Selasa, 23 Januari 2018

Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu

Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu

Siswa dan Literasi
            Mau tahu tentang populasi pelajar di Indonesia? Fasli Jalal (2010), seorang tokoh pendidikan Indonesia, menjelaskan perincian tersebut. Untuk SD populasinya ada sekitar 26 juta orang, SMP 7,5 juta orang, SMA 5 juta orang dan populasi mahasiswa Perguruan Tinggi sekitar 3 juta orang. Proporsi populasi pelajar tersebut dari SD hingga Perguruan Tinggi menyerupai bangunan piramida. Itu berarti bahwa tidak semua anak SD yang melanjutkan pendidikan ke SMP, tidak semua anak SMP yang melanjutkan pendidikan ke SMA dan tidak semua anak SMA yang kuliah ke Perguruan Tinggi, juga tidak semua lulusan Perguruan Tinggi yang memperoleh pekerjaan.
            Andai kita gunting peta Indonesia dan kita tempelkan ke wilayah daerah lain, maka luas wilayah negara kita bisa menutupi wilayah geografi Eropa, juga wilayah geografi Amerika Serikat dan wilayah geografi benua Australia. Jadi terlihat bahwa negara kita termasuk negara yang besar di dunia, dan penduduknya juga termasuk terbanyak di dunia. Dengan demikian SDM negara kita juga harus termasuk yang terbaik di dunia. 
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa ada 26 juta orang pelajar SD dan berarti ada 4,3 juta siswa pertingkat. Namun hanya 2,6 juta orang yang melanjutkan ke SMP dan 1,7 juta pada pergi kemana? Begitu juga siswa saat di SMP jumlahnya 2,6 juta menciut populasi menjadi 2 juta orang saat berada di SMA. Mengapa ini terjadi dan mengapa angka drop-out termasuk tinggi di negara kita? Tentu ada banyak penyebabnya, salah satunya karena rendahnya minat dan motivasi belajar siswa. 
            Rendahnya minat dan motivasi belajar terjadi karena daya serap belajar mereka cukup rendah. Utamanya daya serap membaca, yakni kemampuan membaca pemahaman mereka yang masih rendah.
Sebuah badan perekonomian dunia, yaitu OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, dan bekerjasama dengan ADB (Asian Development Bank) bekerjasama dalam mendukung pendidikan dunia. Kedua badan ini secara berkala memonitor tentang kualitas pendidikan global. Kedua badan ini (OECD dan ADB, 2015) memaparkan tentang laporan PISA. PISA merupakan sistem penilaian secara internasional yang menitikberatkan pada kemampuan anak usia 15 tahun dalam bidang literasi membaca, literasi matematika dan literasi di bidang sains .
Hasil tes dan survey PISA, yang pada tahun 2015 melibatkan para siswa di 70 negara, dianalisa dengan hati-hati dan lengkap sehingga survey yang dirilis pada bulan Desember 2016. Diperoleh data bahwa Singapura adalah negara yang menduduki peringkat 1 untuk ketiga materi sains, membaca, dan matematika. Sementara performa siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah. Berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi (Hazrul Iswadi, 2017).
Jadi ada 69 negara yang diobservasi tentang kemampuan literasinya. Namun ada 60 negara yang skor membaca literasinya lebih baik dari Indonesia dan ada 8 negara yang mutu membaca literasinya dibawah. Dengan demikian secara tidak langsung telah menggambarkan bahwa kualitas kemampuan membaca anak-anak Indonesia, terutama untuk tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) sangat rendah di dunia. Apa faktor penyebabnya?
Faktor penyebab adalah lemahnya kemampuan membaca. Akibat kemampuan membaca mereka yang rendah (lemah) membuat mereka belum merasakan kepuasan dalam menuntut ilmu hingga terindikasi banyak yang hengkang setelah tamat SD. Karena tidak merasakan indahnya membaca dan puasnya menuntut ilmu membuat banyak lulusan SMP tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, begitu pula tidak bayak pula yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Ada beberapa hal yang membuat skor reading siswa Indonesia rendah, diantaranya: Poor learning condition-kondisi belajar yang rendah kualitasnya, Low teacher ability - kemampuan mengajar guru yang rendah, dan Unmotivated environment for learning- lingkungan belajar yang kurang memotivasi anak didik (Mochamad Basuki, Yanti Muchtar, dan Theresia, 2012).
Seharusnya kita di Indonesia perlu belajar dan meniru pengalaman terbaik (best practice) beberapa negara tetangga dalam praktek pengajaran sehingga score reading literacy mereka sangat baik. Dari negara-negara yang terbaik score membacanya, 3 diantaranya adalah negara: Singapura, Australia dan Selandia Baru. Ke tiga negara ini dalah tetangga Indonesia. Pada hal dalm pribahasa internasional mengatakan: “ Good neighbour makes good friend- tetangga yang baik akan menjadi sahabat yag baik”.
Tentang populasi mahasiswa Indonesia, yaitu ada sekitar 3 juta orang. Dengan demikian jumlah mahasiswa yang 3 juta tersebut diasumsikan sebagai pembaca yang bagus score reading-nya. Mereka adalah orang yang menyukai membaca hingga mampu menyelesaikan program perkuliahan mereka.
Namun setelah mereka diwisuda menjadi seorang sarjana, mereka menjadi pelamar kerja dan pencari kerja. Bagaimana strategi mereka merebut karir- karir yang ada? Begitu banyak tamatan perguruan tinggi di negeri kita yang sangat ingin bekerja di sektor pemerintahan atau di sektor pertahanan, atau berkompetisi untuk bisa masuk BUMN saja.

Bukan Sebatas Nilai Yang Tinggi
Umumya orang masih meyakini bahwa kalau mereka mampu memperoleh nilai atau IPK yang tinggi, mereka dengan mudah akan memenangkan kompetisi untuk meraih pekerjaan. Apalagi kalau mereka mampu memperoleh nilai cum-laude. Mereka semakin yakin bahwa dunia kerja (perusahaan) akan segera menyambutnya.
Fenomena begini tidak ada lagi, semuanya nonsense. Untuk itu dari sekarang kita informasikan kepada pada remaja bahwa semua dunia kerja punya strategi sendiri untuk menilai- menseleksi para pelamar. Perusahaan akan mencari pelamar yang punya kualitas dan yang bisa menumbuh-kembangkan perusahaan mereka.
Ada kasus, bahwa ada seorang lulusan universitas degan IPK cum-laude, namun kemampuan sosialnya biasa-biasa saja, maka dia tidak akan tidak bisa lolos dalam rekruitmen. Beda dengan lulusan yang memiliki skor standard namun mereka memiliki kemampuan sosial (soft skill) yang lebih. Mereka punya kemampuan dalam bidang  kepemimpinan, keterampilan dalam berkomunikasi, pemecahan masalah dan mampu dalam pelayanan pelanggan, mereka adalah sebagai pelamar yang lebih diminati oleh dunia perusahaan.
Ruth Callaghan (2016) menjelaskan bahwa untuk bisa lolos dalam rekruitmen maka ada 3 hal yang perlu diketahui dan dimiliki oleh para pelamar kerja yaitu- cultural fit, experience dan vocal graduates. Penjelasannya sebagai berikut:
a). Cultural fit
Cultural fit atau kesesuaian dengan budaya perusahaan. Dalam menseleksi para pelamar yang sesuai dengan kultur perusahaan maka para pelamar diseleksi melalui proses yang cukup komplek yang meliputi tahap sebagai berikut:
- Telephone interviewing (wawancara lewat telepon).
Video interviewing (wawancara lewat video).
- Aptitude test (test kecakapan)
- Profile personality (wawancara tentang profil pribadi)
- Group discussion (kemampuan diskusi kelompok)
- Presentation (kemampuan presentasi)
            Melalui 6 tahapan seleksi ini akan ditelusuri potensi-potensi yang dimiliki para pelamar atas: kemampuan leadership mereka, karakter mereka untuk mampu bertanggungjawab dan bekerja sama, dan kemudian apakah mereka mampu melaksanakan peran-peran yang diberikan serta mampu memberi kontribusi pada perusahaan. 
            b). Experience
Experience atau pengalaman. Maka disarankan kepada para pelamar yang kelak akan memasuki dunia kerja agar tahu bahwa dunia pekerjaan selalu mencari calon pelamar yang punya pengalaman yang luas. Maka calon pelamar jangan hanya terfokus pada urusan-urusan akademik semata dan kurang peduli dalam pengembangan potensi yang lain.
            Dunia perusahaan juga ingin tahu tentang alasan calon pelamar dan bagaimana bentuk motivasi mereka. Juga apa alasan mereka ingin bergabung dengan perusahaan. Selanjutnya apakah saat menjadi mahasiswa mereka punya pengalaman yang lain seperti:
            - Ekskul dalam bidang olahraga
            - Ekskul dalam bidang musik
            - Kegiatan volunteering dan juga bidang yang lain
            Karena semua catatan pengalaman tentang ekskul juga akan diperhitungkan dalam rekruitmen oleh perusahaan. Perusahaan sangat tetarik dengan pelamar yang berpenampilan happy dan punya pengalaman yang berimbang yaitu:
            - Extracuricular activities (kegiatan ekstrakurikuler)
            - Achievement motivation to join with the firms (motivasi berperstasi untuk
              bergabung dengan firma).
            - Work experiences (pengalaman kerja)
            - Problem solving (kemampuan memecahkan masalah) 
            Tim assessmen perusahan akan mengakses (menilai) poin-poin di atas melalui dokumen otentik dan wawancara dan sekaligus team assessment/ perekrut tenaga kerja juga memperhatikan beberapa hal tentang:
            - Action oriented (berorientasi pada tindakan)
            - Willing to speak (kesediaan untuk berbicara)
            - Willing to brainstorming (kesediaan untuk brainstorming)
            - Willing to have opinion (kesediaan untuk punya opini sendiri).
            Dan tentu para pelamar juga harus mencaritahu tentang apa dan bagaimana profil perusahaan yang juga sedang diincar agar bisa memiliki perasaan yang mantap kelak.
            c). Vocal graduate
Vocal graduate  maksudnya adalah berbagai opini-opini yang berkaitan dengan calon pelamar. Ada beberapa poin (item) yang perlu diperhatikan oleh pelamar untuk menjadi pelamar yang ideal. Hal-hal ini akan terpantau saat melalui wawancara, yaitu: para pelamar opini perlu memiliki opini sendiri, latarbelakang yang harus bervariasi, bagaimana titik pandang yang baru.
            Kemudian juga ada beberapa kompetensi yang tidak bisa ditawar-tawar, yaitu seperti kemampuan mendemonstrasikan kecerdasan dalam bekerja, dan kemampuan dalam berkomunikasi, yang meliputi assessment secara online atas kompetensi numerical, logika dan beralasan secara verbal, juga angket tentang kepribadian dan wawancara tentang kepribadian.
            Jadi kita rekomendasikan kepada para remaja yang sedang bersekolah di tingkat SLTA dan bagi mereka yang sudah menjadi mahasiswa, agar sedini mungkin bisa membangun pengalaman sambil menuntut ilmu. Mereka diharapkan juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial di kampus dan juga di luar kampus. Karena pribadi yang laku adalah mereka yang jago dalam menuntut ilmu dan juga luas pengalaman vokasionalnya.



Kriteria Memilih Profesi

Kriteria Memilih Profesi

Memilih Profesi
            Memilih profesi merupakan salah satu topik pembicaraan yang hangat di kalangan remaja. Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau karir”. Selanjutnya mencari profesi juga telah terjadi sejak masa anak-anak. Bila diajukan sebuah pertanyaan pada sekelompok anak-anak:
“Bila tumbuh dewasa kelak, kalian mau jadi apa?” Maka pasti dengan berebutan dan suara lantang akan menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa kelak. Ada yang menjawab ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi, perawat, tentara, dan beberapa profesi yang klasik lainnya yang terlintas di depan mata mereka.
            Saya juga punya profesi klasik. Saya dan saudara saya sewaktu kecil ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penjual jeruk”. Kalau dijadikan dengan istilah kerennya bahwa kami berdua ingin menjadi “enterpreneur dalam bidang peternakan dan pertanian”. Kenapa demikian?
            Sewaktu kecil ayah saya sering mengajak kami pergi eksplorasi (rekreasi) ke luar kota Payakumbuh- mengunjungi temannya. Beberapa orang teman ayah begitu baik pada kami. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat ternak ayam dan juga memetik jeruk di kebun mereka. Ketika mau pulang teman ayah menyelipkan oleh-oleh (bingkisan) ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin memilih profesi kelak seperti profesi yang mereka geluti.
            Seiring bergulirnya waktu saya mencari profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena saya terkesan dengan penampilan dokter yang menangani saya saat dianatar berobat ke rumah sakit oleh ibu. Sementara abang saya yang yang mengagumi profesi ABRI dan Polisi ingin menjadi polisi atau tentara. Ya dia mungkin mengikuti profesi ayah saya sebagai seorang polisi.
Setelah tamat dari bangku SMA profesi kami jadi tidak jelas. Namun saya ingin melanjutkan studi ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam bidang pertanian, sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI. Namun cita-cita kami tidak bisa kami wujudkan. Akhirnya saya memilih studi pada jurusan Bahasa Inggris dan abang saya pada teknik bangunan. Kami berdua sama-sama kuliah di IKIP Padang dan sekarang berganti nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang). Ya demikianlah proses pencarian profesi bagi kami berdua.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tim rekruitmen untul menseleksi siswa baru di sekolah tempat saya berkarir (SMAN 3 Batusangkar). Ada serangkaian kegiatan yang harus dilalui para siswa baru agar bisa diterima di sekolah ini, seperti test tertulis, test pskilogi dan kegiatan wawancaa. Saya ikut mewawancarai mereka dan mengajukan sejumlah pertanyaan, seperti:
“Coba sebutkan dan jelaskan tentang cita-cita anda? Atau kelak bila sudah dewasa, anda mau jadi apa?”
Mereka memberi jawaban yang beragam. Mayoritas calon siswa menjawab bahwa mereka  ingin menjadi dokter, guru, perawat, dan lusinan profesi lain, serta sangat banyak yang ingin jadi pegawai (PNS).
“Mengapa begitu banyak yang ingin jadi PNS?”.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS. Ada PNS sebagai guru, PNS di bidang kesehatan, perdagangan, dll. Ya beginilah jadinya kalau banyak orangtua murid yang berprofesi sebagai PNS. Sehingga anak-anak mereka juga ketularan ingin menjadi PN. Memang sebelumnya populasi PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah, sehingga anak-anak  dan cucu mereka juga ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
            Cita-cita ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang ingin berprofesi di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berprofesi sebagai pengusaha.
“Pengusaha di bidang apa? Namun kata pengusaha itu sendiri masih luas dan cukup abstrak.”
Mereka protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan dalam  pandangan mereka.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap sangat bergengsi, mata pelajaran yang disangkut-pautkan dengan UN. Beberapa mata pelajaran yang masuk ke dalam UN adalah seperti: Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan ekonomi.
Bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai cenderung bersifat klasik atau konvensional dan berorientasi pada akademik. Atau kalau ditanya lebih detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan profesi  yang lebih spesifik (cita-cita yang lebih jelas).
Saat saya melakukan konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi (cita-cita) yang masih konvensional:
“Saya ingin menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank,” ya.....ya.... yang ujung-ujungnya ingin menjadi  PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan pemerintah sekarang, yaitu menghentikan buat sementara penerimaan PNS. Terhitung mulai tahun 2015 (Merdeka.com, 31 Oktober 2014). Untuk itu diharapkan para remaja untuk mencari tahu tentang bimbingan karir. Mereka musti punya self determination- ketetapan karir untuk masa depan. Buat para mahasiswa bila telah wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Penerimaan (rekruitmen) pegawai PNS beberapa tahun-tahun sebelumnya (sekitar 20 tahun lalu) masih mudah, mahasiswa yang punya IPK tinggi akan punya kesempatan yang kuat  buat jadi PNS. Sehingga banyak mereka yang punya IPK tinggi bermimpi buat menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer.
Maka sekarang bahwa  IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh ada yang berkomentar bahwa bahwa  IPK hanya berguna sebagai persyaratan untuk  wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga, namun belajar keras agar bisa memperoleh IPK yang tinggi tetap sangat mulia.

Memiliki Self Determination
            Suatu ketika saya berjumpa dengan wisatawan Malaysia- satu keluarga. Dimana salah seorang dari mereka punya ayah yang masih keturunan Indonesia, yaitu dari Kabupaten Tanah Datar (kota Batusangkar), Sumatera Barat. Ia memiliki anak laki-laki yang sangat ekspresif. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di Kuala Lumpur.
Saya ingin mencari tahu tentang self determination-nya, cita-citanya di masa depan. Ternyata dia sudah punya cita-cita yang lebih spesifik tentang apa yang akan dia lakukan kelak bila sudah dewasa. Berarti dia sudah punya self determination- atau ketetapan karir. Ya karirnya tidak begitu muluk-muluk, atau sebatas  ikut-ikutan orang lain.
I want to do bussiness in culinary and I want to have my own restaurant”
“Why....???”
“Because I like to help my mom cooking and I like cooking.
 Pada mulanya saya berpikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia, menyebutkan lusinan cita-cita yang klasik.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Restoran yang bakal dia punya juga memiliki rest area.
Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto dengan kuliner internasional? karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan lezat di rumahnya di Kuala Lumpur. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh para siswa negeri kita, hanya mampu menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk yang mereka pungut dari sana-sini, yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banyak remaja di Indonesia, hanya mampu bercita-cita dalam illusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di luar jangkauan. Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban mereka mayoritas ingin kuliah di perguruan tinggi favorit. Dan mereka hanya mampu menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari perguruan tinggi favorit tersebut(?). Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu.
Meskipun mereka termasuk  para siswa dari sekolah unggulan, namun hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah di perguruan tinggi favorit saja. Dalam pikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian pencarian cita-cita atau profesi dari banyak siswa yang selalu nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student-exchange, ada rombongan siswa dari Jerman datang ke Batusangkar. Saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa depan. Ternyata dia sudah punya self determination atau pilihan karir di masa depan.
Ia memberi perincian atau strategi karir yang bakal dia kejar sejak dini hingga dewasa kelak. Bahwa selepas dari Secondary School di Jerman ia akan mendaftarkan diri di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Teknologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google Rusia dan situs belajar bahasa Rusia di internet. Saya memahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
Saya tidak bermaksud menyanjung dan memuji siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain, yang ternyata memiliki self determination. Self Determination adalah  rasa percaya bahwa individu itu bisa atau dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Self Determination atau Penentuan Nasib sendiri adalah kombinasi dari sikap dan kemampuan yang memimpin orang – orang untuk menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri, dan untuk mengambil inisiatif untuk mencapai tujuan tersebut. Self Determination juga tentang bagaimana seseorang bisa menjadi lebih berwenang atau bertanggungjawab atas masa depannya (Dian Wirawan Noeraziz, 2013).
Kita berharap agar para remaja di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa depan mereka?
            Faktor wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang intensif belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat yang minim ilmunya. Kalau kita cari tahu tentang peringkat SDM negara kita di dunia, ternyata belum begitu menggembirakan.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep literasi. Banyak anak-anak sekolah  sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca, mereka belum merasakan betapa indahnya bersahabat dengan buku.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi. Dalam zaman cyber, anak-anak tenggelam dalam permainan game on-line. Atau membaca status pada media sosial FaceBook, Twitter, BBM, dll.
“Bahwa siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan banyak mereka yang belum memiliki self determination. Cita-cita mereka masih ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisuda malah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita- para remaja. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat.”
Penyebab mengapa anak sekolah belum memiliki cita-cita yang jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka mungkin lebih suka mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah banyak siswa yang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka juga terbatas.
Karena guru dan orangtua juga terbatas wawasannya, maka mereka juga kurang mampu menjawab tantangan cita-cita buat remaja. Jadinya setiap kali seorang remaja ditanya tentang profesi:
“Apa cita-cita anda kelak?”. Maka jawabnya selalu:
“Saya mau menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di bank.” Demikian ungkapannya, pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir atau profesi. Itulah sedikit ketinggalan dalam pendidikan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam membimbing profesi mereka. Hanya sebatas menjadi guru yang mengurus para siswa yang  bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer.
Di sebuah sekolah di Melbourne, yaitu Secondary College di Norwood- Melbourne, sebuah sekolah yang sempat saya kunjungi beberapa tahun lalu, di sana guru counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi (karir) dan kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti. Guru-guru yang demikian juga banyak di Indonesia. 
Ya para siswa memang membutuhkan bimbingan karir, agar mereka punya self determination, memiliki rencana profesi yang lebih jelas. Para remaja di sekitar kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan cita-cita. Kalau ditanya dan jawaban mereka biasanya:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian atau hasil Try-Out (T.O). Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang jelas jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan profesi. Paling kurang pemilihan profesi ala Box-Hill Institute (yang sempat saya kunjungi di Melbourne ) atau menurut  teori yang dikembangkan oleh John L. Holland. Holland dikenal sebagai pencipta model pengembangan karir ((Robert Reardon,2016). Yaitu pemilihan pekerjaan (profesi) yang merupakan hasil dari interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman bergaul, orangtua, mentor atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang penting.

Tipe Pekerjaan Berdasarkan Bentuk Kepribadian
John Lewis Holland merupakan seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin, Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan profesi.  Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan Holland), yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik (Robert Reardon,2016).
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif  (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal, ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya:  menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan,  eksekutif perusahaan, perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.

6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa para remaja/ siswa perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orangtua, guru dan siswa sendiri. Kemudian mentor, guru dan orangtua perlu memberikan bimbingan karir bagi siswa. 

Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Yang Berimbang

Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Yang Berimbang

Ilmu Pengetahuan Bisa Jadi Usang
Saya sangat tertarik dengan tulisan Annie Mueller (2015) yang berjudul: work experience versus education- which lands you the best job? Pengalaman kerja versus pengalaman pendidikan- yang mana lebih banyak berpengaruh untuk meraih pekerjaan? Tulisan ini dipaparkannya dalam bentuk tinjauan analisis. Beberapa argumen yang dipaparkannya adalah seperti:
             - Pendidikan tinggi hanya membuktikan bahwa anda hanya sebatas sukses
               dalam bidang akademik, bukan dalam dunia kerja yang nyata.
             - Sukses dalam pekerjaan yang aktual (pengalaman kerja) lebih berarti
               daripada sebatas sukses dalam bidang pendidikan.
            Tinjauan analisis di atas didukung pula oleh pendapat George D Kuh (2015), dia menulis sebuah artikel dengan judul: “the chronicle of higher education”. Ia mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang bekerja saat ia masih kuliah akan memperoleh keterampilan yang sangat berguna bagi karirnya kelak. Yaitu seperti keterampilan dalam team work dan manajemen waktu.
            George. D Kuh (2015) menambahkan bahwa para mahasiswa yang bekerja part time (kerja paroh waktu) akan membantu mereka untuk melihat dari dekat tentang nilai keterampilan hidup sesuai dengan teori yang dipelajari dalam kelas dan diapplikasikan dalam pengalaman bentuk nyata. Pengalaman tersebut juga akan punya dampak langsung dengan cita-cita atau karir yang sedang dicari.
            Ilmu pengetahuan (kemampuan akademik) yang kita miliki bisa menjadi usang atau kadaluarsa (expired), kecuali kalau selalu kita perbaharui (update) tiap saat. Gelar kesarjanaan yang diperoleh seseorang 20 tahun lalu, misalnya untuk bidang teknologi, ilmunya bisa jadi tidak begitu terpakai untuk saat ini. Kecuali kalau dia memiliki akumulasi pengalaman kerja yang relevan yang lamanya juga 20 tahun. Dengan demikian pengalaman kerja lebih punya nilai signifikan dibandingan teori yang diperoleh melalui pendidikan sebelumnya.
Sekarang banyak hal-hal lama yang telah berubah. Banyak produk dan manajemen bisnis yang juga berubah. Pada tahun 1960-an, di pergelangan tangan setiap orang nyaris hanya ada arloji “made in Switzerland”. Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60%. Namun pada tahun 1980-an market share-nya tinggal 15%. Arloji Swiss tiba-tiba dihajar jam digital buatan Asia. Pada tahun 1970-an, dunia hanya mengenal rol film merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tidak ada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital. Apa yang tengah terjadi dengan strong brand itu?   Ini adalah fenomena perubahan ini dengan istilah “Menyerang (disrupting) atau diserang (disrupted), atau fenomena disruption (Rhenald Kasali, 2017).
Disruption agaknya juga bisa terjadi dalam dunia pendidikan. Kalau biasanya mau cedas dan ingin memiliki nilai akademik yang tinggi, mereka pergi ke bimbel, namun kelak tak perlu lagi, karena mereka bisa mengakses Quipper, atau semacam applikasi bimbel (bimbingan belajar). Maka kita sangat direkomendasi untuk memahami berbagai kecendrungan- the life trendy di dunia ini yang selalu berubah- namun kita selalu bisa melatih diri agar selalu memiliki banyak pengalaman hidup ini. 
“Mana yang lebih punya pengaruh signifikan antara pengalaman kerja atau hanya sebatas mencari pengalaman akademik di sekolah/ di kampus?” Demikian paparan pro dan kontra atas pernyataan Annie Mueller (2015). Namun saya ingin menggabungkan kedua titik pandang tersebut menjadi dua kekuatan yang saat ini bermanfaat untuk menuju masa depan. “Bahwa kita perlu memiliki kemampuan akademik dan pengalaman kerja (keerampilanhidup) yang berimbang”.
Saya juga termasuk orang yang mendukung bahwa pengalaman kerja tetap lebih signifikan dari segudang teori. Saya terinspirasi dengan pengalaman hidup (biografi) orang-orang sukses, misalnya dua orang tokoh, Presiden Sukarno dengan pengalaman hidupnya yang dahsyat dan Ciputra dengan pengalaman enterpreneurnya yang yang sangat hebat.
Dari biografi mereka kita tahu bahwa kunci yang membuat mereka jadi hebat atau sukses adalah “karena mereka mempunyai proses kehidupan yang hebat”. Mereka mengalami proses belajar, proses berorganisasi, proses bersosial yang hebat, dan proses kehidupan lain yang mereka ciptakan dan mereka lakoni.

Konsep Sukses di Sekolah
            Bagaimana pendapat banyak remaja tentang apa yang perlu mereka miliki selagi masih sekolah di SLTA, atau bagi mereka yang sedang kuliah di perguruan tinggi sebagai antisipasi untuk meraih masa depan(?) Mayoritas mereka berpendapat bahwa sukses dengan pendidikan merupakan jembatan emas buat meraih mimpi. Pendapat ini mungkin juga benar.
Sekolah yang juga identik dengan dunia akademik, di sana para remaja berlomba agar bisa jadi jagoan dalam bidang akademik. Maka merekalah yang dianggap sebagai seorang yang sukses. Para remaja yang memperoleh juara kelas, juara bidang studi, juara olimpiade, hingga juara umum, ya mereka dapat dikatakan sebagai seorang hero.
            Para orangtua juga berpikiran bahwa putra-putri yang jago  dalam akademik, maka itulah yang dikatakan sukses tersebut. Jadinya mereka rela untuk membebaskan anak dari tanggung jawab ikut mengerjakan house work- membersihkan rumah, menyapu, cuci piring, menutup warung, dll- asal anak mereka bisa ikut bimbel dan melahap semua contoh-contoh soal ujian. Sebab terbayang sudah bahwa kalau sang anak mampu memperoleh ijazah dengan skor- skor yang fantastis, wow dapat dipastikan bahwa jalan toll menuju masa depan sudah terbentang. Sang anak akan melenggang kangkung buat melangkah menuju perguruan tinggi favorit dan setelah itu mimpi mereka akan menjadi kenyataan.
            Adalah fenomena sosial bahwa cukup banyak generasi muda yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, namun terlihat kebingungan. Mereka yang telah menyandang gelar kesarjanaanya terlihat bengong- tak tahu lagi hendak mau dibawa kemana ijazah yang baru saja diterima dari perguruan tinggi(?)
Bahkan juga banyak pemuda dan pemudi yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi masih memperpanjang kontrak rumah kost mereka agar bisa tinggal lebih lama dan berharap kerja favorit yang mereka impikan bisa jatuh dari langit.  Namun itu semua adalah nonsense !!!
            Karena ternyata tidak ada pekerjaan yang jatuh dari langit. Bahwa pekerjaan itu tidak akan datang mengejar kita dan juga tidak datang dengan mudah. Bahwa kitalah yang wajib mencari pekerjaan atau menciptakan suatu pekerjaan. Ya kesuksesan kerja yang hebat itu kitalah yang menciptakannya.
            Sebuah pendapat umum menyatakan bahwa kalau dahulu, 20 atau 30 tahun lalu, bila ada kelulusan 100% dari sarjana baru, maka yang 80% akan memperoleh pekerjaan, sementara yang 20% menjadi pengangguran. Mereka kemudian menjadi sarjana pencaker- pencari pekerjaan. Fenomena sosial tersebut kemudian berbalik 180 derajat untuk para sarjana hari ini. Yakni dari 100% kelulusan sarjana baru, yang 20% akan mampu memperoleh pekerjaan dan yang 80% menjadi PTT alias Pengangguran Tingkat Tinggi.
            “Siapa sih 20% dari para sarjana baru yang mampu memperoleh pekerjaan setelah lulus dari perguruan tinggi?, dari mana mereka berasal? dan apa kegiatan mereka saat di SLTA dan saat jadi mahasiswa?”
Para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan setelah wisuda adalah mereka yang sewaktu masih kuliah tidak terjebak sebagai mahasiswa “kupu-kupu”. Yaitu para mahasiswa yang kebanyakan hanya terfokus pada urusan akademik dan tahunya hanya “kuliah pulang- kuliah pulang”. Atau juga bukan tipe mahasiswa yang terjebak dalam karakter pasif- karakter “D-D-D-D”atau “4D” yaitu tahunya cuma “datang, duduk, dengar, diam”. Namun mereka adalah para mahasiswa yang selain aktif belajar juga ikut melibatkan diri dalam ekskul di kampus dan punya seabrek peran dalam hidup mereka.
            Juga diperkirakan bahwa para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan tidak lama setelah mereka wisuda adalah mereka yang saat menjadi siswa SLTA- di bangku SMA, Madrasyah dan SMK- bukan termasuk tipe siswa yang tahunya hanya jadi anak manis (anak rumahan). Yaitu siswa yang patuh, kaku, kuper, nggak punya banyak waktu buat membuka diri. Namun mereka adalah para siswa yang selain bertanggung jawab dalam belajar, juga meluangkan waktu dan pikiran dalam mengurus kegiatan OSIS di sekolah. Sementara di rumah mereka adalah juga para anak yang juga pinter buat menyenangi hati orangtua- ayah dan ibuya, serta tahu cara menempatkan peran dalam lingkungan sosial.
“Jadinya mereka juga peduli dalam mengurus diri sendiri, merapikan kamar, membantu mama di dapur, menemani papa untuk beres-beres di perkarangan rumah atau ditempat usaha, juga peduli dengan tetangga atau dengan sesama ”.
            Untuk zaman sekarang para siswa yang hanya sebatas jago dalam menaklukan buku, bisa jadi juara kelas dan juara lomba bidang akademik, namun kurang membuka diri dan juga kurang peduli dengan sesama bakal susah kebingungan buat mencari masa depan. Apalagi kalau juga susah diajak ngomong (berkomunikasi) dan susah buat bekerja sama dengan team work. Maka kepintaran mereka hanya bersifat fatamorgana semata- bisa dilihat namun tak dapat buat disentuh. Sementara nilai atau skor-skor yang tinggi pada selembar ijazah tidak akan banyak berguna bagi orang lain. Nilai yang tinggi hanya menjadi persyaratan pertama untuk lulus, untuk diterima, dll.
            “Sekarang begitu banyak pelajar yang pinter di sekolah, ya sebatas  pinter cari nilai dan miskin pengalaman hidup, setelah dewasa hanya mampu jadi wong kecil atau pekerjaan biasa-biasa saja. Sementara itu bagi yang saat remaja- sekolah di SMA/ MA yang pintarnya biasa-biasa saja, namun sangat peduli dengan sesama dan juga aktif dengan kehidupan sosial. Singkat kata dia adalah tipe orang yang cepat kaki- ringan tangan. Senang bekerja dan suka memberi bantuan pada sesama, maka setelah dewasa mereka- alhamdulillah- menjadi orang yang rata-rata tergolong sukses”.
            Kalau demikian bagaima jadinya tentang eksistensi sebuah sekolah?  Ya keberhasilan dalam hidup ini tidak hanya ditentukan semata-mata pada prestasi akademik. Prestasi akademik yang tinggi juga mutlak diperlukan bagi mereka yang juga akan berkarir dalam akademik, mungkin juga untuk menjadi mentor pada bimbel, guru dan dosen. Namun pekerjaan di luar itu sangat direkomendasi untuk memiliki nilai dan keterampilan sosial yang juga ekstra. Kemampuan akademik tidak cukup buat meraih masa depan. Jadinya mereka mutlak untuk memiliki kecakapan hidup yang lain seperti kemampuan bekerja-sama (team work), keberanian, keterampilan berkomunikasi, kemampuan manajemen, kemampuan memimpin, kemampuan beradaptasi, dll.        

Proses Jalan Hidup Presiden Sukarno
            Dari proses kehidupan bapak proklamator negara kita, Presiden Sukarno, dapat kita baca bahwa prestasi akademik dan serangkaian pengalaman sosial/ pengalaman hidupnya telah menjadi kunci utama dalam mengantarkannya menjadi orang yang hebat dalam sejarah Indonesia, bahkan juga dalam sejarah dunia. Sejak berusia masih muda Presiden Sukarno sangat gemar belajar, membaca dan berorganisasi. Ia belajar secara otodidak untuk banyak bidang. Saat dia pindah rumah maka dia membutuhkan sebuah truk untuk membawa buku-bukunya dalam berbagai bahasa. Karena ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda secara fasih dan beberapa bahasa asing lainnya.
            Eksistensi Presiden Sukarno telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di dunia, apalagi buat kita di Indonesia. Dia adalah tokoh yang sangat hebat. Grolier (1965) menempatkan peran kepemimpinan Sukarno sama dengan pemimpin negara sekelas dunia dan berpengaruh saat itu, seperti Kennedy, Nehru, Mao, Nasser, Tito, De Gaule, Nkrumah, dll. Dia punya pengalaman hidup yang luas dan pengalaman akademik yang hebat.    
Membaca merupakan kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ? 
Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS (Hoogere Burger School) Surabaya. Dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda).
Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang ditemukan setelah ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen adalah buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik lainnya. Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno: An Autobiography) diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC yang  rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far Eastern University, Manila: Universias Gadjah Mada,  Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest: Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo: IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan universitas dari negaralain seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.  Kalau “gang” mereka bermain panjat pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid. Persetan dengan bantuanmu!!!”
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya.  Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya (Cindy Adams, 1965).
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran) dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah dengan  mempraktekan (menggunakan) bahasa tersebut dengan orang yang mahir (pribumi maupun orang asing). Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda, ia tidak cepat merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh tokoh besar di dunia dan juga buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya prinsip hidup “mandiri atau berdikari- berdiri pada kaki sendiri”. Jangan terlaku suka untuk mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk mengembangkan pergaulan/ teman yang banyak untuk melakukan proses bertukar fikiran. Juga penting untuk melatih jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan sendiri dan berpidato didepan kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu didukung oleh kemampun menulis, karena membuat pidatio punya kharismatik dan menarik. Ini dapat dikembangkan melalui latihan demi latihan. Inilah top secret dari proses hidup Presiden Sukarno sehingga dia bisa menjadi inspirasi bagi kita dan bagi dunia.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...