Menjadi
Manusia Yang Hebat
Peradaban
zaman sekarang sudah sangat maju. Hal ini terjadi karena banyak warga dunia
yang telah mengakses ilmu pengetahuan dan juga karena melek tekhnologi-
utamanya tekhnologi informasi. Tekhnologi informasi sangat signifikan dalam membuat
terjadinya lompatan kualitas SDM bangsa-bangsa di dunia.
Kini
banyak orang berfikir bagaimana untuk selalu memajukan diri mereka, group dan
institusi. Pertumbuhan kualitas SDM telah bergerak dari level kecamatan,
kabupaten, propinsi hingga menjadi kualitas nasional. Dan setelah itu ada pula
gebrakan untuk bergerak menuju level dunia. Untuk lembaga perguruan tinggi kita
telah mendengar istilah world class
university- universitas kelas dunia, yang lain adalah world class school, world
class business, dll.
Melalui media massa
kita juga dapat melihat banyak perusahaan yang sudah sangat bergengsi.
Bergengsi karena sudah berada pada level perusahaan kelas dunia atau “world class company”. Contoh-contoh
perusahaan tersebut adalah seperti Boeing, Toyota, Exxon, Samsung, Toyota, IBM,
General Electric, Hotel Hilton, Carrefour, dll. Perusahaan – perusahaan yang berlevel
kelas dunia tersebut selama ini sering menjadi acuan dalam memahat best management practices.
Mengapa dan apa faktor
yang membuat perusahaan-perusaan tersebut bisa menjadi perusahaan yang hebat
atau world
class company ? Tentu saja karena perusahaan- perusahan ini juga memiliki
orang-orang hebat di dalamnya. Mereka selalu berbuat yang gebrakannya juga
dalam standard internasional. Dengan demikian perusahaan tersebut bisa menjadi world
class company.
Selanjutnya mengapa orang-orang
bisa menjadi “world class citizen-
atau orang hebat level internasional ? Jawabanya karena mereka memiliki kinerja
yang mereka kelola dengan sistematis dan efektif. Kinerja mereka penuh dengan
perencanaan yang matang. Sarat dengan perhitungan yang seksama. Untuk criteria
perusahaan kelas dunia ketika dilakukan pengukuran kinerja SDM. Fokus
pengukurannya adalah pada dua elemen kunci, yaitu elemen kinerja (performance results) dan elemen
perilaku/sikap kerja/budaya kerja.
Untuk kategori personal
maka Michael Faraday, Benjamin Franklin,
Richard Buckminster dan Karl Marx pada mulanya adalah orang- orang yang hanya
dikenal di lingkungan. Namun setelah mereka melakukan serangkaian proses
kreatif dan menemui sebuah penemuan tentang elektromagnetik (Michael Farady),
teori listrik (Benjamin Franklin), arsitektur (Richard Buckminster) dan
filsafat sosialis (Karl Marx) yang cukup bergengsi dan sangat signifikan untuk
peradaban maka mereka semua kemudian menjadi orang-orang yang hebat atau world
class people.
Begitu pula dengan Rabindranath Tagore (India), Herman Melville (Novelis
dari Amerika), Johann Wolfgang von Goethe (Penulis Jerman) dan William
Shakespeare (sastrawan Inggris) juga merupakan orang yang pada mulanya hanya dikenal
untuk lingkungan daerahnya. Namun melalui proses otodidak yang hebat atau
melalui home schooling telah mampu
berkarya sehingga mereka menjadi warga kelas dunia.
Sebetulnya seseorang
yang kualitasnya berkaliber nasional dan internasional, saat terlahir ke dunia
persis sama kondisinya dengan orang yang berkualitas biasa-biasa saja. Kenapa
kemudian mereka bisa berbeda ?. Salah satunya karena mereka berbeda dalam
memanfaatkan waktu.
Ya betul bahwa ketika
terlahir ke dunia, manusia datang tanpa membawa bekal apapun. Namun semua
manusia diberikan modal yang sama yaitu waktu. Allah Swt juga mengingatkan umat
manusia dalam hal waktu, Allah bersumpah dengan waktu, seperti yang dapat kita baca
pada al-Quran (surat 103:1-3):
“Demi masa (waktu).
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Jadi
seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya
untuk berbuat kebaikan dan juga senantiasa saling berbagi nasehat.
Secelaka-celakanya manusia adalah mereka yang menyia-nyiakan waktunya untuk
berbuat keburukan dan bagi yang suka berbuat keburukan dan pelanggaran di
dunia.
Ada apa dengan “waktu”?
Bahwa Bill Gate, Presiden Jokowi, Zainuddin MZ (alm), Najwa Shihab, seorang
Satpan hingga seorang tukang jual bubur sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam
1 hari. Dan kuantitas di dalam waktu ini tidak bisa ditawar dan tidak bisa
dilebihkan. Sehingga ada yang sukses sebagai enterpreneur, ada yang suksesnya
jadi presiden, dan ada yang menjadi motivator spiritual (Da’i kondang),
Presenter TV, hingga menjadi seorang Satpam dan tukang jual bubur. Mereka semua
sukses dan semua dibutuhkan. Lantas bagaimana dengan nasib para pengangguran
dan pengemis ?
Apakah waktu di dalam
hidup mereka (para pengangguran dan pengemis ) juga berbeda? Ya tentu saja
sama! Pengemis dan pengangguran juga hidup 24 jam dalam sehari dan semalam.
Tapi mengapa nasib mereka begitu berbeda ?.
Back to the original statement kitab suci Al-Quran yang mengupas tentang
waktu atau masa: Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa
memanfaatkan waktunya dengan baik untuk berbuat kebaikan. Manusia yang mampu
menjadi manusia kelas dunia tentu saja lebih mampu berbuat dengat sangat prima.
Orang orang Indonesia juga cukup banyak yang menjadi orang kelas dunia. Amin
Rais, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan banyak lagi, juga
Salim Said, Syafii Ma’arif dan Azyumardi Azra adalah juga orang Indonesia kelas
dunia.
Kita berharap akan
banyak bermunculan manusia kelas dunia. Agaknya kita bisa bercermin dari
perjalanan hidup orang-orang yang pada
mulanya biasa-biasa saja, mereka bergerak- melakukan proses yang hebab kita
bisa menjadi world class level people. Misalnya kita telusuri profil Salim
Said, Syafii Maarif dan Azyumadi Azra yang bergerak dari lingkungan lokal
hingga bisa menuju pentas dunia.
1) Salim Said
Dia lahir di Pare-pare, Sulawesi
Selatan. Salim Said bisa dibilang sebagai
kritikus perfilman di Indonesia, ketajamannya dalam mengulas film membuat
dirinya tidak disukai oleh para produser. Hingga akhirnya dengan keahliannya
tersebut, ia diangkat sebagai Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negri majalah
Tempo. Jabatannya yang juga pernah ia pegang adalah sebagai ketua dewan
kesenian Jakarta. Ia telah menerbitkan
beberapa buku seperti “Profil Dunia Film Indonesia, Pantulan Layar Perak, dan
Dari Festival ke Festival”.
Ia menempuh
pendidikannya pada SMA, ATNI (1964-1965), Fakultas Psikologi, Fakultas Sosial
& Politik UI Jakarta. Lulusan doktor ilmu politik di Ohio State University
(Amerika) ini semulanya dikenal sebagai wartawan dan penulis. Ketajaman penanya
dalam mengulas film (Indonesia) menyebabkan
dia kurang disukai para produser film. Hingga awal 1980-an ia menjadi Kepala
Urusan (desk) Film & Luar Negeri majalah Tempo. Tetap bergiat di bidang
film, meski ia juga dikenal sebagai pengamat politik dan militer. Anggota.
Dewan Film Nasional
selama 2 periode 1989-1995, disamping sebagai Ketua Bidang Luar Negeri Pantap
FFI (1988-1992). Pada 1990 dipilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan
terpilih lagi pada 1993. Sebelum itu menerbitkan pula buku kumpulan tulisan
Profil Dunia Film Indonesia (1989), Pantulan Layar Perak (The Shadow on the Silver Screen) dan Dari Festival ke Festival.
2) Ahmad Syafii Ma'arif
Dia lahir di
Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang seayah namun
tidak seibu. Sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal hingga ia
kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah. Tahun
1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus dan kemudian ia
melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat ia berusia 18
tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta. Di sana ia
ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin di kota itu. Namun keinginan
tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh. Malahan ia
direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.
Setelah ayahnya
meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli
1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah
biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok
memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus
Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia
ditugaskan sebagai guru.
Setelah setahun lamanya
mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957,
dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi
ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.
Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh
gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya
untuk tingkat doktoral
pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat
pada tahun 1968.Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk
melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum
diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.
Setelah kurang lebih
setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama
temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga
sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah
dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus
meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di
Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh
dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan
disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago
inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif
melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam,
Fazlur Rahman.
Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish
Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan
doktornya.Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad
Syafi'i Maarif, yang berjudul “Si Anak Kampung”. Novel ini telah difilmkan dan
meraih penghargaan pada America
International Film Festival (AIFF).
Setelah meninggalkan
posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas
Maarif Institute. Di samping itu, guru besar
IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam
sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan
dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan
pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain
berjudul : Dinamika Islam
dan Islam, Mengapa Tidak?,
kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang
diterbitkan oleh LP3ES,
1985. Atas
karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
3). Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera
Barat, 4 Maret 1955; umur 60 tahun adalah akademisi
Muslim asal Indonesia.Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006.
Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire,
sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan
Inggris. Dengan gelar ini, maka Azyumardi adalah orang pertama di
luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir
di depan namanya.
Azyumardi memulai
karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN
Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan
gelar Master of Art (MA)
pada Departemen
Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia
memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus
yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh
gelar MA pada 1989.
Pada 1992, ia memeroleh
gelar Master of Philosophy
(MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi
berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of
Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan
di Canberra
(Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda
(KITLV Press).
Kembali ke Jakarta,
pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia
Islamika, sebuah jurnal
Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast
Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford
University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony
College.
Azyumardi pernah pula
menjadi profesor tamu pada University of
Philippines, Philipina dan University Malaya,
Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection
Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir
oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Sejak Desember 2006
menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebelumnya
sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 Azyumardi Azra adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ia pernah menjadi
Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Fakultas Adab dan Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar
Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara
pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne,
Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International
Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009). Ia juga masih menjadi
salah satu anggota Teman Serikat Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan.
Azyumardi Azra dikenal
sebagai Profesor
yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam. Ketika menjadi Rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, ia melakukan terobosan besar terhadap institusi pendidikan
tersebut. Pada Mei 2002 IAIN tersebut berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Hal ini merupakan kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof.Dr.
Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang
berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran.
Menjadi manusia hebat-
manusia kelas dunia- tidak datang dengan mudah namun terbentuk melalui serangkaian proses yang sangat
panjang. Sebagaimana yang dilakoni oleh Salim Said, Azyumardi Azra dan Salim
Said sejak usia muda dia sudah gemar membaca, berorganisasi dan menuliskan
berbagai pemikirannya. Kemudian pengalaman jelajah yang luas, berinteraksi
dengan orang baru dan tempat baru juga menambah kekuatan pribadinya. Proses
menjadi warga dunia- world class people-
adalah juga melalui pendidikan yang berkualitas untuk master dan program
Doktornya. Kemudian sangat aktif menulis artikel dan buku berskala
internasional dan juga selalu berbagi pengetahuan dengan masyarakat ilmiah
internasional.