Bila Pengemis Dilarang Mengemis, Siapa Lagi Pembela Mereka
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Ada berita yang muncul pada Koran-koran di Sumatra Barat dalam bulan September 2009 ini bahwa pengemis di kota Padang dan Bukittinggi ditangkap oleh team yang dibentuk oleh pemerintah untuk menertipkan dan menjaga keindahan kota. Berita ini bagi kebanyakan orang dianggap biasa-biasa saja dan tidak begitu menarik dibandingkan dengan berita tentang perkawinan dan perceraian kaum selebriti atau berita hukum –kriminal dan politik lainnya. Pada gambar tersebut tersekspose anggota penegak ketertiban kota yang bertubuh gagah dengan seragam rapi menggiring pengemis dengan tubuh renta, agak buta dan berpakaian kumal sambil menangis ketakutan.
“Saya khawatir bila pemandangan ini diekspose oleh televise swasta dan dikupas dalam program yang penuh nuansa emosi, maka akan membuat pengemis yang dianggap sebagai manusia yang hina (sosok manusia yang sengsara) sebagai hiburan segar bagi anak-anak dan orang-orang yang nurani kasih sayangnya yang cendrung memudar. Sebab akhir-akhir ini, dengan semakin moderennya penampilan wajah suatu kota maka karakter warga yang individualis, hedonisme dan masa-bodoh terhadap kaum yang tak berpunya makin kentara”.
Dalam berita tersebut penyelesaian masalah pengemis yang dipandang sebagai perusak wajah kota cukup praktis dan sederhana; mereka ditangkap, digiring, dikirim ke pusat penampungan (Departemen Sosial), dibina dan dipulangkan ke tempat asal. Selanjutnya dipastikan bahwa tidak ada orang yang begitu tertarik membela mereka, karena tidak akan mendapatkan manfaat financial sedikitpun.
Yang membela mereka, para pengemis dan kaum dhuafa lainnya, adalah langsung Sang Khalik “Allah Azza Wa Jalla”. Seperti yang dapat kita baca dalam kitab suci Al-Quran Karim (surat 107:1-3): “tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Masih ada puluhan ayat-ayat lain yang menganjurkan kita, kaum muslim, untuk meringankan penderitaan saudara kita yang menjadi kaum pengemis- fakir miskin tersebut. Dan tidak ada ayat al Al-Quran yang berbunyi “tanggaplah pengemis, giringlah pengemis !”.
Apakah kehadiran pengemis betul-betul merusak keindahan kota sehingga membuat warga kota menjadi malu atas kehadiran mereka ? Mengapa di seputar ka’bah di Makkah juga ada pengemis dan tidak ditangkap, kecuali kalau mencuri.
Bisa jadi warga kota yang kaya raya, bertubuh gagah dan cantik namun tidak mengenal agama, suka minuman keras, berzina dan pencandu narkoba, dan berpakaian super seksi, lebih hina dalam pandangan Allah dari pada pengemis itu sendiri. Hal ini berdasarkan ajaran agama yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh mu, juga tidak pada rupa wajah mu, tetapi Allah melihat kepada kualitas hatimu”. Kaum dhuafa- kaum gelandangan dan pengemis- yang berhati rapuh akan mudah meneteskan air mata, sehingga do’a mereka bisa menggetarka Arasynya Allah Swt. Sekali lagi bahwa walau dipandang sebagai manusia hina, bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah Swt dibandingkan dengan warga kota yang cantik dan gagah namun tidak mengenal Sang Pencipta dirinya.
Maaf, artikel ini ditulis bukan berarti penulis kontra dengan kebijakan pemerintah dalam menertibkan pengemis. Namun khawatir kalau perlakuan kita yang menangkap, menggiring dan mengamankan pengemis tanpa mengatasi masalah kegetiran hidup mereka yang mendasar, namun kebijakan penertiban tanpa ada yang membela akan membuat mereka sangat tertindas. PKL (Pedagang Kaki Lima), Pekerja Seks Komersil, Penyalahguna Narkoba, Korban HIV saja ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mereka.
Fenomna yang termonitor dalam kehidupan bahwa para pengemis melakukan profesi mengemis ada yang secara spontan dalam rangka untuk bertahan hidup. Namun kadang kala ada oknum yang cerdas yang mengelola orang-orang sengsara ini untuk mengemis dan meraup keuntungan di atas derita dan perasaan hina orang. Nah mengapa tidak orang ini yang dibina atau diamankan terlebih dahulu ?
Memang kita akui bahwa jumlah bangsa kita, saudara kta, yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup banyak. Sebagian berusaha untuk bertahan hidup, survival, sepanjang hari tanpa mengemis tapi hanya dengan mengkonsumsi sesuap nasi dengan sayur daun singkong dan penganan lain yang miskin nilai gizi. Kemudian juga ada mereka, saudara kita, yang hidup susah sepanjang hayatnya namun malu untuk mengemis di negeri sendiri, kecuali kalau pergi ke daerah tetangga.
Untuk apa ? Ya untuk mengemis sebagai stategi untuk bertahan hidup. Sebab kalau tidak mengemis tidak ada orang yang peduli untuk mengguyurkan rezkinya, rezki titipan Allah SWT, sebab orang kita menganggap bahwa yang famili itu adalah orang yang berpangkat dan orang yang kaya, sementara famili yang hidup sengasara dianggap sebagai pengganggu ekonomi. “Kalau ada kaum famili yang miskin datang ke tempat pihak yang berada, maka kadang kala kantong mereka digeledah kalau ada barang mereka yang tercuri”.
Kalau pun ada bantuan raskin (beras untuk orang miskin) tentu saja tidak mencukupi kebutuhan hidup dan gizi mereka. Kemudian walaupun banyak kiay, ustad, buya (ulama) berseru dan berseru dari mimbar mesjid untuk membantu fakir miskin, namun tetap saja bantuan kaum yang hidup agak berkecukupan diselipkan dalam kaleng-kaleng atau kotak infak mesjid yang distribusinya entah tepat sasaran entah tidak, dan jumlah uang infak tidak pula mencukupi- karena kecendrungan kita agak kikir dalam berderma- kecuali kalau ada pengelola dengan manajemen terbuka dan professional.
Kebijakan pemerintah, organisasi Islam dan LSM untuk memperhatikan kaum fakir miskin dalam skala luas dan menyentuh akar kebutuhan sudah ada dan distribusi yang merata di seluruh persada nusantara sangat kita harapkan. Mengapa untuk menyantuni korban narkoba dan HIV, banyak orang, para artis, dan public figure lain berlomba-lomba untuk mengayomi dan membela mereka dan kegiatan amalnya terkesan dibesar-besarkan ? Ya karena mereka (korban Aids/HIV, narkoba) berasal dari orang yang agak terdidik untuk kognitif, berpenampilan cakep dan orang tua mereka mungkin punya duit. Sementara kegiatan untuk membela harkat dan martabat fakir miskin terkesan agak sepi, mungkin karena pengemis bertubuh dekil, kumal dan jorok. Kecuali bagi sekelompok saudara kita yang peduli akan kehidupan fakir dan miskin. Mereka punya kegiatan dengan mendirikan sekolah Dhuafa, dompet dhuafa, dan lain-lain. Terpujilah mereka, moga moga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat Nya selalu buat ,ereka.
Pendirian sekolah untuk kaum dhuafa, dompet dhuafa dan sekolah gratis bagi kaum dhuafa adalah aktifitas yang berpihak dalam membela fakir dan miskin. Kegiatan kegiatan ini sangat patut untuk dihargai dan direspon, apalagi bila pelaksanaanya cukup profesonal, transparan, akuntability dan menyeluruh dan meluas, sehingga bisa menyentuh banyak kaum dhuafa- fakir miskin, dan pengemis. Kiranya harapan dari saudara kita kaum fakir miskin untuk bisa punya anak anak cerdas dan berhasil seperti cerdasnya anak anak saudara mereka, orang- orang yang lapang rezkinya dan berkecukupan ekonominya. (Marjohan, M.Pd. Guru SMAN 3 Batusangkar
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Ada berita yang muncul pada Koran-koran di Sumatra Barat dalam bulan September 2009 ini bahwa pengemis di kota Padang dan Bukittinggi ditangkap oleh team yang dibentuk oleh pemerintah untuk menertipkan dan menjaga keindahan kota. Berita ini bagi kebanyakan orang dianggap biasa-biasa saja dan tidak begitu menarik dibandingkan dengan berita tentang perkawinan dan perceraian kaum selebriti atau berita hukum –kriminal dan politik lainnya. Pada gambar tersebut tersekspose anggota penegak ketertiban kota yang bertubuh gagah dengan seragam rapi menggiring pengemis dengan tubuh renta, agak buta dan berpakaian kumal sambil menangis ketakutan.
“Saya khawatir bila pemandangan ini diekspose oleh televise swasta dan dikupas dalam program yang penuh nuansa emosi, maka akan membuat pengemis yang dianggap sebagai manusia yang hina (sosok manusia yang sengsara) sebagai hiburan segar bagi anak-anak dan orang-orang yang nurani kasih sayangnya yang cendrung memudar. Sebab akhir-akhir ini, dengan semakin moderennya penampilan wajah suatu kota maka karakter warga yang individualis, hedonisme dan masa-bodoh terhadap kaum yang tak berpunya makin kentara”.
Dalam berita tersebut penyelesaian masalah pengemis yang dipandang sebagai perusak wajah kota cukup praktis dan sederhana; mereka ditangkap, digiring, dikirim ke pusat penampungan (Departemen Sosial), dibina dan dipulangkan ke tempat asal. Selanjutnya dipastikan bahwa tidak ada orang yang begitu tertarik membela mereka, karena tidak akan mendapatkan manfaat financial sedikitpun.
Yang membela mereka, para pengemis dan kaum dhuafa lainnya, adalah langsung Sang Khalik “Allah Azza Wa Jalla”. Seperti yang dapat kita baca dalam kitab suci Al-Quran Karim (surat 107:1-3): “tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Masih ada puluhan ayat-ayat lain yang menganjurkan kita, kaum muslim, untuk meringankan penderitaan saudara kita yang menjadi kaum pengemis- fakir miskin tersebut. Dan tidak ada ayat al Al-Quran yang berbunyi “tanggaplah pengemis, giringlah pengemis !”.
Apakah kehadiran pengemis betul-betul merusak keindahan kota sehingga membuat warga kota menjadi malu atas kehadiran mereka ? Mengapa di seputar ka’bah di Makkah juga ada pengemis dan tidak ditangkap, kecuali kalau mencuri.
Bisa jadi warga kota yang kaya raya, bertubuh gagah dan cantik namun tidak mengenal agama, suka minuman keras, berzina dan pencandu narkoba, dan berpakaian super seksi, lebih hina dalam pandangan Allah dari pada pengemis itu sendiri. Hal ini berdasarkan ajaran agama yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh mu, juga tidak pada rupa wajah mu, tetapi Allah melihat kepada kualitas hatimu”. Kaum dhuafa- kaum gelandangan dan pengemis- yang berhati rapuh akan mudah meneteskan air mata, sehingga do’a mereka bisa menggetarka Arasynya Allah Swt. Sekali lagi bahwa walau dipandang sebagai manusia hina, bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah Swt dibandingkan dengan warga kota yang cantik dan gagah namun tidak mengenal Sang Pencipta dirinya.
Maaf, artikel ini ditulis bukan berarti penulis kontra dengan kebijakan pemerintah dalam menertibkan pengemis. Namun khawatir kalau perlakuan kita yang menangkap, menggiring dan mengamankan pengemis tanpa mengatasi masalah kegetiran hidup mereka yang mendasar, namun kebijakan penertiban tanpa ada yang membela akan membuat mereka sangat tertindas. PKL (Pedagang Kaki Lima), Pekerja Seks Komersil, Penyalahguna Narkoba, Korban HIV saja ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mereka.
Fenomna yang termonitor dalam kehidupan bahwa para pengemis melakukan profesi mengemis ada yang secara spontan dalam rangka untuk bertahan hidup. Namun kadang kala ada oknum yang cerdas yang mengelola orang-orang sengsara ini untuk mengemis dan meraup keuntungan di atas derita dan perasaan hina orang. Nah mengapa tidak orang ini yang dibina atau diamankan terlebih dahulu ?
Memang kita akui bahwa jumlah bangsa kita, saudara kta, yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup banyak. Sebagian berusaha untuk bertahan hidup, survival, sepanjang hari tanpa mengemis tapi hanya dengan mengkonsumsi sesuap nasi dengan sayur daun singkong dan penganan lain yang miskin nilai gizi. Kemudian juga ada mereka, saudara kita, yang hidup susah sepanjang hayatnya namun malu untuk mengemis di negeri sendiri, kecuali kalau pergi ke daerah tetangga.
Untuk apa ? Ya untuk mengemis sebagai stategi untuk bertahan hidup. Sebab kalau tidak mengemis tidak ada orang yang peduli untuk mengguyurkan rezkinya, rezki titipan Allah SWT, sebab orang kita menganggap bahwa yang famili itu adalah orang yang berpangkat dan orang yang kaya, sementara famili yang hidup sengasara dianggap sebagai pengganggu ekonomi. “Kalau ada kaum famili yang miskin datang ke tempat pihak yang berada, maka kadang kala kantong mereka digeledah kalau ada barang mereka yang tercuri”.
Kalau pun ada bantuan raskin (beras untuk orang miskin) tentu saja tidak mencukupi kebutuhan hidup dan gizi mereka. Kemudian walaupun banyak kiay, ustad, buya (ulama) berseru dan berseru dari mimbar mesjid untuk membantu fakir miskin, namun tetap saja bantuan kaum yang hidup agak berkecukupan diselipkan dalam kaleng-kaleng atau kotak infak mesjid yang distribusinya entah tepat sasaran entah tidak, dan jumlah uang infak tidak pula mencukupi- karena kecendrungan kita agak kikir dalam berderma- kecuali kalau ada pengelola dengan manajemen terbuka dan professional.
Kebijakan pemerintah, organisasi Islam dan LSM untuk memperhatikan kaum fakir miskin dalam skala luas dan menyentuh akar kebutuhan sudah ada dan distribusi yang merata di seluruh persada nusantara sangat kita harapkan. Mengapa untuk menyantuni korban narkoba dan HIV, banyak orang, para artis, dan public figure lain berlomba-lomba untuk mengayomi dan membela mereka dan kegiatan amalnya terkesan dibesar-besarkan ? Ya karena mereka (korban Aids/HIV, narkoba) berasal dari orang yang agak terdidik untuk kognitif, berpenampilan cakep dan orang tua mereka mungkin punya duit. Sementara kegiatan untuk membela harkat dan martabat fakir miskin terkesan agak sepi, mungkin karena pengemis bertubuh dekil, kumal dan jorok. Kecuali bagi sekelompok saudara kita yang peduli akan kehidupan fakir dan miskin. Mereka punya kegiatan dengan mendirikan sekolah Dhuafa, dompet dhuafa, dan lain-lain. Terpujilah mereka, moga moga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat Nya selalu buat ,ereka.
Pendirian sekolah untuk kaum dhuafa, dompet dhuafa dan sekolah gratis bagi kaum dhuafa adalah aktifitas yang berpihak dalam membela fakir dan miskin. Kegiatan kegiatan ini sangat patut untuk dihargai dan direspon, apalagi bila pelaksanaanya cukup profesonal, transparan, akuntability dan menyeluruh dan meluas, sehingga bisa menyentuh banyak kaum dhuafa- fakir miskin, dan pengemis. Kiranya harapan dari saudara kita kaum fakir miskin untuk bisa punya anak anak cerdas dan berhasil seperti cerdasnya anak anak saudara mereka, orang- orang yang lapang rezkinya dan berkecukupan ekonominya. (Marjohan, M.Pd. Guru SMAN 3 Batusangkar