Laporan Mengikuti
Studi Banding Internasional
Malaysia
dan Singapura 2011:
Pengalaman
Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Oleh:
Marjohan,
M.Pd
(Face
Book: marjohanusman@yahoo.com)
Pemerintah
Kabupaten Tanah Datar
Dinas
Pendidikan
SMA Negeri
3 Batusangkar
Tahun 2011
DAFTAR ISI
BAB. I PROSES KREATIF
A.Menulis untuk
menciptakan kualitas pribadi
B.Peluncuran dan
Reward Buku
C. Langkah-Langkah
Menjadi Penulis
D. Jasa Penulis Dalam Mendidik dan
Menghibur
Jutaan Anak-Anak
BAB.II IKUT SERTA DALAM PROGRAM STUDI BANDING
A. Sebuah Kesempatan
B. Pembekalan Pengalaman
BAB. III PENGALAMAN SELAMA PERJALANAN
A. Keberangkatan
B. Bermalam di Islamic Centre Pagaruyung
C. Kuala Lumpur Air Port
D. Nilai University dan Istana
Sri Menanti
E. Bapak Rusdi di Attase Budaya KBRI
Kuala Lumpur
F. Genting Highland
G. Johor Baru dan Singapura
H. Malaka
I. Kembali Ke Sumatra
BAB IV. MENERAPKAN PENGALAMAN
STUDI BANDING
A. Manfaat Studi Banding Bagi
Siswa
B.Manfaat Secara Umum
Ucapan
Terima Kasih
Program studi banding internasional guru dan siswa berprestasi ke Malaysia
dan Singapura bertujuan untuk memotivasi anak didik dan guru menjadi warga yang
lebih berkualitas. Program ini juga memberi peserta pengalaman internasional
untuk menjadi warga internasional.
Laporan perjalanan ini berjudul :pengalaman berharga menjadi warga dunia. Laporan
perjalanan ini dapat penulis selesaikan karena bantuan banyak puhak. Ucapan
terima kasih atas terselenggaranya perjalanan studi banding internasional ke
Malaysia dan Singapura terlaksana atas peran dari:
1. Bapak Bupati Kabupaten Tanah Datar
2. Anggota Dewan (DPRD) Kabupaten Tanah Datar
3. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar
4. Kepala Kementrian Pendidikan agama Kabupaten Tanah Datar
5. Kepala SMA N 3 dan Majlis guru Batusangkar.
7. Travel Biro JAP
(Jalur Angkasa Prima).
Terima kasih juga penulis aturkan kepada
istri dan dua orang anak penulis (Fachrul dan Nadhilla). Tulisan dalam laporan
ini diharapkan
bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi pembaca. Tidak ada gading yang tidak
retak. Laporan perjalanan ini agaknya ada
kekurangan dan butuh kritikan positif dari pembacanya. Kritikan positif
dapat disampaikan melalui email marjohanusman@yahoo.com. Atas perhatian dari pembaca kami ucapkan terima kasih.
Batusangkar, Desember
2011
Marjohan M.Pd
BAB. I PROSES KREATIF
A.
Menulis untuk menciptakan kualitas pribadi
Ada empat keterampilan
berbahasa yang harus kita kuasai yaitu membaca, berbicara,
menyimak (mendengar) dan menulis. Keempat keterampilan tersebut
mutlak dimiliki
secara optimal dan maksimal. Dari empat jenis keterampilan ini kita dapat mengelompokannya menjadi keterampilan bahasa yang bersifat reseptif (menerima) yaitu:
membaca dan mendengar, serta keterampilan bahasa yang bersifat produktif
(menghasilkan) yaitu: menulis dan berbicara.
Keterampilan menulis sangat
penting, namun keterampilan ini jarang diaplikasikan. Menulis yang dimaksud
disini adalah mengarang. Kegiatan mengarang meliputi menulis surat, menulis
dokumen, menulis proposal, cerita pendek, menulis novel dan sampai kepada
menulis skripsi, tesis dan disertasi.
Dalam kehidupan orang hanya banyak melakukan
aktivitas berbicara dan mendengar, Sementara itu aktivitas membaca dan menulis bisa
terabaikan. Kedua aktivitas ini perlu mendapat perhatian karena menentukan
kualitas hidup seseorang. Orang-orang yang tekun dalam membaca dan menulis bisa
menjadi orang-orang yang berkualitas. Agama Islam sendiri juga
mengajarkan bahwa membaca (iqra’) sangat penting dan ayat pertama yang
diturunkan Allah Swt kepada Rasul adalah ayat “iqra’ atau bacalah...!”
Selanjutnya dari dua bentuk
aktivitas: membaca dan menulis, maka “menulis” adalah keterampilan yang paling
terabaikan. Dewasa ini lebih banyak orang yang suka membaca daripada menulis. Bila mereka disuruh menulis maka mereka akan mengeluh “wah aku tidak
punya ide, kosa kata terbatas, tidak punya motivasi”.
Keluhan ini disebabkan
menulis belum menjadi kebutuhan dalam hidup.
Penulis juga menyadari bahwa
menulis ini sangat penting. Ketika duduk di bangku sekolah dasar ia belum
memiliki bakat menulis sampai suatu hari, saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama- SMP
Negeri 1 Payakumbuh, ia membaca biografi tentang seorang penulis. Ia memahami
bagaimana manfaat menulis dan bagaimana cara memulai untuk menulis.
Saat duduk di bangku SMP,
penulis mempunyai minat dalam bidang korespondensi atau bersahabat pena. Ia
mempunyai banyak sahabat di nusantara dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Irian. Ia juga punya sahabat pena dari luar negeri: Pakistan, Srilangka,
Malaysia dan Amerika Serikat.
Saat duduk di bangku SMA,
hobbi berkorespondensi penulis agak terganggu, namun ia punya hobbi baru yaitu
menulis. Sering bila punya waktu luang penulis membuat cerpen dan ia sendiri
sebagai tokoh utama. Bila cerpen-cerpennya selesai, ia menyuruh teman-temannya
membaca dan ia sendiri memperoleh rasa senang, karena cerpen yang ia tulis
mempunyai tujuan sebagai sarana untuk hiburan.
Hobi menulis sangat
mendukung jurusan yang ia pilih di Universitas. Ia memilih jurusan Bahasa
Inggris. Begitu pula orang-orang yang memilih jurusan Bahasa, apakah Bahasa
Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jepang, Bahasa-bahasa
yang lain maka
mereka idealnya memiliki hobi dalam menulis. Tentu saja menulis dalam bahasa
asing akan mampu membuat kualitas pemahaman bahasa asing mereka menjadi sangat
bagus.
Saat penulis menjadi guru di
SMA Negeri 1 Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar, penulis mulai menulis dalam
bentuk non fiksi yaitu artikel pendidikan. Ia menulis artikel bila punya waktu
senggang dan ia mempublikasikannya pada koran-koran yang terbit di Sumatera
setiap minggu. Tahun 1992, artikelnya yang pertama dengna judul “Tidak Perlu
Frustasi bila Gagal ke Perguruan Tinggi” terbit pada koran Singgalang. Munculnya publikasi artikel
pada koran menambah semangat dan motiviasi menulisnya.
Saat zaman dengan sarana
informasi dan teknologi datang maka ia menulis menggunakan komputer dan internet
sehingga tulisannya bisa diakses oleh banyak orang. Ia juga memposkan
tulisannya pada jejaring “Pak Guru Online” dan “E-newsletter disdik”. Samapai
tulisannya juga terbaca oleh Prof. Dr. Jalius Jama, seorang dosen senior di
Universitas Negeri Padang.
Itu ia ketahui saat ia
melakukan seminar untuk tesis pascasarjananya. Dan dalam acara pengujian tesis,
profesor Jalius Jama berkomentar “ini rupanya saudara Marjohan tersebut, kalau
tulisan anda sudah sering penulis baca. Tulisan anda banyak sekali dan sangat
layak untuk dikompilasi menjadi buku”. Pernyataan tadi memberi gairah/ semangat
bagi penulis untuk selalu menulis.
Setelah menyelesaikan
pendidikannya pada program pasca sarjana UNP ia segera mengkompilasi tulisannya
menjadi sebuha buku. Pada mulanya ia mengalami kesulitan dalam mencari judul
buku. Sebab judul cukup menentukan dalam memberikan daya tarik. Pada mulanya
judul bukunya “Beranda Sekolah”, namun judul ini terasa kurang begitu
menggigit, akhirnya ia mengganti judul naskah buku menjadi “School Healing –
menyembuhkan problem sekolah”, penulis juga mengalami kesulitan untuk mencari
penerbit.
Penulis mempostingkan naskah
bukunya pada blogger pribadi yaitu pada http://penulisbatusangkar.blogspot.com. Agaknya blogger pribadinya
terbaca oleh redaktur penerbit “Insan Madani Yogyakarta”. Akhirnya redaktur
menelpon penulis dan membut MOU (Memorandum of Understanding) hingga buku School Healing bisa terbit dan beredaran
di pasar terutama di Toko Buku Gramedia.
Setahun
kemudian (2010) penulis juga menyelesaikan buku yang ke dua dengan judul
“Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan”. Buku ini
diterbitkan oleh penerbit Bahtera Buku, Jogjakarta.
Buku pertama terbit
|
Buku yang ke dua
|
B.Peluncuran dan Reward Buku
Bulan November 2009 adalah
hari yang bersejarah bagi penulis sebenarnya pada bulan tersebut ada seminar
yang diselenggarakan oleh program bermutu (Better Education Through Reformed Management and
Universal Teacher Upgrading) untuk mengadakan seminar. Penulis mengambil
inisiatif untuk membagi-bagikan fotokopi buku school healing dalam kegiatan seminar tersebut
Saat itu ada rombongan tim Bank Dunia
(world bank) yang membiayai penyelenggaraan program “bermutu”
tersebut. Tempatnya di gedung Indo Jolito dan di sana juga ada utusan yang berasal dari berbagai kota dan Kabupaten di
Propinsi Sumatera Barat. Juga ada para pejabat seperti Wakil
Bupati dan Kepala Sekolah se Kabupaten Tanah Datar.
Dalam acara seminar tersebut,
penulis memperkenalkan bukunya.
Pertanyaan wakil bupati (Bapak Aulizul) yang masih berkesan adalah
“Bagaimana pendapat anda tentang siswa yang nakal di dalam kelas?” Spontan
penulis menjawab “Menurut penulis, tidak ada siswa yang nakal, yang ada
hanyalah siswa yang mengalami fenomena skin hunger atau kulit yang haus akan
sentuhan dan belaian guru. Jadi bila kita melihat seorang murid tampak nakal,
sebetulnya ia hanya butuh sebuah sentuhan dan kata-kata yang menentramkan
jiwanya.
Semua pendengar memberi
tepuk tangan pada penulis, Aulizul Syuib, Wakil Bupati dalam kesempatan
tersebut menjanjikan reward kepada penulis untuk ikut comparative study (studi banding) bagi guru dan siswa berprestasi
Tanah Datar ke negara Malaysia dan Singapura.
Penulis berfikir apakah ia
bisa berangkat studi banding dalam tahun 2010 (?)
dan ternyata
tidak. Ia memperoleh informasi bahwa jadwal studi banding untuk
penulis adalah taun 2011, jadi ia harus menunggu satu tahun.
C. Langkah-Langkah Menjadi
Penulis
Menulis adalah aktifitas yang sulit bagi sebagian orang.
Banyak orang mengatakan bahwa menulis itu sungguh sulit. Ada yang mengatakan
tidak punya waktu untuk menulis, kalau menulis mata menjadi berair. Ada pula
yang senang berlindung berlindung dibalik alas an dan kata “tapi”. Penulis
ingin menulis tapi sibuk, penulis ingin menulis tapi anak sering mengganggu, penulis
ingin …”tapi”, dan masih ada belasan alas an dibalik kata “tapi”.
Bagi penulis sendiri pada mulanya juga beranggapan bahwa menulis
itu juga sulit. Beruntung penulis berlangganan majalah Kawanku saat belajar di SMP
Negeri 1 Payakumbuh di tahun 1980an. Ada profil Leila Chudori Budiman (yang
kemudian sering menulis dalam Koran Kompas) pada majalah tersebut dan bercerita
bagaimana ia bisa menjadi penulis. Saat itu penulis berfikir “wah enak sekali
ya menjadi penulis, bisa menjadi orang ngetop, punya banyak teman dan mendapat
bonus”.
Rasa ingin tahu penulis
tentang bagaimana menjadi penulis terobati saat ia berkenalan dengan berbagai
buku biografi para penulis. Ada tetangganya, Bapak Maran mantan Camat di kota Payakumbuh yang bisa bermain
biola dan memiliki koleksi buku-buku. Maka penulis sangat suka membaca
biografi Ernest Hemingway, Zakiah Daradjat, Buya Hamka dan beberapa biografi
penulis novel dan ia menjadi tahu bahwa untuk
menulis memang butuh latihan. .
Saat penulis remaja, tidak banyak godaan
untuk tumbuh dan berkembang. Tidak banyak stasium televisi dan program yang mengganggu
kosentrasi belajar, kecuali hanya tayangan televisi. Tidak ada HP kamera untuk
diotak atik dan juga tidak ada VCD player untuk home theatre, apalagi computer,
laptop dan internet seperti zaman sekarang. Oleh karena itu televise bisa
berlatih banyak dan ia mempunyai lusinan buku diari yang penuh dengan
coretan-coretan mimpi dan pengalaman.
Pulang sekolah televise
terbiasa menulis. Ia merasa sebagai siswa yang paling jago dalam segala
hal. Ia jago dalam bidang olah
raga, jago matematik dan beberapa mata pelajaran lain, jago dengan bahasa
Inggris dan semua teman kagum padanya. Penulis juga jatuh cinta dengan teman sekelas. Mimpi dan
ilusi nya sebagai orang yang paling jago penulis paparkan dalam buku tulis.
Apabila selesai menulis, maka ia serahkan pada teman yang gemar membaca namun tidak
bisa menulis. Kadang-kadang penulis juga mengundang adik-adik
dan anak tetangga untuk mendengar kisah kisa cinta yang penulis tulis.
Bertambah umur tentu
bertambah pula pengalaman hidup. Saat kuliah di UNP (saat itu IKIP Padang) penulis
bekerja paroh waktu sebagai pemandu wisata. Ada pengalaman suka duka selama
menjadi guide; dibentak oleh bule-bule, karena mereka tidak memakai bahasa
Inggris, atau memperoleh uang tip dari perusahaaan. Pengalaman tersebut juga penulis
tulis pada buku diari.
Membaca banyak buku, artikel
dan fikiran-fikiran orang lain tentu bisa membuat tulisan lebih berkualitas.
Tahun 1997, penulis memutuskan untuk menjadi pembaca yang baik. Ia
berlatih, membuat target untuk membaca
100 halaman setiap hari. Banyak membaca tentu akan membuat tulisan lebih
menarik, penulis bisa memaparkan banyak ilustrasi dan contoh-contoh dalam
kehidupan.
Tahun 1990-an, penulis
menajdi guru di SMAN 1 Lintau. Ia tidak ingin menjadi guru kebanyakan yang aktifitasnya
sangat monoton dan tidak bervariasi- pulang ke sekolah, masuk kelas dan
mengajar dengan metode konvensional. Ia ingin menjadi guru dengan kepintaran berganda- guru,
menguasai bidang studi, menguasai seni berkomunikasi, menguasai bahasa asing
yang lain dan trampil dalam menulis. Untuk itu ia membaca banyak buku seputar
paedagogy, psikologi, filsafat, biografi dan kisah kisah pencerahan dari orang
lain. Akhirnya kemampuan dan energi menulis penulis makin meningkat.
Setiap minggu penulis
mampu menulis satu atau dua artikel per-minggu. Penulis memutuskan untuk
mempublikasikanya pada Koran-koran di Sumbar. Saat itu ada tiga Koran yaitu
Canang, Haluan dan Singgalang. Tahun 1992 tulisan penulis pertama terbit di
Koran Singgalang engan judul “Melacak pergaulan remaja dan tidak perlu frustasi
bila gagal masuk perguruan tinggi”. Ia sangat bahagia dan enerjik menulis semakin bertambah, penulis
terus mengirim artikel ke Koran-koran. Bila dipublikasi penulis tentu senang dan kalau
ditolak penulis berusaha untuk tidak kecewa apalagi sampai menjadi frustasi. Frustasi
tentu bisa membunuh kreatifitas menulis dan energi untuk melakukan aktifitas
lain.
Di awal tahun 1990-an ada
beberapa orang asing dari Perancis- Francoise Brouquisse, Anne Bedos dan Louis
Deharveng. Mereka bertugas di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta
dan melakukan penelitian tentang hutan tradisionil di Lintau. Orang- orang
Perancis tersebut kemudian menjadi temn baik penulis dan mereka datang ke
Sumatra dan berkunjung ke Rumah penulis. Mereka membatunya dalam
mempelajari bahasa Perancis dan meminta penulis menulis untuk dipublikasi
dalam. Dengan demikian tulisan penulis tentang parawisata juga
dipublikasi pada journal mereka, speleologie,di kota Tarbes, Perancis.
Ternyata ada manfaat menulis
dalam pengembangan karir penulis sebagai guru. Tahun 1998 ada seleksi guru teladan
(sekarang guru berprestasi). Porto folio penuh dengan klipping artikel-artikel
dan tulisan penulis dalam bentuk lain,
seperti resensi buku. Kemampuan menguasai dua bahasa asing, Inggris dan
Perancis, dan skor ujin tulis membuat penulis bisa mewakili kecamatan Lintau
Buo dan selanjutnya untuk tingkat Kabupaten Tanah Datar untuk seleksi guru Teladan. Di
tingkat Provinsi, penulis masuk nominasi dan akhirnya tahun 1998 penulis
tercatat sebagai guru teladan Sumatera Barat dalam usia tiga puluh tahun.
Tahun 2005, penulis
mutasi ke kota Batusangkar dan bertugas di sekolah baru pada sekolah “Pelayan
Unggul” satu atap SMP-SMA unggul, yang mana kemudian berubah nama menjadi SMP
Negeri 5 Batusangkar dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Berdomisili di kota
batusangkar membuat penulis mudah bersentuhan dengan tekhnologi- computer dan
internet. Ia terus menulis dan menyalurkan tulisan lewat internet,
mengirim artikel ke berbagai Koran lewat e-mail. Kemudian penulis juga membuat situs gratisan
lewat blogspot. Sebetulnya ada beberapa bentuk blog gratisan lain seperti
wordpress dan multiply. Namun penulis suka fitur blogspot. . Situs penulis sendiri ada pada alamat: http://penulisbatusangkar.blogspot.com.
Tahun 2006, penulis
memperoleh beasiswa untuk mengikuti program pascasarjana di Universitas Negeri
Padang. Kemampuan menulis membuat kuliah lancar dan penulis
bisa selesai
pendidikan pada Pascasarjana. Kemampuan menulis membuat tesis penulis
bisa selesai lebih cepat penulis wisuda pada pertengahan tahun 2008.
Issue sertifikasi untuk guru
professional pun bergulir dan segera menjadi realita. Bagi yang mampu memenuhi
angka atau skor porto folio bisa lulus dan memperoleh sertifikasi sebagai guru
professional. Ia mengetik ulang semua artikel yang pernah diterbitkan pada
Koran-koran. Artikel yang telah diketik ulang penulis kirim lagi ke Koran, tentu
saja diedit lagi. Semuanya terbit lagi dan penulis memperoleh honorarium lagi.
Ia juga mempostingkan tulisan tadi dalam blogspot penulis dan
kumpulan artikel yang pernah dipublikasikan membuat nya bisa lulus sertifikasi
lewat portofolio. Betul-betul dana sertifikasi yang telah penulis terima
membuat penulis dan keluarga menjadi lebih sejahtera, bisa membeli laptop dan
memperbaiki bangunan rumah.
Penulis
ingin menjadi
penulis buku dan tidak harus menulis buku tebal dari awal sampai akhir sebanyak
250 halaman. Ia menseleksi beberapa tulisa yang sama temanya menjadi satu
buku. Temanya tentang pendidikan dan penulis beri judul: SCHOOL HEALING
MENYEMBUHKAN PROBLEM SEKOLAH. Bulan Februari 2009 ini penulis punya rencana untuk
menyerahkan pada teman untuk diterbitkan di Provinsi Riau, namun lebih dahulu
ada telepon dari Jogjakarta- penerbit Pustaka Insan Madani- ingin mencetak dan
meberbit naskah buku atau tulisannya. Penulis menyetujui. Insyaallah, menurut pihak
penerbit bahwa dalam bulan Agustus 2009 ini buku penulis sudah siap cetak dan siap
untuk diluncurkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Moga-moga bermanfaat oleh
masyarakat.
Kemampuan menulis ternyata
adalah sebuah keterampilan. Semua orang bisa menjadi penulis asal dia banyak
berlatih dan menyenangi aktifitas menulis. Menulis bisa mendatangkan manfaat.
Penulis bisa berbagi ide dan opini dengan pembaca, bisa memperoleh honor dan
sangat membantu bagi guru untuk memperoleh skor portofolio untuk sertifikasi
guru. Penulis artikel bisa mengembangkan diri menjadi penulis buku dan
memperoleh royalty pada akhir tahun. Buku kedua penulis kemudian juga
terbit pada penerbitan :Bahtera buku di Jogjakarta. Buku tersebut berjudul
“Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan”.
D. Jasa Penulis Dalam Mendidik dan Menghibur Jutaan Anak-Anak
Jutaan anak-anak di dunia
bisa bermimpi dan berbagi cerita tentang tokoh cerita yang telah mereka baca.
Jutaan anak-anak di dunia bisa terhibur dan bisa berhenti menangis setelah ibu,
ayah , nenek mereka menceritakan tokoh-tokoh hebat yang tidak cengeng dan
jutaan anak-anak terdidik, berubah karakter jadi baik, gara-gara tokoh cerita
yang mereka kagumi. Itulah berkah karena adanya penulis cerita anak anak yang
bisa berjasa mendidik dan mendatangkan kedamaian ke hati mereka.
Anak-anak yang gemar dengan sastra (cerita anak-anak)
lebih mengenal tokoh cerita daripada penulis cerita tersebut. Mereka lebih
mengenal “kisah si kerudung merah dan Cinderella” dari pada penulisnya “Charles
Perrault”, lebih mengenal cerita “Pinokio” dari pada penulisnya “Carlo
Collodi”, cerita “Putri Salju” dari pada penulisnya “Hans Christian Andersen”,
cerita “Harry Porter” dari penulisnya J.K Rowling, atau “Elisa di negeri ajaib” dari pada
penulisnya Lewis Caroll. Pada umumnya cerita-cerita menarik tersebut banyak
yang berasal dari daratan Eropa, seperti Ceko, Perancis, Jerman, Denmark,
Italia, Swiss, Inggris, Irlandia, dan juga dari Amerika SErikat. Penyebabnya
bisa jadi karena bahasa- bahasa Eropa
menjadi bahasa Internasional seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan
Spanyol. Karya sastra anak anak pun menyebar melalui bahasa ini
Sekali lagi anak-anak
sedunia begitu kagum dengan tokoh cerita-cerita yang telah disulap menjadi film
film kartun yang lucu, menghibur dan mendidik. Kita juga perlu mengenal cerita
tersebut namun juga perlu tahu siapa pengarangnya dan bagaimana latar belakang
kehidupan mereka, agar kita juga bisa menimba pengalaman sukses mereka sebagai
penulis hebat.
1) Putri Salju
Hans
Christian Andersen lahir di Odense, Denmark (1805), ia penulis dan penyair yang paling terkenal berkat karya dongengnya. Ayah Andersen adalah tukang sepatu yang miskin dan
buta huruf (namun rajin), dan ibunya adalah seorang binatu (buruh cuci). Walau
dari keluarga miskin, namun sejak kecil Hans Christian Andersen sudah mengenal
berbagai cerita dongeng, sang ibunya yang membuat H.C Andersen berkenalan
dengan certa-cerita rakyat. Di kemudian hari, H.C. Andersen sempat melukiskan
sosok sang ibu dalam berbagai novelnya.
Ayahnya juga seorang
pencinta sastra, dan kerap mengajak Hans menonton pertunjukkan
sandiwara (atau theater). Setiap Minggu ia membuatkan gambar-gambar dan
membacakan certa-cerita dongeng untuk Andersen. Sikap dan pengalaman dari orang
tua itulah yang membuat H.C. Andersen tertarik dengan dunia mainan, cerita,
sandiwara termasuk karya sastra. Setelah ayahnya meninggal. H.C. Andersen yang
belum lama mengenyam pendidikan formal, merasakan susahnya kehidupan. Akhirnya
ia bekerja serabutan di antaranya pernah bekerja di sebuah pabrik, magang di
sebuah penjahit dan bekerja sebagai penenun. Ia terpaksa memburuh untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Anderson mencoba menjadi
seorang penulis sandiwara. tetapi penulisng, semua karyanya ditolak
dimana-mana. Hans Andersen beruntung bisa bertemu dengan Raja Denmark, Frederik VI, karena ia cerdas dan gagah, Raja tertarik dengan
penampilan Hans muda dan mengirimkannya untuk bersekolah (memberinya
bea-siswa). Andersen melanjutkan studi ke Universitas
Kopenhagen.
Sambil kuliah, pada tahun 1828 Hans Christian menulis
kisah perjalanan yang berjudul Fodreise fra Holmens Kanal Til Ostpynten af
Amager (Berjalan kaki dari Kanal Holmen ke Titik Timur Amager).
Hans Christian Andersen
pergi berkelana ke luar negeri selain Jerman. ke Perancis, Swedia, Spanyol, Portugal, Italia bahkan hingga Timur Tengah. Dari berbagai kunjungan itu melahirkan setumpuk
kisah perjalanan. Ketika melawat ke Paris,
Andersen bertemu dengan Victor Hugo, Alexandre Dumas, Heinrich Heine dan Balzac. Di tengah perjalanan
panjang ini pula, ia sempat menyelesaikan penulisan "Agnette and the
Merman".
Pada awal 1835,
novel pertama Andersen terbit dan meraih sukses besar. Sebagai novelis, ia
membuat terobosan lewat The Imrpvisator, karya yang ditulisnya pada
tahun yang sama. Cerita yang mengambil setting Italia
inimencerminkan kisah hidupnya sendiri; melukiskan upaya seorang bocah
miskin masuk ke dalam lingkungan pergaulan masyarakat. Malah sampai akhir
hayatnya, buku The Improvisatore inilah yang paling banyak dibaca orang
banyak dibandingkan dengan karya karya Andersen yang lain. Sejak buku ini
terbit, masa masa sulit Andersen mulai berubah. Sepanjang 1835, ia meluncurkan
tujuh cerita dongeng yang disusun jauh hari sebelumnya.
Kendati novel-novelnya
mendapat sambutan besar, nama Hans Christian Andersen di dunia justru menjulang
sebagai penulis dongeng anak-anak. Pada 1835,
ia meluncurkan cerita anak-anak Tales for Children dalam bentuk buku
saku berharga murah. Lalu kumpulan cerita bertajuk Fairy Tales and Story
digarapnya dalam kurun 1836-1872.
Dua dari cerita dongengnya
yang amat kesohor, The
Little Mermaid dan The Emperor's New Clothes, diterbitkan dalam kumpulan
cerita pada 1837. Tujuh dongengnya yang lain: Little Ugly Duckling, The Tinderbox, Little Claus and Big Claus, Princess and the Pea, The Snow Queen, The Nightingale dan The Steadfast Tin Soldier, juga dikenal di berbagai
belahan dunia sebagai cerita yang kerap didongengkan pada anak-anak.
Bisa dilihat dari kisah
dongeng The Emperor's new Clothes. Pesan bahwa keserakahan
itu tidak baik disampaikan Andersen lewat parodi raja lalim yang cukup
menggelikan itu. Salah satu ciri lain yang menonjol dalam cerita dongeng
Andersen adalah hadirnya kaum papa dan mereka yang tidak beruntung dalam hidup,
namun juga punya semangat juang untuk hidup.
2) Pinokio
Carlo Collodi (nama pena
dari Carlo Lorenzini) adalah pengarang dari dongeng anak-anak yang sangat
terkenal berjudul Pinokio. Dongeng Pinokia merupakan
suatu cerita edukatif tentang boneka kayu yang berubah menjadi anak laki-laki bernama Pinokio karena bantuan peri.
Pinokio memiliki petualangan yang merubahnya dari anak yang nakal dan suka
berbohong menjadi anak yang baik dan patuh pada orang tua. Selain menjadi
pengarang dongeng, dia juga dikenal sebagai penulis artikel di surat kabar, buku, dan novel.
Carlo Collodi merupakan anak
pertama dari 10 bersaudara dengan orang tua bernama Domenico Lorenzini, seorang
juru masak, dan Angela Orzali, seorang penjahit. Masa kecilnya dihabiskan di
desa, menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan dikirim ke seminari selama 5 tahun. Setelah lulus dari seminari, dia
bekerja menjadi penjual buku. Ketika pergerakan unifikasi atau persatuan Italia
mulai penyebar, Collodi yang berusia 22 tahun menjadi jurnalis yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Italia.
Semasa hidupnya, Collodi
menulis komedi, koran, dan juga berbagai ulasan. Ketika Italia menjadi negara
persatuan, Collodi berhenti dari dunia jurnalisme dan setelah tahun 1870 menjadi editor
naskah teater dan editor majalah. Kemudian Collodi beralih ke dunia
fantasi anak-anak dan menerjemahkan dongeng karya penulis Perancis, Charles Perrault, ke dalam bahasa Italia.
Sejak saat itu, Collodi banyak menghasilkan berbagai karya, terutama cerita
anak-anak yang sukses dan disukai oleh masyarakat.
Helen Beatrix Potter adalah seorang pengarang dan ilustrator, botanis dan konservasionis berkebangsaan Inggris. Ia terkenal karena buku ceritanya, yang menampilkan
tokoh hewan seperti Peter Rabbit. Ia dilahirkan di Kensington, London pada tanggal 28 Juli 1866. Ia dididik dan belajar di
rumah, sehingga ia mempunyai sedikit kesempatan untuk berkumpul bersama
teman-teman sebayanya. Bahkan adik laki-laki Potter, Bertram, sangat jarang
berada di rumah; dia disekolahkan di sekolah asrama, sehingga Beatrix hanya
sendirian bersama hewan peliharaannya. Ia mempunyai katak dan kadal, dan bahkan
kelelawar. Ia juga pernah memiliki dua ekor kelinci. Kelinci pertamanya adalah
Benjamin, yang ia gambarkan sebagai "benda kecil yang bermuka tebal dan
kurang ajar", sedangkan kelinci keduanya adalah Peter, yang selalu
dibawanya ke manapun ia pergi bahkan di dalam kereta api. Potter sering
memperhatikan hewan-hewan ini selama berjam-jam dan membuat sketsa mereka.
Sedikit demi sedikit, sketsa yang dibuatnya semakin baik, membuat bakatnya
berkembang sejak usia dini.
Ketika Potter beranjak
dewasa, orang tuanya menunjuknya sebagai pengurus rumah dan mengurangi
pengembangan intelektualnya, mengharuskannya untuk mengurusi rumah. Sejak umur
15 tahun sampai sekitar umur 30 tahun, ia mencatat kehidupan kesehariannya di
sebuah jurnal, menggunakan kode rahasia (yang tidak terdekripsi sampai beberapa dekade
setelah kematiannya).
Hal yang mendasari kebanyakan
proyek dan ceritanya adalah hewan-hewan kecil yang menyelundup ke dalam rumah
atau yang ia amati ketika liburan keluarga di Skotlandia dan Distrik Lake. Dia didorong untuk mempublikasi
cerita The
Tale of Peter Rabbit, dan ia pun berjuang untuk mencari penerbit sampai ia
akhirnya diterima saat berumur 36 tahun pada 1902. Buku kecilnya dan karya-karyanya yang lain
diterima masyarakat dengan baik dan ia memperoleh pendapatan dari penjualan
karyanya tersebut.
4) Harry Porter
Joanne
Kathleen Rowling
atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling
dilahirkan tahun 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional
pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New
York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya.
Lulusan Universitas Exeter, Rowling berpindah ke Portugal pada tahun 1990 untuk mengajar Bahasa Inggris. Di sana dia berjumpa dan menikah dengan seorang
wartawan Portugis. Anak perempuan mereka, Jessica dilahirkan pada tahun 1993.
Selepas perkawinannya berakhir dengan perceraian, Rowling menghadapi masalah
untuk menghidupi diri dan anaknya. Semasa hidup dalam kesusahan itu, Rowling
mulai menulis sebuah buku. Dikatakan bahwa Rowling mendapat ide tentang
penulisan buku itu sewaktu dalam perjalanan menaiki kereta api dari Manchester
ke London pada tahun 1990.
Menjadi penulis besar,
apalagi penulis kaliber dunia, tidak mudah. Tidak semudah membalik telapak
tangan. Untuk menjadi penulis besar butuh perjuangan dan persiapan diri. Mereka
yang menjadi penulis besar selalu belajar dari pengalaman dan hasil karya
pendahulu mereka. Tidak perlu mencari
alas an, “wah bagaimana aku akan menjadi penulis besar, orang tua ku saja susah
dan melarat”. Christian Andersen si penulis dongeng anak-anak yang hebat
(Cinderella) juga punya orang tua yang melarat. Namun factor dukungan orang tua
juga menentukan, bahwa sangat perlu setiap rumah juga menyediakan koleksi
cerita dan sastra (novel dan biografi) untuk konsumsi anggota keluarga. Carlo
Collodi, penulis Pinokio, juga berasal dari orang tua yang hidup susah-ayahnya
cuma buruh masak (juru masak) dan ibunya buruh cuci (tukang cuci) dan ia
sendiri juga tidak terbiasa bermalas-malas dan juga mencari kegiatan untuk
menghidupi diri, maka jadi kayalah pengalaman emosionalnya.
Menjadi
besar bukan berarti hidup cengeng (suka mengeluh) sebagaimana Andersen juga
melakukan kerja serabutan dan sempat menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Adalah isapan jempol bagi mereka yang cuma betah nongol di rumah untuk
bisa menjadi hebat, untuk itu perlu melakukan penjelajahan- mengunjungi banyak
tempat, berkenalan dan berdialog dengan banyak orang- mencari ribuan pengalaman
hidup untuk menjadi bahan cerita.
Menjadi
penulis juga perlu banyak berlatih. Sebelum menjadi hebat seorang penulis
tentuh telah menulis (berlatih) ribuan helai kertas dan menghabiskan lusinan
tinta. Begitu karyanya selesai- apakah puisi, cerpen, cerbung (cerita
bersambung), biografi atau novel, dikirim ke penerbit bukan langsung diterima
(diterbitkan). Seringkali karya-karya mereka buat pertama kalinya ditolak,
namun mereka tentu tidak mengenal kata
“patah hati” apalagi frustasi dan berhenti menulis.
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, penulis ingin pula memaparkan tentang rahasia
pengajaran sastra yang menyenang seperti yang tertulis pada dinding Rumah
Puisi- yang didirikan oleh Sastrawan Taufiq Ismail- berlokasi di Nagari Aie
Angek, Kecamatan Sepuluh Koto, Padang Panjang. Bahwa cara pandang pengajaran sastra
harus asyik, nikmat, gembira dan mencerahkan. Siswa harus membaca langsung
karya sastra, dan perpustakaan sekolah musti punya koleksi buku-buku sastra
yang menarik, kemudian kelas mengarang perlu menyenangkan dan selalu
dikembangkan. Dan terakhir suasana belajar musti menyenangkan- bebas dari
suasana mengkritik apalagi penuh tekanan.
BAB.II IKUT SERTA DALAM PROGRAM STUDI BANDING
A. Sebuah
Kesempatan
Penulis tidak memikirkan
kalau ia harus ikut studi banding, suatu hari Bapak H. Rosfairil (Kepala SMA Negeri 3 Batusangkar) memberi sinyal kalau sudah waktu bagi penulis untuk
tahu apakah ia berangkat atau tidak. Maka Bapak H. Rosfairil melakukan kontak
telepon ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar. Namun saat itu ada
sinyal buat penulis untuk bergabung, namun belum lagi diumumkan secara resmi,
baru sebatas info dari mulut ke mulut (tidak resmi).
Kemudian,
suatu hari secara
tiba-tiba, penulis diminta untuk melengkapi bahan yang diperlukan oleh kantor
imigrasi seperti “kartu nikah, KTP, kartu keluarga, ijazah, akta
kelahiran, surat izin dari istri dan juga materai Rp. 6.000 (tiga lembar)”. Semua
bahan dokumen ini diserahkan ke Kantor Dinas Pendidikan di Pagaruyung. Di sana penulis juga berjumpa
dengan beberapa orang guru yang juga mau berangkat studi banding. “Setiap
dokumen yang asli harus ada fotocopinya”.
Setelah dua atau tiga minggu, ada perintah untuk pengumpulan bahan dokumen- untuk
verifikasi. Panitia
studi banding mengirim pesan melalui SMS kepada semua peserta. Hingga semua
peserta comparative study (studi banding) berkumpul di aula Dinas Pendidikan.
Untuk
memudahkan manajemen maka panitia studi banding membagi
peserta atas 6 kelompok.
Penulis sendiri berada dalam kelompok 3 dan sekaligus menjadi guru pembimbing.
Saat itu semua peserta mengisi blanko yang diminta oleh Kantor Imigrasi dan
dibutuhkan tiga lembar materai untuk di tempel pada dokumen aslinya.
Di
antara peserta tentu saja sudah mulai bersosialisasi- saling berkenalan. Penulis saat itu baru
mengenal beberapa orang anggota rombongan. Bersamanya juga ada dua orang siswanya
sendiri (dari SMA Negeri 3 Batusangkar) yaitu Fauzi, reward sebagai
siswa jago Kimia tingkat Sumbar dan Mayang Berliana, reward atas prestasinya
sebagai juara umum di SMAN 3 Batusangkar. Ia juga tahu bahwa siswinya
‘Fitria Rahmadani” juga ikut dan ia telah memiliki passport.
Suatu
hari kami memperoleh SMS bahwa semua peserta grup 3 diminta untuk hadir jam 8.00 wib di
Kantor Dinas Pendidikan. Mereka akan brangkat menuju kantor Imigrasi di Bukit Tinggi menggunakan bus Pemda Tanah Datar untuk menggurus penerbitan pass
port secara kolektif. Saat itu peserta sudah mulai terlihat jelas “siapa
saja dan dari mana saja”. Mereka adalah siswa
yang berasal dari juara umum Kecamatan untuk siswa SD, terus dari MTsN, SMP, SMK, MA
dan SMA di Kabupaten Tanah Datar. Juga ada guru berprestasi lainnya,
siswa yang masih dibawah umur 17 tahun, musti didampingi oleh orang tua
mereka.
Setelah satu jam dari
Batusangkar, akhirnya bus Pemda tiba di Kantor Imigrasi, Di Belakang Balok
Bukittinggi. Gedung kantor imigrasi terlihat biasa-biasa saja, namun terlihat
cukup bersih. Pengunjung yang datang, ada orang-orang desa, mereka datang untuk
mengurus pasport buat pergi umrah ke
Mekkah, juga ada rombongan anak-anak pramuka dari Pesantren Al-Hira
(Padang Panjang) jumlah mereka cukup banyak. Mereka akan mengikuti kegiatan
pramuka di Malaysia dan setiap peserta membayar seribu dollar (apakah Dollar
Amerika, Australia atau Dollar Singapura). Rombongan dari Tanah Datar (peserta Comparative study)
juga cukup banyak di gedung tersebut.
Saat rombongan kami tiba
belum banyak aktivitas di kantor tersebut, namun kami datang lebih cepat dan
berharap bisa urusan cepat selesai. Pertama kami antrian menunggu panggilan untuk
pengambilan dokumen asli, setelah itu membayar biaya pembuatan paspor pada
loket kasir. Kami harus menunggu beberapa saat untuk proses selanjutnya. Biaya
pembuatan pasport ditanggung oleh Pemda Tanah Datar, masing-masing memperoleh
Rp. 270.000, dengan rincian untuk biaya pembuatan pasport Rp.
255.000, dan sisanya buat beli minuman. Satu per satu anggota rombongan
kami dipanggil untuk pemotretan dan setelah semua selsai rombongan mencari
kuliner untuk mengisi perut yang lapar dan setelah itu kami kembali berangkat menuju
Batusangkar. Katanya bahwa urusan passport dan dokumen lainnya
sudah selesai. Kami semua kembali ke Batusangkar.
B. Pembekalan Pengalaman
Kami
kembali berkumpul untuk memperoleh pembekalan pengalaman tentang keimigrasian
dan melancong ke luar negeri. Pada umumnya peserta studi banding (guru dan siswa) belum
pernah melakukan kunjungan ke Malaysia dan Singapore. Penyelenggara kegiatan ini adalah dari Dinas Pendidikan Tanah Datar dan dari biro perjalanan JAP (Jalur Angkasa Prima). Mereka merasa
perlu untuk memberi pembekalan pengalaman bagaimana dan mengapa dengan negara Malaysia
dan Singapura- bagaimana kultur, politik dan budaya mereka.
Bapak Mardalius, kepala sub
bidang Dinas Pendidikan Tanah Datar, mengatakan bahwa Pemda Tanah Datar
menyediakan anggaran sekitar Rp. 500 juta untuk membiaya studi comparative
siswa dan guru berprestasi tersebut. Mereka terdiri dari anak-anak juara umum di
Kecamatan, dan juara umum di sekolah bagi siswa tingkat SLTP dan SLTA dan
juga guru-guru pilihan atau guru berprestasi.
Dana yang dianggarkan tersebut
merupakan reward bagi warga Tanah Datar dari segi pendidikan, tentu saja
penganggaran ini telah disetujui oleh DPRD dan Pemerintah Tanah Datar. Dapat
dikatakan bahwa dalam kegiatan tersebut guru-guru juga berfungsi
sebagai unsur pembimbing dan mereka perlu memberikan perhatian atas
keselamatan dan kesehatan siswa. Oleh karena ini dalam rombongan sekarang
(studi banding yang ke 5) juga ikut seorang dokter yang berprestasi (Dr. Susi Julianti, dari Dinas Kesehatan Kecamatan Limo Kaum) untuk tingkat Sumatera Barat.
Kegiatan studi banding kali
ini, pada mulanya direncanakan sebelum lebaran haji yang jatuh tanggal 6
November 2011, namun diundur menjadi tanggal 17 November 2011. Dikatakan bahwa semua pasport sudah selesai dan siap dibagikan. Passport
adalah sebagai dokumen atau identitas seseorang yang ingin berpergian ke negara
lain dan paspor
akan distempel di bahagian keimigrasian di Bandara Internasional
Minangkabau dan bandara kedatangan Malaysia. Atau pasport distempel
oleh pihak imigrasi saat keluar dan saat masuk suatu negara.
Diingatkan
bahwa selama
berada di luar negeri, paspor musti ada pada diri kita. Kalau paspor kita hilang (dokumen
penting ini) maka kita tidak bisa meninggalkan suatu negara, kita malah akan
ditahan oleh pihak imigrasi dan polisi dan dianggap sebagai warga
illegal.
Dewasa
ini negara
Malaysia sudah maju, dan Singapura lebih maju lagi. Orang-orang di negara tersebut lebih teliti
dan disiplin. Fenomena teliti tersebut bisa cenderung menjadi karakter pencuriga.
Kadang-kadang karakter curiga sering dijumpai pada
petugas imigrasi di bandara terhadap orang-orang yang membawa barang/tentengan yang berlebihan. “Mereka bisa dicurigai, misalnya memperoleh
titipan drug
atau narkoba dari seseorang”.
Untuk itu disarankan agar
siapa saja yang berkunjung ke luar negeri dan melewati kantor
atau petugas immigrasi agar tidak mudah menerima titipan tas/barang dari seseorang sebelum masuk bandara, karena dikhawatirkan akan menjadi titipan narkoba
oleh pengedarnya. Sebab penerima titipan akan bisa terlibat kasus dan ikut
berurusan dengan imigrasi dan polisi “sekali lagi diingatkan bahwa JANGAN MENERIMA BARANG
TITIPAN DI BANDARA”. Demikian pesan Pemda kepada kami semua.
Merokok dilarang di
Singapura, untuk itu jangan merokok selama berada di Singapura. Juga diingatkan bahwa bila kita pergi keluar negeri dalam
bentuk grup maka kita harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan anggotagrup. Terutama kesehatan dan
keselamatan diri pribadi.
Biasanya orang yang telah pergi
ke luar negeri akan punya banyak cerita menarik yang akan bisa menjadi
pengalaman bagi orang lain. Misalnya orang yang bernama “Salman dan
Imam” bisa ditahan dan diinterogasi di Bandara Singapura.
Alasannya bahwa nama tersebut mirip dengan nama Salman Rusdie, penulis buku The Satamic Verses (ayat-ayat
setan) dan Imam Samudra, gembong teroris yang ikut meledakkan bom di
pulau Bali.
Ditambahkan
bahwa keberangkatan
rombongan tidak sekaligus, namun dipecah menjadi dua kali dengan pesawat Air
Asia yang terbang dari bandara Padang menuju Kuala Lumpur.
Juga dinyatakan lagi bahwa di Sumatera Barat program reward studi banding bagi warga
yang berprestasi hanya ada di Kabupaten Tanah Datar. Warga yang berprestasi di Tanah Datar
akan diberi reward oleh Pemerintah.
BAB. III PENGALAMAN SELAMA PERJALANAN
A.
Keberangkatan
Tanggal 16 November 2011 kami berkumpul di Aula
Islamic Centre, pukul 13.00 siang peserta sudah datang dari seluruh kecamatan.
Penulis sendiri tiba di Aula hampir pukul 14.00, karena harus menyelesaikan
penulisan naskah ujian Bahasa Inggris untuk kelas XI. Kabupaten Tanah Datar (semester 1 tahun 2011/2012) dan ada sedikit
problem dengan editing ukuran margin kertas ujian.
Alhamdulillah
akhirnya
penulis bisa merampungkan penulsian dan pengaturan ukuran kertas ujian sesuai dengan
ukuran standar. Ia kemudian harus menuju Griya Alam Segar –rumahnya- untuk shalat
zuhur dan menyiapkan travelling bagnya. Ia sempat menitipkan pesan pada anak
laki-lakinya (Muhammad Fachrul Anshar) untuk berkumpul di
Islamic Center Pagaruyung dan seterusnya terbang menuju Kuala Lumpur.
Opening session bersama Bupati
|
Shalat berjamaah di Mesjid
Nurul Amin
|
Penulis bergabung dengan peserta studi banding yang lain, setelah ditelpon oleh beberapa orang tua siswa
peserta studi banding. Ppenulis menyusup dalam kerumunan orang tua yang mau
melepas keberangkatan anaknya. Dalam aula di gedung Islamic Center telah terpajang pamflet
“Selamat Jalan rombongan Studi Banding Internasional Siswa/Siswi, guru,
pengawas dan UPTD berprestasi Tanah Datar ke Malaysia dan Singapura, 17 sampai
22 November 2011, Penghargaan bagi yang berprestasi”.
Semua peserta menunggu kedatangan Bupati Tanah Datar,
Bapak Shadiq Pasadigoe, jam 15.15 sore. Penulis dan juga orang-orang lain menghilangkan ringtone phone
cell, khawatir kalau mengganggu kekhidmatan acara di
ruangan tersebut.
Kami semua memberikan applause (tepuk tangan) dan
Bupati begitu juga rombongan telah datang. Mereka bergegas
dan melangkah
menuju deretan kursi paling depan untuk memberikan arahan dan juga melepaskan
keberangkatan kami secara formal. Kepala Dinas Pendidikan Tanah Datar, Bapak Drs. H.
Darisman, adalah ketua pelaksana studi banding siswa berprestasi ke Singapura
dan Malaysia.
Dikatakan
bahwa kegiatan
studi banding telah menjadi kegiatan rutin sejak tahun 2006. Tanah Datar merupakan
satu-satunya kabupaten di Sumatera Barat yang memberikan reward buat warga yang berprestasi, tentu saja sebagai cara terbaik dalam memotivasi warga. Program tersebut juga sangat bermanfaat
untuk menambah
wawasan peseta tentang budaya, etos belajar dan etos kerja masyarakat Malaysia dan Singapura yang negara mereka sudah maju tersebut.
Jumlah peserta ada 137 guru, 107 siswa dan 30 orang
guru pembimbing. Bapak Darisman memperkenalkan peserta per grup, mereka berdiri
dan memperoleh applause. “Oh, sungguh memberi semangat dan keceriaan bagi semua peserta”.
Ada dua kloter penerbagangan, peserta nomor 1-95
ditambah dengan nomor 136, dan 137 musti bermalam di Islamic Centre. Mereka akan
berangkat menuju BIM (Bandara Internasional Minangkabau)
pada pukul 3.00
dini hari. Kemudian kloter kedua adalah nomor 96-135.
Seterusnya, Bapak
Darisman menjelaskan bahwa rencana perjalanan adalah
pada tanggal 17-22
November. Esok hari kami terbang dari padang menuju Kuala Lmpur dan melakukan city
tour, mengunjungi Putra Jaya dan masjid Negara.
Di Bandara BIM Padang
|
Di Bandara Kuala Lumpur
|
Thanks
bahwa studi
banding ini bisa terlaksana karena dukungan dana APBD (Anggaran
Pengeluaran Belanja Daerah) tahun 2011. Ternyata jaket berwarna
hitam dan bertulisan “peseta studi banding internasional Malaysia dan
Singapura” yang
kami pakai adalah sumbangan dari BPD (Bank Nagari)
Batusangkar.
Ada
beberapa pengarahan yang kami peroleh. Bapak Yasman, S.Ag dari komisi I, anggota DPRD
Kabupaten Tanah Datar juga menyampaikan beberapa arahan. Ia
mengatakan bahwa Tanah Datar tidak memiliki pabrik dan tambang, maka SDM yang bagus juga
merupakan aset berharga yang perlu untuk ditingkatkan. Di Kabupaten Tanah
Datar, motto ajaran Islam yang berbunyi “Man
Jadda wa jadda” yang berarti siapa yang
bersungguh-sungguh pasti berhasil diwujudkan oleh pemerintah.
“Pemerintah memberikan respon
dalam bentuk program yaitu reward studi banding
internasional ke Malaysia dan Singapura”. Tentu saja harapan dari
program ini adalah
pulang dari Malaysia dan Singapura, maka etos kerja dan etos belajar mereka menjadi
lebih baiklagi”.
Rombongan yang jumlahnya 137 orang ini bisa memberi
citra Tanah Datar, andai kami punya citra yang jelek, maka tentu orang akan
berfikir “o…begini ya, karakter orang Batusangkar”. Oleh sebab itu kami perlu
selalu menjadi warga yang sopan santun selama berpergian.
Bupati Tanah Datar, Bapak Shodiq Pasadigoe, mengatakan
bahwa 60% dari APBD tersedot buat kebutuhan belanja
pegawai.
Anggaran studi banding juga termasuk ke dalam APBD, dimana setiap peserta
diberi dana Rp. 3,7 juta, termasuk uang saku. Ia
mengatakan tour ke luar negeri berbeda dengan tour dalam negeri, misalnya tour
ke Jakarta. Tentu
saja tour ke Jakarta tanpa pemeriksaan imigrasi, sementara tour ke
Singapura dan Malaysia tentu melalui pemeriksaan.
Melalui
program studi banding ke luar negeri tentu saja akan ada pembelajaran yang
bisa diperoleh.
Harapan dari pemerintah “agar guru pembimbing memberi pengalaman buat siswa
secara langsung”. Tanah Datar bukanlah kabupaten yang kaya, namun bisa
menyediakan anggaran Rp. 580 juta untuk mendukung acara studi banding tersebut,
sebuah doa agar siswa yang berprestasi bisa kuliah di Singapura dan Malaysia. “Dengan Bismillah, rombongan
studi banding penulis lepas” ucap Bapak Bupati sambil memberikan ketukan tiga
kali. Dan kami semua memberikan tepuk tangan, beberapa saat
kemudian acara pelepasan rombongan studi banding ini pun berakhir.
B. Bermalam di Islamic Centre Pagaruyung- Batusangkar
Setelah Bupati meninggalkan aula Islamic Centre, kegiatan
masih ada yaitu penyelesaian administrasi. Pembagian (pendistribusian) kokarde,
pasport, buku petunjuk dan yang paling penting adalah penyerahan uang saku buat
siswa dan guru pembimbing. Kami kemudian pergi ke lantai atas untuk mencari kamar,
rupanya hanya ada dua kamar yang luas buat grup pria dan grup wanita. Penulis
menuju ruangan 4, kamar besar buat grup pria.
Ternyata bermalam bersama peserta studi banding di Islamic Centre juga asyik. Kami semua shalat di Masjid Nurul Amal yang
terletak di samping Islamic Centre. Dinding masjid dicat putih, ruangannya luas
dan bersih. Habis shalat kami merebahkan diri dan terasa sangat rileks,
anak-anak lain saling berkenalan dan berbagi cerita.
Penulis dan beberapa teman berfikir kalau panitia
studi banding menyediakan makan malam ternyata tidak. Untuk mengatasi perut yang
terasa keroncongan kami mencari makan dan susah sekali mencari warung malam itu. Penulis dan Febrianto (guru SMAN 3 Batusangkar) berjalan ke
luar untuk mencari warung. Kami bisa membeli ketupat gulai nangka yang
terletak persis
di depan Istano Basa Pagaruyung. Rasa ketupat gulai nangka cukup lezat (mungkin perut lapar). Penulis juga melahap goreng tahu dan kerupuk, penulis
memperkirakan harganya sama dengan hargama makanan di pasar, ternyata harganya
cukup murah, yaitu separo harga pasar.
Menjelang tidur penulis duduk di antara siswa peserta,
penulis berbagi cerita tentang cara belajar, tentang motivasi dan tentang
kepribadian. Penulis juga membuat kalimat-kalimat lelucon, ternyata siswa
peserta senang dan tampak rileks, mereka makin ramai.
“Wah kita jam 3.00 dini hari harus bangun dan bertolak
menuju Bandara Internasional Minangkabau di Padang, untuk itu harus tidur”, kata
penulis. Mereka
harus tidur dan ternyata tidur yang mudah adalah dikamar sendiri, dirumah
sendiri. Namun penulis melihat bahwa sebagian masih sibuk dengan
kebiasaan sendiri, otak atik HP, mendengar MP3, sampai ada membaca komik dan
berbagi cerita.
Penulis fikir bahwa sebagian besar peserta tidak tidur
bisa dengan pulas, kecuali hanya sebagian,
“oh..ternyata bagi anggota kloter 2 yang akan berangkat jam 3 sore dan fikiran
mereka rileks hingga bisa tertidur”.
Anak-anak pasti
sibuk dengan pikiran mereka. Mereka tentu berfikir tentang bagaimana
kegiatan selanjutnya, penulis sendiri juga tidak tidur dengan pulas, telinga
dengan jelas mendengar percakapan demi percakapan orang-orang yang berada dalam
ruangan tidur besar tersebut. Penulis sengajat menutup mata agak lama agar bisa
memperoleh rasa istirahat yang lebih lama, meskipun tidak tertidur lelap.
Paling kurang melalui cara tersebut penulis masih bisa memperoleh tidur atau
istirahat yang lebih berkualitas.
Anak-anak peserta studi banding ini tentu saja
anak-anak pilihan di sekolah atau di Kecamatan mereka. Mereka amat mudah termotivasi
untuk melakukan hal-hal positif, saat penulis berada di dalam aula Islamic
Centre kemaren, penulis sibuk menuliskan pengalaman pada buku catatan dan
sambil berbagi cerita pada anak-anak yang duduk dekat penulis bahwa “menuliskan
pengalaman adalah cara yang terbak buat menyelesaikan pengalaman”. Lagi pula nanti setelah acara “comparative study” selesai maka kita akan diminta
untuk menulis laporan. Tentu saja kita akan dengan mudah dapat menyelesaikan
laporan perjalanan.
Danau Singkarak Terlihat Dari
Pesawat
|
Berfoto
foto di Bandara
|
Mendengar penjelasan ini maka dengan serta merta
beberapa siswa pergi ke luar ruangan Islamic Centre untuk mendapatkan (membeli)
buku catatan dan pulpen. “Betapa mudah memotivasi anak-anak pilihat buat
berhasil dalam hidup mereka, tinggal lagi kualitas pemberian motivasi dan
mengarahkan mereka untuk melakukan aktivitas selanjutnya untuk menggenjot SDM
(Sumber Daya Manusia) mereka”.
Siswa peserta ternyata mampu mengurus diri dalam
memanfaatkan waktu. Islamic Centre hanya memiliki dua kamar mandi, namun semua
peserta mampu membersihkan diri. Di malamm itu (dini hari) penulis turun agak lambat dan
ternyata orang-orang sudah siap berpakaian rapi. Mereka
bisa mandi meski kamar mandi hanya dua, tidak sebanding dengan jumlah peserta
yang lebih dari seratus orang.
Perjalanan menuju Padang pada waktu dini, pukul 3.00
pagi terasa nyaman, mobil melaju dengan
mulus. Tidak ada kendaraan dan transportasi lain yang mengganggu perjalanan kami. Cuaca
pagi dini hari juga sejuk membuat semua penumpang ingin untuk menikmati tidur,
apalagi mata pun masih mengantuk. Penulis sendiri juga enggan membuka mata,
lebih enak untuk memejamkan mata, tidak merasa rugi untuk melihat pemandangan
apalagi pemandangan yang akan dilihat sudah bisa dilalui sepanjang waktu.
Hanya perjalanan sedikit terganggu setelah melewati
pasar Sicincin. Terlihat polisi mengatur arus lalu lintas, ada sebuah mobil
pecah ban, namun juga ada pemeriksaan terhadap mobil travel, khawatir kalau
mobil travel yang lewat saat dini hari membawa barang-barang yang dicurigai
polisi.
Tak lama kemudian, ada kumandang azan subuh, rombongan
mobil Pemda berhenti pada sebuah masjid di pinggir jalan di Kayu Tanam. Kami
shalat subuh, dan rombongan kami segera membuat jamaah masjid menjadi
ramai pada pagi subuh itu. Penulis tidak ingin berlama-lama duduk dalam masjid,
ia lebih memilih duduk segera dalam bus deretan nomor dua dari depan, tentu
saja kami selanjutnya menuju Padang Airport- BIM
(Bandara Internasional Minangkabau).
Mata kami tidak lagi mengantuk. Hari juga sudah mulai
menyingsing, berkas sinar matahari mulai membersit di
cakrawala. Memang masih terasa letih rasanya. Penulis menikmati pemandangan menuju
BIM kembali.
Dalam mobil yang penulis tumpangi, terdapat dua grup,
yaitu grup 5 dan 6. Penulis sendiri menjadi grup pembimbing untuk grup 5
penulis duduk bersebelahan dengan seorang siswa asal Lintau, dia tinggal di
Ujung Tanah, Tepi Selo. Penulis mengajak ia untuk bertukar fikiran dan melihat
bagaimana gaya dan pola berfikir. Tentu saja namanya anak-anak pikiran mereka
masih dangkal. Namun untuk selanjutnya mereka perlu melatih diri lewat menulis,
bertukar fikiran dan membaca untuk memiliki fikiran yang dalam dan berkualitas.
Akhirnya rombongan mobil kami sampai pada jalan fly
over dekat nagari Duku- Kabupaten Padang Pariaman dan terus menuju Bandara.
Jalan raya menuju bandara sebagai beranda Sumatera Barat sudah sangat bagus dan
terawat dengan baik. Tiang-tiang listrik
dengan simbol Minangkabau memberi keanggunan tersendiri. Pada pos memasuki bandara
juga ada jalan kecil yang disediakan buat sepeda motor atau ojek. Namun mereka
hanya berada pada pinggiran hamparan halaman bandara. Ojek tentu saja kurang
bagus berkeliaran di seputar Bandara, apalagi ini kan bandara standar
Internasional.
Kami semua turun, penulis sendiri membantu menurunkan
bagasi para penumpang. Kami selanjutnya harus cek in, direncanakan
kami akan terbang menuju Kuala Lumpur dengan pesawat Air Asia pukul 8.30 wib.
Kami duduk-duduk sesaat. Ada yang menggunakan waktu
ini untuk mengobrol ringan, juga untuk mengambil foto buat
sweet memory nanti.
Kami kemudian cek in, pemeriksaan barang-barang “Tentu
saja itu sebuah
pengalaman yang baru dan menarik bagi anak-anak untuk menjadi
warga internasional”. Beberapa anak laki-laki barangkal belum memiliki
valuta asing (ringgit Malaysia dan Singapura Dolar), mereka berdiri di depan
money changer, “Oh masih pagi, tentu saja belum buka untuk money changer”.
Akhirnya money changer, pukul 7.15 wib sudah open,
namun peserta studi banding tampak bengong – mau tukar uang apa-. Apalagi pada
billboard tidak ada tertulis mata uang Malaysia. Penulis mengambil
inisiatif dan mulai
menukar uang, pada mulanya mau beli 200 ringgit dan harganya lebih dari Rp.
500.000,- “Wah kalau begitu 100 ringgit saja, dan penulis harus bayar Rp.
295.000,-. Setelah itu anak-anak juga tertarik mengikuti
penulis, mereka juga menukarkan mata uang Rupiah dengan Ringgit Malaysia atau
Dollar Singapura.
Rombongan kami cukup banyak, jadi kami agak lama berada di
depan pemeriksaan imigrasi untuk terbang menuju Kuala Lumpur. Hingga akhirnya pihak
travel biro menyerahkan tiket dan kartu keberangkatan, kami antri dan
menyerahkan kartu ini pada petugas imigrasi, kami masuk dan ada lagi
pemeriksaan terakhir. Tubuh kita harus dilepaskan dari benda-benda logam untuk
pemeriksaan metal detector. Ya akhirnya kami berada di ruangan tunggu pesawat.
Di belakang penulis duduk ada satu grup warga asing,
mereka ngobrol tentang Mentawai. Agaknya Mentawai menjadi tempat favorite bagi
warga asing untuk berlibur. Pemerhati wisata perlu berfikir untuk
mengembangkan pariwisata Mentawai yang juga memiliki ombak tinggi seperti ombak
di Hawaii. Maklum ada ombak dari samudera lepas- Samudera Hindia yang sangat
luas
Penulis duduk pada bangku 16 F Pesawat Air Asia, AK
1371 dekat jendela, jadi dapat melihat pemandangan. Tentu saja terbang ke Kuala
Lumpur, berarti kami melewati Sumatara Barat menuju timur. Penulis bisa melihat
danau Singkarak dari ketinggian, begitu pula dengan Gunung Sago.....atau mungkin juga gunung yang lain “Wah aku tidak kenal gunungnya”.
Matahari berada di sebelah kanan (jendela) penulis dan cuaca
cerah. Samudra awan terbentang di bawah pesawat. Hamparan samudra awan di angkasa tentu memberi
kesejukan bagi warga yang berada di bumi. Jauh di atas juga ada awan tipis menghiasi angkasa
yang lebih tinggi lagi. Wah penulis ingat dengan pelajaran
geografi.
Pesawat
Air Asia
memiliki attentant flight berusia muda dengan wajah dan penampilan ganteng. Juga ada
seorang attendant flight wanita berwajah India. Peswat Air Asia yang kami tumpangi
adalah jenis pesawat air bus. Penulis duduk pas pada bagian sayap atau
bagian pinggang. Penumpang lain mencari kesibukan seperti membaca
majalah yang mereka ambil dari kantong kursi, seperti majalah sky shop dan high
flying fashion. Penulis mengintip pemandangan dan
sekali-sekali memotret ke arah luar jendela.
Flight attendant menginformasikan bahwa suhu mendekati
kuala lumpur 290
C. Pesawat kami terbang melewati daerah Riau dan
terus selat Malaka. Lautan awan tampak agak tipis. Itu berarti cuaca memang
agak panas di kawasan tersebut, ketinggian pesawat berpengaruh pada telinga
penulis karena saraf-saraf pendengaran penulis sedikit sakit dan begitu pula dengan lobang
telinga. Akhirnya pesawat turun, berarti kami akan mendarat di Kuala Lumpur. Menjelang mendarat penulis sempat melihat
lalu lintas kapal di Selat Malaka.
C. Kuala Lumpur Air Port
Daratan Malaysia terlihat jelas. Tidak banyak terlihat hutan,
kecuali perkebunan dan lahan-lahan yang terhampar untuk dijadikan industri.
Pesawat Air Asia AK 1371 akhirnya mendarat, kami turun dan harus berjalan
melalui koridor yang cukup panjang. Papan billboard menggunakan empat bahasa
yaitu bahasa Arab, Bahasa Melayu, Bahasa China dan Bahasa Inggris.
“Wah
idealnya Bandara Internasional Minangkabau (BIM) juga demikian, musti
menggunakan banyak bahasa, karena warga yang datang akan senang kalau melihat
bahasa mereka juga dipakai pada billboard- munghkin nanti ada aksara China,
Jepang, Thailand, India, Arab...dan lain-lain untuk mewujudkan bandaya yang
benar benbar untuk banyak warga dunia”. Pekerja pada bandara antar bangsa Kuala Lumpur umumnya
berwajah Melayu dan India.
Kami pergi ke tumpukan barang-barang. Masing-masing
menemui koper. Akhirnya kami bergerak menuju pintu exit. Suasana di luar
bandara hampir mirip dengan suasana pada BIM Padang, penulis juga menemui ada
warga yang merokok dan mobil-mobil keluaran tahun-tahun lalu. Hanya saja
suasana bahasa, tentu saja bahasa Melayu dan juga mungkin bahasa Tamil,
China dan bahasa Eropa.
Kami sudah ditunggu oleh armada mobil pariwisata, mereka
menyebutnya dengan “Bas Pesiaran”. Rombongan kami masih pada nomor mobil nomor 2,
namun mobil ini untuk gurp 4, 5 dan 6. Bisnya cukup panjang dan besar.
Pemandu kami bercerita panjang lebar tentang Malaysia,
pendidikan, sosial dan budaya. Penulis juga merekam suara pemandu dan akan mendengarnya nanti lagi. Seperti dikatakan bahwa hari pertama kami
adalah berada di
Kuala Lumpur adalah acara untuk sight seeing city tour dengan rute kota Putra Jaya dan
Kuala Lumpur.
“Ya
sesuai petunjuk buku perjalanan bahwa tanggal 17 November 2011, Rute kami
Padang- Kuala Lumpur. Rombongan pertama berkumpul di BIM jam 06.00 WIB,
rombongan ke dua jam 13.00 WIB untuk penerbangan ke Kuala Lumpur. Tiba di
Malaysia, rombongan akan langsung melaksanakan City Tour ke Putra Jaya, Dataran
Merdeka, Mesjid Negara, kemudian check in di hotel agar peseta studi banding
bisa bersitirahat”.
Penulis menangkap pemahaman
dari cerita
pemandu bahwa Putra Jaya adalah sebuah Kota Baru. Dahulu merupakan
desa penuh belukar, ide membuka wilayah ini menjadi Kota Baru, yang diberi nama
dengan Putra Jaya atau cyber Jaya, oleh Perdana Menteri Dr. Mahatir Muhammad,
sekarang Putra Jaya merupakan kota pusat pemerintahan, sementara Kuala Lumpur
adalah ibu kota Malaysia.
Penulis berfikir bahwa Putra Jaya akan merupakan kota
satelit, atau kota penyangga dari Kota Kuala Lumpur. Putra Jaya merupakan kota
dengan taman yang begitu luas, memiliki banyak pekerja taman untuk merawat
taman setiap saat. Dibanding dengan daerah Tanah Datar atau Batusangkar,
geografi Putra jaya tidak begitu menarik, gersang. Namun Batusangkar di lereng
gunung, dikelilingi oleh bukit-bukit dan gunung, hamparan sawah dan kebun serta
belantara tampak lebih cantik. Namun penata kota Putra Jaya membangun
perkantoran pada tumpukan bukit kecil dan meniru gedung populer di dunia. Untuk
bangunan gedung di kota ini, misalnya ada bangunan mirip Taj Mahal, ada
bangunan mirip gedung di Australia, Eropa, Arab, Iran, Jepang, China. Begitu
pula dengan jembatan, ada jembatan yang dibangun mirip dengan jembatan golden
gate di Amerika Serikat, jembatan di Perancis dan di Australia. Akhirnya kota Baru
ini bisa menjadi turis destination.
“Pantaslah
moto parawista Kerajaan Malaysia adalah Malaysia the truly Asia. Semua icon
yang ada di asia terbentang dalam kota Putra Jaya”.
Penulis melihat kota Putra Jaya hanya ibarat kota
dengan banyak perumahan elit. Gedungnya banyak namun kendaraan pada sepi, tentu
saja kendaraan yang begini bisa membuat nyaman bagi banyak penumpang, karena
kita tidak terjebak ke dalam kemacetan lalu lintas. Selama berada di Kota Putra Jaya,
penulis tidak pernah menemui pohon kelapa sebagai ciri khas pohon di
daerah tropis,
yang terlihat hanyalah hamparan pohon kelapa sawit di pinggir kota.
Penulis dalam Mesjid Negara di Putra Jaya
|
Wisatawan dalam Masjid Negara Putra Jaya
|
Dalam acara keliling kota, kami berhenti di depan
Masjid negara Malaysia. Mesjidnya sangat besar dan megah. Masjid ini dirancang
menyerupai masjid yang berada di Iran. Dikatakan bahwa tinggi masjid tersebut
adalah 200 kaki dan menampung jamaah
sebanyak 8.000 orang.
Ruang tempat berwudhu ada pada ruang bawah tanah dan
disana dekat gerbang halaman masjid. Di sana juga ada kulkas sistem koin
untuk beli minuman. Penulis melaksanakan shalat jamak zuhur dan ashar. Usai
shalat penulis mengambil rekaman kamera dan juga ngobrol dengan Yusuf, seorang wistawan warga
Saudi Arabia yang kuliah dan menuntut ilmu di Australia.
Masjid tersebut selain tempat untuk shalat, juga menjadi
tourist destination. Penulis meminta brochure tentang dakwah Islam dalam bahasa
Inggris dan beberapa bahasa Eropa lain kepada pengurus masjid tersebut. Penulis
tampak asyik dan selalu terlambat hadir kembali ke mobil wisata nomor dua.
Kami kemudian dibawa ke sebuah restoran dengan masakan
Malaysia. Tetapi cita rasanya mirip dengan masakan Padang karena
di sana juga
dengan cabe. Tentu saja masakanya rasa citarasa masakan Padang
karena juru masaknya berasal dari Sumatera Barat.
Siang tadi kami makan siang dengan hidangan dan sup
serta goreng ikan. Usai makan siang tour kami terus menuju Kuala Lumpur. Kuala Lumpur ya langsung bersebelahan dengan kota Putra Jaya. Penulis
melihat Ternyata
Kuala Lumpur adalah bertetangga dengan Putra Jaya. Memang terlihat kondisi kedua kota juga berbeda, seperti kebersihan kota dan traffic jam sedikit ada di
Kuala Lumpur.
Di kota Kuala Lumpur ada jalur kereta api bawah tanah
dan jalur di atas fly over (jalan jalur atas) sehingga bahaya tabrakan atau kecelakaan kereta api hampir tidak ada terdengar. Juga di Kuala Lumpur hampir tidak terlihat pengamen, anak jalanan dan pengemis.
Begitu pula dengan ojek seperti yang ada di Tanah Air juga
tidak ada.
Gedung-gedung di Kuala Lumpur sebagian juga terlihat
sudah tua. Barangkali kami tadi lewat melalui wilayah kota tua dan sebelumnya
kami berhenti di lapangan kota Kuala Lumpur sambil mengambil foto-foto. Di sana penulis dibantu mengambilkan foto oleh warga Kuala Lumpur
yang cukup ramah.
Orang-orang (penduduk Kuala Lumpur) hidup cukup rileks,
tidak terburu-buru. Penulis fikir bahwa kota Palembang mungkin lebih sibuk
dari Kuala Lumpur. Perbandingan ini terasa karena penulis sendiri pernah
tinggal di Palembang selama 10 hari. Namun pada beberapa bagian kota Kuala
Lumpur ada yang terlihat gedung megah dan pada beberapa tempat tampak lain lagi corak gedungnya.
Akhirnya rombongan bis pesiar kami menuju Grand Hotel
Pasific, sebagai tempat menginap kami. Bis melewati jalan-jalan sempit dan kami
turun. Sopir-sopir bis di kota Kuala Lumpur sangat menghargai pejalan kaki
sesuai dengan pesan yang pernah terlihat di bandara antar bangsa “Beri Laluan
Buat Pejalan Kaki”.
Bis
pesiar berhenti, kami semua turun. Kami masuk dan berkumpul ke lobi hotel Grand Pasifik.
Personalia hotel ini sebagian berwajah India. Dalam bis, pemandu sempat
menceritakan bahwa penduduk Melayu dianggap penduduk asli atau disebut sebagai “bumi putra”. Mereka memperoleh perlakuan istimewa dari negara.
Misal discount diberikan oleh Bank 20% untuk warga Melayu, sementara untuk keturunan
Cina dan India tidak begitu, sehingga kedua etnis ini melalui politik (parlemen) meminta
hak-hak persamaan. Pemerintah takut kalau
ini menjadi
perpecahan, maka pemerintah segera membentuk semboyan “one Malaysia for China, Melayu and India”.Atau
juga ada semboyan untuk persatuan yang berbunyi “world under one roof atau dunia dibawah satu atap”
Salah seornag rombongan kami berbisik “kita tidur di
hotel kelas Melati ya…”katanya, karena hotel Grand Pacific dari luar terlihat
kecil, tidak punya halaman parker. Maklum karena hotel berlokasi persis di
persimpangan jalan besar, penulis juga berfikir demikian.
Akhirnya pihak travel biro membagi kami untuk tidur
per kamar, group wanita berpisah dengan grup pria, penulis memperoleh teman
grup rombongan anak 3 orang, yaitu David (David Al Azis dari SMPN 1
Batipuh, Raihan (Rayhan Fajar Matheza dari SMPN 1 Batusangkar dan Syandi (Shandi Alfajar dari SMPN 1 Tanjung Emas) ya mereka sekolah di SMP
semuanya. Kami memperoleh kamar 428, kami segera menuju pintu lift.
Petugas travel memberi petunjuk cara mengoperasikan
lift untuk menuju kamar 428 “tekan tombol menjadi angka empat, tutup pintu, nanti
lift menuju lantai empat. Kalau sampai di lantai 4 maka tekan tombol buka. Begitu
pula kalau mau turun. Ya cukup praktis”. Anak anak dan penulis sendiri
memperoleh pengalaman internasional dan sangat berharga yaitu bagaimana tinggal
di hotel dan memanfaatkan fasilitas publik.
Anak-anak yang satu grup dengan penulis cukup percaya
diri untuk mencoba mengoperasikan tombol lift, dan penulis memberi pujian “kamu
cukup pintar ya, tidak sia-sia satu grup dengan Mr. Joe” dan yang lain tentu
saja tertawa dan juga jadi termotivasi.
Ternyata Hotel Grand Pacifik bukan hotel kelas melati seperti yangh kami fikirkan sebelumnya. Karena begitu sampai di lantai 4 terlihat susunan kamar
hotel yang begitu rapi dan bersih, lantai hotel dilapisi dengan karpet, ruang cukup terang
dan juga sejuk oleh Air Conditioner. Kami terus masuk ke kamar 428, kamarnya
cukup luas. Juga ada TV set dengan 4
tempat tidur bersih. “Oh nyamannya..!”
Kami langsung bersosialisasi satu
sama lain. Teman kecil penulis yang bernama David membeli kartu Malaysia dan menukar kartu dengan kartu
phone Indonesia. Namun ia merasa gagal karena kurang mengerti dalam
mengoperasikannya. Lagi lagi phonecell tidak punya baterai
lagi dan setiap
orang ingin mencharge baterai HP, tetapi susah karena charge outlet listrik pada dinding butuh socket listrik kaki tiga. Penulis berfikir bagaimana
untuk mencari alat un tuk charger baterai.
Iseng-iseng penulis masuk ke kamar lain, ada siswa
yang bernama “Amru” (Amru Mufid dari SMPN 5 Batusangkar), cukup pendiam, ia sibuk
sendirian dengan HPnya, “oo…lagi main internet ya.., bagaimana kamu main
internet, kan mahal harga pulsa disini?’
“Tidak Mister, saya menggunakan wifi, tadi penulis
minta password yaitu “grand hotel pacifik” Kata
Amru Mufid.
“Ya…bantu…dong…!!!”
Akhirnya penulis juga bisa main facebook. Penulis bisa
mengupload 3 foto dan juga membalas SMS teman lewat facebook. Penulis mohon
maaf tidak bisa membalas SMS atau telepon langsung karena biaya roaming yang
sangat mahal antara “my maxis dengan telkomsel” soalnya begitu masuk Kuala
Lumpur kartu HP kita spontan berganti menjadi my maxis.
“Penulis
menerima SMS dari teman di Batusangkar dan penulis membalas SMS. Kemudia
penulis cek biaya kirim ya ampun satu SMS biayanya Rp. 4.600,. Penulis juga
pernah menerima telefon dari orang tua siswa peserta studi banding, ya ampun
biayanya Rp. 24.000. Jadi untuk biaya SMS sampai 400 %, mahal amat....biaya
roaming mahal- so jangan telefon aku...jangan SMS aku...nanti kita dua-duanya
rugi”.
Penulis ingat dengan David yang masih kesulitan
dalam mengoperasikan kartu baru Malaysianya. Penulis mengantarkannya ke kamar
Amru, seorang siswa yang pendiam, namun ternyata cerdas dalam otak atik HP.
Amru pun membantu David “Hei…akhirnya bisa, dan David pun senang, ia akhirnya
bisa membalas SMS semua- orang tuanya dan familinya, dengan harga standar.
Penulis pun nanti juga akan minta SMSnya untuk mengirim kabar ke sekolah penulis
“SMAN 3 Batusangkar” tentang tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa
selama penulis berada di Malaysia dan Singapura.
Malam
itu TV di
ruangan kamar hotel kami menyala “ohh…ada pertandingan sepak bola dalam Sea Game
Jakarta-Palembang”. Penulis sendiri langsung percaya diri bahwa TIMNAS (tim nasional bolakaki Indonesia) bakal menang karena penampilan pemainnya cukup gagah
dibanding pemain yang cukup bersahaja dari tim Malaysia. Apalagi komentar penonton
TIMNAS yang cukup emosional, meniru ucapan Bung Karno “Ganyang Malaysia”- padahal ungkapan ini tidak perlu dipakai lagi karena bisa mengeruhkan
suasana hubungan Indonesia dan Malaysia.
Penulis
menyaksikan
kalimat dari spanduk illegal supporter TIMNAS yang disorot oleh TV 2 Malaysia.
Dalam hati penulis yang menonton acara ini dari
kamar hotel di
Kuala Lumpur menjadi malu “wah supporter TIMNAS kita terlalu emosional dan kekanak-kanakan”. Namun
komentar dari komentator TV 2 Malaysia cukup bersahaja dan tersenyum ringan (Maaf bukan maksud merendahkan bangsa sendiri, namun demi perbaikan
karakter segelintir dari bangsa kita).
Dalam babak pertama tim sepakbola Malaysia dengan mudah menang 1-0. Aku menjadi enggan untuk mengikuti
kelanjutan acara Sea Games ini dan berfikir bahwa ini gerangan akibat supporter
TIMNAS kita yang cukup takabur alias sombong. “ya, doa orang sombong tidak
didengar oleh Allah, bisa membuat kalah meskipun pemain timnas kita sudah menjadi
pemain pilihan. Meskipun Indonesia memimpin perolehan medali, namun kalau tim
sepak bola gagal, ya cukup sia-sia. Apalagi sepak bola adalah olah raga yang
cukup bergengsi. Namun moga moga kita bisa koreksi diri
untuk kemajuan sepakbola kita.
Malam
pun tiba. Untuk
makan malam, buat pertama diantar oleh pihak travel biro dalam bentuk makanan
box. Kami segera turun melalui lift dan kami memperoleh empat box makanan dan
juga empat botol air mineral untuk anggota grup kami.
Kami
mengenal seisi kamar hotel, rupanya ada kopi, gula dan kream dalam kantong-kantong kecil dalam laci meja. Anak-anak dari grup penulis memanaskan air dan
membuatkan kopi panas buat penulis.
Kopinya masih panas, penulis menunda minum dan memutuskan untuk membals email lewat facebook. Mata terasa mengantuk dan kepala terasa
berat, namun penulis masih punya kopi, dan mubazir kalau tidak diminum.
Astaga, penulis menjadi sedikit susah tidur setelah
minum kopi setelah jam 10.00 malam, anak-anak bisa tertidur pulas
namun penulis tidak- gara-gara minum kopi mungkin. Penulis mengosongkan fikiran agar
bisa tidur.
Pada
waktu dini hari
penulis terbangun. Di luar terdengar hingar bingar
raungan musik. Mungkin
ada suara karaoke dari klub malam. Penulis berfikir kalau-kalau waktu subuh sudah masuk, “ooh… ternyata baru jam 2.00
dini hari”.
“wah mengapa aku tidur, lebih baik aku terus
menyelesaikan tulisan tentang perjalanan ini”, bisik penulis dalam hati.
Dibawah, dari balik jendela, terlihat jalan-jalan
Kuala Lumpur yang cukup sepi, tidak
ramai seperti di Jakarta. Antrian pada persimpangan jalan juga tidak begitu lama
seperti di Jakarta, jadi Kuala Lumpur terlihat biasa-biasa saja.
Hari pertama di Kuala Lumpur, penulis belum melakukan
shopping yang berarti, kecuali baru dalam bentuk membeli cenderamata yaitu satu
box miniatur “twin tower” sebagai ciri khas kota Kuala Lumpur yang harganya RM
30 (atau 30 x Rp. 2.900), atau hampir Rp. 90.000,- yang
penulis beli dari sebuah kedai di komplek Masjid Negara di Putra Jaya. Mungkin termasuk mahal untuk
ukuran cendera mata. “Ya…makanya penulis hati-hati untuk shopping di Malaysia”,
ini cenderamata dibeli cukup penting sebagai simbol bahwa kita sudah kembali
dari Malaysia.
Penulis juga membeli tabloid, berbahasa
Inggris “STAR,
the people’s paper” atau korannya masyarakat, yang harganya sangat murah hanya
hampir dua ringgit, sementara tabloid tersebut terdiri atas 72 halaman, ya
murah sekali. Hal lain yang terasa, karena perubahan situasi
adalah penulis
merasa sulit untuk buang air besar, dalam hati penulis berfikir
untuk membeli buah-buahan, kalau memesan buah-buahan atau juice lewat hotel
terasa sangat mahal.
Water melon RM 8 (Rp. 24.000)
Honey RM 8 (Rp. 24.000)
Papaya RM 8 (Rp. 24.000)
Malah harga juice jauh lebih mahal lagi, seperti
dalam daftar
Orange/Mango RM
10 (Rp. 30.000)
Juice nanas RM
12 (Rp. 36.000)
“Oh
ya.....harga di
hotel jadi mahal karena meliputi pajak 6%, dan 10% untuk harga …., ini tertulis
dalam daftar menu service, bagaimana harga diluar ya, lebih baik penulis beli
di open place nanti”.
Jam 4.00 pagi dini, bisa
jadi jam 5.00 pagi karena penulis lupa mengubah waktu WIB menjadi waktu Malaysia.
Ada suara
ringtone dari intercome, ya pihak hotel membangunkan kami, ya masih dini hari,
aku menjawab “good morning”, tapi masih pagi dan istirahat dulu sebentar.
Kesan penulis terhadap orang Kuala Lumpur, mereka
sangat ramah, tanpa bertanya, mereka sudah duluan berbicara. Kemaren
ketika di restoran, wanita pemilik restoran berkata bahwa juru masak
direstorannya adalah orang Indonesia. Saat berada di taman kota- lapangan terbuka- di Kuala
Lumpur, seorang wanita Malaysia keturunan India juga menawarkan diri
untuk memotret penulis, begitu juga dengan orang-orang yang penulis temui di hotel atau dalam box lift juga dengan mudah berbicara lebih duluan. Jadi
berada di Kuala Lumpur ya seperti berada di kampung halaman sendiri.
Penulis terbangun jam 2.00 dini hari, memutuskan tidak
tidur, ya buat apa tidur, sebab datang ke Kuala Lumpur adalah untuk studi
banding dan penulis merasa rugi kalau buang-buang waktu. Lebih baik
memanfaatkan waktu buat menulis, menulis apa yang dilihat dan apa yang
dirasakan selama berada di Malaysia dan Kuala Lumpur, bukankah menulis yang
terbaik sesuai dengan kondisi dan tempat kita berada. Apalagi kalau ditunda
untuk menulis, memori perjalanan saat tiba kembali di Batusangkar maka tentu
ada banyak hal penting tidak tercover oleh kapasitas memori kita, maka “jangan
menunda waktu dalam menulis”.
Menara Kembar di Kuala Lumpur
|
Lapangan terbuka di Ibu kota- Kuala Lumpur
|
D. Nilai University College dan Istana Sri Menanti
Hari kedua di Kuala Lumpur, penulis bangun lebih cepat
jam dua pagi, tidak buang-buang waktu untuk tidur, tetapi untuk menulis.
Penulis menulis dari jam 2 pagi sampai subuh, kemudian jam 5.00 waktu Kuala
Lumpur, habis shalat subuh, penulis membangunkan anka-anak juga mencari channel
berita yang menarik, tidak ada channel yang menarik.
Anak-anak juga bangun, shalat dan mengurus diri
sendiri. Oh…ternayta tidak begitu kami turun ke lantai bawah, orang-orang sudah
pada selesai sarapan, namun kami belum. Mereka sudah siap naik bis melanjutkan
perjalanan tour. Penulis menyempatkan diri untuk sarapan. Penulis mengambil
sedikit sarapan dan penulis butuh makan papaya, oh…juga orange juice. Orange
juice dan pepaya sangat bagus untuk kesehatan perut, membuat BAB jadi lancar.
David, salah seorang anak di kamar penulis masih
tertinggal, entah apa yang diurusnya, ya…kami naik lagi kelantai atas. Dia
sedang merapikan tempat tidur, namun dia harus segera turun, karena hanya dia
saja yang ditunggu. Penulis membantu mengambil roti dan selai, David butuh
waktu kalau menikmati sarapannya, maka ia membawa sarapannya ke mobil, karena
waktu buat berangkat melanjutkan tour sudah datang.
Masih ada sedikit waktu dalam bis sebelum berangkat,
penulis masih punya sedikit ide untuk menulis. Iwan, peserta dari MTsN Tanjugn
Barulak melihat penulis dalam menulis, ya…sambil bertukar pengalaman cara
menulis dan belajar bahasa.
Bis berangkat, pemandu kami bernama Azam. Ia berbicara
tenrang Kuala Lumpur yang terletak di Selangor, wilayahnya cukup kecil, umumnya
Malaysia memmpunyai 13 sultan, kecuali Sabah, Sarawak, Malaka dan Penang yaitu
hanya gubernur.
Nama “Kuala Lumpur...?” Kuala
yaitu sungai bertemu sungai, kalau muara, sungai bertemu laut. Di Malaysia ada beberapa kota menggunakan kata “Kuala”
seperti Kuala trengganu, Kuala Lumpur dan
mungkin ada yang lain.
Penulis
masih ingat dengan kota “Putra Jaya” yang sekarang merupakan kawasan baru yang dibuka pada tahun 1999 atas ide Mahatir Mahmud. Saat
itu kantor-kantor pemerintah dipindahkan
ke Putra Jaya. Dengan demikian kemacetan di Kuala Lumpur bisa diatasi. Jarak
Putra Jaya ke Kuala Lumpur hanya 25 km.
Pemandu
wisata kami berganti dan pemandu kami yang kedua ini terlihat lebih cerdas. Ia
berbicara tentang banyak hal seperti koin, nama kota, asal usul
kota. Contoh Selangor berasal dari kata “seekor langor”. Wah terlalu
banyak untuk dicatat dan untuk didengar dari pemandu yang kedua ini, namanya Azam.
Dekat Musem Minangkabau di Daerah Sri Menanti- Negeri
Sembilan
|
|
Di Nilai Universitas College
|
Azam
menambahkan tentang hal lain. Jalan tol, dalam bahasa Melayu “Lebuh Raya”, pusing
berarti berputar, tetapi pusing dalam bahasa Indonesia berarti
pening.
Pemandu wisata kami menceritakan bahwa dahulu
etnis Cina banyak yang kaya, namun sekarang etnis Cina ada yang kaya, tetapi
juga banyak yang miskin, sudah seperti etnis India dan etnis Melayu.
“dalam
buku paduan bahwa tanggal 18 November, rute kami adalah Kuala Kumpur dan
beberapa kunjungan. Setelah sarapan pagi rombongan melakukan kunjungan ke
tempat yang telah ditentukan seperti Nilai University sampai selesai, mengunuungi
Istana Sri Menanti sampai selesai, shalat Jum’at di masjid Tuanku Ja’far,
setelah itu langsung menuju Keduataan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Bukit
Bintang, makan malam dan kembali ke hotel dan istirahat”.
Kunjungan pertama di hari
kedua di bumi Malaysia adalah berkunjung ke “Nilai Colloege
Universiti”. Niilai adalah nama sebuah kota dekat Selangor. Jaraknya 70 km dari Kuala Lumpur.
Universitas college di Kota Nilai ini adalah
Universitas swasta, lokasinya berada di kawasan yang sepi. Penulis
berfikir bahwa pasti
universitas ini akan kekurangan mahasiswa. Apalagi mengingat jumlah
pepulasi Malaysia yang juga relatif kecil yaitu hanya 27 juta orang. Namun universitas swasta ini mampu membawa
lembaga ini menjadi universitas populer dan bertaraf internasional. Ia menjual program universitas ini ke luar negeri dan mengundang mahasiswa
asing untuk menjadi mahasiswanya. Universitas terasa sepi karena saat kedatangan kami
disana mungkin lagi liburan. Dan saat itu kami dipandu atau dilayani
oleh mahasiswa Nilai College university asal Kenya.
Promosi keluar negeri sangat penting, apalagi untuk
meyakinkan dan sekaligus untuk menarik mahasiswa untuk datang kesana. Sebagai
kawasan internasional, maka disana hanya dipakai bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar. Ini terjadi karena mahasiswa nya adalah multi bangsa dan
secara tidak langsung bahasa Inggris menjadsi bahasa penghubung. Kemudian rekruitmen atau penerimaan
mahasiwa juga menekankan penggunaan bahasa Inggris, wawancara dalam
penerimaan bahasa Inggris.
Penulis merasa, saat berada di lingkungan kampus Universitas
Nilai College ini biasa-biasa saja.
Mahasiswanya juga terkesan tidak begitu menonjol, ya biasa biasa saja. Yang
diterima sebagai mahasiswa di sana mungkin tingkat kecerdasan mahasiswa asing yang
juga biasa-biasa saja. Malah mahasiswa yang kuliah di Indonesia seperti di UI,
ITB, UNPAD dan lain-lain terkesan lebih cerdas. Penulis merasakan bahwa agar bisa diterima di
Universitas Indonesia di ITB atau di UNPAD terkesan lebih sulit dan ada persaingan,
malah lebih terasa bergengsi.
Di Universitas Nilai terasa biasa-biasa saja. Itu karena ia tidak menekankan persyaratan pada standar nilai UAN (Ujian Akhir
Nasional). Ia mengatakan bahwa nilai UAN (atau UN) hanya untuk sistem
pendidikan nasional di Indonesia. Jadi masuk Universitas
Nilai College itu mudah- kalau punya banyak uang ya...selesai urusan untuk jadi
mahasiswa di sana. Universitas Nilai College hanya menekankan pada nilai raport saja.
Persyaratan penerimaan mahasiswa di Universitas ini
begitu mudah, nilai rata-rata rapor paling rendah 7.00, bisa berkomunikasi
dalam bahasa Inggris. Sekali lagi, penulis berfikir bahwa itu
adalah universitas internasonal untuk level mahasiswa biasa-biasa saja, asal
bisa berbahasa Inggris, ada uang….ya langsung jebol”, namun persyaratan
beasiswa 100%, 50%. 25% tentu lebih ketat, misalnya nilai rata-rata 85 dan
TOEFL dengan skor yang lebih tinggi.
Kunjungan
kami di Nilai Universitas College disambut dalam ruangan kuliah umum oleh seorang
wanita muda,
berwajah Cina. Ia berkomunikasi dengan lincah dalam bahasa Melayu
bercampur aksen Indonesia. Sebagaimana ia mengatakan bahwa ia pernah beberapa
kali tinggal di Semarang.
Pada mulanya penulis berfikir kalau ia adalah seorang
dosen atau stake holder. Kemudian penulis tahu bahwa ia adalah tenaga khusus
dalam bidang promosi kampus untuk internasional. Untuk informasi lebih lanjut,
kami diberi buku panduan atau buku promosi dan juga kami diberi formulir
pendaftaran dan mengisinya. Setelah itu mengumpulkannya kembali. Penulis berfikir
bahwa formulir itu berguna sebagai angket untuk melihat gambaran kami terhadap
universitas tersebut.
Universitas Nilai College
memang luas kompleksnya dan terlihat rapi serta megah. Kompleknya dibangun
pada kawasan seluas 14 kali lapangan bola kaki, lokasinya jauh di luar ibu kota
negeri Selangor, 70 km dari Seremban.
Untuk
kerapian dan perawatan, Universitas ini merekrut banyak tenaga wanita mulai dari
sekuriti depan, penjaga kebun, dan untuk kebersihan. Kebanyakan yang direkrut adalah wanita keturunan India. Penulis berasumsi bahwa wanita dalam bekerja lebih tekun dan
lebih amanah dibanding laki-laki, tentu saja itu tergantung pada kualitas
wanitanya.
Sebelum mengakhiri kegiatan di kampus ini, kami diajak
berjalan melihat-lihat kampus namun ada komplain dari rombongan kami, “Wah kenapa pemandunya diam-diam saja”. Tidak ada cerita-cerita yang disampaikan oleh pendamping
yang bernama “Elvie” berwajah Cina dan usianya sekitar 20 tahun.
“Ya kami dipandu berkeliling oleh
pemandu yang kurang dalam komunikasi dan kecuali ia masih muda dan
berwajah cantik”.
Yang sedikit mengesankan bahwa kami pergi ke
bengkel perawatan pesawat. Di dalamnya ada satu pesawat kecil, ternyata rombongan
kami datang untuk berfoto-foto, dan penulis menghampiri salah satu staf. Ternyata ia adalah dosen
disana. Penulis bertanya jawab dengannya, ia menjelaskan bahwa
bengkel itu untuk latihan perawatan pesawat. Universitas tersebut merujuk
pada standar Eropa.
Tidak banyak yang kami lihat di Universitas Nilai ini kecuali
hanya sekedar melihat luasnya komplek dan bagusnya gedung, padahal yang perlu kami
lihat adalah suasana pendidikan dan ruangna belajar yang ada disana. Namun kami
tetap berterima kasih atas sambutan mereka yang cukup ramah.
Rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju Istana
Seri Menanti. Dalam fikiran penulis bahwa Seri Menanti itu apa (?). Ternyata
seri Menanti adalah nama daerah yang
pada mulanya nama dari seorang Raja Melayu.
Dalam perjalanan guide kami bercerita apa-apa saja
yang terlintas dalam fikirannya. Ia juga menjelaskan tentang populasi Kuala
Lumpur yang luasnya 430 km persegi, penduduk 1,6 juta jiwa dan mobil yang
beredar di jalan raya sebanyak 2 juta mobil.
Dikatakan saat kami melewati daerah Nilai bahwa disana
juga banyak dihuni oleh warga keturunan Minangkabau, orang-orang yang bekerja
di Kuala Lumpur juga banyak yang tinggal di luar ibukota (Kuala Lumpur) yang
jaraknya mungkin dua jam perjalanan, seperti di Kota Selangor, Ipoh, Pahang dan
Perak. Alasan mereka bekerja dan bola-balik ke Kuala Lumpur adalah alasan lebih
enak tinggal bersama orang tua, keluarga di kampung sendiri dan juga karena
biaya beli rumah yang cukup tinggi di Kuala Lumpur.
Di kawasan kota Nilai juga terdapat
perumahan atau perkampungan warga keturunan Eropa, berkulit putih. Kalau di
Indonesia, orang kulit putih disebut dengan bule,
tetapi orang Melayu (Malaysia) menyebut orang berkulit putih dengan “Mat Saleh”.
Asal kata “Mat
Saleh” adalah “Mad Sailor” atau “Pelaut yang Gila”, dahulu kala
dikatakan bahwa pelaut asal Eropa, mendarat di Melaka dan mereka memperkenalkan
diri sebagai “Mad Sailor” atau pelaut yang gila, kata Mad Sailor disesuaikan
dengan lidah orang Melayu menjadi “Mat saleh”. Namun sebutan ini juga
memberi kesan sebagai karakter yang baik yaitu “Mat Saleh juga dapat diterjemahkan
menjadi “Mak yang sholeh, atau Mak yang taat”.
Penulis melihat bahwa daerah Malaysia sudah sangat
maju, jalan-jalan tol menghubungkan antar state (propinsi) cukup panjang dan
lebar. Kedua sisi jalan diberi pagar, dan tentu saja sopir perlu membayar sesuai
dengan standar mobil dan jarak jalan yang ditempuh. Penerangan jalan sangat
memadai, kebutuhan listrik Malaysia menggunakan energi gas yang dikelola oleh
Petronas, ya semacam Pertamina untuk Indonesia.
Sekali
lagi, pemandu
kami juga menjelaskan asal kata “Selangor” yaitu “Seekor Langau” atau seekor
lalat. Tentu saja ia menjelaskan anecdote yang cukup lucu buat menghibur kami
semua. Terlihat bahwa untuk menjadi guide perlu memiliki wawasan luas,
komunikasi, anecdote dan juga rasa humoris yang tinggi. Dalam memandu kami
dalam bus, guide memajang peta Malaysia pada kaca depan bus. Jadi saat itu kami
hanya berada di negara bagian Selangor dan sekitarnya (negeri Sembilan,
Selangor dan juga Johor Baru).
Terkesan bahwa daerah
perkotaan dan
juga perbukitan seputar ibu
kota telah direkayasa, dan ditanam dengan pohon sawit, pohon akasia. Itulah
mengapa alam Malaysia terasa monoton. Burung-burung jarang terlihat, dan
setelah memasuki state Negeri Sembilan, yang warganya keturunan Minangkabau
suasana terasa seperti di Sumatera Barat, hutan yang masih asli, rumah penduduk
seperti penduduk Minang.
Setelah duduk dalam kendaraan agak lama, mungkin dua
atau tiga jam kami sampai pada persimpangan jalan. Di sana ada gerbang dengan ciri
Minangkabau. “Ohh…ternyata jalan menuju Istana Seri Menanti”. Penulis merasa mengantuk,
namun enggan untuk tidur karena merasa rugi untuk melewati suasana Minang di Negeri
Sembilan.
Di daerah ini memang ditemukan pohon-pohon kelapa
sebagai ciri khas yang banyak tumbuh di daerah panas. Disamping itu juga
ada daerah pertanian sawah, pematang sawah terlihat bersih dan rapi.
Mobil kami memasuki komplek istana Sri Menanti. Kami
turun dan merasa terpesona melihat museum Sri Menanti. Namun museum ini tidak
bercorak rumah Minang, namun lebih bercorak rumah adat Melayu Riau. Museum ini dicat hitam dan
di depannya terdapat replika (duplikat) batu basurek dan juga batu kasur seperti yang
terdapat di kota Batusangkar. Halaman yang luas terhampar di depan komplek istana dan
museum ini.
Kami disambut oleh ketua pengurus Istana Sri Menanti. Kami
diberitahu tentang sejarah hubungan negeri Sembilan dengan Minangkabau. Terasa
bahwa sistem raja masih dipelihara di Negeri Sembilan, malah kerajaan menguasai militer dan
juga agama, sementara di Batusangkar, kerajaan Pagaruyung hanya tinggal nama
saja lagi, rajanya sendiri entah dimana lagi.
Pihak Istana Sri Menanti, mengizinkan kami untuk
berfoto-foto, kecuali di dalam museum tidak boleh, kami kemudian diizinkan
untuk memasuki gedung tempat penobatan raja, istananya megah dengan hamparan
karpet persia dan kursi-kursi untuk tamu. Pada beberapa dinding terdapat potret
keluarga raja. Penulis dan juga beberapa peserta studi banding memotret momen
dalam istana, kita tidak boleh memasuki lantai yang dekat kursi tahta raja, disana
terdapat tali pembatas.
Kami dijanjikan untuk makan siang di sana setelah shalat jumat,
usai dari ruang ini kami disuguhi tas kertas, ya tas promosi wisata Negeri
Sembilan dengan gambar cantik. Di dalamnya ada kue besar, seperti martabak ambon, sebotol
air, buku atau brochure wisata, kartu-kartu pos, gelas dengan tadah keramik,
terasa kami diberi pemanjaan. Tadinya perut terasa lapar dan
bisa jadi kenyang setelah melahap bika ambon.
Tiba-tiba hujan cukup lebat turun, walau hanya sesaat, namun
kami batal untuk shalat jumat dan kami ganti dengan sholat
Zohor yang dijamak dengan sholat Ashar, ya kamikan semua musafir di negeri
Jiran. Para wanita
pekerja dapur sudah menyuguhkan makan berjamba dalam ruang luas, namun terasa
sempit karena jumlah kami cukup ramai yaitu 140 orang.
Kami makan duduk dihamparan, yang datang dulu ya makan
dulu, yang datang belakangan cari tempat untuk duduk. Di
sana ada ciri
khas dalam makan, bahwa (begitu juga di restoran) yaitu menyuguhkan minuman sirup. Penulis fikir bahwa minum
sirup lebih sering berbahaya bagi kesehatan ginjal karena sirup punya zat
pewarna dan zat penyadap”.
Usai makan kami turun, masih sempat berfoto-foto,
dalam beberapa menit kemudian kami sampai di komplek masjid, penulis melihat
ada dua masjid, o…ternyata bangunan sebelah kiri yang mirip masjid adalah tempat makam (kuburan)
raja, di depan (dalam ruang berbentuk masjid) juga ada tiga calon tempat
kuburan buat raja-raja berikutnya kalau mangkat. Kami pun berlalu meninggalkan
kompleks kerajaan Sri Menanti dan perut terasa kenyang, karena penulis
menghabiskan kue bika (martabak) ambon yang berukuran jumbo ditambah pula
dengan makan siang di kompleks istana.
Penulis mencoba menikmati cita rasa masakan Melayu
Negeri Sembilan, gulainya terasa bumbu sereh (sarai).
Terasa agak
manis dan kurang pas dalam lidah Padang, sementara ada rendang bada, tetapi
terlalu asin, hanya satu yang cocok untuk lidah Padang penulis yaitu
“sambalado”.
Kami
kembali dan meninggalkan daerah Sri Menanti. Selanjutnya Kami menuju kota Kuala
Lumpur, hari mulai gelap dan penulis memejamkan mata, karena tidak merasa
penting lagi untuk melihat pemandangan, o…ternyata kami harus menuju kompleks
KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).
E. Prof. Rusdi di Attase Budaya KBRI Kuala Lumpur
Bis
pesiar berhenti dan kami bergegas masuk kompleks KBRI di Kuala Lumpur. Begitu memasuki gedung KBRI
kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto. Latar belakang yang dipilih adalah
merek KBRI Kuala Lumpur yang sebagai bukti bahwa kami memang benar-benar berada
di KBRI Kuala Lumpur, rencananya kami juga akan diundang makan di KBRI.
Kami semua duduk dalam aula KBRI dan menunggu
kedatangan pejabat KBRI. “Subhanallah…dada
penulis berdesir
bahwa ternyata yang tampil itu adalah Prof. Rusdi, sebagai attase budaya Kuala
Lumpur, Pak Rusdi adalah teman sekelas penulis saat kuliah di IKIP Padang (kini
berganti nama jadi UNP Padang) dari tahun 1984 hingga 1988.
Bapak Rusdi langsung disambut oleh Kepala Dinas
Pendidikan Tanah Datar, penulis juga bergegas kedepan untuk menyalaminya, Bapak
Rusdi menyapa nama penulis “Hello, Johan…”
Ternyata ingat sekali dengan pribadi penulis.
Tentu saja masih ingat karena kami penya pengalaman
emosional. Saat mahasiswa dulu, kami sering pergi bersama dan penulis
beberapa kali datang ke rumah kosnya di seberang kompleks Ring-Dam
tempat latihan militer di Air Tawar, Padang, membawa bahan makanan dan kami pun makan di rumah kos
Rusdi yang sangat sederhana. Rusdi dan penulis membakar ikan
dan membuat sambalado dan kami makan bareng-bareng. Kenangan inilah yang agaknya
selalu terkenang dalam memori Bapak Rusdi hingga sekarang, ya sebagaimana
ia paparkan dalam kata sambutannya.
Setelah itu kami berpisah sejak tahun 1989 dan kami
berjumpa lagi tahun 2006, ya penulis menjadi mahasiswa Bapak
Rusdi pada program pasca sarjana UNP Padang, dan Bapak Rusdi menjadi dosen pasca sarjana
dengan mata kuliah psikolinguistik dan sosiolinguistik.
Tamat dari kuliah strata satu pada jurusan pendidikan
Bahasa Inggris, Rusdi tidak memutuskan untuk menjadi guru, seperti yang penulis
lakukan menjadi guru. Ia mencari beasiswa melalui yayasan Bunda yang dikelola
oleh Gubernur saat itu (Gubernur Azwar Anas), ia melanjutkan pendidikan
pascasarjana (S.2) di Australia.
Selesai
pascasarjana ia kembali ke Indonesia menjadi dosen pada IKIP (UNP) Padang, beberapa saat
kemudian melanjutkan program Post Graduate di Curtin University, Australia Baratoard. Ia memperoleh Ph.D dan kembali menjadi dosen di UNP (tugas belajar).
Rusdi membawa keluarganya sambil kuliah di Australi,
malah dua orang anaknya lahir di Australia, komunikasi dengan kedua anaknya
memakai bahasa Inggris, Rusdi memperkenalkan banyak pengalaman buat
anak-anaknya.
Rusdi ternyata menjadi dosen juga pada program
pascasarjana dan program doktor di UNP. Penulis pernah menjadi mahasiswanya
tahun 2006-2007 di pascasarjana. Pada umumnya mahasiswa Rusdi merasa senang belajar
dengan Rusdi, karena ia mempunyai pribadi yang hangat, humoris dan selalu
memberi kemudahan dalam perkuliahan. Posisi sebagai pembimbing tesis sangat
menyenangkan, karena Rusdi memberi solusi, memberi kontribusi dan tidak membuat
mahasiswa stress.
Rusdi memiliki pribadi yang hangat, mudah
berkomunikasi dan juga bisa tegas, dengan bahasa yang santun, inilah yang
membuat Rusdi bisa meraih posisi demikian. Agaknya Rusdi, sebagai manusia, punya keinginan positif,
tentu saja ia pingin untuk menjadi rektor, wah…penulis berfikir bahwa agak
sulit untuk meraih posisi rektor, maka mungkin secara kebetulan ada posisi
untuk mengisi attase budaya di luar negeri.
Sebagaimana dijelaskan oleh Pak Rusdi, sesuai dengan
pertanyaan dengan Pak Rusdi saat acara temu ramah di Aula KBRI, bahwa secara
iseng-iseng ia ikut tes, mengisi formulir. Ia mengikuti beberapa kali seleksi
dan lulus, saat ada beberapa orang attase yang akan ditempatkan pada beberapa
perwakilan RI (KBRI) di luar negeri, agaknya diantara yang lulus tersebut
barangkali Pak Rusdi wajahnya paling Melayu, maka ia ditempatkan di Kuala
Lumpur.
KBRI adalah ibarat rumah sendiri bagi warga Indonesia
di luar negeri, jadi tidak layak kalau datang ke rantau orang untuk tidak
singgah ke rumah sendiri” seloroh Rusdi.
Dalam acara kunjungan pada KBRI Kuala Lumpur,
rombongan kami menyuguhkan kesenian dalam bentuk tari Minang. Grup tari mempertunjukan tari kreasi yang baru, dengan kostum cerah, gerak lincah dan para penari
juga menebarkan senyum ceria mereka. Penulis seolah-olah tidak percaya kalau
semua penari itu adalah anggota rombongan sendiri. Setelah itu juga ada
pembacaan puisi oleh Fitria, jago baca puisi tingkat propinsi yang juga ikut
lomba baca puisi tingkat nasional di Makasar, beberapa waktu yang lalu.
Akhirnya lagu Mars Tanah Datar untuk mengingatkan kita kembali pada keelokan
alam Tanah Datar.
Perut kami masih kenyang, karena sebelumnya disuguhi
makan siang dan makan martabak ambon dari istana Seri Menanti. Malam itu
kami juga disuguhi makan oleh KBRI dalam bentuk hidangan mie rebus,
pakai bakso, wah sangat enak….. Semua hidang rasa selera
Indonesia jadi ludes- terasa lesat.
Tiba-tiba
Pak Rusdi menyeret penulis. Kami bergerak menuju lift untuk menuju ruang
kantornya. Agaknya Rusdi berbagi kebahagiaan berdasarkan memori kami pada masa
remaja bahwa ternyata ia masih merasa bermimpi bisa berkantor di KBRI Kuala
Lumpur. Sepanjang jalan menuju kantornya Rusdi bercerita-cerita tentang masa
lalu. Penjaga pintu dan ajudan mempersilahkan penulis untuk mengikuti langkah
Pak Rusdi. Seperti mimpi saja perjalanan karir Pak Rusdi tersebut.
Prof. Rusdi dan Penulis di KBRI Kuala Lumpur
|
Penulis di KBRI Kuala Lumpur
|
Acara
kami di KBRI Kuala Lumpur pun berakhir dan bis pesiar kembali membawa kami ke
hotel. Lagi-lagi
dihotel kami disuguhi makan malam, agaknya peserta tidak begitu berselera untuk
makan malam, karena dari tadi siang perut sudah penuh. Penulis juga tidak menikmati makan malam
kecuali hanya mengambil beberapa potong pepaya di ruang makan itu karena
kebutuhan untuk mengkonsumsi buah-buahan segar dalam perut seperti pepaya,
pisang apel atau minum juice, sangat memberi rasa segar dan nyaman pada perut
sendiri. Penulis melihat ada satu atau dua orang peserta yang merasa kurang
nyaman pada perut mereka. Mereka seharusnya makan papaya atau
apel.
Pada malam kedua di Kuala Lumpur, penulis sudah bisa tidur lebih nyenyak karena tidak lagi membuat kopi,
memang minum koffee menjelang tidur bisa merusak kualitas tidur kita. Namun penulis masih bangun lebih cepat dan bisa menulis tentang beberapa
pengalaman selama di Kuala Lumpur.
F. Genting Highland
Hari ketiga dalam travelling, atau hari kedua di Kuala
Lumpur, kami punya acara untuk mengunjungi objek
wisata Genting
Highland. Namun kami juga harus check out dan berkemas untuk keluar hotel. Agar dari Genting Highland bisa ke Johor.
“Dalam
buku petunjuk bahwa rute kami pada tanggal 19 November adalah Kuala Lumpur-
Genting Highland dan Johor Baru. Perinciannya bahwa setelah sarapan rombongan
check out hotel langsung menuju Istana Negara, Menara Kembar (Twin Tower), Batu
Chave, Genting Highland dengan cable car, rombongan menuju puncak ke cloud city
sampai selesai. Sore hari rombongan melanjutkan perjalanan menuju Johor Baru,
makan malam dan check in di hotel buat istirahat”.
Kami berkemas dan berharap agar tidak ada yang
tertinggal, apalagi kalau-kalau sampai tertinggal atau hilang paspor ya akan bermasalah di imigrasi. Penulis sejak kemaren sudah kehabisan batterai pada
kamera dan phone cell, penulis menuju front desk untuk meminjam kaki tiga untuk
colokan charge HP dan kamera.
Lagi-lagi sarapan pagi tidak begitu cocok untuk lidah
penulis dan tentu saja bagi lidah anggota studi tour yang
lain. Penulis
hanya mengambil nasi goreng, pake sup dan yang paling penting juga ada buah,
penulis tidak melupakan kesempatan untuk minum juice jeruk, karena makan buah dan minum
juice sangat bagus untuk kesehatan perut. Lupa mengkonsumsi buah untuk beberapa
hari bisa membuat seseorang menjadi demam atau paling tidak terkena sariawan.
Mobil wisata kami cukup lama berdiri di depan Hotel Grand Pacifik
untuk memuat barang kami semua, akhirnya kami berangkat. Sebelum bergerak
menuju Genting Highland, kami melakukan tour kota dan sight seeing
atau lihat-lihat pemandangan.
Oh ya,..penulis masih teringat tentang pernyataan yang
dilontarkan oleh peserta tour tentang syarat menjadi attase atau bekerja di
KBRI, bahwa Sarjana Sosial seperti lulusan Ekonomi, Hukum, Politik, Komunikasi
dan Hubungan Internasional bisa mendaftar di Departemen Luar Negeri, dengan
syarat memiliki pribadi yang menarik, fasih berkomunikasi dalam bahasa Inggris
dan kalau boleh juga menguasai bahasa lain sebagai nilai plus. Informasi
tentang Deplu dapat diakses pada www.deplu.org .
Berpose dekat gerbang Intana Negara Kuala Lumpur
|
Kereta kabel di Genting
Highland
|
Ditambahkan bahwa studi banding merupakan ajang
memotivasi diri untuk menjadi lebih berkualitas, oh ya…persyaratan untuk
mendaftar di Departemen Luar Negeri adalah usia maksimal 28 tahun dan semua
applikasi dilakukan melalui internet. Tentu saja yang dibutuhkan adalah sarjana
yang punya banyak prestasi, salah satu usaha yang dilakukan oleh KBRI agar
orang asing mencintai Indonesia adalah melalui mengajar mereka seni
dan bahasa Indonesia dan nanti mereka akan terbiata mengatakan “selamat pagi”.
Rute pertama kami adalah mengunjungi istana Negara. Sepanjang
jalan terlihat pemukiman penduduk, mereka umumnya tinggal dalam apartemen, bagi
yang punya rumah tingkat satu terlihat mereka menggunakan antene parabol ukuran
kecil.
Dikatakan oleh pemandu kami bahwa istana negara dijaga
oleh 2 penjaga berkuda untuk raja, yang dipertuan Agung. Raja diganti sekali
dalam 5 tahun dan dipilih dari kerjaaan di negara bagian yang berjumlah 13
kerajaan, kecuali untuk Sabah, Sarawak, Penang dan Malaka yang tidak punya raja
kecuali gubernur. Istana negara juga menjadi destinasi wisata dalam kota karena
penulis melihat banyak turis dalam berbagai ras/ bangsa berfoto-foto. Untuk mencapai tempat ini kami melalui kawasan bukit Bintang
yang berlokasi dalam kota.
Dalam kota Kuala Lumpur kami masih bisa menjumpai
bangunan tua, Kubah bangunan tua mirip dengan bawang sementara bangunan lam
tidak. Daerah China Town dimonopoli oleh gedung-gedung tua, namun mereka tidak
boleh merenovasi sesuka hati, harus ada izin dari pemerintah.
Armada mobil kami (Bis Pesiar atau Bis Wisata)
berhenti di depan pabrik coklat “Berly’s chocolat kingdom” dan sekaligus sebagai
butik coklat (atau toko coklat). Satpam butik coklat ini dijaga oleh satpam
asal India, ia hanya bisa sedikit bahasa Inggris.
Sebagaiman
dikatakan oleh Azam, pemandu wisata kami, bahwa di Malaysia warga Melayu adalah warga kelas satu, ini
terlihat dari perlakuan pemerintah seperti memberi potongan sampai
20% buat mereka sementara buat keturunan Cina dan India, potongan hanya 10%,
penghargaan demikian membuat mereka punya harga diri, namun kedua suku bangsa
yang lain juga menuntut persamaan hak layanan.
Penulis berfikit “mengapa pabrik coklat ini bisa jadi
populer, padahal di kampung penulis juga tumbuh ribuan atau jutaan batang coklat,
seharusnya juga ada pabrik coklat yang hebat. Ya
Indonesia juga harus
pabrik coklat dengan cita rasa Indonesia dan populer di dunia, atau paling
kurang di Asia Tenggara. Kunci untuk ini adalah SDM....SDM
(Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, punya inovasi dan kreasi.
Pelayanan dari pihak butik coklat terhadap pengunjung,
apakah mau beli atau tidak memberikan kepuasan pada kami sebagai
pengunjung. Pelayanan dan setting pabrik ini telah membuat tempat ini menjadi destinasi wisata,
tentu saja ia melengkapi fasilitas layanan seperti ada pohon coklat tumbuh dua
batang di depan, ada patung sapi frisian, dan patung buah coklat. Juga pelayanan informasi cara
membuat coklat, nah..ini juga bisa ditiru oleh perusahaan industri rumah tangga
di Batusangkar/Tanah Datar, seperti “Kawa Daun, Pisang Selai, Keripik Balado…”
dan pelayanan pada pengunjung seperti menempelkan nomor atau tempel kertas
berisi ucapan “selamat datang dan terima kasih” bisa membuat pengunjung jadi
tersanjung.
Coklat yang tumbuh di daerah panas (tropis) namun
mengapa produksinya bisa dikuasai oleh orang Eropa (seperti Berly) ya pastilah
ia memiliki karakter inovasi dan kreativitas. Oleh
sebab itu kita perlu mengembangkan karakter positif: memiliki inovasi dan
kreativitas generasi kita, misal mengajak mereka mengunjungi pabrik seperti
ini.
“Sangat penting anak didik
kita berlomba memiliki jiwa (karakter) inovasi dan kreativitas, jadi tidak
berlomba sekedar membuat skor/nilai yang tinggi dengan harapan ingin menjadi
pegawai atau buruh”.
Sepanjang perjalanan menuju Genting Highland
penulis juga membaca banyak pesan buat publik, salah satu pesan buat warga
adalah “Love Kuala Lumpur”. Ini bisa kita sadur menjadi “Love Batusangkar,
Love your School, love your library”. Ini ditulis pada billboard untuk
menanamkan karakter cinta lingkungan.
Jalan-jalan antar kota, antar desa dan juga antar
provinsi (negara bagian/ state) sudah dihubungi dengan jalan tol. Kita
tidak melihat lagi rumah penduduk terpencar-pencar, kecuali sudah dalam bentuk
kumpulan apartemen.
Tidak ada orang yang parkir kendaraan dengan
bebas untuk istirahat- makan makan dan menebarkan sampah
seenaknya. Atau orang
yang menjajakan dagangan sepanjang jalan tol yang begitu banyak dan begitu
panjang. Sepanjang jalan penulis melihat banyak baliho iklan dan juga baliho
“rambu-rambu lalu lintas” yang memberi pesan yang penting bagi pengguna jalan.
Baliho tersebut tidak sekedar lambang, tetapi juga diikuti oleh maksud yang harus dipahami oleh pengguna jalan seperti: dilarang memarkirkan mobil, dilarang
membuang sampah, dilarang, memotong/mendahului mobil lain, truk berat harus
berjalan pada jalur kiri”. Pesan tersebut ditulis dalam bahasa
Melayu, bahasa Inggris dan bahasa lain, sehingga ada kesan bahwa pesan tersebut
adalah buat warga internasaional.
Di restoran
juga ada pesan atau peringatan “dilarang merokok
sembarangan (kecuali pada smooking corner), dilarang menjual
rokok pada anak
dibawah umur 18 tahun”. Sementara di kampung penulis warung dekat sekolah
menjual rokoh pada pelajar atau pak guru minta tolong beli rokok pada siswa. Moga-moga ini bisa ditertibkan.
Belum sampai di Genting
highland, kami berhenti di desa Genting Sempah untuk makan siang di sebuah resto atau mall resto. Mall resto terdiri dari beberapa warung yang menjual aneka food and
drink. Di sana ada dijual minuman dan
makanan cita rasa India, Arab dan Melayu. Umumnya rombongan kami harus
beradaptasi dengan cita rasa makanan yang sangat asing dengan lidah, Namun cukup
banyak makanan yang mubazir atau terbuang percuma (ini tidak boleh menurut
syariat Islam).
Resto dilengkapi dengan
Tandas (toilet) buat pria dan wanita, terpisah, yang sangat bersih untuk standar
internasional, begitu juga tersedia surau (mushalla/
praying room)
terpisah antara surau pria dan surau wanita. Dekat surau hanya ada fasilitas
untuk berwuduk sementara untuk toilet letaknya terpisah, mengapa fasilitas
surau, toilet dan resto berskala internasional, ya karena berlokasi menuju Genting Highland, sebuah tour destination maka kawasan menuju kesana juga berkualitas
standar internasional.
Hal yang sama untuk di
Batusangkar bahwa kalau Istano Basa Pagaruyung, Danau Singkarak atau Lembah Anai adalah sebagai tourist destination skala
internasional, maka jalan-jalan di sana (seperti jalan Sutan Alam Bagagarsyah
yang berasal di pasar Batusangkar sampai ke ujung di Nagari Saruaso) harus disulap menjadi jalan
internasional pula. Warung-warung dan fasilitas umum harus ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, dan karena Batusangkar adalah pusat budaya Melayu juga
harus menggunakan huruf Arab Melayu.
Akhirnya rombongan kami tiba
di Area Genting Highland, sebelumnya kam melewati wilayah lembah dan berbukit
dengan jalan tol yang panjang. Pintu tol banyak menggunakan tenaga perempuan, mungkin perempuan lebih
rajin (yang dipilih yang rajin). Pinggang bukit sepanjang jalan tidak dibiarkan
terjal tetapi dibuat miring dan diberi terrace/
sengkedan dan tempat peluncuran air untuk mencegah
longsor dan erosi. Hutan-hutan yang gundul segera ditanami pohon
yang mudah tumbuh seperti pohon
akasia.
Ternyata sampah Malaysia
dibuang di isolased area. Sebelum dihancurkan dipisahkan antara sampah organik
dan organik, ada kalanya sampah dibakar dan ditimbun. Tong
sampahnya cukup kokoh, bukan terbuat dari plastik atau dari materi yang cepat
hancur.
Ternyata kami tidak perlu
membeli karcis untuk naik kereta kabel karena pihak travel biro JAP (Jalur
Angkasa Prima) sudah membooking buat program kami. Kami
dibagi atas empat grup, sesuai dengan grup mobil. Kami naik escalator untuk menuju tempat antrian
cable car (kereta kabel). Kami ikt antrian cukup lama untuk
mencapai counter kereta kabel. Antriannya tidak dalam bentuk deretan lurus, tetapi
kami harus memasuki handrail (susunan) berliku-liku agar antrian tidak panjang
garisnya.
Dalam antrian kami tidak
hanya terlihat orang Melayu, namun juga etnik India, Cina, Arab, Iran dan
Eropa, penulis mendengar banyak orang berbicara dalam berbagai bahasa. Akhirnya kami sampai pada counter/ terminal kereta kabel. Masing-masing kereta kabel memuat enam orang yaitu tiga
dimuka dan tiga dibelakang, pintunya terbuka atau tertutup secara otomatis bila
ingin lepas dan saat mau berhenti.
Di objek
wisata Genting Highland terdapat komplek hotel, plaza dan juga sarana perjudian casino ala Las Vegas (Amerika Serikat) yang disediakan buat penggemar judi. Ini berlaku untuk wisatawan dan orang Malaysia yang beragama Islam dilarang untuk masuk.
Kereta kabel kami melintasi ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut dan panjangnya sekitar 13 km, dan
jarak tempuh 20 menit. Kami bisa melihat lembah dan puncak
puncak pepohonan terbentang di bawah. Jalan jalan yang ada dekat tiang tali
kereta bukan untuk diakses oleh umum, tetapi diakses untuk perawatan dan
keselamatan tiang. Menurut pemandu bahwa tiap bulan selama 4 hari kereta kabel
berhenti untuk beroperasi, karena butuh perawatan dan pemeriksaan kondisi demi
keselamatan operasionalnya. Saat kami meluncur tiba tiba angin kencang datang dan kereta
terhenti dan kami berayun-ayun di udara. Penumpang yang phobi ketinggian tentu akan menjerit
ketakutan.
Kami sampai pada ujung
stasiun kereta kabel. Kami melihat lokasi hotel memang tinggi, makanya genting
juga disebut “negeri diatas awan – country above the cloud”.
Akhirnya semua rombongan turun dari kereta kabel. Tentu saja rombongan kami
menggunakan 26 kereta kabel, karena jumlah kami 137 orang dan muatan per-kereta
adalah 6 orang. Sebagian
rombongan berpencar, namun kami diberi waktu untuk explorer selama dua jam.
Penulis tidak tertarik untuk melihat apa dan bagaimana itu kasino. Penulis dan teman (dalam rombongan kecil) hanya jalan berputar-utar untuk menelusuri kompleks
plaza dan hotel. Tentu saja harga makanan dan
minuman mahal dan juga banyak yang tidak halal. Untuk itu ada baiknya membawa makan sendiri, atau cari makanan yang kita yakini itu adalah halal.
Di sana terlihat berbagai
karakter orang. Ada yang tampak kesepian,
yang sedang lagi dilanda asmara, anak-anak, ada pengunjung yang
tertutup purdah (tertutup wajah), dan juga ada yang memakai pakaian sangat minim dan
seksi, wah…di Genting Highland tidak terasa suasana Melayu yang Islam.
Anak-anak yang sudah
terbiasa dengan suasana heterogen dan suasana internasional terlihat santai,
ceria dan menikmati suasana, sementara rombongan kami yang baru pertama kali
datang belajar untuk beradaptasi dalam mengenal situasi. “ada
yang cemas dan takut hilang dalam keramaian). Di sana ada banyak tulisan dalam aksara Melayu, China, English dan India.
Kesempatan untuk pergi ke Genting
Highland tentu saja amat langka, maka penulis sempat mengambil video dan
beberapa foto dengan HP. Rasa ingin tahu
bagaimana kereta kabel datang, pintunya terbuka dan tertutup secara otomatis
juga penulis abadikan lewat video dan sudah dapat ditonton lewat
youtube dengan alamat Youtube di: marjohanusman@gmail.com .Sebelum
kembali pulang, penulis mencari dimana lokasi toilet umum.
Akhirnya
kami kembali keterminal awal menggunakan kereta kabel lagi. Kali ini rasa takut kami tidak begitu besar atau malah sudah hilang karena kami
sudah mengenal dan mencoba berayun dalam rute datang tadi.
Selain datang dengan kereta
kabel, ternyata untuk datang ke lokasi hotel juga bisa menggunakan mobil
carteran melalui jalan berkeliling. Tentu saja tidak semua mobil boleh masuk, publik
menggunakan armada transpor yang juga dikelola oleh pihak perusahaan industri
wisata Genting Highland.
“Good bye
Genting Highland. Bis pesiar kami meluncur menuju Johor
Baru lagi, kami meninggalkan Genting Highland yang terletak dalam
kawasan Gunung Ulu Kali”.
Kami melaju turun. Mobil melaju menuju negara
bagian Johor Baru. Perut sudah terasa keroncongan dan mobil pesiar kami
berhenti di rumah makan Melayu “Wakomo” yang berada di daerah Muar. Makan di daerah ini
agak cocok dengan selera kami, namun masih terasa bumbu yang agak
manis (daging ayam dipotong agak besar, tapi banyak anak-anak tidak
menghabiskan makanan mereka). Air syrup menjadi ciri khas minuman pada banyak
restoran. Sebagai catatan bahwa mengkonsumsi sirup lebih
sering tidak bagus untuk kesehatan karena sirup punya zat pewarna dan penyedap.
Penulis berjalan untuk mengenal lokasi seputar trestoran. Rupanya ada penjaja buah yang sudah dipotong-potong dan
dibungkus dalam plastic. Penulis membeli guava (jambu biji), karena buah-buahan berguna
untuk kesegaran dan kesehatan perut. Salah seorang anak (rombongan
kami) dari sekolah satu atap di Kecamatan Lintau susah beradaptasi dengan
makanan yang ada dalam perjalanan. Ia cenderung tidak mengkonsumsi makanan dan
mengalami mual sepanjang jalan, praktis ia tidak merasakan indahnya pengalaman
studi banding internasional Malaysia dan Singapura. Adalah penting untuk bisa
beradaptasi dengan jenis makanan yang ada di internasional, selagi halal, untuk
menjadi warga internasional.
Semua orang naik bis pesiar. Mobil kami melaju lagi di atas jalan yang mulus. Kami dalam bus cukup lama mungkin sekitar dua atau tiga jam, kami melewati jalan yang
gelap gulita, “ya...lebih baik tidur saja).
Pemandu (Bapak Azam)
membangunkan kami “oke....cik abang....cik gu.., cik
adek....semua boleh buka mata”, katanya dalam bahasa Malaysia. Karena kami telah berada
dalam kota Johor Baru, kota terbesar keemapt di Malaysia. Kotanya tidak seramai
kota-kota di Indonesia, kami tidur malam itu dihotel Tropical Inn, menjelang
tidur dan mimpi indah kami shalat lagi, arah kiblat tertera pada loteng kamar.
G. Johor Baru dan Singapura
Kami berempat, penulis
sebagai guru pembimbing dan anak-anak (David, Raihan dan Syandi)
memperoleh kamar 2206, yang berarti kami harus naik lift mencapai lantai 22 di hotel
Tropical Inn. Sekarang kami sudah sangat mahir dalam menggunakan
lift hotel.
Tidur
nyenyak di hotel
|
Berpose di learning science centre Singapore
|
Pemandu kami menjelaskan
bahwa Johor berasal dari kata “Jauhar”. Ibukota Johor adalah Johor Baru, yang merupakan sebuah
kota besar. Negara Singapura terlihat jelas dari hotel kami karena jarak
Singapura dan Johor hanya satu kilometer saja, dihubungi oleh sebuah
jembatan panjang.
Ketika kami sampai di kota ini sudah
lewat tengah malam, Johor Baru masih terlihat ramai. Kami
harus tidur, walau tidak lama dan bangun untuk shalat subuh dan kami boleh tidur lagi
hingga pukul 9.00 pagi karena kami harus bertolak ke Singapura jam 10.00 pagi.
Dini hari itu kami diberi
kartu dan penulis minta kunci, dan dijawab bahwa “kartu itu adalah kunci untuk
hotel”. Wah penulis masih ketinggalan info tentang teknologi, ya…kartu
tersebut ternyata berfungsi untuk kunci pintu kamar yang harus diselipkan pada
kunci pintu. Kartu tersebut juga berguna untuk diselipkan untuk
menghidupkan lampu kamar. Salah seorang teman
penulis mencabut
kartu tersebut dari socket lampu dan ternyata lamu kamar jadi mati semua.
“Menurut jadwal perjalanan kami tanggal 20 November bahwa rute kami adalah
Johor Baru- Singapura- Malaka. Setelah sarapan pagi rombongan check out hotel
dan langsung masuk nergara Singapura setelah melewati pemeriksaan imigrasi,
rombongan mengikuti Singapore City Tour- mengunjungi The Merlion Park, Rafless,
Singapore Science Centre, melewati KBRI di Singapura, menaiki kereta api bawah
tanah, terakhir shopping di Mustafa Center, Orchad dan selanjutnya rombongan
melanjutkan perjalanan ke Melaka, ya bermalam dalam mobil saja”.
Pagi hari di Tropical Inn
hotel di Johor Baru, kami punya sedikit waktu untuk bersenang-senang. Penulis
melepaskan pandangan jauh ke Pulau Singapore melalui jendela kamar hotel dan sempat mengabil foto.
Pagi itu kami segera turun
untuk sarapan. Penulis agak ragu untuk masuk ke ruangan makan karena disana ada
satu grup pelajar-pelajar SD dari Singapura. Penulis berfikir apakah itu masih
jam sarapan buat grup anak-anak di Singapura, hingga salah seorang pemandu
menyuruh penulis segera untuk bergabung untuk sarapan.
Pelajar-pelajar Singapura
yang berlokasi dekat dengan Johor Baru, tentu mereka selalu pergi ke Johor Baru
untuk pergi rekreasi, sementara orang Singapura yang berlokasi dekat ke Batam
juga sering pergi ke Batam. Pastilah sebagai sebuah negara kota, semua warga
Singapura memiliki pasport buat ke Johor Baru atau ke Batam.
Rupanya kami tidak lama di
tropical inn, kami berkemas dan harus check out dari hotel. Semua koper dan bagasi lain
kami titip pada salah satu gudang di hotel tersebut, souvenir yang dibeli di
Kuala Lumpur juga dititip. Jadi hotel ini hanya sebagain tempat
transit dan menitip barang-barang...bagus juga ya manajemen biro perjalanan JAP
ini.
Kami diberi tahu bahwa kelak
bila sampai di Singapura, guide atau pemandu wisata juga berganti dengan guide warga
Singapura. Juga diinformasikan bahwa di imigrasi nanti dilarang mengambil foto, merekam,
karena nanti bisa dirampas oleh pihak Imigrasi. Imigrasi Malaysia-Singapura
berada dikawasan woodland.
Petugas imigrasi Malaysia
banyak berwajah India, mereka punya motto dalam melayani yaitu: Smile, Greet,
Look, Serve and Thanks” dalam memeriksa dokumen kami.
Selesai pemeriksaan di
imigrasi Malaysia kami harus melewati jembatan sepanjang satu kilometer untuk
mencapai imigrasi Singapura. Di samping jembatan penulis melihat tiga buah pipa besar
yang berfungsi sebagai saluran air untuk memenuhi kebutuhan air
minum negara Singapura. Jadi air minum
warga Singapura berasal dari Johor- Malaysia.
Memasuki wilayah Singapura,
pemandu kami memberi pengarahan tentang “some do’s dan some don’ts- atau beberapa anjuran dan larangan”. Kami bergegas menuju imigrasi. Di area imigrasi
tertulis peringatan “no drugs, no photos, no records dan no litter”, dilarang
membawa drug, dilarang mengambil foto, dilarang mengambil rekaman, dan dilarang
membuat sampah”.
Ternyata ada
antrian yang panjang. Petugas imigrasi Singapura suka mencurigai orang yang
dianggapnya mencurigakan. Tiga orang dari rombongan kami “Pak Erman, Pak Muslim
dan Pak Fuad” ditahan dulu untuk interogasi, mereka naik lift menuju ruang
petugas. Mereka menyerahkan paspor dan menunggu setengah jam dan dalam ruangan
ada delapan orang, mereka dengan sabar untuk “waiting call”, petugas bertanya
tentang apa dan mengapa pergi ke Singapura”.
Mereka duduk lagi dan
menunggu lagi hingga dipanggil untuk cek sidik jari. “ya…pokoknya cukup ribet
untuk dipanggil…duduk lagi dan dipanggil lagi…”. Juga
ada siswa yang ditahan karena fotonya pada passport sedikit berbeda dari
wajahnya. Namun ini juga termasuk pengalaman internasional- menghadapi
pemeriksaan dengan sabar dan tertib.
“Namun juga ada pengalaman internasional yang terpantau di pelintasan
imigrasi Singapura, bahwa anak-anak kecil dari Singapura melintasi pemeriksaan
dengan enjoy dan penuh percaya diri. Mereka mematuhi antrian...tidak rewel,
begitu tiba giliran ia menyerahkan passport dan menjawab pertanyaan seperti
orang dewasa. Luar biasa gentklemen nya, tentu berbeda dengan anak anak kami
...yang pertama kali melewati immigrasi, sedikit khawatir, dan waspada..pasti
mereka juga memperoleh pengalaman internasional dalam usia emas ini dan tidak
terlupakan sepanjang umur”.
Patung
Perlion di Singapura
|
Restoran di Singapura menganjurkan tidak mubazir
makanan
|
Lepas dari kantor imigrasi
Singapura kami dipandu oleh guide Singapura keturunan India. Ia sangat humoris
dan pintar, ia memiliki wawasan yang luas, ia menguasa bahsa
Malaysia/Indonesia, bahasa Inggris dan juga bahasa Tamil.
Dia mengatakan bahwa kalau
di Singapura jarak ditempuh dalam hitungan menit, kalau di Malaysia dan
Indonesia, jarak ditempuh dalam hitungan jam. Rute pertama kami tentu saja
menuju Restoran karena perut sudah mulai keroncongan.
Pemandu kami bernama
“Muhammad”, keturunan India Muslim. Ternyata rute pertama kami menuju “Sain
centre” yang kami capai dalam waktu 25 menit dari kantor imigrasi.
Dalam perjalanan Muhammad
berbicara banyak, membandingkan penduduk Indonesia 250 juta dengan penduduk
Singapura 5,1 juta orang, penduduk asli Singapura hanya 3,6 juta, yang lainnya adalah
pendatang, menikah dengan warga Singapura, ya akhirnya menjadi warga Singapura.
Dari total penduduk Singapura tersebut, 74% adalah etnik Cina. Dahulu penduduk
Singapura ini berasal dari warga Majapahit dan Sriwijaya, namun sekarang mayoritas etnik China. Namun
semua warga hidup damai berdampingan.
Singapura tidak punya sawah
dan ladang (sumber daya alam), maka semua orang harus peduli dengan pendidikan,
(kualitas pendidikan), pekerjaan sesuai dengan standar pendidikan.
Pemerintah menghargai semua “ras”
dan juga agama, juga peduli pada pendidikan. Kalau ada anak usia sekolah
yang tidak pergi ke sekolah, maka pemerintah akan pergi menemui orang tua sang
anak, kalau ternyata karena masalah ekonomi, maka petugas pendidikan memberi
bantuan dan membina mereka.
Tidak ada konflik agama disana. Semua
agama dihargai. Singapura tidak saja mengharapkan anak-anak jadi pintar,
tetapi juga menjadi sehat, maka anak-anak dianjurkan untuk tidak gemuk, oleh sebab itu pemerintah terus menambah pusat-pusat aktivitas fisik (olahraga), jadi
dimana ada tempat kegiatan belajar, juga ada tempat aktivitas gerak badan.
Di Singapura anak laki-laki
lulusan SLTA wajib untuk mengikuti wajib militer. Anak-anak kaya dan miskin
diperlakukan sama, mereka hidup membaur dan dilatih beberapa kegiatan fisik dan
melepaskan unsur-unsur kemewahan. Mereka dilatih mandiri dan juga mampu mengurus diri
sendiri, wajib militer lamanya dua tahun berguna untuk membuat warga
tidak cengeng.
“Sekali lagi bahwa tujuan wajib militer tentu saja untuk melatih mereka jadi
mandiri dan tidak cengeng. Wajib militer tidak ada buat anak perempuan, namun
kalau mereka ingin bergabung itu lebih baik”.
Di Singapura ada 181 TK, 187
SD, 141 SMP, 8 SMA dan ada 3 universitas popular. Sekolah internasional
Singapura tidak punya subsidi, guru-guru Singapura punya otoriter, tanpa campur
tangan dari pihak orang tua, tetapi tentu saja mereka harus bekerja sama untuk
memajukan pendidikan. “no negotiation” untuk disiplin, anak yang terlambat dicatat,
telat yang kedua dipanggil orang tua, ya pokoknya disiplin tak butuh ditawar
atau negosiasi.
Di Singapura, NO litter,
dilarang merokok, dilarang meludah, no free smooking area”, wilayah ini diawasi
polisi sebagian tak memakai pakaian seragam, kalau ada yang melanggar, maka
langsung didenda 500 dollar Singapura, kalau tidak ada uang denda ya bersedia
untuk ditahan dalam penjara, malah kalau ketahuan dalam negosiasi disiplin,
yang menyogok dan yang memberi sogok, dua-duanya kena denda. Denda yang besar juga bisa jadi income bagi nagara Singapura.
Lingkungan kota
Singapura cukup lestari, ada hutan kota dan Singapura memang kaya dengan
teknologi, namun miskin dengan sumber daya alam. Pohon-pohon yang ada di
Singapura ada yang asli, tumbuh di Singapura sejak dulu dan juga ada yang
diimpor.
Ukuran luas wilayah Singapura
adalah 42 km dari timur ke barat, 23 km dari utara ke selatan, ya wilayah
Singapura sangat aman. Undang-undang cukup keras, namun kualitasnya
juga tergantung orangnya dan setiap orang tentu punya karakter sendiri-sendiri.
Biaya hidup di Singapura
sangat mahal, harga barang akan menjadi 200% lebih mahal di Malaysia dan di
Singapura bisa menjadi 300% lebih mahal. Tidak semua orang punya mobil di Singapura, orang
Singapura tidak suka memaksakan diri untuk mencari gaya hidup- kalau ujung ujungnya bikin diri jadi melarat.
Tempat tinggal penduduk
adalah pada flat-flat, dan blok-blok flat menggunakan nomor yang terlihat dari
jalan raya. Ternyata juga terlihat warga Singapura menjemur kain lewat
jendela flat mereka. Jalan raya Singapura tidak terlihat ramai,
karena transportasi hanya dikuasai oleh pemerintah. Di jalan raya juga ada jalur sepeda motor
di pinggir jalan.
Selama di
Singapura rombongan kami melakukan “walk, see and learn atau berjalan, lihat
dan belajar. Sekolah di Singapura selama 6 hari, kami sempat melewati kawasan
Jurong, asal kata “jurang”.
Perilaku pekerja atau pegawai
di Singapura yang ideal adalah adalah “no smooking, no woman, no drink, and no
gambling”. Jadi mereka dilarang merokok, main perempuan, minum keras, dan
dilarang berjudi”.
Tanah di Singapura adalah
milik pemerintah, negara Singapura persis dilalui oleh khatulistiwa. Kalau begitu Singapura ini mudah kering maka pemerintah menjaga kelembaban taman melalui petugas taman yang sangat rajin. Di Singapura pajak dipungut 2 kali dalam satu tahun.
Rombongan kami memasuki
lokasi sain center atau pusat sain buat anak-anak. Tertulis science
learning centre. Di depan gedungnya ada taman air (water park) buat anak-anak kecil. Mereka bermain
bola dengn semprotan air, mereka terlihat
ceria. Orang tua mereka memperkenalkan mainan air, sementara di Suamtera kita
punya air yang berlimpah, anak-anak jarang atau dilarang main air, dengan
alasan nanti basah, atau masuk angin, “bukankah bermain membuat anak lebih
cerdas dan lebih creative” Yuk kita perkaya pengalaman anak-anak
kita.
Pemilik pusat learning
centre pintar sekali dalam mengundang publik untuk dating. Semua pengunjung membeli
tiket dan kemudian antrian, kami diberi selebaran untuk panduan tentang ada apa
dan mengapa di dalam ruangna learning centre.
Melihat antrian begitu panjang maka penulis berfikir bahwa dalamnya bakal ada
pertunjukan yang serba waaah. Setelah masuk ternyata biasa-biasa saja.
“Pusat
learning centre adalah museum belajar untuk anak-anak, untuk memahami dunia
matematika, biologi, kimia, fisika, geografi, astronomi, dan ada beberapa
ruangan untuk memahami tokoh para ahli. Dalam ruangan itu pengunjung bisa bereksperimen
tentang bagaimana bunyi terjadi, bagaimana terjadi gelombang, bagaimana terjadi
gempa, jadi sain learning centre Singapura itu adalah paduan dari labor sain
untuk bereksperimen dan sekaligus ruangan untuk melakukan
eksplorasi dengan model learning by trying atau learning by doing”.
Usai dari pusat sain
Singapura, kami terus ke restoran dan bis melaju lagi. Ternyata ruangan restoran
terlalu sempit untuk menampung jumlah kami yang
cukup banyak. Kami
pun antri untuk memesan makanan Indonesia. Sup jagung, sup sayur dan sepiring
nasi goreng. Toilet sangat bersih dan dilengkapi drier listrik untuk mengeringkan
air pada tangan. Kebutuhan listrik Singapura menggunakan energi gas. Pelayan di restoran ini semua keturunan Indonesia.
Untuk menggunakan MRT (mass
rapid transport) sejenis kereta api masal bawah tanah, kami dipandu oleh guide
agak tua, tapi lucu dan ramah, ternyata semua orang senang dengan suasana
humoris. Ia mengatakan bahwa pengguna MRT harus cpeat, agar tidak
ketinggalan, sebab kereta api hanya berhenti sebentar, kalau lalai ya...tertinggal dan setelah itu berangkat lagi dengan kecepatan 120 km per
jam untuk menghubungkan ujung-ujung sudut Singapura. Ternyata benar bahwa
Singapura lebih ramai dibawah tanah dari pada di atas tanah.
“Bila
tertinggal oleh MRT, ya jangan panik sebab akan mudah ditemui, apalagi wilayah
Singapura cukup kecil, kalau tertinggal di Sumatera sangat repot bisa terpisah
puluhan atau ratusan kilometer”.
Kami berjalan dan berhenti untuk mencari tempat sholat. Kami berhenti pada masjid Al
Falah (Al Falah mosque). Masjidnya bersih, tempat wudhu bersih, di pintu depan
terdapat rak panjang untuk informasi seputar Islami, agaknya buletin disana
gratis, penulis mengambil satu lembar.
Kami tidak begitu menikmati
jalan-jalan di Singapura karena kemudian hujan turun lebat, saat mengunjungi
patung Singa (merlion) hujan sudah mengguyur tubuh kami, karena kunjungan
sangat langka, maka penulis melawan takut basah dengan cara mengmbil foto-foto
yang cukup eksotik.
Menjelang pergi shopping bis melaju ke dekat taman merlion. Hujuan turun
mengguyur, kami tidak begitu menikmati liburan, namun karena berada di Taman
Merlion atau The Merlion Park, makanya kami merasa rugi kalau tidak mengambil
foto-foto. Patung Merlion adalah gabungan separoh singa dan badan ikan yang
dibangun pada pinggir sungai Singapura, tingginya sekitar 8 meter. Kecil Cuma dan
ada semburan air dari mulut patung Merlion. Jauh di belakang patung merlion
yang besar juga ada patung merlion yang kecil, hanya sedikit lebih tinggi dari
tubuh manusia.
Penulis dan juga pengunjung yang lain bergaya dengan latar belakang the
merlion. Ini bisa menjadi kenangan. Tanah air kita malah punya situs situs yang
jauh lebih menarik, nah tinggal lagi bagaimana kita bisa mengemas,
mempromosikan dan menghidupkan klegiatan di sana.
Kami kemudian dibawa ke
pusat belanja (shopping centre). Penulis melihat para imigran dan warga
keturunan india berkumpul disana untuk sekedar ngobrol dan melepas kangen pada
kampung halaman mereka, kami diberi waktu 2 jam untuk pergi shopping.
Penulis dalam kereta kabel di Genting Highlan
|
Penulis dalam kota Singapore
|
Penulis dan anak-anak
peserta studi banding berjalan bareng. Yang lain mengikuti langkah penulis
dari belakang, kami melintasi jalan berhujan dan bergabung ke dalam keramaian
warga India, kami pergi ke lantai 3. Di sana ada mall
untuk souvenir
atau cendera mata kami mencari asesoris Singapura dan juga mempelajari
harganya.
“Ohh…rupanya
penulis harus membeli 20 dollar Singapura yang harganya kira-kira Rp. 150 ribu,
asesoris harganya mahal, penulis mengatakan pada anak-anak bahwa kita mesti
beli asesori sebagai tanda dari Singapura, tetapi mesti memikirkan
penghematan dalam membeli, ya jangan asal beli mendingan kalau ada di
Indonesia, ya kita beli saja nanti di Dumai karena
harga jauh lebih murah”.
Usai berbelanja beberapa souvenir sebagai tanda telah berkunjung dari Singapura kami
kembali berkumpul dan naik bis. Kami bertolak kembali menuju wordland, daerah imigrasi terasa
lebih mudah keluar Singapura dari pada masuk ke Singapura. Kami kembali
mengikuti prosedur keluar imigrasi Singapura dan masuk imigrasi Malaysia dengan
mudah.
Mobil membawa kami kembali
ke “hotel tropical inn” untuk mengambil
barang-barang, karena kami harus menuju Malaka. Dalam perjalanan ke Johor Baru
kami masih sempat berhenti lagi di sebuah restoran untuk makan malam, Mata sudah lelah dan penulis tidak perlu
lagi melihat pemandangan wah, lebih baik tidur saja.
Berarti penulis dan juga
anggota rombongan tidak mandi untuk satu atau dua hari. Menjelang subuh kami berhenti
di daerah Plus (mungkin ini nama sebuah kampung) tempat beristirahat dan
sarapan. Kami shalat subuh disana dan terus sarapan, hidangan disana terasa
enak. Perjalanan berlanjut menuju Malaka.
H. Malaka
Penulis bertanya pada
pemandu “kenapa Melaka lebih popular dibanding daerah lain sepanjang
pesisir barat semenanjung Malaysia ?”. Katanya dahulu ada raja Melaka yang sangat populer di
kerajaan melayu, ya maka namanya menjadi populer saat itu.
“Menurut bahwa rute kami tanggal 22 November adalah Malaka- Dumai. Pagi
hari rombongan sampai di Malakas, sholat subuh, sarapan dan masndi. Setelah itu
langsung menuju pelabuhan laut Malaka, rombongan menyeberang selat Malaka
dengan Ferri ekspress untuk menuju pelabuhan Dumai. Di Dumai kami dijemput dan
melanjutkan perjalanan menuju Batusangkar”.
Kami hanya sekedar lewat saja di Malaka, tidak aktivitas keliling kota, ya
badan sudah terasa letih dan Malaka mungkin tidak memiliki banyak objek wisata,
kecuali taman- taman yang sudah dirancang dan dirawat dengan bersih, namun sepi
oleh pengunjung.
Gedung-gedung di Malaka
mirip dengan suasana gedung di Riau. Ada gedung modern dan juga gedung-gedung kuno. Kami
turun mobil dan kami farewel dengan tour travel selama di Malaysia. Tour leader
kami dari Sumatera Barat memandu kami untuk menuju pelabuhan.
Goh Hendry, Supervisor Pelabuhan Malaka
|
Di
dermaga pelabuhan Melaka
|
Kami mengumpulkan pasport
dan akhirnya kami memperoleh tiket Ferry Malaka-Dumai. Penulis mengenal daerah
sekitar dan menemukan bahwa penjaga toilet di Melaka adalah warga keturunan
China, dan ada warga sakit jiwa keturunan India. Terlihat bahwa warga Malaysia
sebagai warga kelas satu. Di sana tidak ada simbol One Malaysia.
Di pelabuhan penulis berkenalan dengan supervisor pelabuhan Goh Choon Keng
(Henry). Orangnhyas easy to say hello, orangnya sangat ramah. Dalam sekejap mata
kami sudah bersahabat dan saling berbagi cerita. Penulis juga menceritakan
tentang kampung sendiri. Hendry punya niat untuk berlibur ke Sumatra dan
berkunjung ke rumah tahun depan.
Penulis juga berkenalan dengan Alexander, seorang mahasiswa asal Rusia. Tampaknya ia sudah berhenti kuliah. Ia telah
berjalan dan meninggalkan rumahnya sejak tahun 2001. Prenulis tanya tentang
kampung dan orang tuanya. Ia menjawab ia benci ayahnya namun masih kontak
dengan ibunya lewat e-mail yang tinggal di kota Krasnovyark. Ia adalah anak
broken home atau juga senang menjelajah dengan uang dan bekal hidup apa adanya.
Ia ingin pergi ke pelabuhan Dumai dan dibantu oleh Henry (supervisor pelabuhan)
yang baik hati. Agaknya Hendry juga memberi dia beberapa ringgit dan Alex tidak
punya uang.
Penulis tanya tujuannya dan ia mau menuju Bali karena temannya dari Rusia
bakal datang tanggal 12 Desember. Alex akan ke Bali melalui cara yang murah
saja, ia tidak punya banyak uang untuk membeli tiket. Mungkin ia hanya naik truk
barang dari Pelabuhan Dumai menuju Pelabuhan ujung Sumatra. Pada bahunya
tertera tattoo “world”s largest biker bar’. Mungkin ini nama grupnya yaitu
keliling dunia lewat nebeng mobil saja. Sebelumnhya ia pernah singgah di
Thailand. Ia banyak berbagi cerita dengan penulis, penulis merasa simpati dan
sempat memberi dia sedikit uang buat beli makan di jalan “Kasihan itu anak
muda”. Alex mau ikut dengan penulis, namun sayang penulis tidak punya
kesempatan untuk mengajak dia untuk ke Batusangkar. Moga-moga ia selamat dalam perjalanan
dan bisa berjumpa dengan temannya di Pulau Bali.
Di pelabuhan Malaka ada
kapal “Malaysia Express, Indonesia Express dan Ferry Service”, penulis dan
penumpang lain naik kapal dan duduk dekat jendela dan bisa melihatkan
gelombang laut, kapal dan pulau-pulau kecil.
Goodbye Malaysia....penulis juga ingat dengan senandung lagu semalam di Malaya.
I. Kembali Ke Sumatra
Welcome back to Sumatera,
kapal merapat di pelabuhan laut Dumai jam 12.00, ya kami turun lagi, mengambil
barang dan melewati imigrasi Indonesia, terasa suasana bersahaja beda dengan
suaasana di Singapura, tentu saja.
Suasana terasa sangat
informal, kami keluar pelabuhan dan tidak beberapa lama kami dijemput oleh
armada bis menuju rumah makan Pak Datuk Bundo Kanduang di Dumai, disana kami
disambut oleh perantau Tanah Datar sebanyak 5000 kepala keluarga.
Di Indojolito....come back to Batusangkar
|
Di
pelabuhan laut, Dumai
|
Makan kami terasa enak lagi
selama dalam perjalanan Malaysia dan Singapura, umumnya tidak menghasilkan
makan kalau makan sementara makan di rumah makan Pak Datuk terasa sangat
nikmat, semua hidnagnan habis ludes, kami melakukan shalat jamaah qasar zuhur
dan ahar, sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Datar, kami juga sempat
singgah untuk membeli oleh-oleh di swalayan Ramayana, harganya beda, sangat
murah, dibandingkan dengan harga di Singapura dan Malaysia.
Lagi-lagi kami berhenti di
rumah makan di kota kecil, Kandis, sebelum masuk kota Pekanbaru, kami melaju
lagi, mencari posisi tidur pada bangku mobil yang keras, hingga subuh kami
sampai di Batusangkar diterima lagi oleh Bupati di gedung Indojelito, disana
ada sedikit acara mendengar kesan-kesan dari peserta studi banding
internasioinal Malaysia-Singapura, siswa, guru dan pegawai berprestasi Tanah
Datar, semoga kegiatan ini bermanfaat untuk membangun mental dan karakter kami
menjadi mental orang yang cerdas, taat dan berwawasan internasional.
BAB
IV. MENERAPKAN PENGALAMAN STUDI BANDING
A. Manfaat Studi Banding Bagi Siswa
Mengikuti
program studi banding internasional ke Malaysia dan Singapura tentu memberikan
manfaat yang besar bagi para siswa berprestasai dari Kabupaten Tanah Datar.
Program ini bisa memotivasi mereka, sekaligus
sangat bermanfaat untuk menambah wawasan mereka tentang budaya, etos belajar
dan etos kerja masyarakat Malaysia dan Singapura sebagai negara
tetangga yang sudah maju tersebut.
Peserta
studing ini mayoritas adalah siswa, mulai dari tingkat SD sampai SLTA-
jumlahnya 107 orang- , yang nota benenya adalah mereka yang masih berada dalam Golden
Age atau usia emas. Pengalaman positif yang mereka alami dalam usia ini akan
membekas sepanjang hidup mereka. Pengalaman dalam usia ini akan membentuk
karakter positif. Mereka bisa menghargai
waktu, senang bersosialisasi, suka mengambil inisiatif dan terbiasa
berkompetisi untuk maju.
Penulis
melihat bahwa para siswa peserta studi
banding adalah anak anak cerdas yang gampang untuk dimotivasi. Untuk itu adalah
tugas kita bersama (orang dewasa: guru dan orang tua) untuk meningkatkan tingkat
kualitas kecerdasan mereka. Kalau sudah cerdas mereka akan gampang untuk dimotivasi, malah
mereka juga akan mampu memotivasi diri
sendiri. “Betapa mudah memotivasi anak-anak pilihan buat berhasil dalam hidup”.
Guru
adalah pembimbing bagi siswa dan sekaligus sebagai orang tua mereka. Maka guru atau
pembimbing perlu meluangkan waktu untuk
bertukar pikiran agar mereka punya
pengalaman bertukar fikiran dengan orang dewasa.
Mengikuti
program studi banding ke hingga ke Malaysia dan Singapura - jauh dari rumah/ orang
tua akan memberikan efek positif bagi para siswa. Mereka akan belajar mengambil
inisiatif, dan beradaptasi dengan hal baru dan suasana baru. Mereka akan terbiasa
dengan budaya antri dan menghargai kesempatan yang diperoleh oleh orang lain.
Juga
mereka melihat banyak jenis karakter orang
dan ini membuat mereka akan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru. Mereka
akan mampu menggunakan uang secara effisien dan mampu bertransaksi secara
internasional. Jadi mereka akan menghargai nilai mata uang dan tidak akan asal beli saja. Selanjutnya mereka akan mengetahui
bermacam macam bentuk profesi, jadi tidak hanya tahu dengan profersi PNS saja,
tetapi juga ada “money changer, worker, flight attendant, pilot, driver, guide,
pelaut, pemandu wisata, manager...dll.
Mengunjungi
negara lain berarti berhubungan denghan passport dan dokumen lain. Pengalaman
ini akan membuat mereka menghargai
dokumen, seperti passsport, visa , KTP, SIM. Juga mereka akan mengerti apa itu
imigrasi, juga bagaiman tata cara bepergian dalam pesawat terbang dan
dalam kapal laut. Selanjutnya mereka akan mampu mengagumi keagungan Ilahi lewat
udara, laut dan darat.
Para
siswa juga punya pengalaman bagaimana
tinggal jauh dari orang tua, tinggal di hotel moderen bagaimana
mengoperasikan fasilitas hotel, hidup disiplin waktu, dan menikmati makanan
yang kadang kala berbeda dengan hidangan di rumah sendiri. Juga bagaimana mandi
pakai shower dengan air panas dan dingin, salah putar bisa membuat kulit terbakar oleh air panas, untuk itu harus
cerdas.
Akhir
kata siswa juga tahu bagaimana tinggal
bareng dengan orang berbeda karakter.
Kalau tidak terbiasa bersosialisasi ...wah bakal kesulitan dalam beradaptasi.
Perlu diketahui agar kita perlu memiliki
kelebihan (misal tahu dengan musik, tahu dengan komputer, banyak
wawasan) pasti kita bakal menjadi orang yang disenangi.
B.Manfaat Secara Umum
Mengikuti
studi banding ke negara yang lebih maju bisa
memberi inspirasi bagi negeri kita- bandara, jalan raya, fasilitas publik
menggunakan bahasa bahasa internasional untuk warga dunia dan peduli dengan makna bersih.
Kalau sudah begini maka orang akan betah
berada pada tempat (restoran, mushola, fasilitas umum) karena
bersih dan rapi.
Problem
bila kita berpergian jauh untuk waktu yang cukup lama (misal satu minggu) adalah seperti susah makan dan susah BAB (buang air
besar), ini terjadi karena kurang
mengkonsumsi buah- buahan yang bagus
untuk pencernaan seperti papaya, jeruk, pisang, apel (buah yang mudah
diperoleh). Banyak mengkonsumsi bumbu
dan daging membuat perut panas dan akhirnya demam. Maka ini perlu untuk
diperhatikan.
Bila
kita ingin menjadikan daerah kita sendiri sebagai daerah tujuan wisata internasional
maka kita perlu selalu memelihara karakter ramah tamah. Ramah tamah tidak harus milik
orang desa. Kemudian maka tiap kota perlu punya city map, buku paduan wisata yang praktis tapi lengkap untuk menjawab kebutuhan
wisatawan. Masyarakatnya- apalagi pelayan publik perlu memiliki pribadi yang
menyenangkan dan suka memberi kemudahan (memberi pelayanan) pada orang lain.
Seorang anak peserta studi banding berdoa dengan khusu’
|
Gerbang bercorak Minangkabau di Negeri Sembilan
|
Jalan
raya-jalan raya di negara tetangga yang sudah maju tersebut bisa memberi
inspirasi bagi negara kita. Jalan- jalan
yang penuh dengan pesan dalam berbagai bahasa untuk masyarakat internasional.
Kalau ingin membuat Sumatra Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar sebagai
daerah tujuan wisata buat orang manca negara atau buat warga dunia. Seharusnya
jalan rayanya tidak hanya penuh dengan rambu-rambu yang pakai lambang, kalau
boleh juga rambu rambu dengan kata-kata yang bisa dibaca dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris, “No parking except for emergency- dilarang berhenti kecuali
fdalam kjeadaan darura, bila butuh bantuan mekanik telpon ke nomor berikut....,
bila butuh bantuan polisi kontak nomor berikut.
Restoran
juga memajang peringatan dilarang merokok pada sembarang tempat. Juga
peringatan dilarang menjual tembakau atau rokok kepada yang berusia di bawah 18
tahun. Juga perlu menjaga kebersihan dan melengkapi kebutuhan tempat sholat dan
MCK yang selaku bersih.
Mengapa
orang barat memiliki karakter inovasi dan kreativitas yang tinggi karena mereka
suka melakukan eksplorasai, sementara itu kita terlalu suka mengurung diri
dalam kamar atau dalam rumah meskipun atas nama belajar. Agama saja menyuruh
kita untuk bertebaran di muka bumi. Kita perlu untuk “banyak berbagi
pengalaman, berbagi cerita, banyak mengunjungi tempat baru dan objek baru”.
Antrian
ala di Genting Highland, untuk menghindari antrian lurus yang panjang, diganti dengan
antri zigzag memakai handrail- pagar telusur ini berguna untuk mencegah kebosanan. Fasilitas umum, seperti
toilet, harus jelas tempatnya. Restoran kita perlu meniru restoran Singapura
yang menganjurakan pengunjungnya agar tidak mubazir- membuang makanan –
menyisakan makanan yang banyak.
Bio Data Penulis
Marjohan Usman, Guru SMA
Negeri 3 Batusangkar, Program Pelayanan Keunggulan Kabupaten Tanah Datar.
Sumatera Barat. Penulis freelance
Menulis pada koran Singgalang,
Serambi Pos, Haluan dan Sripo (Sriwijaya Post). Menulis buku dengan judul
“School Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah (Pustakan Insan Madani,
Yogyakarta)”
Dan “Generasi Masa Depan-
Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan (Bahtera Buku, Yogyakarta)”.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them