Rabu, 14 Juni 2017

Sukses Berasal Dari Rumah Yang Hebat



Sukses Berasal Dari Rumah Yang Hebat

            Banyak orang menulis secara sengaja atau secara iseng iseng dan memposting tulisan mereka pada medsos (media sosial)- di blogger, wordpress, blogspot, dll- tentang hal-hal yang ringan-ringan saja. Tentu saja juga ada yang menulis suatu topik- lebih fokus- dan bisa mengupas dan menjelaskan suatu problem, mencari penyebab, contoh- contoh dan menawarkan solusinya dengan bahasa yang ringan menarik, santun dan tidak terkesan menggurui. Misalnya seperti yang ditulis oleh pemilik blogger “ayahkita.blogspot.co.id”. Tulisannya sangat inspiratif.
            Merasa penasaran dengan blogger ini maka saya pun mencarinya. Ternyata nama blogger ini sangat menginspirasi dan banyak orang dan termasuk saya. Tema bloggernya adalah “Indonesia Strong From Home”. Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga yang tersebar di lebih dari 12.000 pulau yang ada di nusantara. Apabila keluarga-keluarga ini kuat dengan sendirinya tanpa perlu konsep yang berbelit- belit dan biaya yang membebani negara. Pasti negara ini jadi lebih hebat dan lebih kuat.
            Pada mulanya saya agak skeptis- maksudnya merasa kurang percaya dan ragu-ragu terhadap konten blogger ini. Tentu saja saya mencari tahu tentang seberapa jauh manfaat konten blogger ini bagi kita. Setelah searching ternyata blogger ini sangat menginspirasi dan juga sangat patut buat dibaca oleh masyarakat- utamanya para guru dan orang tua- karena artikel-artikelnya tidak dibentangkan dengan bahasa-bahasa retorika penuh teori, yang kadang kala kita sendiri harus mengerutkan jidat untuk menangkap maknanya.
Ayah Edi, sebagaimana nama bekennya, memaparkan judul- judul artikelnya seputar pengalaman harian kita. Yaitu seputar masalah parenting yang sering dijumpai oleh orang tua di rumah, para guru dan masyarakat dalam kehidupan sehari- hari.
Ayah Edi telah menjadi salah seorang tokoh di antara ratusan tokoh parenting yang ada di tanah air ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan bahwa profilnya begitu penting. Karena ia pernah diundang buat talk show oleh Metro TV, radio dan media massa lainnya. Juga ia telah diundang oleh lebih dari 106 lembaga pendidikan, bisnis/ perusahaan, dan parenting untuk berbagi pengalaman tentang parenting dengan keluarga besar lembaga- lembaga tersebut.
Semua bangsa besar- bangsa yang maju SDM –nya bermula tumbuh dari rumah- rumah warga negaranya. Tidak lagsung serta merta jadi bagus dalam hitungan waktu melalui bengkel yang bernama seminar, pelatihan, workshp atau simposium. Tidak ada kualitas besar muncul lewat sekedar usaha  dadakan, semua tentu melalui proses dan berevolusi sepanjang waktu.
Survey tentang the best and the worst countries to be a mother dilakukan oleh Rick Noack dan Lazaro Ganio. Mereka mengatakan bahwa suatu kejutan tentang negara yang terbaik parenting-nya adalah Norwegia, Findlandia dan Eslandia. Tiga buah negara Skandinavia yang sering memiliki suhu yang sangat dingin yang terletak dekat kutub utara. Namun anak-anak di negara- negara tersebut memiliki orang tua  dengan hati dan pribadi yang hangat.
Masalah pendidikan merupakan hal yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada well-being (kesehatan dan kesejahteraan) para wanita dan anak.
Joanna Goddard menulis tentang “the secret of Norway parenting” bahwa umumnya orang tua di negara ini memperhatikan hal-hal kecil termasuk soal jam tidur anak. Anak-anak Norwegia harus tidur lebih cepat agar tidur bisa pulas dan badan serta pikiran mereka menjadi segar pada esok harinya. Tidur mereka sekitar jam 7 atau jam 8 malam, cocok untuk ukuran di negara Skandinafia ini dan untuk ukuran Indonesia mungkin sekitar jam 9 atau 10 malam.
Namun hal yang kontra adalah bahwa sangat banyak anak- anak Indonesia yang kekurangan tidur. Mereka mengikuti pola tidur orang tua. Dari wawancara ringan saya degan tetangga saya bahwa cukup banyak anak-anak mereka  yang baru tidur pukul 11 hingga jam 12 malam. Mereka kemudia bangun  di pagi berikutnya dengan mata mengantuk Dan perg ke sekolah dengan pikiran dan fisik yang jauh dari bugar. Rasa mengantuk bisa menjadi sumber pertama mengapa anak menjadi bosan dan resah di sekolah.       
Kemudian orang tua di Norwegia sangat memperhatikan kualitas pendidikan anak sejak dari pra-sekolah hingga sekolah lanjutan. Mereka memperhatikan pakaian serta makanan anak yang berkualitas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, namun di Indonesia banyak orang tua hanya memperhatikan gizi saat anak masih bayi dan saat berusia balita. Saat anak lebih besar hingga remaja orang tua sudah berlepas tangan, sehingga cukup banyak ditemui anak kurang terbiasa mengkonsumsi makanan berserat (sayuran) dan buah-buahan. Yang sering ditemukan malah anak anak lebih merasa percaya diri dan moderen dengan rajin megkonsumsi makanan cepat saji, minuman yang kaya soda, penyedap dan bahan kimia lainnya. Sehingga cukup banyak ditemui anak anak yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah.
Umumnya para ibu dari balita di Norwegia pra wanita karir. Maka balita-balita mereka sejak usia dini sudah dititip pada penitipan yang biayanya perbulan sekitar $ 300 atau sekitar Rp. 3.900. 000, dan ini tergolong sangat murah. Karena harga harga kehidupan di Eropa adalah sekitar 10 kali harga Indonesia. Harga tersebut menjadi ringan karena ada subsidi dari pemerintah.
Para balita berada di pusat pusat penitipan dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Para balita punya banyak waktu buat bermain dan tidak banyak berada dalam ruangan, kecuali bila cuaca tidak mendukung. Di sana mereka bereksplorasi dan bermain secara alami. Ada permainan sepeda, pelosotan, ayunan, jungkat-jangkit, termasuk juga permain dengan balok- balok hingga merangkai bangunan.
Para balita lebih diperkenalkan dengan benda- benda alami- bukan melulu mdia- media elektronik. Benda alam lebih memungkin bagi mereka untuk berkooperatif dengan teman dan tubuh mereka lebih banyak bergerak hingga mereka jadi sehat dan kuat.
Pola hubungan suami dan istri (ayah dan ibu) adalah partnership, dimana mereka punya peran 50 %: 50% dalam mengurus dan mengasuh anak serta mengelola rumah tangga. Adalah hal yang alami bagi suami juga terlibat memasak, mencuci, merapikan rumah hingga memandikan dan menggendong bayi. Mereka punya waktu kebersamaan dan utamanya saat makan bersama. Dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat banyak para ayah yang menggendong balita menuju penitipan hingga lembaga pra-sekolah, ya lazimnya dilakukan oleh para ibu.
Kalau di Amerika, kulturnya mempromosikan “individual” dan kemandirian, sementara di negara Skandinavia, seperti di Findlandia, mempromosikan “janteloven- atau nilai kebersamaan dalam grup/ kelompok’. Di sana tidak ada orang merasa hebat sendirian, yang ada adalah hebat atau sukses bersama.
Jadinya orang Skandinavia- juga mirip dengan orang Timur- tidak pernah berpikir merasa lebih baik dibanding teman dalam suatu kelompok. Jadinya tidak boleh ada “sense of boasting”- rasa menyombongkan diri.
Bgaimana tentang kualitas pendidikan anak di Findlandia ? Sheila Wayman mengatakan bahwa di Findlandia umumnya anak-anak belum bersekolah di SD hingga mereka berumur 7 tahun. Sebelum usia 7 para orang tua juga menitipkan mereka pada “Day Care Centre” yaitu sejenis penitipan balita. Penitipan ini beroperasi dari jam 6.30 hingga jam 5.30 sore, jadi sekitar 12 jam atau full day care. Di sana para balita diberi sarapan dan makan siang dan juga makanan ringan.   
Ruang penitipan cukup besar dan di luar juga ada halaman buat bermain dan ada fasilitas buat bereksplorasi seperti ayunan, mainan, mobil-mobilan, trem, balok- balok, dll. Para pengasuh (staff) menemani dan memotivasi. Mereka juga membuat catatan kemajuan tumbuh-kembang fisik dan mental untuk laporan mingguan dan laporan bulanan. Tiap minggu para balita juga diajak untuk jalan ke alam terbuka, ke alam bebas selama 2 jam.
Tentang bentuk pedagogi di negara ini, punya ciri yaitu “playful learning”. Di Universitas Helsinki terdapat sebuah “playful learning centre”. Pusat bermain dan belajar ini dirancang untuk meningkatkan kreativitas anak. Permainannya dalam bentuk green fabric canopy dengan pohon pohon besar. Ada matras dan bantal-bantal warna warni, perabot kecil (kursi dan meja kecil) yang berwarna cerah, kotak kotak yang berisi buku dan pencil warna warni, dan juga ada lemari dengan rak-rak. Pusat bermain ini merancang lingkungan yang berguna untuk “self directed learning” agar balita bisa tumbuh mandiri.
Umumnya anak-anak Findlandia diasuh dan didik agar bisa tumbuh mandiri sejak usia dini. Makanya anak anak dikondisikan agar bisa pergi jalan kaki ke sekolah (karena kondisi jalan juga cukup aman).
Pendidikan juga peduli untuk meyediakan waktu buat kegiatan fisik (berolahraga). Kebugaran fisik dan kesehatan mental selalu menjadi prioritas utama. Pemerintah merekomendasi agar kegiatan pedagogi juga peduli pada kegiatan fisik selama 3 jam setiap hari. Karena aktivitas fisik tiap hari akan bermanfaat buat kebugaran fisik dan mental. Sebagai konsekuen setiap sekolah harus membuat siswa banyak bergerak. Orang tua juga diminta untuk mendukung agar anak juga melakukan olah raga di rumah. 
Joanna Goddard menjelaskan tentang bagaimana bentuk parenting di negara Eslandia. Anak- anak Eslandia tidak banyak terkungkung di dalam rumah. Mereka diberi waktu untuk banyak bereksplorasi di luar rumah.
Orang tua Eslandia memperkenalkan alam pada anak sejak usia bayi. Para balita diperkenalkan bagaimana berenang di danau, sungai dan laut. Jadi para balita telah terbiasa bermain di alam terbuka.
Orang tua dengan ilmu parenting yang minim adalah kasus yang banyak terjadi di negara kita. Banyak orang tua di negara ini yang memperlakukan anak ibarat robot. Sebagaimana dikatakan Jeff Yang bahwa karakter anak-anak Asia adalah “cerdas tetapi tidak jelas arah, rajin tetapi rapuh semangat, mampu tetapi kurang kreatif”. Itu akibat mereka terbiasa dilatih berorientasi “kognitif”- mereka banyak dilatih untuk banyak menyalin, mematuhi, dan menghafal. Ungkapan yang keluar dari mulut orang tua pada anaknya sering kurang memotivasi. Dimana orang tua kerapkali mengungkapkan “kasian....kasian” yang berarti “poor he is....poor he is. Jadinya anak kurang percaya diri untuk mengambil aksi atau tindakan.”.
Syifa Andina mengatakan bahwa minimnya ilmu parenting sering terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi lemah dan juga tingkat pendidikan rendah. Mereka juga miskin denan wawasan umum- kurang paham tentang bagaimana makanan yang bergizi, bagaimana memperkuat kognitif anak, bagaimana menghidupkan literacy keluarga, dan bagaimana membentuk pola prilaku anak yang yang berani dan bertanggung jawab. 
Di tanah air yang indah dan tercinta ini, sebetulnya ada bayak keluarga- keluarga dan juga lembaga sekolah yang sehebat di negara Australia, Singapur, Findlandia dan Amerika Serikat. Namun umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota Pulau Jawa dan Bai, serta beberapa kota lain di luar kedua pulau ini. Maka tugas dan tanggung jawab kita untuk saling berbagi dan saling menyebarkan tentang ilmu- ilmu parenting. Utamanya adalah agar orang tua mengkodisikan anak dengan ilmu untuk memahami agama, kemudian proses berpikir yang mandiri. Mereka juga dilibatkan dalam aktivitas rumah dan masyarakat- agar mereka punya tanggung jawab. Disamping itu mereka juga perlu mengenal bagaimana tentang kemandiran, rasa sopan santun, tanggung jawab, serta hidup yang sehat. Memang Indonesia yang hebat berasal dari rumah-rumah yang juga hebat.

Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri



Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri

Mengikuti proram pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Program tersebut seperti: AFS (American Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang) masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua minggu. Karena program ini terbatas untuk beberapa orang saja dan juga cukup bergengsi maka tentu saja setiap peminat harus punya persiapan yang matang untuk memenangkan seleksi penyisihan. Tulisan ini- Berburu Kesempatan Mengikuti Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri- tersinspirasi oleh pengalaman Miftahul Khairi (17 tahun), salah seorang kerabat saya yang saat itu tercatat sebagai pelajar pada salah satu SMA di kota Bukittinggi.       
Miftahul Khairi beruntung bisa mengikuti program pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga disebut dengan negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (yang biasanya juga dipanggil “Ari”) terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan orang tua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari biasa-biasa saja, rajin tapi kadang-kadang juga ada kebiasaan suka hangout-nya. Di rumah, dia suka membantu orang tua- membersihakan motor, merapikan rumah, membantu pekerjaan ayah, dll. Dia suka belajar- telah mandiri dalam belajar, dia punya banyak teman dan juga suka berolahraga dan seagai remaja, ia juga suka main game on-line.
”Namun mengapa kamu tertarik mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika, Ari ?” Dan ia menjawab bahwa bisa memenangkan persaingan program pertukaran pelajar ke Amerika merupakan sebuah kesempatan yang langka dan sangat berharga. Karena kita akan bisa memperoleh soft-kill kaliber internasional dan keberanian internasional dan kita pun juga akan bisa menjadi seseorang yang bermental internasional. Kita akan bisa bergaul dan bertukar cerita dengan banyak orang selama di sana.
Suatu hari kakak temannya Ari yang baru saja kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini adalah mereka yang selain mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi. Ia sendiri juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah- kegiatan bertetangga. Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus.
Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia- misal tentang global warming, migrasi, perang saudara, kekurangan bahan pangan dunia, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain. 
Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa “preparation is mother of successfulness”. Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat, menguasai kesenian dan life skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang. Ari juga belajar tari Minang, silat Minang, masakan Minang, dan juga membaca buku-buku tetang budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta bangsa. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan berani dan sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang kerja kelompok atau team-work.
Tip dan trick agar menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self- jadilah dirimu sendiri !!!”. Penilaian dengan skor rendah selama aktifitas team work adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk  karakter cooperative, leadership, dan kreatif.
Tipe “be yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar adalah untuk semua karakter orang- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris. Yang dinilai tidak hanya cerdas, ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi ?”. kelima peserta yang lulus kemungkinan “feeling between belive or not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar  di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu menuju negara Amerika Serikat ?”. Selain faktor bahasa dan pengetahuan budaya juga harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan yaitu pengetahuan tentang budaya. Jadinya Ari belajar tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orang tua. Mereka diberi program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri. Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”. Dan setelah itu acara Talent Show- penampilan bakat- yang disuguhkan buat orang tua peserta yang baru saja mengantarkan anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi samudra pasifik ?”. Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA- Garuda Indonesia Airways- saat Ari terbang (beberapa tahun lalu)  belum memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa, karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
“Oh ya kalau sekarang mungkin sudah ada izin mendaran pesawat Garuda ke Eropa, karena GIA sudah melakukan perbaikan manajemen”.
Peserta transit di Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan “ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam pesawat terbang moderen ?”. Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan masyarakat sosial. Dalam masyarakat barat atau budaya individu terkesan bahwa “no personal space”.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam dan masyarakat muslim, USA mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal dengan host familly ?”. Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala masih kurang mengerti dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda. Untuk memahami komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage. Tentang makanan, masakan Indonesia lebih mengutamakan taste and flavour, sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun. Pendidikan di sekolah kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran bersifat memberi “explanation, practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat- walau materi berharga kecil namun barnilai besar. Di Indonesia materi pembelajaran terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.
Ari secara langsung melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya sendiri (di Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian. Suasana pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam kelas poloitik (atau KWN- kewarga negaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya juga dengan bermain peran, ada yang berperan sebagai presiden, anggota partlemen, sebagai pengacara, sebagai narapidana, dll.
Pelajaran seni di Indonesia sudah berciri “praktek” dan di Amerika malah lebih banyak praktek, misal kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik. Ada kesan dari kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah buru-buru pergi les, les matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer. Namun para pelajar Amerika pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga, oleh karena itu mereka terkesan berani dan agresif (maksudnya-sangat aktif)  dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga,  bahwa di sana selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat membuat self-believe, life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau “kamu anak siapa”,  semua orang sama-sama punya kesempatan untuk maju, seorang guru tidak membandingkan latar belakang siswanya apakah dari orang tua miskin, kaya, kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung pada karakter seseorang).
Umumnya siswa di sana memiliki “self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal dalam hidup”.
“Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah sweet-kid (anak manis) yaitu patuh, menjadi pendengar yang baik, penurut dan rajin”. Di negara Amerika Serikat, jarang sekali orang dengan karakter “sweet kid”,  semua orang berkarakter “assertive-  yaitu: say what you feel” dan tidak ada istilah bahasa yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah  different fish different pond- lain lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak berbelit-belit”.
Tentang appellation atau panggilan, Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orang tua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan. Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata: kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”. Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu  Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita, fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan efek bosan dan jera.
Sementara hukum spangking “melampang” pantat anak, apalagi sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, menjewer telinga dan hukuman fisik lain.  sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orang tua yang menganiaya dan sampai menelantarkan anak mereka.
“Bagaimana teman-teman mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia ?”. Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-lucu.
“Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar ?”
Orang di negara Paman Sam  memandang Indonesia sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak ada tari atau seni seperti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang riang, lucu, dan smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah. Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering sering kali dalam mata pelajaran matematika, namun kita hanya kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek. Jadinya di Indonesia, banyak yang memperoleh juara olimpiade, kalau mereka hanya sebatas juara karena hafal konsep dan teori namun tidak punya soft-skill, pengalaman dan keberanian maka akhirnya mereka selalu stagnant atau jalan di tempat.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret, hospitality dan smart. Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi. Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa keramah tamahan itu hanya  sekedar memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja active mencari teman yag memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .     
“Bagaimana tentang hubungan orang tua dan anak di Amrik ?”. Hubungan orang tua dan anak di sana, ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street construction, di restorant fast food.
UMR (Upah Minimum Regional) di negara kita hitungannya adalah per-bulan, sementara di sana per-jam. UMR-nya adalah 7.25 Dollar Amerika atau setara dengan Rp. 82.000. Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka harus menulis resume atau lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar seperti dari Amerika Serika ?”.
 Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia karena kecil kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorit di universitas ya sama fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilangnan waktu belajar selama satu tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh. Namun setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determinasi Ari juga lebih meningkat. 

Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu



Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu

            Mau tahu tentang populasi pelajar di Indonesia ? Fasli Jalal (2010) menjelaskan tentang pelajar Indonesia, untuk SD ada sekitar 26 juta orang, SMP 7,5 juta orang, SMA 5 juta orang dan populasi mahasiswa Perguruan Tinggi sekitar 3 juta orang. Proporsi populasi pelajar tersebut dari SD hingga Perguruan Tinggi menyerupai bangunan piramida. Itu berarti bahwa tidak semua anak SD yang melanjutkan pendidikan ke SMP, tidak semua anak SMP yang melanjutkan pendidikan ke SMA dan tidak semua anak SMA yang kuliah ke Perguruan Tinggi, juga tidak semua lulusan Perguruan Tinggi yang memperoleh pekerjaan.
            Luas wilayah Indonesia bisa menutupi geografi Eropa, juga georafi wilayah Amerika Serikat dan wilayah benua Australia. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa ada 26 juta orang pelajar SD dan berarti ada 4,3 juta siswa pertingkat. Namun hanya 2,6 juta orang yang melanjutkan ke SMP dan 1,7 juta pada pergi kemana ? Begitu juga siswa saat di SMP jumlahnya 2,6 juta menciut populasi menjadi 2 juta orang saat berada di SMA. Mengapa ini terjadi dan mengapa angka drop-out termasuk tinggi di negara kita ? Tentu ada banyak penyebabnya, salah satunya karena rendahnya minat dan motivasi belajar siswa. 
            Rendahnya minat dan motivasi belajar ini terjadi karena anak didik cukup lemah dalam penguasaan materi pelajaran. Utamanya dalam kemampuan membaca. M.Nuh (2011) memaparkan tentang Scope PISA (Program For International Assessment) For Reading Literacy tahun 2009. Dikatakan bahwa dimana posisi Indonesia untuk kategori membaca dari 69 negara yang bergabung.
            Ada 60 negara yang skor membaca literasinya lebih baik dari Indonesia dan ada 8 negara yang mutu membaca literasinya dibawah posisi Indonesia. Berarti posisi reading literacy Indonesia berada pada posisi 61 di antara negara anggota PISA. Dengan demikian secara tidak langsung telah menggambarkan bahwa kualitas kemampuan membaca anak-anak Indonesia, terutama untuk tingkat pendidikan dasar (SD) sangat rendah di dunia.
Faktor penyebab adalah lemahnya dalam pemahaman reading literacy mereka hingga mereka tidak merasakan kepuasan dalam menuntut ilmu pengetahuan hingga mereka hengkang setelah tamat SD. Karena tidak merasakan indahnya atau puasnya menuntut ilmu membuat banyak SMP tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, begitu pula tidak bayak pula yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Banyak faktor yang membuat anak-anak mengalami putus sekolah. Selain faktor internal- faktor yang berasal dari dalam diri dan juga dari lingkungan mereka yaitu dari rumah mereka. Juga dicetuskan oleh faktor yang ada di sekolah itu sendiri.
Tiga hal yang membuat skor reading Indonesia menurut Scope PISA rendah, pada banyak sekolah di Indonesia terjadi:
- Poor learning condition (kondisi belajar yang rendah kualitasnya)
- Low teacher ability (kemampuan mengajar guru yang rendah)
- Unmotivated environment for learning (lingkungan belajar yang kurang memotivasi
  anak didik).
Seharusnya kita di Indonesia perlu belajar dan meniru pengalaman terbaik (best practice) beberapa negara tetangga dalam praktek pengajaran sehingga score reading literacy mereka sangat baik. Dari negara-negara yang terbaik score membacanya maka 3 negara yaitu Singapura, Australia dan Selandia Baru. Ke tiga negara ini dalah tetangga Indonesia. Pada hal pribahasa internasional mengatakan:
Good neighbour makes good friend- tetangga yang baik menjadi sahabat yag baik”.
Dengan demikian jumlah mahasiswa yang berjumlah 3 juta orang diasumsikan adalah sebagai pembaca yang bagus score reading-nya. Mereka adalah orang yang menyukai membaca hingga mampu menyelesaikan program perkuliahan mereka. Namun setelah mereka diwisuda menjadi seorang sarjana, mereka menjadi pelamar kerja dan pencari kerja. Bagaimana strategi mereka merebut karir- karir yang ada ?
Ada ratusan jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang total semua mahasiswanya sekitar 3 juta orang. Mereka diasumsikan adalah sebagai embaca yang baik hingga mampu menyelesaikan program kuliah. Diasumsikan bahwa perguruan tinggi seperti UI, UNJ, ITB, UNPAD, UNDIP, UGM, ITS, UNIBRAW memiliki kualitas sebaik perguruan tinggi yang ada di Australia.
Cukup banyak tamatan universitas dari perguruan tinggi tersebut. Mereka ingin bekerja di sektor pemerintahan atau di sektor pertahanan. Stelah itu juga ada alumni perguruan tinggi yang ingin berkompetisi untuk bisa masuk BUMN – atau perusahaan sangat besar di Australia.
Umumya orang masih meyakini bahwa mereka yang memperoleh nilai atau IPK yang tinggi merupakan kriteria utama untuk bisa memenangkan pekerjaan. Apalagi kalau saat jadi mahasiswa dan mampu memperoleh nilai cum-laude. Dengan demikian mereka yakin bahwa dunia kerja/ perusahaan akan segera menyambutnya. Namun fenomena begini tidak ada lagi. Sejak dari sekarang kita rekomendasi pada siswa dan mahasiswa bahwa dunia kerja/ perusahaan juga punya strategi sendiri untuk menilai- menseleksi para pelamar yang punya kualitas untuk menumbuh-kembangkan perusahaan mereka.
Seorang lulusan universitas degan IPK cum-laude, namun kemampuan sosialnya biasa-biasa saja akan tidak bisa lolos dalam rekruitmen dibandingkan dengan lulusan yang memiliki skor standard namun memiliki nilai sosial (soft skill) yang lebih seperti kemampuan dalam bidang  kepemimpinan, keterampilan dalam berkomunikasi, pemecahan masalah dan mampu dalam pelayanan pelanggan, merupakan lulusan universitas atau pelamar pekerjaan yang lebih diminati oleh dunia perusahaan. Ruth Callaghan (2015) menjelaskan bahwa untuk bisa lolos dalam rekruitmen maka ada 3 hal yang perlu diketahui dan dimiliki oleh para pelamar kerja yaitu: cultural fit, experience dan vocal graduates.
Cultural fit atau kesesuaian dengan budaya perusahaan. Dalam menseleksi para pelamar yang sesuai dengan kultur perusahaan maka para pelamar diseleksi melalui proses yang cukup komplek yang meliputi tahap sebagai berikut:
- Telephone interviewing (wawancara lewat telepon).
-  Video interviewing (wawancara lewat video).
- Aptitude test (test kecakapan)
- Profile personality (wawancara tentang profil pribadi)
- Group discussion (kemampuan diskusi kelompok)
- Presentation (kemampuan presentasi)
            Melalui 6 tahapan seleksi ini akan ditelusuri potensi- potensi yang dimiliki para pelamar atas: kemampuan leadership mereka, karakter mereka untuk mampu bertanggungjawab dan bekerja sama, dan kemudian apakah mereka mampu melaksanakan peran-peran yang diberikan serta mampu memberi kontribusi pada perusahaan. 
            Experience atau pengalaman. Maka disarankan kepada para pelamar yang kelak akan memasuki dunia kerja agar tahu bahwa dunia pekerjaan selalu mencari calon pelamar yang punya pengalaman yang luas. Maka calon pelamar jangan hanya terfokus pada urusan-urusan akademik semata dan kurang peduli dalam pengembangan potensi yang lain.
            Dunia perusahaan juga ingin tahu tentang alasan calon pelamar dan bagaimana bentuk motivasi mereka. Juga apa alasan mereka ingin bergabung dengan perusahaan. Selanjutnya apakah saat menjadi mahasiswa mereka punya pengalaman yang lain seperti:
            - Ekskul dalam bidang olahraga
            - Ekskul dalam bidang musik
            - Kegiatan volunteering dan juga bidang yang lain
            Karena semua catatan pengalaman tentang ekskul juga akan diperhitungkan dalam rekruitmen oleh perusahaan. Perusahaan sangat tetarik dengan pelamar yang berpenampilan happy dan punya pengalaman yang berimbang yaitu:
            - Extracuricular activities (kegiatan ekstrakurikuler)
            - Achievement motivation to join with the firms (motivasi berperstasi untuk bergabung
             dengan firma).
            - Work experiences (pengalaman kerja)
            - Problem solving (kemampuan memecahkan masalah) 
            Tim assessmen perusahan akan mengakses (menilai) poin-poin di atas melalui dokumen otentik dan wawancara dan sekaligus team assessment/ perekrut tenaga kerja juga memperhatikan beberapa hal tentang:
            - Action oriented (berorientasi pada tindakan)
            - Willing to speak (kesediaan untuk berbicara)
            - Willing to brainstorming (kesediaan untuk brainstorming)
            - Willing to have opinion (kesediaan untuk punya opini sendiri).
            Dan tentu para pelamar juga harus mencaritahu tentang apa dan bagaimana profil perusahaan yang juga sedang diincar agar bisa memiliki perasaan yang mantap kelak.
            Vocal graduate maksudnya adalah opini-opini yang berkaitan dengan calon pelamar. Ada beberapa poin/ item yang perlu diperhatikan oleh pelamar untuk menjadi pelamar yang ideal. Hal- hal ini akan terpantau saat melalui wawancara, yaitu: para pelamar opini perlu memiliki opini sendiri, latarbelakang yang harus bervariasi, bagaimana titik pandang yang baru.
            Kemudian juga ada beberapa kompetensi yang tidak bisa ditawar-tawar, yaitu seperti kemampuan mendemonstrasikan kecerdasan dalam bekerja, dan kemampuan dalam berkomunikasi, yang meliputi assessment secara online atas kompetensi numerical, logika dan beralasan secara verbal, juga angket tentang kepribadian dan wawancara tentang kepribadian.
            Jadi perlu direkomendasi kepada para mahasiswa untuk membangun pengalaman sambil menuntut ilmu, membangun pengalaman sambil kuliah, dan juga mereka diharapkan untuk melibatkan diri dalam kegiatan di luar kampus. Mahasiswa yang kelak menjadi calon pelamar pekerjaan, mereka akan memiliki daya tarik untuk memilki pengalaman dalam bidang ekskul yang luas, pernah berpergian ke luar negeri, pernah mengikuti pertukaran pelajar atar negara dan pernah ikut kegiatan volunteering.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...