalam cinta dari kami. Penulis Afrianto Daud (English 95)
###
By Sisyri Rusdi (English 98)
Jadi ingat masa masa kuliah dengan almarhum.. Terutama sewaktu beliau pertama mengajar Writing masuk lokal B dekat GOR PPSP. Di buku panduan nama dosen tertulis AT (Atur Kemudian, Red).  Ketika beliau datang, kita semua mengira almarhum mahasiswa juga.. memakai topi, sangat low profile.. masuk lokal langsung perbaiki tali sepatu dengan membawa tas sebelah kiri dan beberapa buku sebelah kanan.. beliau pertama yang mengulurkan tangan menyalami Havid.. (Havid Ardi selalu duduk paling depan) kemudian almarhumah Suci dan semua mahasiswa yang hadir saat itu..
Akhirnya beliau memperkenalkan diri bahwa beliau lah dosen kita yang akan mengajar writing 2 (kalau tidak salah semester 2).. Kemudian beliau bercerita pengalaman kuliah di Australia dan terakhir cerita bagaimana cara beliau membeli tas di Australia yg beliau bawa hari itu. Kita semua jadi melongo.. Tersenyum dan tertawa mendengarkannya..
Setelah itu banyak lagi rangkaian kenangan yg tidak terlupakan dengan almarhum. Semasa kuliah dengan beliau yang santai.. Tidak membosankan dan tidak kaku dengan mahasiswanya.
Dan ketika beliau ambil absen ketika mau absen nama saya beliau berhenti sejenak karena nama ayah saya (diakhir nama saya, Sisyri Rusdi, Red) sama dg nama beliau.. lalu beliau buat lelucon lagi..
Semoga almarhum husnul khatimah.. Dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan…
#memori awal pertemuan Bapak Rusdi dg kls B English ’98# (Sisyri Rusdi).
Photo courtesy: Dra. An Fauzia Syafei, M.A

Perginya Atdikbud Berjiwa Sederhana

May 10, 2017   BERITA SIKL
http://sekolahindonesia.edu.my/web2/wp-content/uploads/2017/05/20130726_182604-copy.jpg
Hari ini kami berduka, Innalillahi wainna ilaihi rojiuun. Keluarga Besar Sekolah Indonesia Kuala Lumpur telah kehilangan Prof. Drs. Rusdi Thaib, M.A, Ph.D, mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur yang selama ini banyak memberikan aura posit terhadap sekolah. Beliau meninggal dunia pada hari Rabu, 10/5/2017 di Rumah Sakit Ibnu Sina, Padang.
Almarhum sebelum menjabat sebagai Atdikbud KBRI Kuala Lumpur merupakan seorang dosen senior jurusan Bahasa dan Satra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Negeri Padang (UNP ). Setelah menyelesaikan tugas di Kuala Lumpur, beliau kembali menjadi pendidik di UNP sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
KBRI Kuala Lumpur khususnya SIKL merasa sangat kehilangan karena beliau telah menorehkan banyak kenangan. Jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan warga negara Indonesia di Malaysia sangat besar. Beliaulah yang merintis community learning center (CLC) di Sabah dan Serawak dan juga menggagas berdirinya Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK).
Berkat jasa beliaulah maka sampai hari ini anak-anak Indonesia yang berada ladang-ladang sawit di wilayah Sabah dan Sarawak dapat mengenyam pendidikan yang layak melalui program CLC.
Selain mengenang jasa beliau yang juga sangat besar terhadap perkembangan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, SIKL mengenang almarhum sebagai sosok yang sangat sederhana, ramah, rendah hati dan humoris. Di setiap kegiatan bersama SIKL, beliau selalu bercerita tentang masa kecilnya ketika bersekolah dulu dan kemudian memotivasi kami untuk terus maju dan bersemangat dalam menghadapi segala rintangan dalam mendidik anak bangsa.
Banyak prestasi yang sudah beliau torehkan. Bahkan disaat menjelang akhir hayatnya, almarhum masih memberikan ceramah di sebuah seminar di Pangeran Beach Hotel Padang. Ini menjadi bukti bahwa dedikasi beliau terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia tidak pernah usai. Selamat jalan Prof. Rusdi. Doa kami menyertaimu. (AR)


Budaya Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri



Budaya Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri
Oleh: Marjohan, M.Pd

            Saat saya terbang dengan pesawat Qantas dari Jakarta menuju Melbourne, saya menemui pemandangan dan pengalaman baru di bandara Ngurah Rai- Bali, Bandara Sydney dan bandara Tullamarine Melbourne. Tiga bandara dengan banyak orang asing. Saya menyukai Indonesia dan mengapresiasi warga Indonesia sangat banyak. Namun saya  lihat ada perbedaan dalam pemanfaatan waktu senggang.  
            Yang berkulit coklat, saya asumsikan sebagai orang kita, selama dalam pesawat lebih suka ngobrol dan anak-anak muda sibuk main game dengan gadget. Sementara yang berkulit putih lebih memilih tidur, mendengar e-book atau membaca buku yang sengaja mereka persiapkan dari rumah buat dibaca selama perjalanan.
            Saya jadi teringat dengan catatan membaca literasi para siswa di dunia yang saya baca pada salah satu dinding bagian dalam di rumah puisi Taufik Ismail di Aie Angek dekat Padang Panjang, Sumatra Barat. Sella Panduarsa Gareta (2014) menyelami sastra di rumah Taufik Ismail, menyatakan bahwa ada beberapa negara yang mewajibkan siswa mereka untuk membaca buku- novel, biografi, dan buku sastra lainnya, yakni sebagai berikut:
            “Bahwa siswa Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam diwajibkan oleh pihak sekolah membaca 5 sampai 7 buku dalam waktu sekitar dua tahun. Siswa Rusia, Kanada, Jepang, Swiss dan Jerman diwajibkan pihak sekolah membaca 12 hingga 22 judul buku. Siswa Perancis, Belanda dan Amerika Serikat diwajibkan pihak sekolah membaca 30 judul buku dalam waktu dua tahun.” Bagaimana dengan di Indonesia ?
            Siswa SMA di Indonesia tahun 1929 hingga 1942 juga membaca sekitar 25 judul buku pertahun. Yaitu di saat nama sekolah AMS Hindia Belanda, AMS itu singkatan dari Algemeene Middlebare School. Saat di sekolah AMS Hindia Belanda dahulu siapa yang membaca 25 judul buku pertahun ? Itu yang namanya Soekarno, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Natsir, Ali Sastromijoyo dan Muhammad Yamin. Namun dari tahun 1943- 2008, siswa wajib membaca nol buku pertahun.
            Di negara-negara maju yang saya tangkap pengertiannya bahwa betapa pendidikan di negara tersebut kegiatan membaca literasi telah melampaui target ketuntasan sehingga semua anak-anak sekolah sangat menyukai membaca dan membaca telah menjadi kebutuhan utama mereka. Sementara kemampuan membaca untuk pendidikan kita- dari kacamata dunia, kemungkinan belum mencapai target sempurna. Hanya baru sebatas kenal abjad dan mampu membaca peggalan dongeng ringan.
            Membaca dalam pendidikan kita baru sebatas pemberian PR. Guru-guru menugaskan siswa buat membaca dan membuat ringkasan. Siswa membuat ringkasan dan membaca dengan perasaan enggan, bosan dan mendongkol.
            Saat membaca terasa sangat berat dan membosankan bagi kebanyakan siswa SD di negeri kita, sementara itu membaca di negara Skandinavia terasa sebagai kebutuhan primer. Begitu pulang sekolah para siswa dari kelas rendah membawa buku cerita atau novel anak-anak yag ukurannya cukup tebal. Membaca dengan antusias dengan bantuan orang tua di rumah. Membaca kemudian meningkatkan kualitas verbal dan komunikasi mereka, juga menggugah imajinasi mereka hingga mereka menjadi siswa terkemuka.
            Ngainun Naim (2013: 1-7) memaparkan tentang potret buram membaca literasi di negara kita. sebuah data paradoks menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sukses menjadi model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Namun angka yang sedemikian menggembirakan ternyata tidak seiring dengan hasil survei UNESCO tentang minat membaca masyarakat Indonesia. Survei tersebut menunjukan bahwa minat membaca masyarakat Inonesia sangat redah. Tahun 2006, minat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi paling rendah di kawasan Asia. Sementara International Educational Achievement mencatat bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN.
            Apa yang menjadi penyebab membaca belum bisa menjadi budaya ? Sesungguhnya siapapun orangnya, apa pun profesinya, memiliki tradisi membaca. Maka semua profesi punya kontribusi positif untuk membangun budaya membaca. Namun profesi yang paling menggalakan minat membaca adalah mereka yang berasal dari dunia pendidikan. Apalagi kegiatan sehari-hari mereka juga dekat dengan dunia pengembangan ilmu.
            Namun tampaknya dunia pendidikan juga belum terlalu dekat dengan tradisi membaca. Banyak dosen dan guru ternyata belum banyak yang membaca secara tekun. Pada hal bagi mereka membaca merupakan sarana yang paling efektif untuk memperkaya wawasan. Himbauan bahwa dosen dan guru yang baik musti terbiasa membaca dan terus membaca untuk memperbarui dan menambah wawasan serta ilmu pengetahuannya hingga mereka layaknya mencari orang berlevel internasional.
Kesukaan terhadap membaca yang tinggi saya temui pada Craig Pentland, teman Australia saya, dimana kami sudah berteman sejak 22 tahun yang lalu. Setiap kali datang ke Sumatra untuk berlibur dia selalu membawa dua atau tiga buku yang dibaca selama berada di Sumatra. Tak jarang begitu liburannya berakhir dan ia telah menyelesaikan membaca 2 atau 3 buku. Begitu juga dengan teman-teman saya dari Eropa- Louis, Annes Bedos dan Francois, juga memanfaatkan waktu istirahat mereka buat membaca buku-buku. Saat membaca mereka terlihat sangat fokus dan sangat menikmatinya.
Desi Anwar (2015: 90-93) seorang wartawan yang produktif dan seorang host pada Metro TV juga berbagi pengalaman tentag betapa membaca itu sangat penting dan sangat menyenangkan. Dia sudah gemar membaca sejak masih kanak-kanak. Pengalaman membacanya dimulai dengan membaca novel pada usia 7 tahun. Dia masih ingat betapa asyik rasanya memegang buku, terasa berat dan serius. Pada mulanya Desi membaca degan susah payah, halaman demi halaman, seperti mahasiswa yang bersemangat menghadapi ujian. Dia sudah bertekad menyelesaikannya dan ia mengharuskan dirinya menyelesaikannya. Akhirnya dia merasakan kesenangan dalam membaca. Membaca telah membawanya ke masa yang lain, membaca telah menjadi sumber kesenangan yang sejati. Ya benar bahwa membaca adalah keunikan sejati yang dapat kita miliki karena membaca berarti menyerahkan diri kita kepada semua indra.    
Pertama kali membaca bukusaya memang merasakan kesulitan dan kejenuhn dalam menaklukan halaman demi halaman. Dan buku pertama yang taklukan adalah sebuah buku biografi milik teman satu kos saya. Nama bukunya “Pasang Surut Pengusaha Pejuang- Otobiografi Hasyim Ning”. Buku tersebut hanya setebal 392 halaman, namun terasa sangat tebal dan sangat berat saat itu.
Yang penting saat itu saya sudah punya motivasi untuk membaca keseluruhan isi buku tersebut. Maka mulailah saya menamatkan buku tersebut dengan cara memaksa diri. Pada mulanya saya coba membaca 10 halaman, kemudian istirahat dan membaca 10 halaman lagi. Saya buat target buat menamatkan keseluruhab halamannya. Saya biasakan membaca buku dengan menggunakan pensil.
Bila ada hal-hal yang penting buat saya maka akan saya garis bawahi. Nanti setelah saya menamatkan buu tersebut baru saya pindahkan ke buku catatan saya. Akhirnya dengan susah payah saya berhasil mematkan membaca buku tersebut dalam waktu hampir 2 minggu. Saya kemudian membaca tiap, sekarang setelah hampir 30 tahun , membaca sudah terasa sebagai kebutuhan primer saya.
Setiap orang yang telah terbiasa dengan budaya membaca mereka akan sangat beruntung. Sementara itu membaca sangat direkomendasikan oleh Al-Quran (oleh Allah Swt): Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (Surat 96:1).
Budaya membaca akan mampu buat melejitkan potensi diri. Ngainun Naim (2013:155-189) mengupas tentang membaca dalam rangka menangkap makna dan meraih prestasi. Ada banyak orang yang berubah karena membaca, misal lewat membaca biografi yang bisa mengantarkan menjadi penulis hebat.   
Salah seorang yang hidupnya berubah karena membaca, khususnya membaca biografi orang-orang terkenal, adalah Edward Bok. Pada masa kecilnya, Bok yang merupakan imigran Belanda di Amerika hidup dalam kubangan kemiskinan. Dalam sejarah hidupnya, Bok tidak pernah bersekolah lebih dari enam tahun.
Dia meninggalkan sekolah ketika berumur tiga belas tahun. Sebagai gantinya ia mulai mendidik dirinya sendiri. Dia menabung sampai dia mendapatkan cukup uang untuk membeli ensiklopedi biografi Amerika. Kemampuan membeli ensiklopedi ini membuatnya memperoleh banyak inspirasi dan membangun kreativitas dirinya. Pengaruh bacaan tersebut mendorongnya untuk melakukan hal yang luar biasa. Dalam perjalan selanjutnya, Bok menjadi penulis biografi yang ternama. Ia telah mewawancarai ratusan tokoh terkenal dan menulis biografi mereka. Semua itu bermula dari sebuah langkah mendasar, yaitu membeli dan kemudian membaca secara intensif biografi mereka.
Salah seorang pakar psikologi Indonesia adalah Prof. Dr. Ashar Sunyoto Munandar. Dalam perjalanan panjang hidupnya, Ashar mengaku bahwa ia begitu dipengaruhi oleh kata-kata yang tersusun rapi dalam aneka buku dongeng. Beberapa buku cerita dari masa kecilnya yang berkesan adalah Dik Trom, Piltje Bel, dan buku cerita karya Dr. Karl May. Bahkan, tanpa disadarinya, buku cerita itu pula yang memberikan rangsangan imajinasi dan wawasan luas tentang kehidupan.
Kesempatan meminjam buku bacaan di usia belia ini menjadi penanda signifikan bagi munculnya minat besar Prof. Ashar untuk membaca. Sejak itu, minatnya  membaca tumbuh pesat. Membaca dan terus membaca telah menjadikan Prof. Ashar sebagai pribadi penuh kualitas sehingga ia menjadi seorang pakar psikolog ternama di negeri ini. Bacaan cerita di masa kecilnya telah menjadikan dia sebagai pribadi yang terus tumbuh dan berkembang.
Besarnya pengaruh buku cerita juga dialami oleh penuis cerita yang cukup populer di dunia melalui bukunya Harry Potter, dia adalah J.K Rowling. Ia menulis novel legendaris tersebut dalam tujuh seri. Itu tentu saja merupakan hasil kerja keras dan perjuangan J.K Rowling yang sangat luar biasa. Orang mungkin hanya melihat dari sisi hasilnya saja. Padahal, kesuksesan yang diraihnya sesungguhnya dipegaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah pengaruh bacaan pada masa kecilnya.
J.K Rowling menuturkan tentang kenangannya yang paling jelas mengenai masa kanak- kanaknya. Adalah ayahnya yang duduk dan membacakan buku buatnya The Wind in the Willows. Bacaan demi bacaan yang terus digelontor orang tuanya pada masa kecil J.K Rowling secara tidak disadari telah membuat kesan hebat pada dirinya. Maka J.K Rowling mulai memimpikan cerita- cerita fantasis yang anehnya memiliki alur yang bagus dengan tokoh-tokoh yang begitu nyata.
Pengaruh bacaan kemudian mendorongnya untuk menjadi seorang penulis. Menulis baginya merupakan dorongan yang sangat hebat. Yang jelas membaca telah memberi kontribusi besar pada kemampuan J.K Rowling dalam menulis. Kesuksesan yang kini diraihnya merupakan akumulasi dari bacaan yang telah lengket dalam kehidupannya semenjak kecil. Begitulah, membaca kisah hidup para tokoh telah mengubah kehidupannya. Tentu saja ada banyak orang yang telah memperoleh manfaat positif dari kebiasaan membaca.
             
    Catatan:
Aa Navis (1986). Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasyim Ning. Jakarta: Grafiti Pers
Ngainun Naim (2013). The Power of Reading- Menggali Kekuatan Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri. Yogyakarta: Aura Pustaka
Sella Panduarsa Gareta (2014). Menyelami Sastra di Rumah Taufik Ismail. Jakarta: Antara News (www.antaranews.com)
Desi Anwar (2015). Hidup Sederhana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...