Rabu, 14 Juni 2017

Parenting Berkualitas Menghasilkan Generasi Bernas



Parenting Berkualitas Menghasilkan Generasi Bernas

            Tumbuh-kembang seorang anak sebetulnya dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi kognitif (perkembang otak), psikomotorik (keterampilan atau gerak) dan afektif. Sosok seorang anak itu juga bisa dilihat dari unsur biologis, psikologis, spiritual, dan sosial. Usia anak-anak juga sering disebut sebagai “tahapan usia emas atau “golden age”. Yaitu usia dengan pertumbuhannya begitu dasak dalam bentuk ledakan-ledakan yang hebat.
Ide ini-bagaimana ledakan hebat ini bisa terbentuk- mungkin sulit untuk dipahami. Namun mari kita telusuri kembali pada awal-awal masa pertumbuhannya. Di awal masa kelahirannya, seorang bayi terlahir dengan berat sekitar 3 kg. kemudian pertumbuhan berat badannya naik berturut turut, bulan pertama- 65 %, bulan ke dua- 60%, bulan ke tiga- 50%, bulan ke empat 40 % dan terus mencapai angka 10 %, 5% hingga mencapai angka pertumbuhan yang stabil setelah proses pertumbuhan dalam ledakan besar itu berakhir.
Tentu saja pertumbuhan biologis (tubuh) anak dalam ledakan yang hebat terjadi bagi anak yang mengkonsumsi asupakan gisi secara normal dan sempurna. Hingga pertumbuhan tubuh (biologi) sang anak berakhir setelah terjadi osifikasi atau pengerasan tulang di akhir masa remaja mereka.
Penambahan berat badan bayi dengan asupan gizi yang sempurna terjadi setiap minggu dan bisa diukur dengan jelas setiap bulan. Penambahan dari tumbuhnya ukuran tubuh, dalam bentuk ledakan terus terjadi selama masa anak-anak hingga berakhir pada masa awal masa dewasa. Yang mana signifikan pertumbuhannya terlihat setiap tahun.
Demikian juga halnya dengan otak, ia juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Otak adalah organ yang betanggung jawab untuk membuat seorang bayi atau anak menjadi cerdas. Ledakan kecerdasan juga terjadi dalam usia awal masa anak-anak. Dimana ini ditandai dengan pertumbuhan lingkaran kepala dalam ukuran millimeter setiap minggu dalam tahun pertama dan kedua dari kehidupannya. Setelah pertumbuhan dan perkembangan otak sempurna, maka selanjutnya yang terlihat adalah pertumbuhan dalam kecerdasan anak.
Dalam buku David Hull (1985) dalam buku “The Macmillan Guide to Child Care” digambarkan tentang ledakan- ledakan pertumbuhan kecerdasan anak dari segi personal dan sosial mereka- yaitu keterampilan berbahasa, gerak halus dan gerak kasar. Ledakan-ledakan kecerdasan yang sangat dahsyat juga terjadi dalam masa 2 tahun (masa bayi), barangkali ini adalah sebagai “Super Golden Age”. Dan super golden age berikutnya dengan ledakan terhebat terjadi hingga mereka mencapai usia lima tahun pertama. Jadi ledakan-ledakan kecerdasan mencapai perkembangan dasar hingga mereka berusia 5 tahun.
Untuk perkembangan personal dan sosialnya, yaitu  dari mampu tersenyum karena digoda hingga mampu memakai baju sendirian dalam waktu singkat. Pertumbuhan untuk  kemampuan linguistik (kemampuan berbahasa) dimulai dari seonggok bayi merah, yang hanya mampu menangis, kemudian berkembang hingga mampuan menggunakan gestur (bahasa tubuh)- melambaikan tangan- hingga mampu ngobrol dalam kalimat sederhana  yang sempurna-“Aku suka mama, aku suka papa, aku mau pergi, aku takut, dll’- dalam rentang usia 4 tahun. Sedangkan kemampuan motoriknya, dimulai dari mampu memegang tangan (meggenggam tangan sendiri), menjangkau permainan hingga mampu melukis kepala manusia (lukisan kasar tentunya) dalam usia 4 tahun.
Betapa ledakan kecerdasan pada semua anak terjadi dimana- mana di dunia ini  dan juga bagi anak-anak kita. Ledakan kecerdasan yang terdahsyat adalah dalam masa 4 atau 5 tahun pertama kehidupan mereka. Itu semua merupakan bentuk kecerdasan dasar- basic intelligent- dimana selanjutnya bentuk-bentuk kecerdasan mereka siap buat dikembangkan. Mereka sudah memiliki kecerdasan dasar- bentuk masternya- yang hebat yang siap buat untuk diledakan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal. Namun bagaimana respon lingkungannya, terutama para orangtua di rumaha dan para guru dari sisi paedagogik di sekolah ?
Para orang tua yang peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-akan mereka akan segera mendalami tentang ilmu parenting. Jadinya anak- anak bisa maju terutama karena memperoleh pengasuhan dari orang tua yang berkualitas- punya referensi tentang parenting. Pada umumnya bangsa-bangsa yang memilki SDM yang bagus itu karena mampu mengoptimalkan ledakan kecerdasan anak-anak mereka. Kita agaknya juga perlu belajar dari rahasia manajemen mendidik anak atau parenting management  mereka.
Di dunia ini sangat banyak negara-negara yang memiliki orang tua yang hebat dalam mendidik anak. Ya semua anak-anak bisa  menjadi maju, sekali lagi, adalah  karena orang tua mereka sangat memahami konsep parenting- yaitu peran orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan membesarkan mereka (anak-anak).
Sekarang mari kita pahami bagaimana tentang bentuk-bentuk parenting mereka. Misalnya, kita pilih saja parenting dari4 negara maju, yaitu negara-negara yang SDMnya berkualitas dengan demikian juga terkenal  bagus (bertanggung jawab) dalam mendidik anak. Negara-negara yang kita pilih adalah  Perancis, Cina, Amerika dan Jepang. Orang tua di negara-negara tersebut adalah orang tua yang ideal dan kita patut belajar dari bentuk parenting mereka.
1).Parenting dari orang tua Perancis
Saya merasa beruntung bisa berkenalan dengan tiga orang Perancis, yaitu: Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francoisse Brouquisse. Mereka telah menjadi teman saya sejak tahun 1993 sampai tahun 2012. Mereka sering mengunjungi (berlibur) ke tempat saya secara teratur di Batusangkar. Tentu saja saya punya kesempatan untuk saling bertukar pikiran dengan mereka. Itu membuat saya mengenal negara Perancis dan budaya negara mereka lebih mendalam. Saya jadi tahu mengapa Perancis menjadi salah satu negara terhebat di Eropa dan juga di dunia. Itu semua karena masyarakat Perancis dibesarkan dan didik oleh orang tua yang sasngat hebat dalam mendidik keluarga mereka.
Apakah orang Perancis bersikap lebih baik ? Saya pernah berbincang-bincang dengan orang Perancis. Saya dan juga tetangga berkesimpulan bahwa ‘Orang Perancis bersikap lebih baik”. Teman-teman saya orang Perancis tersebut bukan orang timur namun mereka berbicara sangat sopan dan juga makan dan minum tanpa mubazir. Cara mereka menyantap makan sangat sesuai dengan ajaran Islam, yaitu makan tanpa menyisakan makanan.
Salah seorang famili keluarga kami menikah dengan wanita Perancis dimana saya bisa mengamati bagaimana mereka mendidik dan membesarkan anak mereka. Saya melihat bahwa keluarga Prancis  tidak repot/ bising pada waktu makan kita. Mereka tampak seperti  sedang berlibur- ya terlihat rileks saja. Anak balita mereka bisa duduk tenang di kursi, menunggu makanan. Tidak ada jeritan atau juga tidak merengek. Saya juga mencari tahu tentang karakter keluarga Perancis dan benar bahwa itu adalah karakter rata-rata.
Saya sering melihat anak kecil yang mudah marah  pada waktu makan dan anak-anak Perancis jarang bersikap demikian.  Bila anak mereka rewel maka orang tua mereka tidak bersikap aggresif dalam menenangkan anak, kecuali mereka selalu bersikap tenang atau rileks saja. Pelajaran dari keluarga Perancis, bahwa  orang tua Perancis  memperkenalkan pelajaran cara “bersopan santun” dalam hidup kepada anak-anak  mereka sebagai berikut:
a) Anak-anak harus mengatakan halo, selamat tinggal, terima kasih dan minta pamit. Ungkapan ini membantu mereka dalam bergaul dan sekaligus membuat pribadi mereka disenangi.
b) Ketika anak-anak menunjukan karakter nakal, maka orang tua memberi mereka   peringatan dengan cara "Membelalakan mata"- sebagai isyarat teguran, tanpa harus mengomel atau membentak.
c) Orang tua Perancis  mengingatkan pada anak bahwa “siapa yang bos/ pimpinan”.  Orang tua Prancis mengatakan, "Ini saya yang memutuskan", maksudnya agar anak    mampu bertanggungjawab dan mengambil keputusan.
d) Jangan takut untuk mengatakan "tidak." Dan anak-anak harus belajar bagaimana    mengatasi frustrasi.
Mengapa  anak-anak Prancis tidak terbiasa melempar makanan? Dan mengapa orang tua mereka tidak suka berteriak atau menghardik ? itu sudah menjadi karakter positif mereka. Orang tua Prancis juga  tidak sempurna, namun mereka memiliki kebiasaan  yang bagus dan benar-benar mereka laksanakan. Mereka  bersemangat kalau berbicara dengan anak-anak, tidak asal-asalan dalam menjawab pertanyaan anak. Mereka mengajak anak melakukan eksplorasi- memperkenalkan alam pada anak- mengajak mereka ke luar rumah dan juga  membacakan banyak buku- untuk memperkenalkan bacaan pada anak. Mereka juga membawa  anak untuk belajar tenis, kursus melukisan dan ke museum ilmu pengetahuan interaktif.
Orang tua Perancis selalu melibatkan diri dalam keluarga. Mereka menganggap bahwa orang tua yang baik perlu menyediakan waktu buat anak. "Bagi saya, malam hari adalah waktu buat bersama keluarga/ anak. Orang tua Perancis sering memberi anak stimulus (rangsangan untuk berbuat positif) dan selalu ingin anak mereka menerapkan disiplin.
Bagaimana mereka mendidik anak ? Ya tentu saja melalui disiplin. Namun kata disiplin tidak berhubungan dengan hukuman- sebagai pengertian yang sempit. Kalau ada kesalahan langsung membentak anak- bukan demikian. Orang tua Perancis tidak buru-buru  menjemput anak yang menangis namun mendorong mereka untuk menenangkan diri sendiri.  Ketika anak-anak mencoba untuk mengganggu pembicaraan, ibu berkata, "Tunggu  sebentar ya sayang, ibu tengah berbicara..!!" Kata sang ibu dengan sopan dan sangat tegas pada anak.
Ibu atau ayah Perancis juga mengajar anak-anak mereka bagaimana : belajar bermain sendiri. "Yang paling penting adalah bahwa ia belajar untuk menjadi bahagia dengan dirinya sendiri, "Orang tua Perancis mempercayakan anak-anak untuk cukup banyak kebebasan dan otonomi/ kemandirian.  Menyediakan makanan buat diri sendiri, menyediakan pakaian buat diri sendiri- jadi dari usia kecil tidak diajar bermanja atau serba dibantu. Ya bagaimana kelak anak bisa sukses dalam hidup kalau mereka sepanjang hidup terbiasa banyak dibantu.
2).Parenting dari orang tua Cina
Di mana-mana di dunia orang Cina terkenal sebagai orang yang berhasil. Dapat dikatakan bahwa majunya negara Singapura adalah juga karena pengaruh orang-orang keturunan Cina. Ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh sebagian orang-orang keturunan Cina. Dari media masa kita dapat mengetahui bahwa orang-orang Canada dan Amerika Serikat keturunan Cina juga termasuk orang-orang yang berpengaruh di sana. Malah John Naisbitt, penulis terkenal di dunia, mengatakan bahwa orang-orang Cina migran (Cina Perantauan) telah berpengaruh dalam perkembangan ekonomi dunia, khusus bagi mereka yang berada di daerah pantai timur benua Asia, mulai dari negara Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, pantai timur Cina, Vietnam, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapura, hingga Indonesia.
 Kita bertanya-tanya bagaimana orang tua Cina dalam  membesarkan anak-anak mereka hingga  sukses. Kita bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan orang tua hingga menghasilkan anak yang jago dalam  matematika, musik, ICT dan perlombaan sains. Amy Chua (2011) seorang penulis tentang parenting mengungkapkan beberapa hal yang tidak pernah diizinkan oleh orang tua Cina pada anak-anak mereka:
a) Menginap atau bermalam di rumah seseorang.
b) Hura-hura atau buang-buang waktu.
c) Mengeluh.
d) Menonton TV atau bermain game computer
e) Memperoleh skor nilai yang rendah.
f) Tidak menjadi siswa/ mahasiswa yang terjelek.
Ibu-ibu di negara Cina mengatakan bahwa mereka percaya anak-anak mereka bisa menjadi siswa "yang terbaik", bahwa "prestasi akademik mencerminkan orang tua yang sukses," dan bahwa jika anak-anak tidak berprestasi di sekolah berarti ada "masalah" dan itu berarti orang tua sang anak  "tidak melakukan pekerjaan mendidik dengan baik’.
Orang tua Cina menuntut nilai sempurna karena mereka percaya bahwa anak mereka bisa mendapatkannya. Jika anak mereka tidak mendapatkan maka ibu Cina menganggap itu karena si anak tidak bekerja/ belajar cukup keras. Maka solusi atas kondisi tersebut “anak perlu dikritik atau dipermalukan”. Bukan hanya sekedar mempermalukan anak namun orang tua berlepas tangan dalam hal mendidik.
Orang tua Cina percaya bahwa anak-anak mereka berutang kepada mereka semuanya karena mereka telah berkorban dan berbuat banyak bagi anak-anak mereka. Dan memang benar bahwa ibu Cina  menyediakan waktu yang sangat melelahkan agar anak bisa mengikuti les privat, pelatihan, menginterogasi dan memata-matai anak-anak mereka. Maka pemahamannya adalah bahwa anak-anak Cina harus menghabiskan hidup mereka dan mentaati mereka dan membuat mereka bangga.
Orang tua Cina percaya bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka dan karena itu  mereka mengesampingkan semua keinginan anak-anak yang belum logika. Itu sebabnya putri Cina belum dapat memiliki pacar saat di bangku SMA  dan mengapa anak-anak Cina tidak bisa pergi hura-hura.
3). Parennting dari orang tua Amerika
Suatu hari saya berkenalan dengan Dr. Jerry Drawhorn (dan Prof. Louis Down pada waktu yang berbeda). Dari Jerry saya mengetahui beberapa kebiasaan dan budaya orang amerika. Sebagai seorang arkeolog ia pernah berbicara tentang kecerdasan. Ada banyak orang Amerika yang begitu pintar dan kepintaran mereka adalah sebagai kontribusi dari orang tua mereka. Saya kemudian menjadi tahu dari Prof. Louis Down (di waktu senggang saat memberi seminar di IAIN Batusangkar tahun lalu) bahwa dari beberapa kelompok etnik yang ada di Amerika maka etnik Jerman dan etnik Yahudi termasuk unggul dalam mendidik keluarga mereka. Untuk perkembangan awal-awal teknologi Amerika Serikat bisa jadi sebagai kontribusi dari Etnik Jerman, ya bisa jadi mereka adalah etnik Jerman yang beragama Yahudi. Selanjutnya saya sebut saja dengan istilah “Etnik Yahudi Amerika”. 
Etnik Yahudi Amerika telah lama dikagumi oleh banyak orang di Amerika karena kemampuan mereka dalam menghasilkan anak-anak yang berkembang secara akademis. Mereka punya budaya “guilty” atau merasa bersalah kalau tidak berhasil dalam hidup dan ini punya dampak dalam menciptakan keberhasilan mereka.
Rasa bersalah (guilty) adalah bentuk pesan-pesan emosi yang memberi rasa rumit dalam pikiran. Orang tua Yahudi merasa bersalah kalau keluarga mereka gagal atau kurang berhasil dalam berbuat. Gambarannya bisadalam bentuk ungkapan:
I am ashamed if I am not success, my parent will be embarrassed if I am failed, our people will be forgotten if we have very poor score, etc
Rasa bersalah ini merupakan dorongan yang kuat dalam melindungi dan juga dalam menyempurnakan mutu kehidupan diri dan kehidupan keluarga. Agar hasil kegiatan mereka bisa sempurna maka mereka tidak mau berbuat asal-asalan, mereka berbuat lebih profesional. Rasa bersalah telah mendorong semua orang Yahudi untuk berbuat- belajar dan bekerja- secara serius dalam berbagai bidang kehidupan sehingga mereka menjadi bangsa yang berkualitas.
Orang tua Yahudi juga menularkan rasa bersalah (pesan-pesan emosional) pada anak-anak mereka, sehingga dalam belajar bila mereka tidak memperoleh hasil yang belum maksimal maka akan timbul rasa guilty atau rasa bersalah. Selanjutnya rasa bersalah menjadi pendorong untuk berbuat lebih berkualitas. Jadi bagaimana anak-anak Yahudi memperoleh skor akademik yang tinggi dan juga untuk mendapatkan perhatian dari perguruan tinggi terbaik? Tentu saja adanya dorongan yang kuat dari dalam hati, bila tidak bisa maka mereka akan mengalami rasa bersalah (guilty) yang mendalam.
4) Parenting dari orang tua Jepang
Bagaima dengan kualitas karakter anak-anak  di Jepang ? Kualitas mereka tentu saja terbentuk dari kualitas parenting para orang tua dan juga dukungan media masa sehingga terbentuklah masyarakat yang punya disiplin, empati dan pendidikan yang pro pada karakter.
a) Menumbuhkan disiplin keluarga.
Tentu saja setiap pemuda dan pemudi Jepang yang ingin menikah maka mereka terlebih dahulu mengikuti kursus parenting, atau juga belajar secara otodidak tentang menjadi orang tua yang baik (parenting). Jadinya setelah menikah dan punya anak maka mereka tidak kebingungan dalam menanamkan konsep. Disiplin adalah konsep utama yang selalu ditanamkan oleh orang tua untuk keluarga mereka.
Karena memahami konsep parenting, maka orang tua di Jepang bersikap lembut namun juga tegas. Sejak lahir, anak-anak selalu bersama ibunya. Mereka tidak pernah luput dari pengawasan sang orang tua. Para orang tua di Jepang disiplin sekali terhadap anak-anaknya dan kedisiplinan ini diajarkan sejak dini. Anak-anak tidak selamanya bersikap manis, kadang-kadang bersikap agak nakal dan menjadi hilang kontrol.
Jika sang anak tidak mematuhi- bersikapmenganggu ketertipan umum, maka mereka akan memukul kepala si anak. Hukuman ini lazim buat orang Jepang, dan memukul kepala (menempeleng kepala) tentu saja tidak lazim bagi bagi hukum positif kita dan juga tidak harus kita tiru (mungkin diganti dengan bentuk mencubit atau memukul selain kepala untuk tujuan mendidik).
Namun di tempat umum, orang tua Jepang pantang untuk memarahi atau bersikap kasar terhadap anak, karenaanak perlu dipelihara harga dirinya. Mereka dihukum ketika sudah di rumah. Oleh sebab itu, anak-anak Jepang jarang yang bersikap seenaknya karena jika mereka melanggar aturan maka mereka tahu apa konsekwensinya. Namun kadang- kadang ada juga ibu-ibu yang memukul kepala si anak di tempat umum jika sang anak bersikap kelewatan atau tingkahlakunya sangat agresif.
b) Berempati bisa berarti memahami perasaan orang lain.
Orang tua Jepang umumnya sudah punya wawasan yang baik, yang mereka peroleh lewat pendidikan atau lewat otodidak, hingga mereka bisa menjadi model bagi anak. Orang tua yang berkarakter baik akan cenderung melahirkan anak yang juga baik. Umumnya orang Jepang dan juga orang di negara maju cenderung  mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri. Misal kalau lagi menyetir maka cenderung memperlihatkan kesabaran dan tidak mau menjadi raja jalanan.
Ketertiban dan sopan santun anak sangat diperhatikan di Jepang bila anak tidak tertib  maka mereka memperoleh hukuman. Di tempat umum, anak-anak jangan sampai mengganggu kenyamanan orang lain. Misalkan di restoran, tidak ada anak-anak yang hilir mudik, berjalan kesana kemari. Semua anak duduk di bangkunya masing-masing. Bayi selalu digendong atau dipangku oleh orang tua. Jika sang bayi rewel, sang orang tua akan berdiri dan menggendongnya.
Di rumah sakit, klinik, mall, dan tempat umum lainnya, tidak ada anak-anak yang berjalan mundar-mandir (berkeliaran), lari kesana kemari, berbicara keras-keras. Misalkan di klinik atau rumah sakit, berbahaya jika anak kita berjalan-jalan atau bahkan berlari-lari (berkeliaran). Di kereta, anak-anak harus duduk dengan tertib dan tidak berisik. Banyak penumpang yang ingin tidur dan beristirahat, jadi pikirkan kenyamanan mereka juga.  
Pengalaman-pengalaman parenting dari orang tua di negara maju tadi perlu kita adopsi untuk agar kita para (berkeliaran) bisa menemani ledakan kecerdasan anak sejak dari masa bayi hingga mereka remaja dan dewasa. Ada beberapa catatan yang harus kita kuasai antara lain:  memperkenalkan pelajaran cara “bersopan santun” dalam hidup kepada anak-anak, mengajari mereka untuk bisa bertegur sapa, mengucapkan terima kasih, bagi orangtua agar menghindari banyak mengomel pada anak, apa lagi sampai menghardik-hardik. Berkomunikasi dengan anakdengan penuh semangat. Juga mengajarkan pada anak untuk bisa menghargai waktu, tidak hura- hura,lupa diri karena asyik dengan permainan.

Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal



Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal

            Ada artikel yang cukup memberi motivasi bagi orang-orang dari kalangan yang kurang mampu (the have no familly). Artikel tersebut ditulis oleh Molly McManus dengan judul “why do rich kids do better than poor kids in school?”. Saya baca artikel ini beberapa kali. Lantas saya teringat dengan kerabat saya yang hidup juga dalam siklus kemiskinan yang tinggal di pinggir Batang Anai (Sungai Anai) di Lubuk Alung, Sumatera Barat. Juga kenalan saya di kota lain yang hidup di bawah garis kemiskinan, dalam sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu- mungkin layak disebut sebagai “sebuah gubuk kecil”. Di dalamnya mereka tinggal  dengan anggota keluarga yang cukup banyak- 5 orang anak remaja, yang pendidikan mereka tercecer karena drop-out.
            Kerabat saya di pinggir Batang Anai di Lubuk Alung hidup dengat budget satu atau dua dollar perhari. Mereka hidup sebagai buruh tani, mengumpulkan batu dan pasir untuk dijual buat orang kota.
            Rumah kami, di pinggiran kota kecil Lubuk Alung- 35 km dari Padang- jauh dari sentuhan media massa. Para keluarga mengenal majalah, surat kabar dan buku-buku cerita buat dibaca. Listrik saja baru dapat diakses beberapa tahun lalu. Saya beruntung bisa pindah, dibawa orangtua, ke Payakumbuh, sehingga disana dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik dibanding dengan kaum kerabat  saya yang berdomisili di kampung.
Sementara kaum kerabat saya yang berprofesi sebagai buruh tani dan juga anak-anak mereka selalu punya masalah dengan pendidikan. Mereka  sering tinggal kelas hingga akhirnya drop out dari sekolah. Sebagai pilihan hidup, seolah-olah melanjutkan tongkat estafet buat rantai kemiskinan, anak-anak mereka kembali memilih menjadi buruh tani. Ya mengikuti profesi orang tua mereka dan akhirnya mereka juga hidup dalam garis kemiskinan.
Saya melihat bahwa anak-anak mereka (kaum kerabat saya) mengalami keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif, motorik halus dan motorik kasar. Apa yang dikatakan Molly McManus yaitu terulang lagi, yaitu  “mengapa anak-anak keluarga kaya prestasinya lebih baik dari anak miskin- why do rich kids do better than poor kids in school”.
            Fenomena seperti ini bisa saja terjadi di daerah lain di tanah air ini. Conny Semiawan dalam St. Sularto (2010: 55-56) melaporkan hasil risetnya di empat daerah yang beragam di Papua, yaitu: Merauke, Saruni, Nabire dan Jayapura. Masing-masing daerah tersebut mewakili daerah tertinggal yang geografinya seperti di  pantai, pedalaman dan pegunungan, perkampungan dan daerah kota, dengan keragaman sifat, sikap dan kemampuan peserta didik yang berbeda- beda.
            Temuan penelitian yang dipaparkan oleh Conny Semiawan adalah tentang kondisi keterdidikan anak Papua yang memperlihatkan keadaan yang memprihatinkan. Mereka ternyata mengalami keterhambatan perkembangan- kepribadian sosial, kemajuan berbahasa, sikap adaptif, motorik halus dan motorik kasar.
            Perkembangan hidup anak ketika berusia dini sangat berpengaruh pada kesiapan mereka untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan formal dalam usia selanjutnya. Dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari anak Papua tidak akan siap untuk mengikuti proses belajar dengan baik di bangku sekolah dasar dimana kurikulum nasional diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Sampai kapan pun anak-anak Papua akan mengalami hambatan dalam belajar jika tidak ada intervensi dari pemerintah/ stake holder pendidikan untuk menaikan angka perkembangan hidup mereka untuk taraf nasional. Juga intervensi untuk mengembangkan kepribadian sosial, kemajuan bahasa, sikap adaptif, motorik halus, dan motorik kasar dari anak-anak Papua tersebut.
            Dibalik itu saya jadi teringat dengan kenalan saya, sebagaimana yang telah saya sebutkan, yang mana mereka hidup dalam lilitan kemiskinan, mungkin pendapatan ekonominya per-hari adalah sekitar 2 dollar. Sebagai buruh kecil- tukang tambal ban- rezekinya tidak menentu. Kalau lagi mujur maka banyak anak anak remaja (anak-anak sekolah yang membawa sepeda-motor) yang bocor atau kempes ban sepeda motornya maka dibawa begkel tambal ban kenalan saya tersebut. Maka da akan kebanjiran pekerjaan/ kebanjiran rezeki. Sehingga dia bisa membawa uang yang agak berlebih buat membeli lauk pauk buat keluarga.
            Kenalan saya yang miskin ini memiliki 5 orang anak yang sudah agak besar. Pendidikan mereka sebelumnya juga mengalami kesulitan akademik. Anak-anaknya  terlihat  susah payah  untuk menamatkan pendidikan dasar mereka, karena selalu bermasalah dengan guru dan mata pelajaran yang tidak menarik bagi mereka.
Saya lihat di anatara anak-anaknya ada yang sering tinggal kelas  dan juga ada yang drop out dari bangku SMP. Sementara itu mereka memiliki rumah kayu yang berukuran kecil, hanya ada satu ruangan buat berkumpul dan tidak ada ruang atau kamar untuk masing-masing anggota keluarga. Ruang keluarga yang ukurannya 3 kali 2 meter, menjadi ruangan banyak fungsi- ya sebagai dapur, kemudian menjadi ruang utama keluarga dan bila malam tiba, ruang tersebut menjadi ruang tidur bagi anggota keluarga yang masih lajang (anak laki-laki).
            Jika lagi panas terik atau suhu lagi tinggi, mereka memilih duduk di halaman di bawah pokok pohon yang rindang. Kadang tempat itu (bangku atau balai-balai di bawah pohon) juga berfungsi sebagai area keluarga- living room terbuka.
            Lilitan kemiskinan membuat anak-anak mereka tumbuh menjadi kurang berkualitas, mereka terlihat mudah emosional, sensitif sekali dan mudah cekcok oleh hal-hal yang sepele. Anak- anak mereka yang sudah dewasa menikah, dan lagi-lagi juga dengan pasangan yang serupa tingkat ekonomi, tingkat pendidikan karakternya.
Jadinya mereka tumbuh lagi dalam rumah kecil yang layak disebut pondok dengan gaya hidup yang juga sama. Mereka tetap miskin dengan pengalaman dan juga miskin dengan ilmu pengetahuan, terlebih juga miskin dengan keuangan. Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh Molly McManus bertemu lagi yaitu “ mengapa anak-anak keluarga kaya lebih berprestasi/ beruntung dibandingkan anak-anak keluarga miskin”. Ya mereka cenderung mengulang kemiskinan orangtua mereka.
            Molly mcManus lebih lanjut menjelaskan tentang why do rich kids do better than poor kids in school. Mengapa anak-anak keluarga kaya berprestasi lebih baik daripada anak-anak orang miskin di sekolah. Penyebabnya adalah karena adanya “gap atau celah. Gap ini terbentuk sejak berumur 3 tahun yaitu terlihat dari kualitas bahasa (jumlah kosakata). Kosakata anak-anak keluarga kaya sedikit lebih banyak dari anak keluarga miskin.
            Molly McManus menambahkan bahwa ada sebuah studi yang dilakukan 30 tahun yang lalu dan ditemukan bahwa memang ada perbedaan (gap) antara anak-anak dari keluarga yang rendah income-nya dengan keluarga yang bagus posisi ekonominya. Perbedaan tersebut terlihat pada kualitas berbahasa, persisnya proses bertukar bahasa antara anak dan orangtua. Dimana terjadinya proses bahasa anak keluarga kaya, mereka lebih intensif berkomunikasi dengan satu sama lain.
            Saya kadang-kadang bersilaturahmi, mengunjungi rumah kenalan saya yang hidup dililit kemiskinan, dan ngobrol-ngobrol untuk mencari tahu tentang bagaimana kualitas kehidupan dan juga kualitas pendidikan dan mengapa anak-anak mereka dulu sering bermasalah di sekolah (setelah itu putus sekolah dan sekarang anaknya bekerja sebagai buruh serabutan). Mengapa pendidikan mereka dan anak-anak keluarga lain yang senasib bisa tertinggal/ bermasalah dan beberapa penyebabnya antara lain:
            a). Kondisi rumah
               Keadaan rumah mereka yang kecil hingga kesulitan menampung anggota keluarga, tidak ada ruang atau kamar sendiri buat urusan privacy anak-anaknya. Suasana               rumah yang kecil dan pengap berpotensi menimbulkan stress.
            b). Tidak ada budaya membaca
               Umumnya dalam rumah dari keluarga ekonomi lemah dan juga lemah tingkat pendidikannya memang tidak ada sarana buat mendukung budaya membaca (tidak ada koran, buku bacaan, majalah-majalah bekas sekalipun), sehingga kualitas verbal atau bahasa mereka juga kurang menarik. Jadinya  para anggota keluarga satu-sama lain cenderung berbahasa agak kasar (berbahasa yang emosional), menghardik-hardik dan gara-gara hal sepele mereka jadi  mudah saling melukai perasaan satu sama lain.           
            c) Tidak adanya time management yang jelas.
                Time management atau pengelolaan waktu dalam suatu keluarga harus ada. Misal kapan waktu sarapan, makan siang, makan malam, waktu buat bangun, waktu untuk tidur, waktu buat bikin PR, dll. Dalam keluarga miskin ini tidak jelas. Televisi menyala dari pagi hingga malam, sehingga suasana ruang rumah yang kecil dan pengap ikut menjadi berisik. Jadinya anak-anak juga  tidak mengenal tetang pola tidur. Anak-anak terbiasa begadang hingga tengah malam. Keesokan pagi harinya mereka harus pergi ke sekolah dengan keadaan mata mengantuk. Tentu saja sekolah dan pelajaran tidak begitu menarik buat diikuti. Ini adalah penyebab awal mengapa anak keluarga miskin bermasalah dengan sekolah.
            d). Tidak ada model tetang cara bertanggungjawab.
             Tentu saja keluarga miskin sangat minus dengan pengetahuan parenting. Dimana anak-anak kurang dilibatkan untuk bisa mandiri- seperti ikut mengurus diri sendiri: memasak, mencuci, menstrika, terutama untuk anak laki-laki. Apalagi mereka punya persepsi yang salah bahwa “memasak, mencuci, menstrika” bukan pekerjaan anak laki-laki. Jadi anak laki-laki tidak tahu dengan tanggung jawab. Jadinya anak-anak mereka tumbuh menjadi orang-orang  yang sangat pemalas.  
            e). Tidak ada budaya memuji.
Kata-kata penuh simpati seperti “terimakasih, maaf dan memuji” belum tubuh dalam lingkungan keluarga miskin. Karena kata-kata tersebut perlu kecerdasan orangtua (parenting) untuk membudayakannya. Sehingga kata-kata dan ungkapan yang sering muncul  adalah banyak mencela, menghukum, mencaci, menghina  dan hingga membullying sesama anggota keluarga. Ini semua sering memicu terjadinya pertengkaran.
            f). Only Watching TV
Yang ada hanya budaya menonton, memerintah dan mengancam. Ya seperti yang telah kita paparkan di atas tadi. Ini terjadi sepanjang hari dan sepanjang masa dalam kehidupan mereka.
Namun tidak semua keluarga yang hidup dalam kategori miskin melahirkan anak-anak yang selalu lemah kualitas pendidikannya. Di tempat lain, beberapa tahun yang lalu, saya juga berkenalan dengan sebuah keluarga yang miskin secara ekonomi. Namun di sana terasa adanya kehangatan dalam berkomunikasi, terjalinnya bahasa yang sopan dan santun antara orangtua dan anak.
            Walau rumah mereka sederhana, tebuat dari kayu yang sudah dimakan usia, dindingnya reot, namun di dalam rumah ada cukup kamar untuk anggota keluarga dan mereka privacy. Sang ayah memiliki koleksi buku-buku berkualitas dan juga koleksi majalah. ( saya sendiri sempat meminjam sebuah buku koleksinya yang berjudul- Soekarno as retold to Cindy Adam). Dan dia mengajak anak-anak mereka untuk juga cinta membaca.  Karena  sang ayah sendiri adalah juga seorang pembaca yang hebat. Uang boleh sedikit namun ilmu pengetahuan harus luas dan dalam, karena ilmu pengetahuan yang luas akan membuat keluarga berwibawa dan dihargai masyarakat.
            Meski jumlah uang sedikit, sang ayah terbiasa menyisihkan uang buat membeli buku-buku bekas yang berkualitas dan juga majalah bekas. Karena semua anggota keluarga suka membaca, mereka jadi kaya dengan wawasan dan gaya bahasa mereka juga terpelihara dan sangat berkualitas, mereka saling menghargai dalam berkomunikasi. Anak- anak-anak juga terlatih untuk bertanggungjawab dan juga hidup mandiri, terbiasa melayani diri dan juga melayani satu sama lain. Apa yang dikatakan oleh Molly McManus tidak terbukti, karena anak keluarga miskin juga bisa lebih baik dari anak keluarga kaya.
            Ada kisah nyata (true story)  yang berjudul “True Story- Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar- sebuah kisah perjuangan yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-pasan hingga bisa meraih penghasilan 1 juta dolar di usia 26 tahun, ditulis oleh Aberthiene Endah (2012), Penerbit Gramedia- Jakarta. Buku tersebut milik perpustakaan sekolah saya, tidak seorang pun yang tertarik membacanya. Bukan buku tersebut tidak punya kualitas, namun karena semangat literasi kita rata-rata masih rendah. Namun secara iseng saya baca dan akhir merasa sangat tertarik dan segera saya melahap isi buku tersebut.
            Merry Riana mengatakan bahwa wajahnya cenderung menunjukan ekspresi tertawa. Dia tumbuh sebagai anak perempuan yang lincah dan attraktif. Di sangat suka dengan hal-hal yang berbau kesenian, dia sangat gemar menyanyi dan menari. Masa kecilnya dengan pola hidup yang digelar orangtuanya memungkinkan dia berkembang menjadi anak perempuan yang luwes.
            Saat ada kerusuhan sara di Jakarta tahun 1998- saat juga terjadi krisis moneter, terjadi pergesekan sosial orang yang merasa sebagai kaum pribumi merasa anti pada keturunan etnis Tionghoa. Papa dan mamanya kemudian melakukan pembicaraan serius dengannya untuk mendiskusikan masalah kuliahnya di luar negeri- karena kondisi Jakarta dianggap rawan- dan dia sangat terkejut.
            Dia adalah anak perempuan yang tidak pernah berpikir bahwa akan ada satu masa di tengah masa mudanya, dia akan pergi meninggalkan keluarga atas alasan yang tidak cukup enak. Yaitu kerusuhan. Papanya menjelaskan dan akan berjuang untuk mengatasi biaya sehari-harinya di Singapura. Untuk biaya kuliah, mereka akan berutang pada bank yang bekerjasama dengan institusi pendidikan  yang mereka pilih. Dia mengangguk dengan perasaan gentar.
            Memang di dalam hidup kita tidak bisa banyak berharap tentang segala yang kita dambakan bisa diraih dalam sekejap mata. Makanya kita harus melakukan perjuangan dan berdoa, maka Allah akan menunjukan jalan selangkah demi selangkah. NTU menyediakan pinjaman biaya pendidikan yang meliputi biaya srama, biaya kuliah, dan uang saku, yang akan diberikan setiap enam bulan. Sementarauntuk biaya buku dan kebutuhan lainnya, mahasiswa harus menanggung sendiri. Jumlah utang yang diberikan, jika ditotal mencapai sekitar 300 juta rupiah atau 40 ribu dolar Singapura dalam kurs saat itu. Jadianya dia tak perlu banyak berbelanja agar bekal uang dari orangtua tidak cepat habis.
            Jadinya Merry Riana berpikir positif bahwa kepergiannya ke negeri orang tanpa didampingi orangtuanya brangkali adalah cara Tuhan untuk mempersiapkan kemandiriannya di sana. Dia berusaha untuk menciptakan keberanian semangat. Perasaan bahwa dia sedang didik untuk mandiri.
            Sebagai mahasiswa NTU, sebuah kondisi baru menyambutnya degan satu pilihan saja: bertahan eksis sebagai mahasiswi dalam balutan kemiskinan. Dia bercerita bagaimana menghadapi masa transisi yang cukup mencekam. Sebuah transisi yang mengantarkan dia dengan kehidupan baru di mana pikiran dan keberanian sangat berpengaruh dalam kelanjutan hidupnya.
            Dia dan tidak pernah berdiskusi dengan orang-orang yang pernah melewatkan studi di Singapura, setidaknya untuk menanyakan biaya hidup rata-rata, harga makanan rata-rata, dan sebagainya. Ada konsep lihat saja nanti di antara keberanian yang dia hidupkan. Akhirnya dia sampai di NTU. Seperti apa NTU itu ? Teramat sangat indah mengingatkannya pada kampus Universitas Indonesia. Tetapi jauh lebih rimbun. Di kampus NTU dia mulai merasakan detik-detik yang penting. Dia memesan nasi goreng. Tanpa tambahan apa-apa. Nasi goreng polos. Habis makan, dia mulai mengambil dompet dan untuk pertama kalinya dia mengegrakan jemarinya pada lembaran uang dolar Singapura. Pemilik kantin langsung memberitahukan harganya padanya.
“Dua dolar,” di tahun 1998 kurs menjadi sepuluh ribu rupiah per dolar. Dua puluh ribu harus dia keluarkan untuk sepiring nasi goreng tanpa imbuhan apapun. Hanya nasi, sedikit bumbu dan kecap. Rasanya ia ingin mengatakan tak jadi mmbeli. Dia berpikir apakah bisa makan dengan sepuluh ribu saja sekali makan. Bagaimana bila dia makan dengan sayuran, dan lauk daging, buah dan minumannya ? Otaknya langsung disinggahi kalkulator dan dia merasakan hidup mendadak jadi rumi sekali.
Saat memasuki kamar dia merasa berdebar. Kamar asrama ternyata tidak secantik saat dia lihat dari sisi luar. Sama seperti kamar-kamar kos mahasiswa di Indonesia. Ruang dalam kamar jauh dari dugaanya, ternyata kondisinya sangat sederhana. Di dalam kamar berukuran 3 m x 4m itu hanya ada sebuah dipan kayu dengan kasur tanpa seprai, sebuah meja tulis sederhana dan lemari kecil.
Hari itu dia dan sejumlah teman Indonesia yang memerlukan pinjaman dana untuk kuliah akan diantar oleh senior ke sebuah bank pemerintah yang bekerja sama dengan NTU. Mereka akan diberi pinjaman 300 juta rupiah dalam kurs dolar Singapura. Biaya sewa asrama dan uang saku diberikan setiap enam bulan, sebesar 1.500 dolar.
Dia langsung berhitung dengan sangat cepat. Uang 1.500 dolar dibagi enam, menjadi 250 dolar perbulan. Sewa asrama asrama 180 dolar perbulan. Sisa 70 dolar. Biaya buku, fotokopi dan lain lain sekitar 30 sampai 50 dolar. Sisa sekitar 40 dolar. Wah dia terpana, berarti uang saku yang ada hanya 10 dolar seminggu. Itu yang bisa digunakannya buat hidup selama 7 hari, dan dia menjadi benar-banar lemah.
Ya itulah eksistensinya, mahasiswa yang harus bertahan hidup dengan uang 10 dolar Singapura seminggu, di mana harga sepiring nasi goreng polos tak kurang dari 2 dolar. Sementara dia harus makan tiga kali dalam sehari, selama tujuh hari. Pikirannya mendadak begitu ruwet memikirkan perhitungan itu. Dan dia membangun semangat dengan mati-matian.
Merry Riana membeli buku. Harga buku itu membuatnya terperanjat. Bagi kebanyakan mahasiswa lain tu tidak mahal. Tapi untuknya, itu cukup untuk menguras isi dompet. Seberapa kuat dana yang dia bawa dari Indonesia, hanya cukup untuk membeli buku-buku awal kuliah. Sebelum berangkat ke Singapura dia memang telah membuatkan akun email untuk mamanya agar mereka bisa berkirim kabar dengan gratis. Jika mengandalkan telepon itu akan sangat menyedot biaya.
Dulu saat di Jakarta bila lapar dia sering merebus sendiri mi instant sekedar iseng ingin mengganjal perut setelah makan. Tetapi tak pernah dia rasakan getaran sedramatis seperti hari itu. Betapa berartinya kini mi instan itu bagi hidupnya.      
 Berjuang hemat, dia mengatasi rasa takutnya dan membangun keberanian dengan paksa. Jatah uang saku  sepuluh dolar ya sepuluh dolar. Dia tidak perlu berpura-pura dan itu bukan di Jakarta. Dia sendiri menghadapi kenyataan hidup yang konkret. Hal pertama yang dibangunnya adalah menciptakan sebanyak-banyaknya pikiran positif.
Uang sebanyak sepuluh dolar seminggu adalah jumlah yang membuat siapa pun di Singapura akan bergidik jika itu diharuskan cukup untuk bertahan hidup seminggu. Masa bertahan di tahun pertama kuliah merupakan embrio keberanian luar biasa yang akan melontarkan dia pada semangat-semangat berikutnya. Saat itu dia belum terpikirkan untuk melakukan hal apa pun guna mendapatkan tambahan uang, seperti kerja paruh waktu. Dia putuskan untuk bertahan dengan strategi bisa menahan lapar sebisa mungkin. Itu saja sudah cukup bagus.  
Masalah selanjutnya adalah kecermatannya mengatur strategi untuk mengoperasikan uang 10 dollar. Pada akhir pekan dia ke ATM, mengambil 10 dolar. Kemudian membeli roti tawar besar yang akan menjadi bekalnya ke kampus setiap siang. Satu bilah roti tawar cukup untuk beberapa hari. Setiap pagi dia merebus mi instant untuk sarapan. Kadang dia bahkan tidak sarapan jika mi instan habis. Tidak ada makanan camilan sampai jam makan siang tiba.
Dengan bekal roti tawar, dia tak perlu mengeluarkan uang untuk jajan di kantin. Apa yang dia atur itu sangat mudah mengatakannya, tetapi sulit merealisasikannya. Kuliah teknik dan praktikum adalah aktivitas yang menyedot energi. Pada pukul sepuluh dan sebelas dia sudah didera kelaparan hebat. Mi instan rebus ternyata tak cukup kuat memberi energi sampai menjelang siang.
Siang hari masalah lain muncul. Teman-teman kuliahnya biasanya akan melakukan diskusi tentang pelajaran di kantin, sambil makan siang. Tentu saja dia ingin mengikuti ajang diskusi itu karena penting bagi wawasannya. Mana kala temannya membeli makanan dan bersantap sementara dia tidak. Pandangan mata teman terlihat menyelidik ke arahnya. Beberapa kali dia mengatakan tidak lapar, tetapi akhirnya perutnya berbunyi.  
Jadinya dia mengatur, dua atau tiga kali seminggu dia makan siang di kantin sekolah. Itupun dengan memilih kedai yang paling murah- 1 dolar. Dengan uang sejumlah itu dia bisa mendapatkan nasi dan 2 jenis sayuran. Biasanya dia memilih sayur tauge dan sayur tahu. Yang menguntungkan di kedai itu juga disediakan sepanci besar kuah kari, gratis. Dia paling bersemangat menyendok kuah kari atau kaldu, mana tahu bisa mendapatkan potongan daging. Namun betapa langkanya dia menemukan sepotong daging saat itu.
Dia sempat syok, dan hampir setiap malam dia duduk di depan jendela dan menahan tangis. Dia mengusahakan bisa mengerjakan tugas kuliah sambl menahan perut yang yang kurang kenyang dan perasaan sedih yang dalam. Di asrama ada mahasiswa India yang hampir setiap hari aku kepergok olehnya sedang merebus mi.
“Hei, bukankah makanan itu tidak sehat kalau dimakan setiap hari ? Kamu tidak takut sakit ?” Tanyanya dengan wajah menyiratkan keseriusan.
“ Aku suka sekali mi instan”, Jawab Merry Riana singkat dan tersenyum lagi. Perasaannya benar-benar getir saat mengucapkannya.
Acara makan bekal roti tawar di kampus pun bukannya tanpa beban. Nyaris tak ada satu pun mahasiswa yang membawa bekal, apalagi hanya dua lembar roti tawar ke kampus. Maka dia akan melahap roti di...toilet, ya di toilet. Acap kali pintu toilet digedor orang yang merasa curiga kenapa pintu toilet terkunci begitu lama tapi tak terdengar suara. Jika sudah begitu, dia menekan tombol flush untuk memberi sinyal bahwa masih ada orang di dalam.
Dia juga tidak membeli air minum untuk menghemat uang. Bagaimana dia melepas rasa dahaga ? Ya dari air keran. Biasanya mahasiswa memanfaatkan tap water untuk mencuci muka atau sekedr mencuci tangan, tetapi bagi Merry buat minum- melepas dahaga. Ya tap water itulah yang menjadi andalannya untuk minum. Dia menampung airnya ke dalam botol air mineral kosong yang dia bawa.
Begitulah perjuangannya untuk bertahan mendapatkan tenaga dari makanan dengan cara mengirit habis-habisan. Ada juga strategi unik menghemat uang sengaja mengikuti jadwal kegiatan beberapa organisasi. Misalnya ada perkumpulan keagamaan, setiap kali ada acara kumpul-kumpul, mereka akan menutup kegiatan dengan makan bersama yang disediakan gratis.
Beberapa perjuangan hidup, manusia tidak akan mengetahui kekuatan maksimalnya, sampai ia berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan. Jika hari ini dia ditanya, kepada siapa dia harus berterimakasih atas sukses yang dia raih. Tentu terimakasih patut ditujukan pada Allah- Tuhan yang telah memberikan dia kesulitan luar biasa di usianya yang masih sangat belia. Ujian yang sulit melahirkan kekuatan ajaib yang tidak terduga.
Perut Merry sudah terbiasa dengan asupan gizi yang datang dari mi instan rebus di pagi hari, dua lembar roti tawar di siang hari, jika beruntung bisa numpang makan di acara-acara berbagai organisasi, dan itupun juga jarang. Sesekali dia makan di kantin kampus dan merasakan nikmatnya hidangan mewah berupa nasi, oseng tauge dan sepotong tahu. Seharga 1 dolar.
Begitulah dia membangun rasa syukur atas kebertahanannya melewati hari hari super irit- super hemat. Tak jarang sejumlah teman asrama melakukan janji beramai-ramai hangout (nongkrong) ke Orchad. Sekadar mengopi atau berbelanja. Tak jarang pergi makan siang ke kafe di luar kampus karena bosan dengan makanan di kantin. Godaan semacam itu harus ia tahan mati-matian.  
Buku tersebut sangat menginspirasi saya dan tentu juga menginspirasi banyak orang lainnya. Saya merasa beruntung bisa menamtkan buku tersebut. Akhirnya Merry Riana melakukan kerja sambilan. Ia sangat gigih dan seorang pemberani untuk berjuangan mengatasi kesulitan hidupnya. Kerjanya adalah menyebarkan brosur buat orang yang lalu lalang, itupun dengan upah yang kecil, namun jumlahnya cukup signifikan untuk mengatasi kesulitan. Tidak mencari pekerjaan lainnya, hingga akhirnya ia bisa bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan servis di bidang keuangan. Juga buku ini membuktikan bahwa anak yang miskin bisa lebih berhasil dibanding anak dari keluarga kaya.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...