Memperbaiki
Mutu Pelayanan Pendidikan Melalui Pendekatan
Happy Teaching and Happy Learning
Oleh:
Marjohan, M.Pd
(Guru
SMA Negeri 3 Batusangkar- Sumatera Barat)
Abstact:
Indonesia has been independet more than 70
years, together with several asian countries, such as: South Corea, Singapore,
Malaysia, etc. Anyhow those countries have grown up to be modern ones. The quality
of eduation is to be one factor to speed them up.
Indonesia experiences the stagnan in
education quality, several factors triggered it, one of them is feeling boring
at School. The writer suggested that the stake holders of education to adopt
the approach of teaching and lerning with “happy teaching and happy learning”
based.
Several prominet countries in education
quality, such as Australia, Singapore, Findland, etc, adopt this approach. Indonesia
and more schools inside should adopt this approach, too. Hope this approach
will be significantly upgrade our educational quality and walk to be better one
in global.
Pengantar
Negara kita, republik
Indonesia, telah merdeka lebih dari 70 tahun. Ada beberapa negara di Asia yang
usia kemerdekaanya hampir sama dengan negara kita yaitu seperti India,
Jordania, Korea Selatan, Kuwait, Lebanon, Malaysia dan Singapura. Negara-
negara tersebut berusaha selalu untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat mereka.
Kemajuan dan kesejahteraan tersebut dapat diperoleh melalui pelayanan dan
pemberian pendidikan yang berkualitas. Mereka yakin bahwa pendidikan adalah
sarana untuk bisa maju dan juga menjadi lebih sejahtera.
Setelah
merdeka lebih dari 70 tahun, ternyata peringkat mutu pendidikan negara- negara
yang baru merdeka tersebut terlihat saling berbeda. Poling dari Human Development Index atau Indeks
Pembangunan Manusia- IPM (http://hdr.undp.org/en/composite/HDI) memperlihatkan
peringkat SDM untuk negara- negara yang telah disebutkan tadi sebagai berikut:
- Indonesia peringkat 110
- Jordania peringkat 80
- Korea Selatan peringkat 17
- Kuwait peringkat 48
- Lebanon peringkat 67
- Malaysia peringkat 62
- Singapura peringkat 11.
Dasar
penghitungan IPM menurut standar UNDP (United
Nation Development Program) adalah berdasarkan kriteria:
“harapan hidup (umur panjang
dan hidup sehat), tingkat pengetahuan/ pendidikan dan standar hidup yang layak
(tingkat perekonomian masyarakat)”
Dalam laporan UNDP
(bisnis.tempo.co) bahwa dalam rentang waktu tiga tahun, 2012- 2014, menunjukan
bahwa peringkat IPM negara kita cenderung stagnan (etap jalan di tempat) pada
posisi peringkat 111 dari 188 negara di dunia. Sementara IPM global cenderung
naik dan ini memberi indikasi bahwa negara- negara di dunia selalu bergerak
menuju kesejahteraan. Stagnan dari peringkat IPM bagi negara kita pada level
rendah di dunia juga disebabkan oleh faktor kualitas pendidikan kita yang juga
stagnan. Diasumsikan bahwa ada beberapa faktor pemicunya.
Anis R. Baswedan, saat masih
menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyampaikan makalah di depan
para kepala dinas pendidikan yang berjudul “Gawat Darurat Pendidikan di
Indonesia”. Ia memaparkan tentang berita baik dan juga berita buruk dari
kondisi perkembangan negara ini.
Berita
baiknya adalah tentang jumlah institusi pendidikan dasar dan menengah yang terus
meningkat sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Jumlah anak- anak Indonesia
yang mendapat akses pendidikan dasar dan menengah juga meningkat. Hal- hal
tersebut meliputi angka partisipasi pendidikan dasar juga terus meningkat dan
pemberantasan buta huruf terus digalakan. Jumlah mahasiswa cenderung berlipat
ganda. Kemudian kinerja baik Indonesia sudah setara dengan negara- negara maju
di dunia. Dari 142 negara di dunia maka peringkat indonesia untuk kriteria-
kriteria tertentu adalah sebagai berikut:
-
Kapasitas berinovasi (menemukan hal-hal baru), peringkat 30, sudah setara
dengan Selandia Baru.
-
Tingkat produktivitas (kemampuan menghasilkan sesuatu, peringkat 28
setara dengan Irlandia.
-
Kecermatan konsumen (dalam hal memperoleh informasi suatu produk),
peringkat 51, lebih baik dari Rusia, Turki dan Brazil.
-
Favoritismen dalam mengambil keputusan, peringkat 36, setara dengan
Austria.
Ineffisien
belanja pemerintah, peringkat 34, setara dengan Taiwan dan lebih baik dari
Jerman, Inggris dan Israel.
- Beban
regulasi pemerintah, peringkat 36, setara degan negara Luxembourg.
Namun untuk berita yang
kurang menguntungkan atau bad news ada
beberapa indikator, sebagai paparan berikut:
- 75 % sekolah- sekolah di
Indonesia belum memenuhi standard layanan
minimun pendidikan.
- Rata rata uji kompetensi
guru (UKG) adalah dengan skor 44,5. Sementara
skor yang diharapan adalah 70.
- Indonesia termasuk 10
negara berkinerja terendah- menurut pemetaan oleh
Pearson tahun 2012
(thelearningcurve.pearson.curve). Dimana pemetaan
untuk trendi dalam studi matematika dan
sains internasional juga rendah,
yaitu peringkat 40 dari 42 negara. Kinerja
buruk Indonesia pada pemetaan
global terjadi karena fenomena suap menyuap,
pungutan liar dan kurang
transparansi dalam pemerintahan.
- Hanya 1 dari 1000 orang
Indonesia yang punya minat baca yang serius,
atau 0,001.
- Kekerasan fisik di dalam
lingkungan pendidikan menjadi berita yang sering
muncul. Juga kekerasan fisik yang dilakukan
oleh pelajar dan terhadap
pelajar yang terjadi di luar sekolah. Tidak
hanya fisik, tetapi juga kekerasan
seksual oleh pelajar dan terhadap pelajar di
luar sekolah. Kekerasan seksual
bahkan juga terjadi dalam lingkungan
persekolahan.
Masalah
Melakukan
perbandingan tentang kelebihan dan kekurangan suatu objek atau suatu topik bisa
menjadi cara yang mudah untuk mengungkap sebuah permasalahan. Jisoo Hyun,
seorang staff dari media online Real
Clear menemukan 4 perbedaan mendasar yang terjadi dalam praktek pembelajaran
di sekolah- sekolah. Ia membandingkan praktek pembelajaran di Amerika Serikan
dan Asia, yang juga bisa digeneralisasi buat Indonesia, yaitu tentang:
- Partisipasi kelas
- Hubungan antara guru dan
murid
- Sistem pemberian nilai
oleh guru
- Kecendrungan belajar pada
Bimbel (Bimbingan Belajar).
Tentang
partisipasi kelas, bahwa setiap anak di sekolah yang sudah maju pendidikannya,
seperti Amerika Serikat, didorong untuk aktif berpartisipasi dan berdiskusi
tentang materi pembelajaran bersama guru dan teman-temannya. Partisipasi dalam
diskusi merupakan unsur yang penting dalam sistem pendidikan di lembaga pendidikan
yang sudah maju.
Sementara di negara kita
proses pembelajaran lebih sering dimonopoli oleh model belajar “berceramah”. Tugas
guru adalah mentransfer informasi kepada siswa. Jadinya guru banyak berbicara
dan siswa banyak mencatat- malah mencatat sebanyak mungkin. Karena tidak
terbiasa dengan berdiskusi, maka saat diajukan pertanyaan, para siswa menjawab
dengan malu-malu, diliputi oleh rasa kurang percaya diri.
Jadinya suasana pembelajaran
terkesan dalam bentuk 4D (DDDD) yaitu singkatan dari “Datang Duduk Diam Dengar.
Pada akhirnya terbentuklah kebiasaan susah untuk nomong. Rasa malu membelenggu
mulut dan fikiran siswa.
Tentang hubungan guru dan
siswa, bahwa di negara yang pendidikannya lebih maju seperti Singapura,
Australia, dan Amerika, terlihat adanya hubungan yang lebih rileks dan
bersahabat. Para siswa bisa mengungkapkan fikiran atau ngobrol dengn bebas
degan guru- guru mereka. Guru- guru mereka juga menghargai opini atau pemikiran
siswa. Sebaliknya di sekolah- sekolah di negeri kita yang terlihat bahwa siswa
tidak banyak ngobrol dengan guru-guru mereka.
Umumnya siswa harus
memperlihatkan penghargaan yang berlebihan pada guru, harus mematuhi guru dan
tidak boleh memperlihatkan ungkapan “tidak suka/ tidak setuju” atas opini guru.
Akibatnya para siswa dijangkiti oleh perasaan cemas, takut bersalah dan takut
ditertawakan dan juga tidak siap untuk mengambil resiko.
Untuk sistem pemberian nilai
oleh guru, kalau di negara maju, menurut Rhenald Kasali (2016:118-119) guru-guru
di Amerika Serikat memberi nilai untuk memberi semangat dan memotivasi. Sejelek
apapun karya siswa tetap dikomentari dengan frase “very good atau very excellent”.
Sementara sistem pemberian nilai oleh guru dan dosen di negara kita adalah
untuk menghakimi. Pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk
hukuman untuk menjadikan anak anak Indonesia yang cerdas namun tidak percaya
diri. Jadi pemberian nilai di negara maju adalah untuk memberi semangat,
sementara bagi kita adalah untuk menghakimi.
Tentang fenomena membanjiri
tempat Bimbel. Seorang anggota famili penulis, Miftahul Khairi, mengikuti
program YES- Youth Exchange Student ke Amerika Serikat, mengatakan bahwa para
pelajar Amerika Serikat berbeda dengan fenomena pelajar Indonesia yang
cenderung sangat percaya pada eksistensi Bimbel. Di Amerika Serikat umumnya
pelajar sangat percaya dengan kualitas pembelajaran di sekolah reguler mereka,
sehingga tidak ada fenomena para pelajar yang menyerbu tempat bimbel, belajar
di sekolah saja itu sudah cukup.
Pulang dari sekolah mereka biasanya
mengikuti serangkaian kegiatan berolah raga atau kesenian, dalam bentuk ekskul
yang lebih serius. Mereka memilih renang, baseball,
berkuda, main biola, piano, ballet, dan lain-lain. Kegiatan ekskul yang
berkualitas mampu mengatarkan mereka menjadi atlit atau aktor berkelas nasional
atau internasional. Atau di luar sekolah mereka mengerjakan tugas sekolah atau
PR untuk memperoleh pemahaman atas materi pembelajaran. Kalau kesulitan mereka
akan mencari bantuan pada orang tua atau bimbingan tutor- guru mereka sendiri.
Coba bandingkan dengan
kegiatan pulang sekolah para siswa kita. Terutama para siswa dari sekolah
unggulan dan sekolah terkemuka di kota. Mereka ramai- ramai mendaftarkan diri
lagi pada bimbel yang mereka idolakan. Belajar pada bimbel adalah sekedar
mengulang-ulang materi pembelajaran, utamanya untuk mata pelajaran yang
termasuk pada Ujian Nasional. Tentor akan memandu mereka untuk melatih menjawab
soal-soal Ujian Nasional dan ujian akhir sekolah.
Lembaga bimbel memberikan
kursus intensive buat menjawab soal-soal ujian kapan perlu sampai jam 10 malam.
Sekali lagi ini telah menjadi fenomena. Lembaga bimbel merekrut dan menseleksi
para tentor yang memiliki pribadi yang hangat, ramah tamah dan mampu
berkomunikasi secara lembut, kemudian para tentor juga memperhatikan kualitas
penampilan mereka hingga pribadi memperoleh tempat di hati para siswa. Hasilnya
para siswa belajar lebih kerasan belajar.
Memang jadi fenomena,
umumnya siswa menganggap guru-guru yang di sekolah kurang kompeten dibandingkan
tentor bimbel mereka. Akibatnya mereka lebih fokus pada tentor bimbel dan
kadang- kadang kurang serius dengan guru- guru mereka di sekolah. Mengapa hal
ini bisa terjadi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia ?
Untuk menciptakan siswa yang
berkualitas, maka para guru Indonesia harus menguasai 4 kompetensi, yaitu
kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian. Bila para siswa
kurang mempercayai kualitas guru- guru mereka bisa jadi karena memiliki
kompetensi yang rendah- kurang memiliki metode mengajar yang menarik dan
menyenangkan, pemahaman bidang studi yang rendah, dan kualitas pribadi dan
sosial yang juga masih kurang.
Jeff Hays, dengan website project-nya yang bernama
FactandDetail.com menulis fakta dan detail khususnya tentang kehidupan sekolah
di Indonesia. Bahwa gaya pedagogi yang lazim di sekolah- sekolah negeri dan
swasta di Indonesia menitik beratkan pada metode hafalan dan menghormati
otoritas guru secara berlebihan. Tidak begitu lazim dalam proses pembelajaran
bagi guru untuk menerapkan metode berdiskusi. Teknik mengajar yang sering
dipakai adalah “berceramah”.
Selama pembelajaran guru
tidak pernah atau jarang mengidentifikasi masalah individu siswa dan guru juga
cenderung membuat jarak hubungan emosi dengan siswa. Para guru lebih terbiasa
memperlihatkan perilaku sabar, karena guru yang penyabar dipandang memiliki
pribadi yang mengagumkan.
Pembahasan
dan Solusi
Dari
uraian di atas mengenai fenomena praktek pembelajaran di sekolah seperti
bagaimana partisipasi kelas, hubungan antara guru dan murid, sistem pemberian
nilai oleh guru dan kecendrungan belajar pada Bimbel (Bimbingan Belajar) juga
tentang fakta dan detail kehidupan
sekolah- sekolah di Indonesia tentu telah menunjukan suasana kelas yang tidak
menarik (membosankan). Ini terjadi akibat rendahnya kompetensi pedagogi guru,
kurang mengaktifkan atau melibatkan siswa dalam pembelajaran. Juga proses
pembelajaran oleh guru yang tidak bervariasi, miskinnya media dan fasiltas
belajar, kemudian kompetensi profesional guru yang juga rendah, serta
kompetensi sosial dan personal yang kurang menarik.
Semuanya berdampak pada
hasil dan motivasi belajar siswa yang cenderung rendah. Ini telah menjadi
fenomena dalam dunia pendidika kita. Fenomena ini telah membuat kualitas
pendidikan Indonesia selalu stagnan di tingkat dunia.
Negara kita yang sangat luas
ini, yang ukurannya seluas benua Australia, seluas Benua Eropa, atau seluas
Amerika Serikat, memiliki puluhan ribu gedung-gedung sekolah. Data online dari
badan informasi bidang kesejahteraan rakyat (data.kemenkopmk.go.id)
memperlihatkan bahwa ada 144.567 gedung SD, 26.277 gedung SMP dan 10.239 gedung
SMA.
Dimana jumlah pelajar
Indonesia sebanyak 58 juta yang mana angka ini menyamai jumlah penduduk Inggris
Raya. Dari 58 juta siswa, 8 juta siswa SLTA dan 50 juta siswa SD dan SLTP
(antaranews.com). Maka dimanakah posisi peringkat kualitas pendidikan kapal
besar yang bernama Indonesia ini ?
Menurut versi OECD- Organization Economic Cooperation and
Development yang dapat kita baca dari portal pendidikan Indonesia
(edupost.id) bahwa posisi pendidikan Indonesia berada di peringkat ke 57 dunia
dari total 65 negara. Jadi posisi kualitas pendidikan kita menempati posisi
terbawah. Maka kini perlu kita cari solusi buat meningkatkan mutu pendidikan
ini.
Ada beberapa solusi yang
diasumsikan dapat memperbaiki mutu pendidikan kita seperti sekolah sekolah
perlu menerapkan “total excellen service-
pelayanan pedidikan prima”, konsep pembelajaran PAKEM- Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, atau konsep CBSA- Cara Belajar Siswa Aktif.
Konsep ini telah lama kita kenal namun pelaksanaannya tetap guru yang
memonopoli suasana pembelajaran, malah CBSA telah diplesetkan menjadi Catat
Buku Sampai Abis.
Good
neighbour makes good friend- tetangga yang baik membuat
persahabatan yang baik. Singapura, Australia dan negara- negara yang lain
adalah tetangga yang baik bagi Indonesia dan kita bisa belajar dari pengalaman
sukses mereka, termasuk dalam pengalaman mengelola pendidikan.
Australia merupakan negara
yang posisi pendidikannya termasuk terbaik di dunia, sama baiknya dengan
pendidikan Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Denmark, Polandia, Singapura,
Belanda dan beberapa negara maju lainnya. Berbagai lembaga pendidikan
berkompetisi dalam menciptakan terobosan untuk melayani pendidikan, salah
satunya dengan mengusung konsep “Friendly
kids- Friendly classrooms”. Konsep yang pro pada suasana “ramah tamah”
telah mampu menjaga kualitas pendidikan terbaik Australia (kidsmatter.edu.au).
Negara Findlandia menjadi
begitu populer karena memiliki kualitas pendidikan yang terbaik di dunia.
Lembaga- lembaga pendidikan di negara ini juga berlomba untuk mempromosikan
praktek pendidikan yang berkualitas, salah satu melalui konsep “Happy teaching- happy learning”. Suasana
emosi mengajar dan belajar yang selalu menyenangkan membuat kualitas pendidikan
Findlandia selalu berada pada posisi terbaik di dunia dan menjadi menjadi
rujukan bagi banyak lembaga pendidikan di dunia untuk menerapkan konsep-konsep
pelayanan pendidikan yang juga yang terbaik.
Kemudian Singapura, negara
yang sangat dekat dengan Indonesia dan ukuranya hanya sebesar pulau Batam namun
kualitas pendidikannya sangat bagus, juga bisa menjadi referensi yang terbaik
bagi negara kita untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga- lembaga
pendidikan di negara kecil ini juga berkompetisi dalam memajukan kualitas
pendidikan, konsep “happy atau
kegembiraan” juga menjadi fokus mereka. salah satunya dengan mengusung konsep “Happy teachers, Happy Children, Happy
Parents (www.dramkids.com.sg) ”. Guru-guru yang gembira, anank-anak yang
gembira dan orang tua yang gembira diyakini punya peranan dalam memajukan
kualitas pendidikan negara ini.
Suasana senang berada di sekolah
dan belajar bersama guru membuat rasa nyaman dan rasa betah siswa. Rasa betah
atau senang sangat signifikan untuk menumbuh kembang segala potensi yang
dimiliki oleh setiap anak. Kini sudah saatnya bagi kita- para guru, calon guru,
para orang tua- juga ikut berfikir dan berkontribusi dalam memajukan kualitas
pendidikan di negara kita ini. Mengusung konsep “happy teaching dan happy leaning” juga sangat cocok untuk diadopsi.
Konsep- konsep kegembiraan
dalam belajar yang diaplikasikan di negara Australia, Findlandia dan Singapura
sangat tepat buat ditiru. Yaitu dengan menggabungkan konsep- konsep “friendly kids, friendly classrooms- happy
teachinh happy learning,- dan happy teachers, happy children, happy parents”.
Konsep belajar dengan
suasana friendly kids friendly classrooms
dirancang untuk mengembangkan
keterampilan sosial anak didik. Konsep ini bermanfaat dalam menumbuhkan rasa
percaya diri mereka. Rasa percaya diri yang tinggi akan terbentuk kalau anak
merasakan adanya rasa “self acceptance-
rasa diterima oleh lingkungan, pengalaman sukses, dan rasa mau untuk mengambil
resiko- atau adanya rasa keberanian untuk tampil”.
Diyakini bahwa belajar akan
lebih efektif bila anak anak didik merasakan adanya suasana yang nyaman dan
menyenangkan dan melalui sistem belajar secara langsung- yaitu tidak
menggunakan metode berceramah dan menyampaikan teori yang sangat banyak oleh
guru. Metode belajar secara langsung adalah para siswa diberi kesempatan untuk
mempraktekan tentang apa yang telah mereka pelajari.
Ada 4 struktur untuk
menerapkan konsep friendly kids dan
friendly classroom, yaitu:
- whole class model, model ini paling baik digunakan untuk proses
pembelajaran dalam kelas yang luas: memperkenalkan konsep atau topik baru dan untuk
memfasilitasi diskusi kelas
-
small group approach, model ini lebih banyak digunakan dan
disukai oleh sekolah sekolah yang maju dan juga berguna membuat para siswa
lebih fokus atas suatu topik.
- kombinasi whole class model dengan small group approach, berguna untuk
memperkenalkan materi pembelajaran yang baru
dan kemudian dilakukan
penguatan dalam kelompok kecil.
- mix and match merupakan metode pembelajaran dalam bentuk game
(permainan), dimana siswa Siswa menjodohkan
potongan gambarnya
dengan
kepunyaan siswa lain.
Konsep
happy learning juga diterapkan oleh
sekolah- sekolah Findlandia. Sophia Faridi, seorang guru dari Baker College-
Chicago, mengatakan bahwa betapa pentingnya sekolah sekolah mengajar dengan
suasana menyenangkan. Dia melihat bahwa para guru dan siswa Findlandia tampak
begitu ceria di sekolah. Siswa menikmati
pengalaman belajar dan guru terlihat puas dengan aktivitas mengajarnya.
Ada
beberapa faktor yang membuat mereka (guru dan siswa) merasa senang dalam
belajar, yaitu:
-
Proses belajar banyak dilakukan dalam metode bermain.
-
Adanya rasa saling percaya di antara pemerintah, dinas pendidikan, kepala
sekolah, guru, siswa dan orang tua satu sama
lain.
-
Guru yang dipilih adalah guru yang terbaik. Rekruitmen guru dilakukan
begitu ketat, melalui saringan yang berlapis,
test tertulis, wawancara dan
menelusuri portofolio yang memperlihatkan
prestasi, serta integritas yang
tinggi. Memiliki motivasi, semangat dan
kompetensi pedagogi yang tinggi.
-
Sekolah di Findlandia sering mengajak para siswanya untuk bereksplorasi
ke luar sekolah dan ini punya manfaat
untukmembentuk kebugaran fisik
siswa.
-
Evaluasi belajar lebih berfokus pada metakognif (cara berfikir) siswa dalam
belajar dan juga bagaimana cara belajar
mereka.
-
Suasana belajar lebih mengutamakan bentuk kolaborasi dan sekolah
membentuk lingkungan yang mendukung
kolaborasi tersebut.
Pendidikan
Singapura mampu menempati peringkat kelompok terbaik di dunia. Ini dicapai
karena pendidikan di negara ini berfokus pada konsep pendidikan yang memberi
rasa nyaman. Ada lembaga pendidikan yang menggenjot kualitas pendidikan melalui
konsep happy teacher- happy children- dan
happy parents. Lembaga pendidikan tersebut juga memberikan program
pengayaan yang terbaik (www.dreamkids.org).
Guru-
guru selalu membantu siswa agar bisa tumbuh dan berkembang. Keterampilan
diberikan/ diajarkan melalui suasana yang menyenangkan dan cara- cara yang
inovative. Sekolah merangsang minat siswa dan juga mendorong mereka untuk bereksplorasi. Untuk mendukung
hal ini maka ada 3 hal yang menjadi prinsip pengajaran, yaitu:
-
Suasana belajar harus menyenangkan
- Lingkungan
sekolah harus toleran (menerima) bila siswa melakukan
kesalahan- kesalahan kecil (menjauhi
pendekatan menghukum, tetapi
mendorong siswa buat melakukan inovasi dan
kreativitas).
-
Proses pembelajaran musti menjadi sarana untuk menghidupkan semangat
dan minat belajar para siswa.
Desain
Ruang Kelas Berbasis Happy Teaching and Happy Learning
Untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang berbasis Happy Teaching
and Happy Learning tentu butuh dukungan dari desain ruang kelas, perubahan mindset guru dan pelaksaan pembelajaran
yang bisa memberi rasa senang. Ruang ruang kelas yang ada pada kebanyakan
sekolah di negeri kita bercorak susunan tradisionil, desain kelas yang tidak
menarik, cat dinding yang sudah memudar, bangku dan kursi dari kursi yang penuh
coretan. Siswa duduk berjejer dan guru tampil di depan dengan penuh otoriter.
Ruang kelas di sekolah yang
maju pendidikannya dirancang begitu menarik. Siswa duduk berkelompok, cat ruang
kelas begitu menarik, ada dekoasi dekorasi yang mampu meningatkan motivasi
instrinsik para siswa. Pada dindingan kelas terpajang peraturan kelas (class
rule), gambar- gambar dan kalimat kalimat motivasi. Untuk mengaplikasikan
pembelajaran yang berbasis happy teaching
dan happy learning maka kita perlu merujuk pada uraian di atas.
Bahwa kelas dengan konsep
yang bisa membuat siswa merasa nyaman mutlak memperhatikan dan menerapkan 4
struktur model atau pendekatan pembelajaran seperi:
- whole class model
-
small group approach
- kombinasi whole class model dengan small group approach
- mix and match
Namun tidak mutlak dengan
penggunaan 4 model di atas. Yang lebih menjadi fokus adalah pembelajaran yang
bisa mengaktifkan semua anak didik. Permainan juga bisa di terapkan, karena ada
konsep “learning by playing game”. Kemudian sekolah juga perlu merancang waktu
yang lebih banyak buat mengajak para siswa ke luar sekolah, melakukan
eksplorasi edukatif, ini bermanfaat untuk kebugaran fisik, dan memberi rasa
nyaman dan membangun kebersamaan.
Sebaik
apapun rencana pengembangan kualitas pendidikan namun kalau gurunya tidak punya
tempat di hati anak didik maka tetap saja pembelajaran terasa begitu
membosankan. Bobbi De Porter dan Mark Reardon (2002: 21)
dalam bukunya Quantum Teaching,
mengatakan bahwa bila seorang guru masuk kelas- mengajar- maka ciptakanlah
jembatan hati terlebih dahulu. Juga bahwa seorang siswa lebih tertarik dengan
guru yang baik dan bersahabat daripada guru yang cerdas/ pintar namun
berkarakter “pemarah dan kurang sabaran”. Tentu lebih menyenangkan kalau guru
mereka “ramah, baik, pintar, dan sangat menguasai profesi mereka”. Maka adalah
saat nya para guru bisa meningkatkan kecerdasan emosionalnya agar mereka dapat
menjadi guru ideal di hati siswa – siswi
nya, sehingga pada gilirannya tercipta suasana pembelajaran yg efektif, aktif,
kreatif dan menyenangkan tentunya.
Guru yang ideal tentu saja
guru yang bisa mendukung konsep “happy teaching dan happy learning”, dia musti
menjadi gru yang difavoritkan oleh anak didiknya. Seorang guru ideal akan menjadi spesial dalam pandangan
siswa karena beberapa alasan, seperti:
- He (she) takes students’ hand, dia membimbing tangan siswa.
-
He (she) opens students’ mind, dia membuka fikiran siswa.
-
He (she) touches students’ heart, dia menyentuh hati siswa.
Untuk membangun kondisi kelas yang sesuai dengan konsep “happy teaching and happy learning” tentu
manajemen kelasnya harus begitu kondusif
dan mantap. Ini sebenarnya
mudah diwujudkan-
yaitu kalau guru dapat
mengkondisikan kelas dengan baik. Sebaliknya akan sulit jika guru kurang peduli
dengan kondisi kelas. Oleh karena itu terciptanya kondisi kelas yang mantap dan
kondusif bagi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan merupakan langkah awal dalam peningkatan prestasi
belajar siswa.
Bibliografi
Anis
R. Baswedan (2014). Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Dalam acara silaturahmi Kementrian Pendidikan dengan
Kepala Dinas, tanggal 1 Desember 2014, di Jakarta).
Bobbi De Porter dan Mark Reardon.(2002). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa .
Jeffrey Hays. (2013). School Life and Schools in
Indonesia. Saga, Japan: Informal
School
(http://factsanddetails.com/indonesia/Education_Health_Energy_Tran)
Jisoo
Hyun (2014). 4
Big Differences in American and Asian Education Norms.
United States: Real Clear
Sophia
Faridi. (2014). Happy Teaching, Happy Learning: 13 Secrets to Findland’s
Success. Chicago: Baker College
(www.edweek.org).