Penulis | : Lusia Kus Anna |
Editor | : Lusia Kus Anna |
Sumber | : The Huffingtonpost |
Kompas.com - Dalam hidup, kita memang sering mengalami penolakan. Teman di kantor tak mengajak kita makan siang, kakak atau adik lupa ulang tahun kita, pasangan menolak bercinta, dan tetangga tak mengundang kita di acara syukuran yang diadakannya.
Ternyata di zaman modern ini penolakan bukan hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga dunia maya. Kini kita punya Facebook, Twitter, LinkedIn, Path, Instagram, dan berbagai bentuk media sosial lainnya. Meski media sosial itu memberi warna baru pada hidup kita, tapi kita juga jadi lebih sering mengalami penolakan.
Seperti halnya di dunia nyata, penolakan ringan yang kita alami di media sosial seperti teman yang tak mau memberi "like" atau "me-retweet" postingan kita, bisa membuat kita kesal.
Salah satu bentuk penolakan yang paling sering terjadi di dunia maya adalah saat undangan kita untuk menjadi "teman" di LInkedIn atau Facebook diacuhkan, atau saat teman yang kita kenal baik tidak mau menjadi "follower" di Twitter. Hal-hal semacam itu bisa membuat kita sakit hati.
Lebih jauh, penolakan di media sosial juga bisa meninggalkan rasa sakit yang lebih dalam. Misalnya saja saat mantan kekasih mengubah statusnya menjadi "single" di Facebook. Hal tersebut bukan cuma menunjukkan ia secara resmi meminta berpisah, tetapi dengan melakukannya di depan publik, kita akan merasa dipermalukan. Tentu saja rasa sakit hatinya lebih dalam lagi.
Para remaja juga kerap kali di-bully di media sosial oleh teman-temannya yang menjelek-jelekkan dirinya. Bullying semacam ini bisa berdampak sangat menyakitkan pada remaja karena mereka cenderung masih melihat dunia secara hitam putih dan belum bisa menoleransi sakit emosional semacam ini.
Alasan utama mengapa sebuah penolakan bisa menyakitkan adalah karena area tertentu di otak diaktifkan seperti halnya saat kita mengalami sakit fisik.
Inilah mengapa kita kerap merasa kecewa dan sakit hati saat teman yang selalu kita beri tanda "like" di Facebook" atau Path, tidak membalasnya dengan perlakuan serupa.
Area otak yang aktif tersebut membuat kita merasa tidak berdaya dan sangat sensitif sehingga kita merasa seolah-olah menjadi pecundang. Sebenarnya ini bukan karena kita orang yang emosinya lemah, tetapi otak kita memang didesain seperti itu saat menerima penolakan.
Untuk mencegah timbulnya rasa sakit hati yang sebenarnya tidak perlu, mungkin kita perlu mulai melihat sesuatu secara lebih luas. Misalnya, saat undangan pertemanan kita di Facebook ditolak, jangan langsung sedih. Barangkali ia memang sudah lama tidak masuk ke akun-nya karena sedang sibuk.
Demikian pula halnya dengan Twitter. Dalam satu jam ada ribuan "kicauan" yang akan membanjiri lini masa. Karena itu jangan heran jika kicauan Anda langsung terdorong sehingga tak sempat dibaca teman.
Dengan kata lain, meski ada seribu alasan untuk merasa kita ditolak di media sosial, 99 persennya bukan disebabkan oleh hal yang personal. Mengira-ngira mengapa Anda ditolak bukan hanya membuat Anda sakit hati tapi juga membuat Anda menyimpulkan sesuatu yang salah tentang seseorang. Pada akhirnya hal ini justru membuat pertemanan di dunia nyata yang sudah terbangun malah rusak.
Hal penting yang perlu diingat mengenai interaksi di media sosial adalah mungkin kita tidak mengetahui semua informasi apa yang sedang terjadi pada teman kita tersebut. Jadi, daripada berburuk sangka, cobalah kirim email atau telepon langsung padanya untuk bertanya kabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them