I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Rabu, 30 September 2009
Suasana Pendidikan Di Rumah Yang Hiruk Pikuk
Suasana Pendidikan Di Rumah Yang Hiruk Pikuk
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Program Parenting
Parenting adalah program yang dilaksanakan oleh lembaga sosial untuk mempersiapkan para pemuda dan pemudi untuk menjadi orang tua. Pesertanya adalah orang-orang yang berusia muda yang ikhlas mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua karena sudah punya niat/ rencana untuk menikah dan mendirikan rumah tangga yang bahagia. Kelak bila mereka melangsungkan pernikahan dan memilki anak-anak, diharapkan bisa membina rumah tangga yang bahagia.
Di negara-negara maju banyak organisasi sosial yang menyelenggarakan program parenting dan banyak calon-calon orang tua yang berpatisipasi dalamnya, sehingga mereka bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dan berkualitas. Namun di negara-negara yang Sumber Daya Manusia (SDM) belum begitu membanggakan, dan termasuk negara Indonesia, maka program parenting belum begitu popular. Kecuali program parenting swakarsa yang dilakukan oleh segelintir orang lewat otodidak atau belajar sendiri dengan membaca buku, majalah, kliping artikel dan mengikuti seminar. Untunglah ada program screening diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang wajib diikuti oleh sepasang pengantin sebelum menyelenggarakan ritual akad nikah dan pesta perkawinan.
Kegiatan skrining (screening) yang diberikan oleh petugas nikah, wali hakim, dari Kantor Urusan Agama (KUA) dapat dipandang sebagai kegitan parenting dalam bentuk crash program (program cepat) menjadi orang tua yang mengerti tentang peran orang tua. Tapi apakah hasil screening bisa tahan lama terhadap pasangan pengantin ? Screening yang diberikan oleh petugas nikah dari kantor KUA hanya bersifat formalitas. Hanya calon orang tua yang mantap ilmu dan amalnya yang mampu mengamalkan pesan-pesan dari kegiatan screening tadi. Sementara itu bagi calon suami istri/ calon orang tua yang miskin ilmu agama, ilmu pendidikan dan miskin wawasan, kegiatan screening atau parenting ala kantor KUA cendrung bersifat “masuk telinga kiri –keluar telinga kanan” atau garbage in- garbage out. Kenapa demikian ? Ya cukup banyak mereka yang telah mengikuti screening dan pernikahan , punya anak setelah itu, mereka bingung apa yang akan diperbuat sebagai orang tua. Sehingga mereka membina rumah tangga dengan cara meraba-raba atau meniru prilaku generasi sebelumnya. Untung kalau yang ditiru itu sesuai dengan konsep ilmu pendidikan dan norma hidup- jauh dari unsur kekerasan dan kezaliman (bersikap sadis terhadap anggota keluarga dan gemar dengan kata-kata penuh carut marut).
Fenomena dalam masyarakat bahwa cukup banyak orang tua yang kurang mengerti dengan konsep parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal bagi keluarga. Banyak orang tua yang mendidik dan membesarkan anak dengan “konsep coba-coba” atau trial and error, sehingga berpotensi melahirkan generasi penuh ragu-ragu dan mental yang mudah terombang ambing (plin-plan). Bila mendidik dan membina keluarga tanpa persiapan diri- tanpa memiliki ilmu pengetahuan, maka hasilnya adalah akan lahir generasi yang kurang mengenal potensi diri dan kurang tahu/ gamang menghadapi masa depan.
Visi Keluarga Kontra Dengan Misi Keluarga
Visi (atau pandangan) dapat diartikan sebagai arah atau tujuan ke depan. Misi adalah strategi atau langkag-langkah untuk mewujudkan visi tadi. Kalau begitu, visi keluarga dapat diartikan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh ayah dan ibu dalam membina rumah tangga mereka. Ayah dan ibu perlu bekerja sama untuk menerapkan strategi untuk menuju rumah tangga yang bahagia sebagai harapan atau visi orang tua secara umum.
Begitu seorang bayi lahir ke dunia, maka saat itu eksistensi sebuah keluarga terasa makin utuh. Visi keluarga yang terselib dalam hati atau yang terucap dalam lisan sungguh sangat mulia dan sempurna; “kami ingin rumah tangga ini menjadi rumah tangga yang damai dan harmonis”. Yang lain ingin memiliki anak yang yang sehat, cerdas dan sholeh. Dalam koridor agama Islam, semua pemeluk Islam ingin memiliki rumah tangga yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat, atau memiliki keluarga yang “mawadah wa rahmah”, keluarga bahagia dan penuh dengan rahmat.
Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa untuk mendapatkan rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmat, maka diperlukan usaha dengan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai misi keluarga. Ada beberapa fokus yang perlu jadi prioritas dalam menciptakan suatu keluarga yang bahagia dan rahmah yaitu memperoleh pendidikan yang berkualitas, kesehatan yang berkualitas, pergaulan dan bentuk aktifitas keluarga yang juga berkualitas. Namun, sekali lagi, sebahagian rumah tangga cendrung tanpa konsep, salah konsep atau meraba-raba dalam bertindak- in action.
Pendidikan keluarga merupakan unsur pertama yang perlu untuk diperhatikan setiap keluarga. Ada beberapa versi orang tua dalam mendidik anak. Ada orang tua yang tidak mengenal tentang cara mendidik. Yang mereka lakukan cuma meniru apa-apa yang diperbuat oleh generasi sebelumnya. Ada yang cuma menyerahkan urusan pendidikan pada instansi sekolah, surau/ mesjid atau lembaga sosial lainnya. Ada pula yang cukup peduli dalam mendidik anak, tapi cuma sampai pendidikan anak di PAUD (pendidikan anak usia dini), TK dan di SD kelas satu atau kelas dua. Selanjutnya mereka tidak mau tahu lagi atau berhenti mengikuti perkembangan pendidikan anak dari kelas tiga SD, terus ke tingkat SLTP,dan SLTA apalagi untuk tingkat perguruan tinggi.
Pintarnya orang tua stelah itu hanya sebatas meyuruh, melarang dan berteriak-teriak “belajar lah naaaak…, jangan main-main… buat PR….jangan merokok…baca buku….!!!”. Selanjutnya dorongan orang tua cuma sebatas berharap “usahakan juara satu… usahakan nilai mu seratus….!!”. Harapan orang tua ini tidak salah namun kalau orng tua ikut berbangga bahwa anak jadi juara lewat usaha yang penuh kepalsuan, juara lewat contekan atau juara kelas karena (factor) berkenalan dengan guru di sekolah anak. Maka tumbuhlah anak jadi generasi cerdas yang penuh bohong. Dalam mendidik yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah bagaimana agar anak selalu aktif dalam proses belajar dengan penuh kesadaran dan kemandirian, walaupun mereka tidak begitu juara di kelas, namun juara bukan karena rekayasa.
Kesehatan keluarga merupakan prasyarat yang lain untuk mendapatkan keluarga bahagia. Masalahnya sekarang bahwa banyak keluarga yang gemar memupuk gizi anak dengan makanan dan minuman yang bersifat cepat saji (fast food and fast drink), makanan yang yang kaya dengan kandungan kolesterol, zat-zat additive, zat-zat pewarna dan zat-zat kimia yang berpotensi untuk mempersingkat umur dan penyakit degeratif (proses merosotnya kesehatan) lainnya dan bahan bahan penyedap lainnya.
Mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat yang dibungkus dengan kemasan dan label, tampaknya sudah menjadi gaya masyarakat kita. Rasanya tidak gaul dan tidak moderen kalau berpergian membawa “pisang goreng, godok ubi, kue lapis, onde-onde, kue lopi dan penganan lain yang lebih alami”. Makanan dan minuman yang dibawa bila naik mobil dan kendaraan lain adalah makanan dan minuman yang dibungkus kemasan plastic, berlabel, kaya dengan zat. Begitu selesai dikonsumsi maka dengan seenak isi perut dilemparkan saja ke jalan raya.
Ada jutaan orang yang melemparkan bungkus makanan dan minuman setiap saat sepanjang hari. Coba lihat jalan-jalan raya di kota dan di propinsi kita, kotornya sudah luar biasa. Pemuka masyarakat, pemuka agama, tokoh intelektual dan sampai kepada professor sudah terbaisa melihat pemandangan yang demikian. Kenapa sampai saat ini belum ada seruan agar “pemilik mobil melengkapi mobil dengan tong sampah “ atau “yang membuang sampah lewat jendela mobil akan kena denda”. Ini mungkin lebih efektif dalam menjaga kebersihan jalan raya. Atau kurangi saja kuota penerimaan CPNS andai kelak mereka Cuma cenderung menjadi PNS yang senang makan gaji buta, dialihkan saja untuk merekrut pasukan kuning (petugas kebersihan) untuk kebersihan jalan raya di luar kota.
Sangat mengkhawatirkan dan memalukan karena volume sampah bungkus makanan dan minuman di sepanjang jalan jalan propinsi hingga jalan kecamatan, sudah berlipat ganda. Sementara untuk memungut sampah tersebut entah siapa yang bertanggung jawab. Kepala pemerintah, tokoh spiritual dan intelektual entah peduli dengan fenomena jelek ini entah tidak. Apakah ada kecendrungan Indonesia menjadi republik penuh sampah ?. Undang-undang tentang kebersihan lingkungan perlu untuk melibatkan pemilik kendaran agar peduli terhadap kebersihan jalan raya dan ikut memberikan sanksi atas kejahatan, mengotori lingkungan ini.
Tentang kebutuhan hiburan keluarga, banyak orang tua yang berfikir bahwa melengkapi rumah dengan sarana hiburan sebagai usaha membuat warga rumah menjadi bahagia dan terhibur. Banyak ayah dan ibu menjanjikan fasilitas hiburan sebagai rewad. “Kalau kamu juara kelas, papa belikan play station…. Kalau kamu jago dalam ujian mama belikan HP kamera….. kalau kamu suka membuat PR nanti om belikan TV 24 inch”. Reward seperti ini tidak salah bila bisa effektif untuk menggenjot minat dan motivasi belajar anak.
Fenomena Rumah Tangga
Fenomena di lapangan bahwa banyak orangtua sangat peduli membeli produk elektronik buat sarana hiburan keluarga meskipun harganya demikian mahal seperti TV berwarna ukuran jumbo, VCD player, antene parabola, loud speaker dengan beat keras, play station, sampai kepada sarana hiburan berukuran kecil seperti HP kamera, TV portable, MP3, dan jenis jenis digital elektronik yang lain. Yang jadi masalah atas fasilitas hiburan ini adalah apakah orang tua dan anak tahu atau tidak tentang aturan menggunakan alat-alat hiburan ini.
Sekarang yang terpantau pada banyak rumah adalah bahwa semua fasilitas hiburan ini hidup sepanjang waktu sehingga membuat suasana rumah jadi hiruk pikuk. Sering gangguan suara dan tayangan hiburan mengganggu acara kebersamaan keluarga. Kini dipertanyakan bahwa apakah masih ada acara kebersamaan yang cukup menyentuh untuk makan bersama, dan shalat berjamaah. Yang ada cuma duduk bersama sambil menonton presenter, artis, iklan dan konten hiburan yang banyak mengandung hura-hura, kekerasan, percekcokan dan miskin nilai sopan santun/ nilai moral.
Sekali lagi, bahwa banyak rumah tangga sekarang gara-gara diisi oleh berbagai fasilitas hiburan telah menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk oleh suara presenter dan iklan dari stasiun TV, dentuman musik dari speaker pada belahan rumah yang lain. Anak-anak ABG (Anak Baru Gede= remaja) yang sengaja menyisipkan headset loudspeaker MP3 telah membuat lobang telinga mereka juga menjadi hingar bingar, ini berpotensi membuat mereka tidak kenal lagi bagaimana cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lemah lembut pada orang lain. Beginilah orang tua sekarang yang membesarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan penuh kegaduhan dan suara yang hiruk pikuk.
Ada suatu keluarga yang tiba-tiba memperoleh tambahan bayi baru dan membesarkannya dalam rumah yang penuh suara fasilitas hiburan yang tak terkontrol. Sang bayi menangis dan resah sepanjang waktu sehingga membuat orang tua sangat cemas. Dokter mengatakan bahwa si bayi cukup sehat dan yang membuat bayi resah dan rewel adalah karena sejak kelahirannya “telinganya yang sensitif terganggu oleh kondisi suara yang penuh dengan suasana yang hiruk pikuk tersebut”. Suasana menjadi semakin parah manakala setiap anggota keluarga berbicara dengan volume suara keras untuk mengalahkan suara elektronik dan akhirnya berbicara dengan suara lembut dan santun sudah menjadi sesuatu yang mahal.
Suasana pendidikan di rumah dengan suasana yang hiruk pikuk agaknya dapat ditemukan pada puluhan, ratusan, ribuan dan malah jutaaan rumah tangga di Indonesia. Bila orang tua dan masyarakat kita masih ingin memiliki anak anak yang shaleh, santun dan cerdas, kemudia memperoleh rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmah maka mereka perlu untuk menata diri dan rumah tangga. “Benahilah cara mendidik keluarga, benahi cara mengkonsumsi fasilitas hiburan agar tidak mengganggu proses pendidikan, pertumbuhan dan perkembangan keluarga”. Seperti kata ungkapan “better late than never”, biarlah terlambat dari pada tidak pernah melakukan penataan pada pendidikan keluarga sama sekali.
(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Program Parenting
Parenting adalah program yang dilaksanakan oleh lembaga sosial untuk mempersiapkan para pemuda dan pemudi untuk menjadi orang tua. Pesertanya adalah orang-orang yang berusia muda yang ikhlas mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua karena sudah punya niat/ rencana untuk menikah dan mendirikan rumah tangga yang bahagia. Kelak bila mereka melangsungkan pernikahan dan memilki anak-anak, diharapkan bisa membina rumah tangga yang bahagia.
Di negara-negara maju banyak organisasi sosial yang menyelenggarakan program parenting dan banyak calon-calon orang tua yang berpatisipasi dalamnya, sehingga mereka bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dan berkualitas. Namun di negara-negara yang Sumber Daya Manusia (SDM) belum begitu membanggakan, dan termasuk negara Indonesia, maka program parenting belum begitu popular. Kecuali program parenting swakarsa yang dilakukan oleh segelintir orang lewat otodidak atau belajar sendiri dengan membaca buku, majalah, kliping artikel dan mengikuti seminar. Untunglah ada program screening diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang wajib diikuti oleh sepasang pengantin sebelum menyelenggarakan ritual akad nikah dan pesta perkawinan.
Kegiatan skrining (screening) yang diberikan oleh petugas nikah, wali hakim, dari Kantor Urusan Agama (KUA) dapat dipandang sebagai kegitan parenting dalam bentuk crash program (program cepat) menjadi orang tua yang mengerti tentang peran orang tua. Tapi apakah hasil screening bisa tahan lama terhadap pasangan pengantin ? Screening yang diberikan oleh petugas nikah dari kantor KUA hanya bersifat formalitas. Hanya calon orang tua yang mantap ilmu dan amalnya yang mampu mengamalkan pesan-pesan dari kegiatan screening tadi. Sementara itu bagi calon suami istri/ calon orang tua yang miskin ilmu agama, ilmu pendidikan dan miskin wawasan, kegiatan screening atau parenting ala kantor KUA cendrung bersifat “masuk telinga kiri –keluar telinga kanan” atau garbage in- garbage out. Kenapa demikian ? Ya cukup banyak mereka yang telah mengikuti screening dan pernikahan , punya anak setelah itu, mereka bingung apa yang akan diperbuat sebagai orang tua. Sehingga mereka membina rumah tangga dengan cara meraba-raba atau meniru prilaku generasi sebelumnya. Untung kalau yang ditiru itu sesuai dengan konsep ilmu pendidikan dan norma hidup- jauh dari unsur kekerasan dan kezaliman (bersikap sadis terhadap anggota keluarga dan gemar dengan kata-kata penuh carut marut).
Fenomena dalam masyarakat bahwa cukup banyak orang tua yang kurang mengerti dengan konsep parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal bagi keluarga. Banyak orang tua yang mendidik dan membesarkan anak dengan “konsep coba-coba” atau trial and error, sehingga berpotensi melahirkan generasi penuh ragu-ragu dan mental yang mudah terombang ambing (plin-plan). Bila mendidik dan membina keluarga tanpa persiapan diri- tanpa memiliki ilmu pengetahuan, maka hasilnya adalah akan lahir generasi yang kurang mengenal potensi diri dan kurang tahu/ gamang menghadapi masa depan.
Visi Keluarga Kontra Dengan Misi Keluarga
Visi (atau pandangan) dapat diartikan sebagai arah atau tujuan ke depan. Misi adalah strategi atau langkag-langkah untuk mewujudkan visi tadi. Kalau begitu, visi keluarga dapat diartikan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh ayah dan ibu dalam membina rumah tangga mereka. Ayah dan ibu perlu bekerja sama untuk menerapkan strategi untuk menuju rumah tangga yang bahagia sebagai harapan atau visi orang tua secara umum.
Begitu seorang bayi lahir ke dunia, maka saat itu eksistensi sebuah keluarga terasa makin utuh. Visi keluarga yang terselib dalam hati atau yang terucap dalam lisan sungguh sangat mulia dan sempurna; “kami ingin rumah tangga ini menjadi rumah tangga yang damai dan harmonis”. Yang lain ingin memiliki anak yang yang sehat, cerdas dan sholeh. Dalam koridor agama Islam, semua pemeluk Islam ingin memiliki rumah tangga yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat, atau memiliki keluarga yang “mawadah wa rahmah”, keluarga bahagia dan penuh dengan rahmat.
Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa untuk mendapatkan rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmat, maka diperlukan usaha dengan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai misi keluarga. Ada beberapa fokus yang perlu jadi prioritas dalam menciptakan suatu keluarga yang bahagia dan rahmah yaitu memperoleh pendidikan yang berkualitas, kesehatan yang berkualitas, pergaulan dan bentuk aktifitas keluarga yang juga berkualitas. Namun, sekali lagi, sebahagian rumah tangga cendrung tanpa konsep, salah konsep atau meraba-raba dalam bertindak- in action.
Pendidikan keluarga merupakan unsur pertama yang perlu untuk diperhatikan setiap keluarga. Ada beberapa versi orang tua dalam mendidik anak. Ada orang tua yang tidak mengenal tentang cara mendidik. Yang mereka lakukan cuma meniru apa-apa yang diperbuat oleh generasi sebelumnya. Ada yang cuma menyerahkan urusan pendidikan pada instansi sekolah, surau/ mesjid atau lembaga sosial lainnya. Ada pula yang cukup peduli dalam mendidik anak, tapi cuma sampai pendidikan anak di PAUD (pendidikan anak usia dini), TK dan di SD kelas satu atau kelas dua. Selanjutnya mereka tidak mau tahu lagi atau berhenti mengikuti perkembangan pendidikan anak dari kelas tiga SD, terus ke tingkat SLTP,dan SLTA apalagi untuk tingkat perguruan tinggi.
Pintarnya orang tua stelah itu hanya sebatas meyuruh, melarang dan berteriak-teriak “belajar lah naaaak…, jangan main-main… buat PR….jangan merokok…baca buku….!!!”. Selanjutnya dorongan orang tua cuma sebatas berharap “usahakan juara satu… usahakan nilai mu seratus….!!”. Harapan orang tua ini tidak salah namun kalau orng tua ikut berbangga bahwa anak jadi juara lewat usaha yang penuh kepalsuan, juara lewat contekan atau juara kelas karena (factor) berkenalan dengan guru di sekolah anak. Maka tumbuhlah anak jadi generasi cerdas yang penuh bohong. Dalam mendidik yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah bagaimana agar anak selalu aktif dalam proses belajar dengan penuh kesadaran dan kemandirian, walaupun mereka tidak begitu juara di kelas, namun juara bukan karena rekayasa.
Kesehatan keluarga merupakan prasyarat yang lain untuk mendapatkan keluarga bahagia. Masalahnya sekarang bahwa banyak keluarga yang gemar memupuk gizi anak dengan makanan dan minuman yang bersifat cepat saji (fast food and fast drink), makanan yang yang kaya dengan kandungan kolesterol, zat-zat additive, zat-zat pewarna dan zat-zat kimia yang berpotensi untuk mempersingkat umur dan penyakit degeratif (proses merosotnya kesehatan) lainnya dan bahan bahan penyedap lainnya.
Mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat yang dibungkus dengan kemasan dan label, tampaknya sudah menjadi gaya masyarakat kita. Rasanya tidak gaul dan tidak moderen kalau berpergian membawa “pisang goreng, godok ubi, kue lapis, onde-onde, kue lopi dan penganan lain yang lebih alami”. Makanan dan minuman yang dibawa bila naik mobil dan kendaraan lain adalah makanan dan minuman yang dibungkus kemasan plastic, berlabel, kaya dengan zat. Begitu selesai dikonsumsi maka dengan seenak isi perut dilemparkan saja ke jalan raya.
Ada jutaan orang yang melemparkan bungkus makanan dan minuman setiap saat sepanjang hari. Coba lihat jalan-jalan raya di kota dan di propinsi kita, kotornya sudah luar biasa. Pemuka masyarakat, pemuka agama, tokoh intelektual dan sampai kepada professor sudah terbaisa melihat pemandangan yang demikian. Kenapa sampai saat ini belum ada seruan agar “pemilik mobil melengkapi mobil dengan tong sampah “ atau “yang membuang sampah lewat jendela mobil akan kena denda”. Ini mungkin lebih efektif dalam menjaga kebersihan jalan raya. Atau kurangi saja kuota penerimaan CPNS andai kelak mereka Cuma cenderung menjadi PNS yang senang makan gaji buta, dialihkan saja untuk merekrut pasukan kuning (petugas kebersihan) untuk kebersihan jalan raya di luar kota.
Sangat mengkhawatirkan dan memalukan karena volume sampah bungkus makanan dan minuman di sepanjang jalan jalan propinsi hingga jalan kecamatan, sudah berlipat ganda. Sementara untuk memungut sampah tersebut entah siapa yang bertanggung jawab. Kepala pemerintah, tokoh spiritual dan intelektual entah peduli dengan fenomena jelek ini entah tidak. Apakah ada kecendrungan Indonesia menjadi republik penuh sampah ?. Undang-undang tentang kebersihan lingkungan perlu untuk melibatkan pemilik kendaran agar peduli terhadap kebersihan jalan raya dan ikut memberikan sanksi atas kejahatan, mengotori lingkungan ini.
Tentang kebutuhan hiburan keluarga, banyak orang tua yang berfikir bahwa melengkapi rumah dengan sarana hiburan sebagai usaha membuat warga rumah menjadi bahagia dan terhibur. Banyak ayah dan ibu menjanjikan fasilitas hiburan sebagai rewad. “Kalau kamu juara kelas, papa belikan play station…. Kalau kamu jago dalam ujian mama belikan HP kamera….. kalau kamu suka membuat PR nanti om belikan TV 24 inch”. Reward seperti ini tidak salah bila bisa effektif untuk menggenjot minat dan motivasi belajar anak.
Fenomena Rumah Tangga
Fenomena di lapangan bahwa banyak orangtua sangat peduli membeli produk elektronik buat sarana hiburan keluarga meskipun harganya demikian mahal seperti TV berwarna ukuran jumbo, VCD player, antene parabola, loud speaker dengan beat keras, play station, sampai kepada sarana hiburan berukuran kecil seperti HP kamera, TV portable, MP3, dan jenis jenis digital elektronik yang lain. Yang jadi masalah atas fasilitas hiburan ini adalah apakah orang tua dan anak tahu atau tidak tentang aturan menggunakan alat-alat hiburan ini.
Sekarang yang terpantau pada banyak rumah adalah bahwa semua fasilitas hiburan ini hidup sepanjang waktu sehingga membuat suasana rumah jadi hiruk pikuk. Sering gangguan suara dan tayangan hiburan mengganggu acara kebersamaan keluarga. Kini dipertanyakan bahwa apakah masih ada acara kebersamaan yang cukup menyentuh untuk makan bersama, dan shalat berjamaah. Yang ada cuma duduk bersama sambil menonton presenter, artis, iklan dan konten hiburan yang banyak mengandung hura-hura, kekerasan, percekcokan dan miskin nilai sopan santun/ nilai moral.
Sekali lagi, bahwa banyak rumah tangga sekarang gara-gara diisi oleh berbagai fasilitas hiburan telah menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk oleh suara presenter dan iklan dari stasiun TV, dentuman musik dari speaker pada belahan rumah yang lain. Anak-anak ABG (Anak Baru Gede= remaja) yang sengaja menyisipkan headset loudspeaker MP3 telah membuat lobang telinga mereka juga menjadi hingar bingar, ini berpotensi membuat mereka tidak kenal lagi bagaimana cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lemah lembut pada orang lain. Beginilah orang tua sekarang yang membesarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan penuh kegaduhan dan suara yang hiruk pikuk.
Ada suatu keluarga yang tiba-tiba memperoleh tambahan bayi baru dan membesarkannya dalam rumah yang penuh suara fasilitas hiburan yang tak terkontrol. Sang bayi menangis dan resah sepanjang waktu sehingga membuat orang tua sangat cemas. Dokter mengatakan bahwa si bayi cukup sehat dan yang membuat bayi resah dan rewel adalah karena sejak kelahirannya “telinganya yang sensitif terganggu oleh kondisi suara yang penuh dengan suasana yang hiruk pikuk tersebut”. Suasana menjadi semakin parah manakala setiap anggota keluarga berbicara dengan volume suara keras untuk mengalahkan suara elektronik dan akhirnya berbicara dengan suara lembut dan santun sudah menjadi sesuatu yang mahal.
Suasana pendidikan di rumah dengan suasana yang hiruk pikuk agaknya dapat ditemukan pada puluhan, ratusan, ribuan dan malah jutaaan rumah tangga di Indonesia. Bila orang tua dan masyarakat kita masih ingin memiliki anak anak yang shaleh, santun dan cerdas, kemudia memperoleh rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmah maka mereka perlu untuk menata diri dan rumah tangga. “Benahilah cara mendidik keluarga, benahi cara mengkonsumsi fasilitas hiburan agar tidak mengganggu proses pendidikan, pertumbuhan dan perkembangan keluarga”. Seperti kata ungkapan “better late than never”, biarlah terlambat dari pada tidak pernah melakukan penataan pada pendidikan keluarga sama sekali.
(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)
Kamis, 24 September 2009
Bila Pengemis Dilarang Mengemis, Siapa Lagi Pembela Mereka
Bila Pengemis Dilarang Mengemis, Siapa Lagi Pembela Mereka
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Ada berita yang muncul pada Koran-koran di Sumatra Barat dalam bulan September 2009 ini bahwa pengemis di kota Padang dan Bukittinggi ditangkap oleh team yang dibentuk oleh pemerintah untuk menertipkan dan menjaga keindahan kota. Berita ini bagi kebanyakan orang dianggap biasa-biasa saja dan tidak begitu menarik dibandingkan dengan berita tentang perkawinan dan perceraian kaum selebriti atau berita hukum –kriminal dan politik lainnya. Pada gambar tersebut tersekspose anggota penegak ketertiban kota yang bertubuh gagah dengan seragam rapi menggiring pengemis dengan tubuh renta, agak buta dan berpakaian kumal sambil menangis ketakutan.
“Saya khawatir bila pemandangan ini diekspose oleh televise swasta dan dikupas dalam program yang penuh nuansa emosi, maka akan membuat pengemis yang dianggap sebagai manusia yang hina (sosok manusia yang sengsara) sebagai hiburan segar bagi anak-anak dan orang-orang yang nurani kasih sayangnya yang cendrung memudar. Sebab akhir-akhir ini, dengan semakin moderennya penampilan wajah suatu kota maka karakter warga yang individualis, hedonisme dan masa-bodoh terhadap kaum yang tak berpunya makin kentara”.
Dalam berita tersebut penyelesaian masalah pengemis yang dipandang sebagai perusak wajah kota cukup praktis dan sederhana; mereka ditangkap, digiring, dikirim ke pusat penampungan (Departemen Sosial), dibina dan dipulangkan ke tempat asal. Selanjutnya dipastikan bahwa tidak ada orang yang begitu tertarik membela mereka, karena tidak akan mendapatkan manfaat financial sedikitpun.
Yang membela mereka, para pengemis dan kaum dhuafa lainnya, adalah langsung Sang Khalik “Allah Azza Wa Jalla”. Seperti yang dapat kita baca dalam kitab suci Al-Quran Karim (surat 107:1-3): “tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Masih ada puluhan ayat-ayat lain yang menganjurkan kita, kaum muslim, untuk meringankan penderitaan saudara kita yang menjadi kaum pengemis- fakir miskin tersebut. Dan tidak ada ayat al Al-Quran yang berbunyi “tanggaplah pengemis, giringlah pengemis !”.
Apakah kehadiran pengemis betul-betul merusak keindahan kota sehingga membuat warga kota menjadi malu atas kehadiran mereka ? Mengapa di seputar ka’bah di Makkah juga ada pengemis dan tidak ditangkap, kecuali kalau mencuri.
Bisa jadi warga kota yang kaya raya, bertubuh gagah dan cantik namun tidak mengenal agama, suka minuman keras, berzina dan pencandu narkoba, dan berpakaian super seksi, lebih hina dalam pandangan Allah dari pada pengemis itu sendiri. Hal ini berdasarkan ajaran agama yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh mu, juga tidak pada rupa wajah mu, tetapi Allah melihat kepada kualitas hatimu”. Kaum dhuafa- kaum gelandangan dan pengemis- yang berhati rapuh akan mudah meneteskan air mata, sehingga do’a mereka bisa menggetarka Arasynya Allah Swt. Sekali lagi bahwa walau dipandang sebagai manusia hina, bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah Swt dibandingkan dengan warga kota yang cantik dan gagah namun tidak mengenal Sang Pencipta dirinya.
Maaf, artikel ini ditulis bukan berarti penulis kontra dengan kebijakan pemerintah dalam menertibkan pengemis. Namun khawatir kalau perlakuan kita yang menangkap, menggiring dan mengamankan pengemis tanpa mengatasi masalah kegetiran hidup mereka yang mendasar, namun kebijakan penertiban tanpa ada yang membela akan membuat mereka sangat tertindas. PKL (Pedagang Kaki Lima), Pekerja Seks Komersil, Penyalahguna Narkoba, Korban HIV saja ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mereka.
Fenomna yang termonitor dalam kehidupan bahwa para pengemis melakukan profesi mengemis ada yang secara spontan dalam rangka untuk bertahan hidup. Namun kadang kala ada oknum yang cerdas yang mengelola orang-orang sengsara ini untuk mengemis dan meraup keuntungan di atas derita dan perasaan hina orang. Nah mengapa tidak orang ini yang dibina atau diamankan terlebih dahulu ?
Memang kita akui bahwa jumlah bangsa kita, saudara kta, yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup banyak. Sebagian berusaha untuk bertahan hidup, survival, sepanjang hari tanpa mengemis tapi hanya dengan mengkonsumsi sesuap nasi dengan sayur daun singkong dan penganan lain yang miskin nilai gizi. Kemudian juga ada mereka, saudara kita, yang hidup susah sepanjang hayatnya namun malu untuk mengemis di negeri sendiri, kecuali kalau pergi ke daerah tetangga.
Untuk apa ? Ya untuk mengemis sebagai stategi untuk bertahan hidup. Sebab kalau tidak mengemis tidak ada orang yang peduli untuk mengguyurkan rezkinya, rezki titipan Allah SWT, sebab orang kita menganggap bahwa yang famili itu adalah orang yang berpangkat dan orang yang kaya, sementara famili yang hidup sengasara dianggap sebagai pengganggu ekonomi. “Kalau ada kaum famili yang miskin datang ke tempat pihak yang berada, maka kadang kala kantong mereka digeledah kalau ada barang mereka yang tercuri”.
Kalau pun ada bantuan raskin (beras untuk orang miskin) tentu saja tidak mencukupi kebutuhan hidup dan gizi mereka. Kemudian walaupun banyak kiay, ustad, buya (ulama) berseru dan berseru dari mimbar mesjid untuk membantu fakir miskin, namun tetap saja bantuan kaum yang hidup agak berkecukupan diselipkan dalam kaleng-kaleng atau kotak infak mesjid yang distribusinya entah tepat sasaran entah tidak, dan jumlah uang infak tidak pula mencukupi- karena kecendrungan kita agak kikir dalam berderma- kecuali kalau ada pengelola dengan manajemen terbuka dan professional.
Kebijakan pemerintah, organisasi Islam dan LSM untuk memperhatikan kaum fakir miskin dalam skala luas dan menyentuh akar kebutuhan sudah ada dan distribusi yang merata di seluruh persada nusantara sangat kita harapkan. Mengapa untuk menyantuni korban narkoba dan HIV, banyak orang, para artis, dan public figure lain berlomba-lomba untuk mengayomi dan membela mereka dan kegiatan amalnya terkesan dibesar-besarkan ? Ya karena mereka (korban Aids/HIV, narkoba) berasal dari orang yang agak terdidik untuk kognitif, berpenampilan cakep dan orang tua mereka mungkin punya duit. Sementara kegiatan untuk membela harkat dan martabat fakir miskin terkesan agak sepi, mungkin karena pengemis bertubuh dekil, kumal dan jorok. Kecuali bagi sekelompok saudara kita yang peduli akan kehidupan fakir dan miskin. Mereka punya kegiatan dengan mendirikan sekolah Dhuafa, dompet dhuafa, dan lain-lain. Terpujilah mereka, moga moga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat Nya selalu buat ,ereka.
Pendirian sekolah untuk kaum dhuafa, dompet dhuafa dan sekolah gratis bagi kaum dhuafa adalah aktifitas yang berpihak dalam membela fakir dan miskin. Kegiatan kegiatan ini sangat patut untuk dihargai dan direspon, apalagi bila pelaksanaanya cukup profesonal, transparan, akuntability dan menyeluruh dan meluas, sehingga bisa menyentuh banyak kaum dhuafa- fakir miskin, dan pengemis. Kiranya harapan dari saudara kita kaum fakir miskin untuk bisa punya anak anak cerdas dan berhasil seperti cerdasnya anak anak saudara mereka, orang- orang yang lapang rezkinya dan berkecukupan ekonominya. (Marjohan, M.Pd. Guru SMAN 3 Batusangkar
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Ada berita yang muncul pada Koran-koran di Sumatra Barat dalam bulan September 2009 ini bahwa pengemis di kota Padang dan Bukittinggi ditangkap oleh team yang dibentuk oleh pemerintah untuk menertipkan dan menjaga keindahan kota. Berita ini bagi kebanyakan orang dianggap biasa-biasa saja dan tidak begitu menarik dibandingkan dengan berita tentang perkawinan dan perceraian kaum selebriti atau berita hukum –kriminal dan politik lainnya. Pada gambar tersebut tersekspose anggota penegak ketertiban kota yang bertubuh gagah dengan seragam rapi menggiring pengemis dengan tubuh renta, agak buta dan berpakaian kumal sambil menangis ketakutan.
“Saya khawatir bila pemandangan ini diekspose oleh televise swasta dan dikupas dalam program yang penuh nuansa emosi, maka akan membuat pengemis yang dianggap sebagai manusia yang hina (sosok manusia yang sengsara) sebagai hiburan segar bagi anak-anak dan orang-orang yang nurani kasih sayangnya yang cendrung memudar. Sebab akhir-akhir ini, dengan semakin moderennya penampilan wajah suatu kota maka karakter warga yang individualis, hedonisme dan masa-bodoh terhadap kaum yang tak berpunya makin kentara”.
Dalam berita tersebut penyelesaian masalah pengemis yang dipandang sebagai perusak wajah kota cukup praktis dan sederhana; mereka ditangkap, digiring, dikirim ke pusat penampungan (Departemen Sosial), dibina dan dipulangkan ke tempat asal. Selanjutnya dipastikan bahwa tidak ada orang yang begitu tertarik membela mereka, karena tidak akan mendapatkan manfaat financial sedikitpun.
Yang membela mereka, para pengemis dan kaum dhuafa lainnya, adalah langsung Sang Khalik “Allah Azza Wa Jalla”. Seperti yang dapat kita baca dalam kitab suci Al-Quran Karim (surat 107:1-3): “tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Masih ada puluhan ayat-ayat lain yang menganjurkan kita, kaum muslim, untuk meringankan penderitaan saudara kita yang menjadi kaum pengemis- fakir miskin tersebut. Dan tidak ada ayat al Al-Quran yang berbunyi “tanggaplah pengemis, giringlah pengemis !”.
Apakah kehadiran pengemis betul-betul merusak keindahan kota sehingga membuat warga kota menjadi malu atas kehadiran mereka ? Mengapa di seputar ka’bah di Makkah juga ada pengemis dan tidak ditangkap, kecuali kalau mencuri.
Bisa jadi warga kota yang kaya raya, bertubuh gagah dan cantik namun tidak mengenal agama, suka minuman keras, berzina dan pencandu narkoba, dan berpakaian super seksi, lebih hina dalam pandangan Allah dari pada pengemis itu sendiri. Hal ini berdasarkan ajaran agama yang berbunyi “sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh mu, juga tidak pada rupa wajah mu, tetapi Allah melihat kepada kualitas hatimu”. Kaum dhuafa- kaum gelandangan dan pengemis- yang berhati rapuh akan mudah meneteskan air mata, sehingga do’a mereka bisa menggetarka Arasynya Allah Swt. Sekali lagi bahwa walau dipandang sebagai manusia hina, bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah Swt dibandingkan dengan warga kota yang cantik dan gagah namun tidak mengenal Sang Pencipta dirinya.
Maaf, artikel ini ditulis bukan berarti penulis kontra dengan kebijakan pemerintah dalam menertibkan pengemis. Namun khawatir kalau perlakuan kita yang menangkap, menggiring dan mengamankan pengemis tanpa mengatasi masalah kegetiran hidup mereka yang mendasar, namun kebijakan penertiban tanpa ada yang membela akan membuat mereka sangat tertindas. PKL (Pedagang Kaki Lima), Pekerja Seks Komersil, Penyalahguna Narkoba, Korban HIV saja ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mereka.
Fenomna yang termonitor dalam kehidupan bahwa para pengemis melakukan profesi mengemis ada yang secara spontan dalam rangka untuk bertahan hidup. Namun kadang kala ada oknum yang cerdas yang mengelola orang-orang sengsara ini untuk mengemis dan meraup keuntungan di atas derita dan perasaan hina orang. Nah mengapa tidak orang ini yang dibina atau diamankan terlebih dahulu ?
Memang kita akui bahwa jumlah bangsa kita, saudara kta, yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup banyak. Sebagian berusaha untuk bertahan hidup, survival, sepanjang hari tanpa mengemis tapi hanya dengan mengkonsumsi sesuap nasi dengan sayur daun singkong dan penganan lain yang miskin nilai gizi. Kemudian juga ada mereka, saudara kita, yang hidup susah sepanjang hayatnya namun malu untuk mengemis di negeri sendiri, kecuali kalau pergi ke daerah tetangga.
Untuk apa ? Ya untuk mengemis sebagai stategi untuk bertahan hidup. Sebab kalau tidak mengemis tidak ada orang yang peduli untuk mengguyurkan rezkinya, rezki titipan Allah SWT, sebab orang kita menganggap bahwa yang famili itu adalah orang yang berpangkat dan orang yang kaya, sementara famili yang hidup sengasara dianggap sebagai pengganggu ekonomi. “Kalau ada kaum famili yang miskin datang ke tempat pihak yang berada, maka kadang kala kantong mereka digeledah kalau ada barang mereka yang tercuri”.
Kalau pun ada bantuan raskin (beras untuk orang miskin) tentu saja tidak mencukupi kebutuhan hidup dan gizi mereka. Kemudian walaupun banyak kiay, ustad, buya (ulama) berseru dan berseru dari mimbar mesjid untuk membantu fakir miskin, namun tetap saja bantuan kaum yang hidup agak berkecukupan diselipkan dalam kaleng-kaleng atau kotak infak mesjid yang distribusinya entah tepat sasaran entah tidak, dan jumlah uang infak tidak pula mencukupi- karena kecendrungan kita agak kikir dalam berderma- kecuali kalau ada pengelola dengan manajemen terbuka dan professional.
Kebijakan pemerintah, organisasi Islam dan LSM untuk memperhatikan kaum fakir miskin dalam skala luas dan menyentuh akar kebutuhan sudah ada dan distribusi yang merata di seluruh persada nusantara sangat kita harapkan. Mengapa untuk menyantuni korban narkoba dan HIV, banyak orang, para artis, dan public figure lain berlomba-lomba untuk mengayomi dan membela mereka dan kegiatan amalnya terkesan dibesar-besarkan ? Ya karena mereka (korban Aids/HIV, narkoba) berasal dari orang yang agak terdidik untuk kognitif, berpenampilan cakep dan orang tua mereka mungkin punya duit. Sementara kegiatan untuk membela harkat dan martabat fakir miskin terkesan agak sepi, mungkin karena pengemis bertubuh dekil, kumal dan jorok. Kecuali bagi sekelompok saudara kita yang peduli akan kehidupan fakir dan miskin. Mereka punya kegiatan dengan mendirikan sekolah Dhuafa, dompet dhuafa, dan lain-lain. Terpujilah mereka, moga moga Allah Swt selalu melimpahkan rahmat Nya selalu buat ,ereka.
Pendirian sekolah untuk kaum dhuafa, dompet dhuafa dan sekolah gratis bagi kaum dhuafa adalah aktifitas yang berpihak dalam membela fakir dan miskin. Kegiatan kegiatan ini sangat patut untuk dihargai dan direspon, apalagi bila pelaksanaanya cukup profesonal, transparan, akuntability dan menyeluruh dan meluas, sehingga bisa menyentuh banyak kaum dhuafa- fakir miskin, dan pengemis. Kiranya harapan dari saudara kita kaum fakir miskin untuk bisa punya anak anak cerdas dan berhasil seperti cerdasnya anak anak saudara mereka, orang- orang yang lapang rezkinya dan berkecukupan ekonominya. (Marjohan, M.Pd. Guru SMAN 3 Batusangkar
Selasa, 15 September 2009
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah. Kegiatan eksplorasi tentu saja banyak dilakukan oleh petualang dan pengembara. Kisah –kisah mereka sangat menarik untuk dibaca dan didengar. Dalam pelajaran sejarah dan pelajaran ilmu sosial lain, kita telah mengenal berbagai “eksplorator hebat” melakukan petualangan atau pengembaraan keliling dunia. Vasco Da Gama, Magelhein dan Ferdinan De Lessep menjelajah lautan luas untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang kemudian sangat bermanfaat bagi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Yang lain seperti Ibnu Batutah menjelajah dan menemui negeri-negeri di benua Asia lewat jalan sutera. Imam Al Gazali juga melakukan penjelajahan, penjelajahan spiritual. Saat senggang ia melakukan perenungan dan menulis hingga melahirkan buku-buku, yang paling terkenal adalah seperti buku “Ihya Ulummiddin, Alcemy of Happiness, Ketajaman Mata Hati”, dan lain-lain. Kemudian Arkeolog Belanda, Dubois, juga melakukan penjelajahan hingga menemukan fossil-fossil manusia purba Indonesia di desa Trinil, Jawa Timur.
Bagaimana kira-kira karakter dan pribadi dari penjelajah ulung seperti “Vasco Da Gamma, Ferdinan De Lessep, Magelhein, Ibnu Batutah, Imam Al Gazali dan Dubois ? Apakah mereka mempunyai karakter yang cengeng, manja, mudah putus asa, suka mengeluh, suka membuang-buang waktu dan suka hidup dengan jalan pintas dengan motto “hidup santai masa depan cerah”?. Tentu saja tidak, karena pasti mereka mempunyai karakter yang positif, seperti suka bekerja keras, mempunyai pendirian yang teguh, percaya diri yang mantap, banyak wawasan dan pergaulan, serta semangat pantang mundur dan berjiwa besar.
Kemudian bagaimana dengan karakter orang tua mereka sendiri ? Mereka pasti mempunyai orang tua yang juga mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi mereka- mengembangkan semangat percaya diri dan berjiwa besar. Karakter penjelajah yang telah menjadikannya sebagai orang hebat adalah karena karakternya yang kontras dengan karakter sebahagian anak-anak muda yang hidup di seputar kita, atau mungkin karakter kita sendiri. Bagaimana karakter tersebut ? Karakter seperti senang memanjakan diri dan menghibur diri.
Misalnya, kita sering malas berjalan kaki. Menempuh jarak setengah kilometer saja untuk pergi ke sekolah, ke kampus dan ke pasar, kita selalu mengandalkan sarana transport umum, seperti ojek. “wah aku letih kalau jalan kaki sendirian…, wah aku malu dilihat orang kalau berjalan sendirian..!” Kalau makan dalam suatu pesta, sebahagian masyarakat kita cenderung memperlihatkan karakter boros, mengambil semua hidangan dan kemudian separoh jalan, berhenti makan dan membiarkan makanan yang dipersiapkan oleh tuan rumah dengan harga mahal terbuang sia-sia, pada hal mereka mengaku sebagai orang Islam dan sangat tahu bahwa “almubazirun ikhwanusy syaitan- sikap hidup mubazir adalah sahabat syeitan”. Lagi lagi mereka merasa malu kalau dalam pesta menghabiskan hidangan yang ada dalam piring.
Karakter negative sebahagian masyarakat kita yang lain adalah merasa takut kalau berbeda dengan kebiasaan orang lain. Misal, risih dan malu kalau membaca di tempat umum, malu kalau disebut sebagai orang yang sok rajin- pokoknya malu kalau tampil berbeda dari yang lain. Karakter malu yang begini adalah sebagai karakter yang salah tempat. Yaitu rasa malu yang menghalangi diri untuk maju.
Kemudian , karakter-karakter negative lain yang juga berkembang dalam masyarakat kita adalah seperti karakter terlalu betah banyak menonton hingga menghabiskan waktu selama berjam-jam di depan layar kaca untuk menonton sinetron, iklan sampai kepada hiburan musik. Juga karakter yang mudah puas menjadi konsumen dan karakter terlalu suka membalut diri dengan penuh kepalsuan. Sebagian orang suka pamer kemewahan lewat property yang disewa atau dipinjam dari orang lain “hidup susah tetapi penampilan seperti toko mas berjalan”..
Diperkirakan bahwa karakter negative yang berkembang dalam masyarakat kita bisa jadi tumbuh sebagai dampak dari cara mendidik orang tua kita. Misalnya akibat dari kebiasaan orang tua yang miskin dengan nilai pendidikan. Tidak mengkondisikan anak untuk banyak melakukan hal-hal positif- pengalaman berkarya dan berorganisasi/ bersosial di rumah hingga akibatnya anak miskin dengan life skill. Begitu pula dengan pola mendidik orang tua yang tidak menumbuhkan budaya berdialog atau berkomunikasi di rumah. Dimana orang tua cuma pintar menyuruh dan memerintah sang anak semata. Karakter orang tua yang lain adalah sikap masa bodoh- laizzes faire- atas perkembangan kognitif, sikap dan keterampilan anak-anak mereka, dan tidak mewariskan semangat gemar bekerja keras dan sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan ini.
Suatu ketika dalam tahun 1990-an, penulis berkenalan dengan teman-teman dari Perancis (Francoise Brouquisse, Louis Deharven, dan Anne Bedos). Buat apa mereka susah payah, berjalan jauh, menghabiskan waktu dan dana yang banyak ?. Mereka mengatakan bahwa mereka melakukan eksplorasi sambil holiday untuk tujuan sains dan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan perjalanan jauh dari Perancis menuju pedalaman Sumatera (Sijunjung, Lintau dan Halaban) mereka melengkapi diri dengan peta topografi yang diperoleh dari museum Belanda tentang Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia- mereka juga mengenal dasar-dasar bahasa Cina dan bahasa negara lain yang berguna saat mengunjungi negara-negara tersebut. Juga mempersiapkan diri dalam bentuk menjaga kesehatan badan dan keuangan yang cukup.
Di sela-sela waktu istirahat mereka melakukan dialog, membaca dan menulis tentang informasi dan pengalaman yang mereka peroleh dalam perjalanan. Waktu mereka sangat teragenda- terjadwal. Walau berasal dari negara moderen dan dari pusat fashion di dunia, Perancis, namun mereka tampil sangat sederhana dan sangat alami. Cara makan sangat Islami (walau mereka bukan beragama Islam)- makan tidak mubazir (menyisakan makanan). Mereka menyukai kulit orang Indonesia sementara sebagian orang Indonesia merasa minder dengan warna kulit sendiri dan sengaja mekai whitening untuk memutihkan kulit “pour quoi les gens ici aimerent a blanchir leur peau ?- mengapa orang orang disini suka memutihkan kulit ?”
Tentu saja juga banyak orang-orang Indonesia yang memiliki pribadi kuat dan semangat eksplorasi yang tinggi dalam berbagai bidang kehidupan- seni, ekonomi, social, budaya, dan agama. Kisah kisah sukses eksplorasi mereka- para tokoh- tentu dapat kita baca lewat autobiografi mereka atau cerita dari mulut ke mulut. Lantas bagaimana implikasi eksplorasi terhadap pendidikan ? Eksplorasi membuat seseorang lebih cerdas, berwawasan luas dan bermental tangguh. Ekslorasi tidak harus dengan melakukan perjalanan jauh, melintasi bukit dan gunung, menyeberangi lembah dan lautan.
Bayi kecil yang merangkak dan mencari sesuatu tanpa henti-hentinya adalah juga sedang melakukan eksplorasi. Seorang siswa Sekolah Dasar yang asyik membaca kisah pertualangan tak pernah merasa terusik oleh kehadiran orang sekitar juga sedang melakukan tamasya jiwa. Seorang remaja yang duduk dan menuliskan buah fikiran dan pengalaman berarti mencurahkan pengalaman eksplorasinya. Ibu rumah tangga senang menawar harga di berbagai toko juga berarti sedang melakukan eksplorasi harga, agar tidak terjebak dalam permainan harga oleh pemilik toko. Begitu pula dengan seorang calon sarjana (magister dan doctoral) yang bergerak dari satu pustaka ke pustaka yang lain dan mengunjungi berbagai lokasi juga melakukan eksplorasi atau melakukan pencarian. Bangun di tengah malam- bertahajut dan bertanya jawab dalam hati tentang bagaimana seorang hamba menjalani waktu dan mengadukannya pada Ilahi berarti sedang melakukan eksplorasi spiritual.
Pendidikan kita mungkin miskin dengan semangat eksplorasi. Di beberapa sekolah Dasar ada kalanya para siswa seolah-olah di sekap dari pagi hingga siang dan disuguhi hafalan- hafalan, tugas-tugas dan larangan-larangan (mengebiri rasa ingin tahu anak) tanpa mengoptimalkan pengenalan dunia buku. Coba lihat begitu banyak Sekolah Perpustakaan tanpa Perpustakaan dan sebahagian mereka menganggap membaca sebagai sesuatu yang membosankan. Di bangku SMP. SMA, MA dan SMK banyak siswa yang terbelenggu dengan latihan-latihan dan PR-PR, mengolah soal-soal ujian agar nilai UN (Ujian Nasional) tinggi, tanpa diperkenalkan tentang pengalaman hidup- bagaimana cara berdagang, bertani, belayar, beternak, memasak makanan, menjadi pemimpin dalam masyarakat sehingga membuat mereka miskin dalam life skill (keterampilan nilai hidup).
Kemudian saat studi di universitas para dosen cuma menyuguhi dengan ratusan teori, tugas-tugas akademik dan hafalan. Malah banyak gaya belajar mahasiswa ibarat siswa Sekolah dasar dan pelajar yang cuma tahu mencatat dan menghafal. Hingga mereka mencadi penghafal ulung namun miskin pengalaman langsung. Begitu tamat dari perguruan tinggi telah menjadikan mereka sebagai pemimpi ulung yang cuma pintar menunggu seleksi masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau menjadi pegawai rendahan di kantor swasta dan BUMN lain.
Idealnya pendidikan kita tidak harus menghafal, menyelesakan soal soal ujian dan mengharapkan selembar ijazah atau sertifikat buat mencari kerja. Namun fenoma adalah banyak orang belajar dan kuliah cuma mengharapkan selembar ijazah. Banyak orang saat kuliah rajin ke perpustakaan, rajin baca buku, pergi kuliah dengan tas yang penuh berisi buku-buku. Namun begitu wisuda dan selesai kuliah maka semua buku disingkirkan dan memilih kesibukan dalam mencari gaya hidup yang lain- fashion, otomotif walau pun otomotif seken. Sehingga banyak yang mengaku sudah sarjana kembali menjadi melek huruf, melek ilmu pengetahuan dan gagap teknologi (gatek). Pembodohan diri dan kristalisasi (membekunya) ilmu pengetahuan bisa menjadi pemandangan.
Para pendidik (guru dan dosen) punya posisi penting untuk mendorong semangat eksplorasi anak didik mereka. Tentu saja para pendidik harus lebih cerdas-memiliki kepintaran berganda- lebih dahulu. Mereka harus melowongkan waktu di luar jam tatap muka untuk melakukan dialog yang berkualitas, mempunyai wawasan yang luas dan menerapkan metode belajar learning by doing, students centered, metode inkuiri, metode debat dan metode diskusi. Bukan metode ceramah melulu, menyuguhi materi hafalan dan menjawab soal soal UN melulu. Pendidik sangat patut menjadi model (berbuat untuk cerdas terlebih dahulu) dan menjadi fasilitator dan motivator.
Orang tua harus pula cerdas karena mereka punya peran dalam mendidik anak- bukan orang tua ideal kalau cuma terlalu menyerahkan pendidikan anak pada sekolah. Orang tua punya peran strategis dalam mendidik anak dalam memanfaatkan waktu. Anak harus pintar belanjar dan pintar mengurus sendiri. Anak punya waktu untuk belajar dan menikmati hiburan dan ikut melakukan aktivitas social di rumah dan di lingkungan agar tidak kuper (kurang pergaulan) dan miskin pengalaman dan wawasan.
Bagi mahasiswa, IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi tidak punya arti kalau sikap mental tidak mendukung (susah berkomunikasi, takut mengambil resiko, takut mencoba) karena miskin eksplorasi (hingga miskin dengan pengalaman) maka ijazah sarjana yang diperoleh sangat bagus untuk di pajang saja di dinding rumah.
Semangat eksplorasi untuk hal- hal yang positif sangat perlu dipertahankan. Eksplorasi telah membuat orang kaya dengan pengalaman langsung. Eksplorasi dapat dilakukan lewat menjelajah alam, kota, menjelajah berbagai tempat- mengenal dan berhubungan dengan orang baru, tempat baru dan suasana baru. Orang orang yang gemar melakukan eksplorasi akan memiliki mental yang kuat dan pengalaman yang banyak. Pendidikan juga membutuhkan eksplorasi untuk membuat kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang juga meningkat.
(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah. Kegiatan eksplorasi tentu saja banyak dilakukan oleh petualang dan pengembara. Kisah –kisah mereka sangat menarik untuk dibaca dan didengar. Dalam pelajaran sejarah dan pelajaran ilmu sosial lain, kita telah mengenal berbagai “eksplorator hebat” melakukan petualangan atau pengembaraan keliling dunia. Vasco Da Gama, Magelhein dan Ferdinan De Lessep menjelajah lautan luas untuk memenuhi rasa ingin tahunya yang kemudian sangat bermanfaat bagi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Yang lain seperti Ibnu Batutah menjelajah dan menemui negeri-negeri di benua Asia lewat jalan sutera. Imam Al Gazali juga melakukan penjelajahan, penjelajahan spiritual. Saat senggang ia melakukan perenungan dan menulis hingga melahirkan buku-buku, yang paling terkenal adalah seperti buku “Ihya Ulummiddin, Alcemy of Happiness, Ketajaman Mata Hati”, dan lain-lain. Kemudian Arkeolog Belanda, Dubois, juga melakukan penjelajahan hingga menemukan fossil-fossil manusia purba Indonesia di desa Trinil, Jawa Timur.
Bagaimana kira-kira karakter dan pribadi dari penjelajah ulung seperti “Vasco Da Gamma, Ferdinan De Lessep, Magelhein, Ibnu Batutah, Imam Al Gazali dan Dubois ? Apakah mereka mempunyai karakter yang cengeng, manja, mudah putus asa, suka mengeluh, suka membuang-buang waktu dan suka hidup dengan jalan pintas dengan motto “hidup santai masa depan cerah”?. Tentu saja tidak, karena pasti mereka mempunyai karakter yang positif, seperti suka bekerja keras, mempunyai pendirian yang teguh, percaya diri yang mantap, banyak wawasan dan pergaulan, serta semangat pantang mundur dan berjiwa besar.
Kemudian bagaimana dengan karakter orang tua mereka sendiri ? Mereka pasti mempunyai orang tua yang juga mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap perkembangan pribadi mereka- mengembangkan semangat percaya diri dan berjiwa besar. Karakter penjelajah yang telah menjadikannya sebagai orang hebat adalah karena karakternya yang kontras dengan karakter sebahagian anak-anak muda yang hidup di seputar kita, atau mungkin karakter kita sendiri. Bagaimana karakter tersebut ? Karakter seperti senang memanjakan diri dan menghibur diri.
Misalnya, kita sering malas berjalan kaki. Menempuh jarak setengah kilometer saja untuk pergi ke sekolah, ke kampus dan ke pasar, kita selalu mengandalkan sarana transport umum, seperti ojek. “wah aku letih kalau jalan kaki sendirian…, wah aku malu dilihat orang kalau berjalan sendirian..!” Kalau makan dalam suatu pesta, sebahagian masyarakat kita cenderung memperlihatkan karakter boros, mengambil semua hidangan dan kemudian separoh jalan, berhenti makan dan membiarkan makanan yang dipersiapkan oleh tuan rumah dengan harga mahal terbuang sia-sia, pada hal mereka mengaku sebagai orang Islam dan sangat tahu bahwa “almubazirun ikhwanusy syaitan- sikap hidup mubazir adalah sahabat syeitan”. Lagi lagi mereka merasa malu kalau dalam pesta menghabiskan hidangan yang ada dalam piring.
Karakter negative sebahagian masyarakat kita yang lain adalah merasa takut kalau berbeda dengan kebiasaan orang lain. Misal, risih dan malu kalau membaca di tempat umum, malu kalau disebut sebagai orang yang sok rajin- pokoknya malu kalau tampil berbeda dari yang lain. Karakter malu yang begini adalah sebagai karakter yang salah tempat. Yaitu rasa malu yang menghalangi diri untuk maju.
Kemudian , karakter-karakter negative lain yang juga berkembang dalam masyarakat kita adalah seperti karakter terlalu betah banyak menonton hingga menghabiskan waktu selama berjam-jam di depan layar kaca untuk menonton sinetron, iklan sampai kepada hiburan musik. Juga karakter yang mudah puas menjadi konsumen dan karakter terlalu suka membalut diri dengan penuh kepalsuan. Sebagian orang suka pamer kemewahan lewat property yang disewa atau dipinjam dari orang lain “hidup susah tetapi penampilan seperti toko mas berjalan”..
Diperkirakan bahwa karakter negative yang berkembang dalam masyarakat kita bisa jadi tumbuh sebagai dampak dari cara mendidik orang tua kita. Misalnya akibat dari kebiasaan orang tua yang miskin dengan nilai pendidikan. Tidak mengkondisikan anak untuk banyak melakukan hal-hal positif- pengalaman berkarya dan berorganisasi/ bersosial di rumah hingga akibatnya anak miskin dengan life skill. Begitu pula dengan pola mendidik orang tua yang tidak menumbuhkan budaya berdialog atau berkomunikasi di rumah. Dimana orang tua cuma pintar menyuruh dan memerintah sang anak semata. Karakter orang tua yang lain adalah sikap masa bodoh- laizzes faire- atas perkembangan kognitif, sikap dan keterampilan anak-anak mereka, dan tidak mewariskan semangat gemar bekerja keras dan sabar dalam menghadapi lika-liku kehidupan ini.
Suatu ketika dalam tahun 1990-an, penulis berkenalan dengan teman-teman dari Perancis (Francoise Brouquisse, Louis Deharven, dan Anne Bedos). Buat apa mereka susah payah, berjalan jauh, menghabiskan waktu dan dana yang banyak ?. Mereka mengatakan bahwa mereka melakukan eksplorasi sambil holiday untuk tujuan sains dan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan perjalanan jauh dari Perancis menuju pedalaman Sumatera (Sijunjung, Lintau dan Halaban) mereka melengkapi diri dengan peta topografi yang diperoleh dari museum Belanda tentang Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia- mereka juga mengenal dasar-dasar bahasa Cina dan bahasa negara lain yang berguna saat mengunjungi negara-negara tersebut. Juga mempersiapkan diri dalam bentuk menjaga kesehatan badan dan keuangan yang cukup.
Di sela-sela waktu istirahat mereka melakukan dialog, membaca dan menulis tentang informasi dan pengalaman yang mereka peroleh dalam perjalanan. Waktu mereka sangat teragenda- terjadwal. Walau berasal dari negara moderen dan dari pusat fashion di dunia, Perancis, namun mereka tampil sangat sederhana dan sangat alami. Cara makan sangat Islami (walau mereka bukan beragama Islam)- makan tidak mubazir (menyisakan makanan). Mereka menyukai kulit orang Indonesia sementara sebagian orang Indonesia merasa minder dengan warna kulit sendiri dan sengaja mekai whitening untuk memutihkan kulit “pour quoi les gens ici aimerent a blanchir leur peau ?- mengapa orang orang disini suka memutihkan kulit ?”
Tentu saja juga banyak orang-orang Indonesia yang memiliki pribadi kuat dan semangat eksplorasi yang tinggi dalam berbagai bidang kehidupan- seni, ekonomi, social, budaya, dan agama. Kisah kisah sukses eksplorasi mereka- para tokoh- tentu dapat kita baca lewat autobiografi mereka atau cerita dari mulut ke mulut. Lantas bagaimana implikasi eksplorasi terhadap pendidikan ? Eksplorasi membuat seseorang lebih cerdas, berwawasan luas dan bermental tangguh. Ekslorasi tidak harus dengan melakukan perjalanan jauh, melintasi bukit dan gunung, menyeberangi lembah dan lautan.
Bayi kecil yang merangkak dan mencari sesuatu tanpa henti-hentinya adalah juga sedang melakukan eksplorasi. Seorang siswa Sekolah Dasar yang asyik membaca kisah pertualangan tak pernah merasa terusik oleh kehadiran orang sekitar juga sedang melakukan tamasya jiwa. Seorang remaja yang duduk dan menuliskan buah fikiran dan pengalaman berarti mencurahkan pengalaman eksplorasinya. Ibu rumah tangga senang menawar harga di berbagai toko juga berarti sedang melakukan eksplorasi harga, agar tidak terjebak dalam permainan harga oleh pemilik toko. Begitu pula dengan seorang calon sarjana (magister dan doctoral) yang bergerak dari satu pustaka ke pustaka yang lain dan mengunjungi berbagai lokasi juga melakukan eksplorasi atau melakukan pencarian. Bangun di tengah malam- bertahajut dan bertanya jawab dalam hati tentang bagaimana seorang hamba menjalani waktu dan mengadukannya pada Ilahi berarti sedang melakukan eksplorasi spiritual.
Pendidikan kita mungkin miskin dengan semangat eksplorasi. Di beberapa sekolah Dasar ada kalanya para siswa seolah-olah di sekap dari pagi hingga siang dan disuguhi hafalan- hafalan, tugas-tugas dan larangan-larangan (mengebiri rasa ingin tahu anak) tanpa mengoptimalkan pengenalan dunia buku. Coba lihat begitu banyak Sekolah Perpustakaan tanpa Perpustakaan dan sebahagian mereka menganggap membaca sebagai sesuatu yang membosankan. Di bangku SMP. SMA, MA dan SMK banyak siswa yang terbelenggu dengan latihan-latihan dan PR-PR, mengolah soal-soal ujian agar nilai UN (Ujian Nasional) tinggi, tanpa diperkenalkan tentang pengalaman hidup- bagaimana cara berdagang, bertani, belayar, beternak, memasak makanan, menjadi pemimpin dalam masyarakat sehingga membuat mereka miskin dalam life skill (keterampilan nilai hidup).
Kemudian saat studi di universitas para dosen cuma menyuguhi dengan ratusan teori, tugas-tugas akademik dan hafalan. Malah banyak gaya belajar mahasiswa ibarat siswa Sekolah dasar dan pelajar yang cuma tahu mencatat dan menghafal. Hingga mereka mencadi penghafal ulung namun miskin pengalaman langsung. Begitu tamat dari perguruan tinggi telah menjadikan mereka sebagai pemimpi ulung yang cuma pintar menunggu seleksi masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau menjadi pegawai rendahan di kantor swasta dan BUMN lain.
Idealnya pendidikan kita tidak harus menghafal, menyelesakan soal soal ujian dan mengharapkan selembar ijazah atau sertifikat buat mencari kerja. Namun fenoma adalah banyak orang belajar dan kuliah cuma mengharapkan selembar ijazah. Banyak orang saat kuliah rajin ke perpustakaan, rajin baca buku, pergi kuliah dengan tas yang penuh berisi buku-buku. Namun begitu wisuda dan selesai kuliah maka semua buku disingkirkan dan memilih kesibukan dalam mencari gaya hidup yang lain- fashion, otomotif walau pun otomotif seken. Sehingga banyak yang mengaku sudah sarjana kembali menjadi melek huruf, melek ilmu pengetahuan dan gagap teknologi (gatek). Pembodohan diri dan kristalisasi (membekunya) ilmu pengetahuan bisa menjadi pemandangan.
Para pendidik (guru dan dosen) punya posisi penting untuk mendorong semangat eksplorasi anak didik mereka. Tentu saja para pendidik harus lebih cerdas-memiliki kepintaran berganda- lebih dahulu. Mereka harus melowongkan waktu di luar jam tatap muka untuk melakukan dialog yang berkualitas, mempunyai wawasan yang luas dan menerapkan metode belajar learning by doing, students centered, metode inkuiri, metode debat dan metode diskusi. Bukan metode ceramah melulu, menyuguhi materi hafalan dan menjawab soal soal UN melulu. Pendidik sangat patut menjadi model (berbuat untuk cerdas terlebih dahulu) dan menjadi fasilitator dan motivator.
Orang tua harus pula cerdas karena mereka punya peran dalam mendidik anak- bukan orang tua ideal kalau cuma terlalu menyerahkan pendidikan anak pada sekolah. Orang tua punya peran strategis dalam mendidik anak dalam memanfaatkan waktu. Anak harus pintar belanjar dan pintar mengurus sendiri. Anak punya waktu untuk belajar dan menikmati hiburan dan ikut melakukan aktivitas social di rumah dan di lingkungan agar tidak kuper (kurang pergaulan) dan miskin pengalaman dan wawasan.
Bagi mahasiswa, IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi tidak punya arti kalau sikap mental tidak mendukung (susah berkomunikasi, takut mengambil resiko, takut mencoba) karena miskin eksplorasi (hingga miskin dengan pengalaman) maka ijazah sarjana yang diperoleh sangat bagus untuk di pajang saja di dinding rumah.
Semangat eksplorasi untuk hal- hal yang positif sangat perlu dipertahankan. Eksplorasi telah membuat orang kaya dengan pengalaman langsung. Eksplorasi dapat dilakukan lewat menjelajah alam, kota, menjelajah berbagai tempat- mengenal dan berhubungan dengan orang baru, tempat baru dan suasana baru. Orang orang yang gemar melakukan eksplorasi akan memiliki mental yang kuat dan pengalaman yang banyak. Pendidikan juga membutuhkan eksplorasi untuk membuat kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang juga meningkat.
(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)
Kamis, 10 September 2009
Bila Media Televisi Kurang Memiliki Nilai Pendidikan
Bila Media Televisi Kurang Memiliki Nilai Pendidikan
Oleh. Marjohan M.Pd
SMAN 3 Batusangkar
Dalam mata pelajaran civic (kewarganegaraan) dikatakan bahwa ada empat kekuaasaan dalam bernegara yaitu kekuaasaan legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), yudikatif (menegakan undang-undang) dan kekuasaan atau kekuatan media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Setelah tahun 2000, yaitu pasca krisis moneter, industri media massa tampak begitu subur. Sehingga sekarang ada puluhan judul media cetak (surat kabar, tabloid, dan surat kabar) dan media elektronik (televisi dan radio) berskala lokal (propinsi) dan skala nasional. .
Media massa mempunyai kekuatan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Para pahlawan seperti Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Buya Hamka (dan lain-lain) mampu membentuk opini masyarakat melalui media cetak bahwa mereka adalah bangsa Indonesia dan harus merebut kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Tomo melalui media elektronik (radio) telah mengobarkan gelora emosi rakyat untuk mengusir penjajah.
Selanjutnya bagaimana pula kekuatan pengaruh dari media televisi dalam mendidik dan membina mental/ akhlak generasi muda dan generasi tua di tanah air ini ? Manfaat televisi dalam membangun mental bangsa bias dilihat dari bentuk atau jenis mata acara yang mereka miliki. Mata acara televisi seperti warta berita, dengan nama lain seperti Buletin Siang, Seputar Indonesia, News Flash, Metro Siang, Liputan Pagi, dan lain-lain, bisa memperkaya informasi masyarakat. Mata Acara dalam bentuk laporan, pengajian dan bincang-bincang juga memperkaya kognitif dan affektif atau mental pemirsanya.
Lebih lanjut bahwa sekarang telah ada belasan televisi swasta di negara tercinta ini dan apa saja kontribusi mereka dalam pembangunan mental pemirsanya ? Pada umumnya konten (isi) mata acara televisi swasta adalah dalam bentuk hiburan dan iklan. Pagi-pagi buta, sebelum ayam berkokok, sudah ada yang menyuguhi masyarakat film-film dan hiburan. Pada hal secara logika pemirsa belum butuh dihibur karena masih fit and fresh (segar dan bugar). Ini terjadi karena misi televisi swasta adalah bukan untuk mendidik masyarakat tetapi untuk mnghibur dengan missi infotaiment (informasi dan entertainment).
Hiburan yang diberikan adalah serangkaian film dan film dari pagi sampai larut malam. Kalau dihitung ada 10 atau 11 film yang disuguhkan. Maka kalau ada masyarakat yang kerajingan nonton film, pastilah mereka akan menghabisan waktu belasan jam di depan layar televisi setiap hari dan akan kehilangan saat-saat produktif dalam mengembangkan diri mereka. Sementara itu bentuk informasi yang disuguhkan pada masyarakat adalah dalam bentuk kupasan laporan kriminal dan gunjingan (gossip atau dalam istilah agama adalah ghibah ) seputar kehidupan selebriti- artis, atlit, konglomerat dan public figure yang lain. Apa gunanya ? Ya mungkin agar penonton menjadi tukang gossip atau sekedar memperoleh info murahan sebagai pembunuh waktu.
Selanjutnya tentang konten film yang cendrung mengekspose kekayaan, kemewahan dan kekerasan. Pemirsa disuguhi adengan actor sinetron yang kerjanya naik mobil- turun mobil mewah, menghardik dan memaki orang tua ata anak. Kalau ada film tentang sekolah maka siswa yang dianggap pintar adalah siswa yang berkacamata tebal dan lugu, kalau guru- ya guru yang killer atau guru miskin yang pergi sekolah mendayung sepeda. Ini adalah bentuk pelecehan terselubung terhadap dunia pendidikn.
Para presenter televisi pada umumnya cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Mereka adalah orang-orang cerdas yang telah lulus dalam serangkaian seleksi yang ketat. Namun mengapa penampilan mereka tidak lagi membumi dan alami. Rambut yang hitam musti dipoles warna warni dan pakaian yang sopan musti disulap menjadi pakaian yang mempertontonkan aurat dan disuguhi kepada pemirsa yang terdiri dari masyarakat awam, intelektual, pendidik, tokoh spiritual dan kaum ulama, mungkin sambil berujar “lihatlah auratku !”. Atau ada misi khusus untuk mengajak dan memotivasi pemirsa bahwa “beginilah menjadi orang hebat dan orang moderen itu”. Tidak heran bahwa ternyata mereka , presenter, selebriti dan public figure yang satu aliran, telah menginspirasi pemirsa mereka. Remaja dan rakyat awam, untuk mengikuti life style mereka- cara berpakaian, cara berbicara, cara berjalan dan cara berprilaku yang lain. Maka secara perlahan, sadar atau tidak sadar, maka tercabutlah mereka dari gaya hidup asli mereka – budaya sendiri.
Sekarang terasa dan terlihat bahwa program media elektronik (terutama TV swasta) tidak lagi memberi pencerahan dan pendidikan pada pemirsa mereka. Mata acara yang mereka tayangkan terlihat bisa memicu emosi pemirsanya. Masih ingat kisah kisruhnya rumahtangga Manohara dengan Sultan dari salah satu Kerajaan di negara bagian di Malaysia ? Pasti Romeo dan Juliet abat ke 21 ini pada awalnya pernah memiliki kisah cinta sehingga mereka bisa jumpa dan duduk di mahligai perkawinan. Namun ketika terjadi prahara cinta, maka TV swasta yang memiliki mata acara bergossip atau “bergunjing atau berghibah” mengupas dan mengemas mata acara gossip ini menjadi konsumsi emosi pemirsa. Namun kupasan gossip perceraian Manora versus Pangeran Kelantan cuma disorot secara tajam dari sisi Manohara semata dan tidak satu pun ada sorotan berimbang dari sisi Raja, alias TV swasta tidak netral. Tayangan gossip atas nama membela Manohara sebagai orang Indonesia dan rasa nasionalis maka yang timbul pada pemirsa adalah rasa nasionalis yang kebablasan- emosi yang meledak ledak.
Apakah pengusaha industri media elektronik tidak tahu bahwa bangsa kita juga pernah dan masih menyadur budaya dan kesenian bangsa lain. Agaknya banyak orang Indonesia yang pernah mendengar dan menikmati lagu-lagu popular yang irmanya disadur dari irama Mandarin, Amerika Latin atau dari yel-yel (lagu) Piala Dunia (Coup de Le Monde) yang berbunyi “go-go-go, alle-alle-alle”, juga irama lagu “guantanamera” serta lagu la bamba yang lain hingga menjadi popular dan menghidupkan industri hiburan di negeri ini. Hadad Alwi sendiri sebagai musisi Islam juga menyadur irama lagu “follow me- follow me” menjadi nasyid yang digandrungi oleh tua dan muda.
Saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden , maka etnis Cina memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan diri dan budaya mereka. Selanjutnya sejak itu sampai saat sekarang arak-arakan Barongsai menjadi kesenian yang cukup popular di kota-kota besar. Kemudian tarian Ramayana, yang aslinya berasal dari India, telah menjadi seni budaya di Pulau Jawa. Namun mengapa negara Cina dan India tidak protes dan mencak-mencak di media massa sampai di dunia cyber.
Namun tiba-tiba ada oknum personel (bukan atas nama pemerintah) dari Malaysia mengadopsi kesenian kita “Tari Pendet”, lagu “rasa sayange” dan lain-lain. Adopsi budaya ini lagi-lagi dikupas dan diberi bumbu emosinal yang membangkitkan amarah dan gelora kebencian dalam tayangan mata acara “televisi- televisi swasta tertentu”. Katanya demi menumbuhkan rasa nasionalis yang cenderung tenggelam. Maka betul-betul bergejolaklah amarah dan kebencian pemuda “ganyang Malaysia…..!!!”. Keberadaan situs gratisan di cyber, lewat blogger, multiply, wordpress, Face Book, juga disalah gunakan dengan membuat situs carut marut antara anak-anak Malaysia dan anak-anak Indonesia. Bermuncullan situs-situs liar “Malingsia, Indoesial, dan lain-lain”, walau mereka sama sama satu rumpun melaya dan mungkin se-agama- Islam yang dalam sholat mengucapkan “innnas sholati wanushuji wamahyaya wamahmati lillahirabbil ‘alamin- sesungguhnya sholatku, perbuatanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah”. Apakah ini yang dinamakan dengan rasa nasionalis- rasa nasionalis untuk anak-anak Indonesia dan anak-anak dari Indonesia ? Apakah seperti ini rasa nasionalis yang diinginkan oleh industri media elektronik, terutama TV swasta, di negeri ini ?
Agaknya untuk menumbuhkan rasa nasionalis- dalam bentuk dorongan positif- para generasi muda, maka pihak televisi bisa berbuat banyak. Misalnya dengan menyediakan kuota mata acara khusus dan menayang lagu-lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu lagu nasional lain, seperti “Rayuan Pulau Kelapa, Bandung Lautan Api, Jembatan Merah, Dari Sabang Sampai Merauke, dan lain-lain. Namun dalam kenyataanya mereka (para pengusaha industri media elektronik) kikir dalam mempromosikan lagu-lagu nasional, dan lagu kebangsaan. Kenyataan lagu-lagu cinta yang cengeng dan bermesraan yang selalu mengumandang dalam rumah-rumah bangsa Indonesia. Sehingga balita-balita lugu banyak yang lebih hafal lagu-lagu cinta yang patut dikonsumsi orang remaja/.dewasa.
Dalam sebuah berita koran Singgalang (Agustus, 2009) mengatakan berdasarkan survey wartawannya bahwa cukup banyak orang dewasa di kota Padang yang tidak kenal lagi dengan bait dan lirik lagu “Indonesia Raya”. Ini adalah akibat dampak dari lagu-lagu kebangsaan dan lagu nasional sudah jarang diputar dan dikumandangkan di pesawat radio dan televisi.
Lantas, apakah konten dan semua mata acara televisi itu jelek ? Terus terang mata acara televisi juga banyak yang bagus. Film-film religi mendapat respon positif di masyarakat yang luas. Mata acara kuiz, jelajah alam dan bincang-bincang cukup bagus untuk menambah wawasan pemirsa mereka. Namun sayang bahwa banyak masyarakat kita yang tidak tahu dengan aturan menonton dan menghidupkan televise, sampai- sampai telah mencederai pendidikan anak-anak mereka sendiri- hingga jadi malas belajar dan beribadah, gara-gara tayangan televise jauh lebih menarik dan menggiurkan.
Zaman sudah semakin aneh dan banyak orang menjadi entertainment oriented. Membayangkan dan menganggap bahwa kita akan bahagia kalau diberi sarana hiburan. “Mak kalau aku ada reski, mak akan aku belikan televise 24 inchi…!”. Memang aneh mengapa orang tua yang sudah beranjak uzur tidak dimotivasi untuk banyak beribadah untuk mempersiapkan diri menuju Khalik- Sang Pencipta.
Memang inilah fenomena yang terjadi sekarang, mulai dari usia anak-anak sampa ke usia sangat tua, banyak famili kita yang betul-betul gemar menonton. Isi mata acara yang disuguhkan oleh TV- iklan dan hiburan yang berpotensi mendorong pemirsa dari seluruh lapisan umur untuk pro dengan gaya hidup mewah, hedonisme (ingin hidup serba senang) dan gaya hidup konsumerisme untuk dilahap habis-habisan sehingga memang telah mengubah gaya hidup mereka.
Sekarang bagi kita yang sadar akan eksistensi televise- plus dan minusnya dan bagi mereka yang belum siap untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang ditawarkan televisi yang banyak unsur komersilnya untuk berfikir bila hendak membeli televise dan berfikir bila hendak menghidupkannya. Penulis sendiri dan beberapa orang teman merasakan pengaruh negative televise dalam mendidik anak dan memutuskan untuk bersikap “say no to television”. Namun untuk kebutuhan informasi dan pendidikan maka penulis menyediakan media cetak (majalah dan surat kabar). Kebutuhan jelajah anak dikembangkan lewat dunia buku dan beberapa educational game pada laptop. Mendidik anak tanpa kehadiran televise telah membuat anak- anak bebas dari hardikan dan celaan gara-gara kerajingan nonton televise dan malas belajar dan bekerja.
(Marjohan M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)
Oleh. Marjohan M.Pd
SMAN 3 Batusangkar
Dalam mata pelajaran civic (kewarganegaraan) dikatakan bahwa ada empat kekuaasaan dalam bernegara yaitu kekuaasaan legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), yudikatif (menegakan undang-undang) dan kekuasaan atau kekuatan media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Setelah tahun 2000, yaitu pasca krisis moneter, industri media massa tampak begitu subur. Sehingga sekarang ada puluhan judul media cetak (surat kabar, tabloid, dan surat kabar) dan media elektronik (televisi dan radio) berskala lokal (propinsi) dan skala nasional. .
Media massa mempunyai kekuatan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Para pahlawan seperti Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Buya Hamka (dan lain-lain) mampu membentuk opini masyarakat melalui media cetak bahwa mereka adalah bangsa Indonesia dan harus merebut kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Tomo melalui media elektronik (radio) telah mengobarkan gelora emosi rakyat untuk mengusir penjajah.
Selanjutnya bagaimana pula kekuatan pengaruh dari media televisi dalam mendidik dan membina mental/ akhlak generasi muda dan generasi tua di tanah air ini ? Manfaat televisi dalam membangun mental bangsa bias dilihat dari bentuk atau jenis mata acara yang mereka miliki. Mata acara televisi seperti warta berita, dengan nama lain seperti Buletin Siang, Seputar Indonesia, News Flash, Metro Siang, Liputan Pagi, dan lain-lain, bisa memperkaya informasi masyarakat. Mata Acara dalam bentuk laporan, pengajian dan bincang-bincang juga memperkaya kognitif dan affektif atau mental pemirsanya.
Lebih lanjut bahwa sekarang telah ada belasan televisi swasta di negara tercinta ini dan apa saja kontribusi mereka dalam pembangunan mental pemirsanya ? Pada umumnya konten (isi) mata acara televisi swasta adalah dalam bentuk hiburan dan iklan. Pagi-pagi buta, sebelum ayam berkokok, sudah ada yang menyuguhi masyarakat film-film dan hiburan. Pada hal secara logika pemirsa belum butuh dihibur karena masih fit and fresh (segar dan bugar). Ini terjadi karena misi televisi swasta adalah bukan untuk mendidik masyarakat tetapi untuk mnghibur dengan missi infotaiment (informasi dan entertainment).
Hiburan yang diberikan adalah serangkaian film dan film dari pagi sampai larut malam. Kalau dihitung ada 10 atau 11 film yang disuguhkan. Maka kalau ada masyarakat yang kerajingan nonton film, pastilah mereka akan menghabisan waktu belasan jam di depan layar televisi setiap hari dan akan kehilangan saat-saat produktif dalam mengembangkan diri mereka. Sementara itu bentuk informasi yang disuguhkan pada masyarakat adalah dalam bentuk kupasan laporan kriminal dan gunjingan (gossip atau dalam istilah agama adalah ghibah ) seputar kehidupan selebriti- artis, atlit, konglomerat dan public figure yang lain. Apa gunanya ? Ya mungkin agar penonton menjadi tukang gossip atau sekedar memperoleh info murahan sebagai pembunuh waktu.
Selanjutnya tentang konten film yang cendrung mengekspose kekayaan, kemewahan dan kekerasan. Pemirsa disuguhi adengan actor sinetron yang kerjanya naik mobil- turun mobil mewah, menghardik dan memaki orang tua ata anak. Kalau ada film tentang sekolah maka siswa yang dianggap pintar adalah siswa yang berkacamata tebal dan lugu, kalau guru- ya guru yang killer atau guru miskin yang pergi sekolah mendayung sepeda. Ini adalah bentuk pelecehan terselubung terhadap dunia pendidikn.
Para presenter televisi pada umumnya cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Mereka adalah orang-orang cerdas yang telah lulus dalam serangkaian seleksi yang ketat. Namun mengapa penampilan mereka tidak lagi membumi dan alami. Rambut yang hitam musti dipoles warna warni dan pakaian yang sopan musti disulap menjadi pakaian yang mempertontonkan aurat dan disuguhi kepada pemirsa yang terdiri dari masyarakat awam, intelektual, pendidik, tokoh spiritual dan kaum ulama, mungkin sambil berujar “lihatlah auratku !”. Atau ada misi khusus untuk mengajak dan memotivasi pemirsa bahwa “beginilah menjadi orang hebat dan orang moderen itu”. Tidak heran bahwa ternyata mereka , presenter, selebriti dan public figure yang satu aliran, telah menginspirasi pemirsa mereka. Remaja dan rakyat awam, untuk mengikuti life style mereka- cara berpakaian, cara berbicara, cara berjalan dan cara berprilaku yang lain. Maka secara perlahan, sadar atau tidak sadar, maka tercabutlah mereka dari gaya hidup asli mereka – budaya sendiri.
Sekarang terasa dan terlihat bahwa program media elektronik (terutama TV swasta) tidak lagi memberi pencerahan dan pendidikan pada pemirsa mereka. Mata acara yang mereka tayangkan terlihat bisa memicu emosi pemirsanya. Masih ingat kisah kisruhnya rumahtangga Manohara dengan Sultan dari salah satu Kerajaan di negara bagian di Malaysia ? Pasti Romeo dan Juliet abat ke 21 ini pada awalnya pernah memiliki kisah cinta sehingga mereka bisa jumpa dan duduk di mahligai perkawinan. Namun ketika terjadi prahara cinta, maka TV swasta yang memiliki mata acara bergossip atau “bergunjing atau berghibah” mengupas dan mengemas mata acara gossip ini menjadi konsumsi emosi pemirsa. Namun kupasan gossip perceraian Manora versus Pangeran Kelantan cuma disorot secara tajam dari sisi Manohara semata dan tidak satu pun ada sorotan berimbang dari sisi Raja, alias TV swasta tidak netral. Tayangan gossip atas nama membela Manohara sebagai orang Indonesia dan rasa nasionalis maka yang timbul pada pemirsa adalah rasa nasionalis yang kebablasan- emosi yang meledak ledak.
Apakah pengusaha industri media elektronik tidak tahu bahwa bangsa kita juga pernah dan masih menyadur budaya dan kesenian bangsa lain. Agaknya banyak orang Indonesia yang pernah mendengar dan menikmati lagu-lagu popular yang irmanya disadur dari irama Mandarin, Amerika Latin atau dari yel-yel (lagu) Piala Dunia (Coup de Le Monde) yang berbunyi “go-go-go, alle-alle-alle”, juga irama lagu “guantanamera” serta lagu la bamba yang lain hingga menjadi popular dan menghidupkan industri hiburan di negeri ini. Hadad Alwi sendiri sebagai musisi Islam juga menyadur irama lagu “follow me- follow me” menjadi nasyid yang digandrungi oleh tua dan muda.
Saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden , maka etnis Cina memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan diri dan budaya mereka. Selanjutnya sejak itu sampai saat sekarang arak-arakan Barongsai menjadi kesenian yang cukup popular di kota-kota besar. Kemudian tarian Ramayana, yang aslinya berasal dari India, telah menjadi seni budaya di Pulau Jawa. Namun mengapa negara Cina dan India tidak protes dan mencak-mencak di media massa sampai di dunia cyber.
Namun tiba-tiba ada oknum personel (bukan atas nama pemerintah) dari Malaysia mengadopsi kesenian kita “Tari Pendet”, lagu “rasa sayange” dan lain-lain. Adopsi budaya ini lagi-lagi dikupas dan diberi bumbu emosinal yang membangkitkan amarah dan gelora kebencian dalam tayangan mata acara “televisi- televisi swasta tertentu”. Katanya demi menumbuhkan rasa nasionalis yang cenderung tenggelam. Maka betul-betul bergejolaklah amarah dan kebencian pemuda “ganyang Malaysia…..!!!”. Keberadaan situs gratisan di cyber, lewat blogger, multiply, wordpress, Face Book, juga disalah gunakan dengan membuat situs carut marut antara anak-anak Malaysia dan anak-anak Indonesia. Bermuncullan situs-situs liar “Malingsia, Indoesial, dan lain-lain”, walau mereka sama sama satu rumpun melaya dan mungkin se-agama- Islam yang dalam sholat mengucapkan “innnas sholati wanushuji wamahyaya wamahmati lillahirabbil ‘alamin- sesungguhnya sholatku, perbuatanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah”. Apakah ini yang dinamakan dengan rasa nasionalis- rasa nasionalis untuk anak-anak Indonesia dan anak-anak dari Indonesia ? Apakah seperti ini rasa nasionalis yang diinginkan oleh industri media elektronik, terutama TV swasta, di negeri ini ?
Agaknya untuk menumbuhkan rasa nasionalis- dalam bentuk dorongan positif- para generasi muda, maka pihak televisi bisa berbuat banyak. Misalnya dengan menyediakan kuota mata acara khusus dan menayang lagu-lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu lagu nasional lain, seperti “Rayuan Pulau Kelapa, Bandung Lautan Api, Jembatan Merah, Dari Sabang Sampai Merauke, dan lain-lain. Namun dalam kenyataanya mereka (para pengusaha industri media elektronik) kikir dalam mempromosikan lagu-lagu nasional, dan lagu kebangsaan. Kenyataan lagu-lagu cinta yang cengeng dan bermesraan yang selalu mengumandang dalam rumah-rumah bangsa Indonesia. Sehingga balita-balita lugu banyak yang lebih hafal lagu-lagu cinta yang patut dikonsumsi orang remaja/.dewasa.
Dalam sebuah berita koran Singgalang (Agustus, 2009) mengatakan berdasarkan survey wartawannya bahwa cukup banyak orang dewasa di kota Padang yang tidak kenal lagi dengan bait dan lirik lagu “Indonesia Raya”. Ini adalah akibat dampak dari lagu-lagu kebangsaan dan lagu nasional sudah jarang diputar dan dikumandangkan di pesawat radio dan televisi.
Lantas, apakah konten dan semua mata acara televisi itu jelek ? Terus terang mata acara televisi juga banyak yang bagus. Film-film religi mendapat respon positif di masyarakat yang luas. Mata acara kuiz, jelajah alam dan bincang-bincang cukup bagus untuk menambah wawasan pemirsa mereka. Namun sayang bahwa banyak masyarakat kita yang tidak tahu dengan aturan menonton dan menghidupkan televise, sampai- sampai telah mencederai pendidikan anak-anak mereka sendiri- hingga jadi malas belajar dan beribadah, gara-gara tayangan televise jauh lebih menarik dan menggiurkan.
Zaman sudah semakin aneh dan banyak orang menjadi entertainment oriented. Membayangkan dan menganggap bahwa kita akan bahagia kalau diberi sarana hiburan. “Mak kalau aku ada reski, mak akan aku belikan televise 24 inchi…!”. Memang aneh mengapa orang tua yang sudah beranjak uzur tidak dimotivasi untuk banyak beribadah untuk mempersiapkan diri menuju Khalik- Sang Pencipta.
Memang inilah fenomena yang terjadi sekarang, mulai dari usia anak-anak sampa ke usia sangat tua, banyak famili kita yang betul-betul gemar menonton. Isi mata acara yang disuguhkan oleh TV- iklan dan hiburan yang berpotensi mendorong pemirsa dari seluruh lapisan umur untuk pro dengan gaya hidup mewah, hedonisme (ingin hidup serba senang) dan gaya hidup konsumerisme untuk dilahap habis-habisan sehingga memang telah mengubah gaya hidup mereka.
Sekarang bagi kita yang sadar akan eksistensi televise- plus dan minusnya dan bagi mereka yang belum siap untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang ditawarkan televisi yang banyak unsur komersilnya untuk berfikir bila hendak membeli televise dan berfikir bila hendak menghidupkannya. Penulis sendiri dan beberapa orang teman merasakan pengaruh negative televise dalam mendidik anak dan memutuskan untuk bersikap “say no to television”. Namun untuk kebutuhan informasi dan pendidikan maka penulis menyediakan media cetak (majalah dan surat kabar). Kebutuhan jelajah anak dikembangkan lewat dunia buku dan beberapa educational game pada laptop. Mendidik anak tanpa kehadiran televise telah membuat anak- anak bebas dari hardikan dan celaan gara-gara kerajingan nonton televise dan malas belajar dan bekerja.
(Marjohan M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)
Rabu, 02 September 2009
Buru-buru Ke Internet Untuk Tujuan Pendidikan atau Demoralized
Buru-buru Ke Internet Untuk Tujuan Pendidikan atau Demoralized
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Zaman terus bergulir. Ahli sejarah memilah-milah zaman sesuai dengan fenomena alam dan sosial pada masa itu. Ada zaman batu, zaman perunggu, zaman pra sejarah dan lain-lain. Di tahun 1970-an, saat appolo baru saja diluncurkan ke luar angkasa oleh Amerika Serikat, maka orang menyebut tahun-tahun tersebut dengan zaman Apollo. Zaman appolo ternyata punya ciri khas pada gaya hidup anak muda (pada masa itu) seperti ngetrend memakai celana panjang dengan dasar kain /cut-brai/ dan celana gunting Spanyol dengan bagian bawah sangat longgar (kalau dibawa berjalan bias menyapu lantai), memakai kacamata dengan bingkai lebar (kacamata pantat botol) serta memakai rambut keriting- kribo, seperti sarang burung tampuo (tempua).
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Zaman terus bergulir. Ahli sejarah memilah-milah zaman sesuai dengan fenomena alam dan sosial pada masa itu. Ada zaman batu, zaman perunggu, zaman pra sejarah dan lain-lain. Di tahun 1970-an, saat appolo baru saja diluncurkan ke luar angkasa oleh Amerika Serikat, maka orang menyebut tahun-tahun tersebut dengan zaman Apollo. Zaman appolo ternyata punya ciri khas pada gaya hidup anak muda (pada masa itu) seperti ngetrend memakai celana panjang dengan dasar kain /cut-brai/ dan celana gunting Spanyol dengan bagian bawah sangat longgar (kalau dibawa berjalan bias menyapu lantai), memakai kacamata dengan bingkai lebar (kacamata pantat botol) serta memakai rambut keriting- kribo, seperti sarang burung tampuo (tempua).
Zaman appolo pun berakhir, maka datang tahun 1980-an. Para orator dan orang banyak ngetrend pula menggunakan istilah zaman computer, Kalau orang yang pintar maka disebut berotak computer “wah dia cerdas sekali, punya otak computer”. Adalagi yang memberi refleksinya dengan zaman mutakhir, terserah kepada fenomena dan cara orang memandang. Dan sekarang, sejak tahun 2000-an banyak pula orang yang menyebutnya dengan zaman ICT (Information Communication Technology), zaman teknologi informasi dan komunikasi, atau zaman internet. Orang –orang yang menjadi actor dalam zaman internet ini tentu saja mereka yang familiar, tidak gagap teknologi, dengan internet. Mereka adalah anak-anak sekolah yang duduk di bangku sekolah- mungkin SD, SMP, SMA, SMK, MAN dan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Demikian pula orang-orang yang berasal dari profesi lain.
Anak-anak sekolah pada dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu bila lonceng sekolah untuk pulang berdentang maka mereka buru-buru ingin pulang. Segera menemui orang tua dan menikmati makan siang serta menyantap singkong goreng. Sementara pelajar yang berusia remaja saat itu bila pulang sekolah, mungkin ada yang singgah di bioskop untuk mencek apa film dan siapa bintang film pada minggu itu.
Namun para pelajar di zaman internet sekarang tidak demikian , bila jam sekolah usai mereka buru-buru pergi ke warnet. Mereka tidak segera pulang walau orang tua selalu menunggu. Sebagian menelpon atau mengirim SMS (Short Message Service) “Mama, maaf ya, aku pulang telat karena pergi ke warnet untuk mencari tugas”, dan tentu saja orang tua memberi restu.. Namun sebagian masih ragu “mencari tugas sekolah kok ke internet, mengapa tidak ke perpustakaan ?” Minimnya koleksi bacaan, pustaka yang jarang di buka dan tidak sempurnanya manajemen perpustakaan telah membuat minat baca mereka yang sudah rendah menjadi makin rendah. Sementara internet sangat membantu, cukup pengguna mengetik kata kunci pada mesin google, maka akan muncul belasan atau ratusan jawaban atas tugas yang dicari. Tetapi tunggu dulu, bahwa tidak semua tulisan dan artikel yang diperoleh lewat internet dapat dipertanggungjawabkan dan berkualitas. Karena kadangkala anak kecil yang sudah mengerti cara membuat blogger juga dapat memposkan sebuah tulisan untuk tujuan iseng-iseng.
Memang sekarang internet sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Dimana-mana terutama di daerah perkotaan sudah banyak bermunculan usaha internet dengan nama cafenet, warnet (warung internet), cybernet, atau nama lain. Semua tempat ini adalah sarana untuk memperoleh informasi dan komunikasi yang hampir tidak mungkin lagi bisa dipisahkan dari kebutuhan pelajar yang telah mengenalnya. Bagi mereka mengunjungi internet lebih menarik dan menyenangkan daripada harus mencari buku-buku di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum karena, sekali lagi, apa yang dicari di sana belum tentu ada.
Orang tua merasa bangga jika anak mereka mengenal dan telah bersahabat dengan internet- familiar dengan internet. Mereka tentu mengira bahwa pengetahuan anak akan berkembang pesat dengan masuknya internet ke dalam lingkungan pendidikan mereka.
Sejak jalur transportasi sudah begitu lancar dan mulus maka hampir tidak begitu luas lagi celah atau gap antara kota dan pedesaan. Industri komunikasi dalam bentuk warnet, cybernet dan café net dapat juga tumbuh di kedua tempat ini. Masyarakat yang punya landline phone (telepon rumah), beberapa unit computer dapat memasang speedy dalam ruang segi empat maka jadilah sebuah industri internet sebagai usaha kecil kecilan mengatasi pengangguran atau untuk penambah belanja membeli sembako (sembilan bahan pokok).
Seperti dikatakan pada bagian terdahulu bahwa fenomena di kalangan siswa sekarang, usai pulang sekolah mereka tidak mencari orang tua di rumah terlebih dahulu, tetapi mencari dimana ada warnet yang kosong. Masuk ke dalam dunia cyber adalah sebagai sarana alternative untuk rilek bagi mereka. Walau pada umumnya alasan anak kepada orang tua pergi ke warnet adalah untuk mencari tugas sekolah “namun kok sampai berjam-jam dan ada kecendrungan bahwa hampir tiap hari internet itu diserbu”.
Ternyata internet dengan daya tarik infotaiment (infomasi dan entertainment) atau edutaiment (edukasi dan entertainment) membuat anak mudah terpesona di depan layar computer tersebut. Pergilah ke warnet, tanyakan pada operator “apa saja fitur yang menarik bagi remaja atau para pelajar ?”. Umumnya aktivitas mereka di internet adalah mendowload lagu dan film (mungkin juga film porno), main game, chatting, saling berkirim surat dan SMS lewat face book atau myspace, bertukar foto lewat friendster, bertukar cerita dan berita lewat e-mail melalui yahoo, gmail, hotmail, plasa, telkom, atau bertukar album diary lewat blogger, wordpress dan multiply.
Ada perbedaan life skill antara generasi internet dengan generasi sebelumnya. Generasi sebelumnya, pulang sekolah banyak yang ikut terlibat dalam kegiatan alam dan kegiatan orang tua. Sehingga mereka banyak yang lebih pintar dalam mengurus rumah, lebih peka sosialnya dan trampil dalam menjelajah alam. Sementara generasi internet karena lebih akrab dengan alat-alat elektronika menjadi lebih mahir dalam urusan otak atik dan inilah efek positif dari internet. Tinggal lagi bagaimana mereka bsia menambah dan mengasah kepekaan pada sosial dan pada lingkungan.
Efek positif internet secara detail adalah sebagai sarana berkomunikasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain di belahan bumi yang lain. Pengguna juga bisa mencari informasi tentang sekolah, universitas, institusi riset, museum, bank, perusahaan, bisnis, perorangan, stasiun TV ataupun radio. Pengguna internet akan kaya dengan informasi tentang sekolah, pelajaran, bisnis, dan pekerjaan. Kemudian (sekali lagi) mereka bisa melakukan chatting, reservasi tiket dan hotel, menjual barang atau jasa. Lewat internet mereka juga bisa melakukan tagihan telepon, asuransi, kartu kredit dan melakukan konferensi atau diskusi online.
Dihubungkan dengan judul artikel ini “Buru-buru ke internet untuk tujuan pendidikan atau demoralized (merusak moral) ?” Sebagaimana telah disinggung bahwa internet juga punya manfaat untuk pendidikan. Internet dapat membantu siswa untuk mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan serta sharing riset antar siswa, terutama bagi mereka yang berjauhan tempat tinggalnya. Namun internet juga berpotensi untuk proses demoralized- merusak moral. Itu berarti bahwa internet juga punya sisi negative.
Melalui internet seorang siswa bisa menelusuri aneka macam materi yang berpengaruh negative, misalnya pornografi, rasisme, kejahatan, kekerasan dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan seperti pedofili dan pelecehan seksual. Barang –barang seperti Viagra (obat kuat untuk lelaki dewasa) alcohol dan narkoba banyak yang ditawarkan melalui internet. Bahkan melalui internet orang juga bisa melakukan penipuan dan pencurian.
Sekali lagi bahwa keberadaan warnet, cafenet dan cybernet berpotensi untuk mendatangkan gejala demoralized bagi pengguna yang sebagian besar adalah para siswa tingkat SMP, SMA, MAN dan SMK. Barangkali warnet bisa menjadi sepi kalau unit-unit computer cukup disusun berjejer di atas bangku atau meja tanpa diberi box sebagai penyekat/ pembatas berdinding tinggi antara satu pengguna dengan pengguna yang lain. Apakah hanya sekedar basa-basi saja kalau pemilik industri internet memasang penyekat berukuran rendah ? Namun tetap saja bisa menyembunyikan layar computer dari pandangan orang lain.
Penyalahgunaan internet tentu bisa menyebabkan gejala demoralized- pelunturan moral- siswa dan anak-anak kita. Maka orangtua, guru, pemerintah dan masyarakat perlu memberi tahu pemilik warnet, cafenet dan cybernet warning agar tidak memberi sekat pada setiap set computer.
Kemudian, karena internet juga bisa diakses lewat handphone yang mutakhir. Maka orang tua yang masih ingin punya anak bermoral mulia, untuk tidak memanjakan anak dan membelikan HP mahal yang punya fitur kamera dan pengakses internet. Sementara bagi rumah tangga/ famili yang menghubungkan unit computer dan laptop dengan speedy (pengakses internet) perlu untuk mengawasi penggunaan laptop dan computer tersebut untuk keluarga mereka..
Pencegahan pengaruh negative dapat dilakukan dengan menempatkan computer hanya di ruang keluarga , sebaiknya tidak di kamar anak. Orangtua harus terlibat dan menyediakan waktu dengan anak-anak pada saat mereka sedang online. Mereka perlu sebanyak mungkin mempelajari tentang komunitas online. Agaknya fitur media player (macro flah media) pada computer dan laptop tidak perlu untuk diinstall, karena anak bisa menikmati tontonan pornografi melalui saluran tube internet. Orang tua juga perlu mencari informasi dan mengenal software yang bisa untuk memblokir dan menyaring situs-situs tertentu. Sekali-sekali orang tua juga perlu mencek fitur history pada jendela internet. Bila ada situs yang tidak pantas untuk anak maka orang tua bisa melakukan klik tool, pilih dan klik internet options dan klik tombol clear history pada jendela internet option. Untuk penggunaan internet dengan tujuan pendidikan maka dianjurkan agar anak/ siswa dan orangtua juga guru untuk mengunjungi http://www.studentsoftheworld.info/, Melalui situs ini siswa dan guru dapat menambah teman dan komunikasi lain dengan komunitas internasional. Kemudian juga ada internet kids discussion pada http://www.kidlink.org/ . Ini merupakan situs internasional untuk membentuk dialog bagi anak-anak muda yang berusia sekitar 10 sampai 15 tahun. Pengunjung situs ini dapat mengirim e-mail kepada anak-anak di seluruh dunia dan bekerjasama pada proyek-proyek tertentu. Selanjutnya juga ada situs http://www.thinkquest.org/ yang merupakan situs kompetisi internet terbesar di dunia yang sangat berguna bagi siswa berumur 12 sampai 19 tahun. Bila ingin mengetahui perpustakan elektronik nagi usia mereka maka situs www.npac.syr.edu/textbook/kidweb cukup membantu mereka. Akhir kata harapan kepada guru dan orang tua agar tidak menjadi gatek (gagap teknologi) untuk bias mengenal teknologi ICT dan internet. Akhirnya kedua figure ini bias memahami dan menemani anak dengan keberadaan internet. Internet tidak mungkin disingkirkan dari kita dan dunia anak-anak karena benda elektronik ini cukup ampuh mempuat generasi kita menjadi cerdas, kaya informasi dan berkembang. Namun orang tua dan guru yang gagap internet dan siswa yang suka menyalahgunakan internet berpotensi membuat mereka menjadi generasi demoralized- generasi yang hancur akhlak mulianya. (Marjohan M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar).
Rabu, 26 Agustus 2009
Langkah-Langkah Menjadi Penulis Dan Manfaatnya Dalam Pengembangan Diri
Langkah-Langkah Menjadi Penulis Dan Manfaatnya Dalam Pengembangan Diri
Oleh . Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
marjohanusman@yahoo.com
Menulis adalah aktifitas yang sulit bagi sebagian orang. Banyak orang mengatakan bahwa menulis itu sungguh sulit. Ada yang mengatakan tidak punya waktu untuk menulis, kalau menulis mata menjadi berair. Ada pula yang senang berlindung berlindung dibalik alas an dan kata “tapi”. Saya ingin menulis tapi sibuk, saya ingin menulis tapi anak sering mengganggu, saya ingin …”tapi”, dan masih ada belasan alas an dibalik kata “tapi”.
Bagi saya sendiri pada mulanya juga beranggapan bahwa menulis itu juga sulit. Beruntung saya berlangganan majalah Kawanku saat belajar di SMP Negeri 1 Payakumbuh di tahun 1980an. Ada profil Leila Chudori Budiman (yang kemudian sering menulis dalam Koran Kompas) pada majalah tersebut dan bercerita bagaimana ia bisa menjadi penulis. Saat itu saya berfikir “wah enak sekali ya menjadi penulis, bisa menjadi orang ngetop, punya banyak teman dan mendapat bonus”.
Rasa ingin tahu saya tentang bagaimana menjadi penulis terobati saat saya berkenalan dengan berbagai buku biografi para penulis. Ada tetangga saya, Bapak Maran mantap Camat di kota Payakumbuh yang bisa bermain biola dan memiliki koleksi buku-buku. Maka saya sangat suka membaca biografi Ernest Hemingway, Zakiah Daradjat, Buya Hamka dan beberapa biografi penulis novel dan saya menjadi tahu bahwa untuk.
Saat saya remaja, tidak banyak godaan untuk tumbuh dan berkembang. Tidak banyak stasium televise dan program yang mengganggu kosentrasi belajar, kecuali hanya tayangan televise. Tidak ada HP kamera untuk diotak atik dan juga tidak ada VCD player untuk home theatre, apalagi computer, laptop dan internet seperti zaman sekarang. Oleh karena itu saya bisa berlatih banyak dan saya mempunyai lusinan buku diari yang penuh dengan coretan-coretan mimpi dan pengalaman.
Pulang sekolah saya terbiasa menulis. Saya merasa sebagai siswa yang paling jago dalam segala hal. Saya jago dalam bidang olah raga, jago matematik dan beberapa mata pelajaran lain, jago dengan bahasa Inggris dan semua teman kagum pada saya. Saya juga jatuh cinta dengan teman sekelas. Mimpi dan ilusi saya sebagai orang yang paling jago saya paparkan dalam buku tulis. Apabila selesai menulis, maka saya serahkan pada teman yang gemar membaca namun tidak bisa menulis. Kadang-kadang saya juga mengundang adik-adik dan anak tetangga untuk mendengar kisah kisa cinta yang saya tulis.
Bertambah umur tentu bertambah pula pengalaman hidup. Saat kuliah di UNP (saat itu IKIP Padang) saya bekerja paroh waktu sebagai pemandu wisata. Ada pengalaman suka duka selama menjadi guide; dibentak oleh bule-bule, karena mereka tidak memakai bahasa Inggris, atau memperoleh uang tip dari perusahaaan. Pengalaman tersebut juga saya tulis pada buku diari.
Membaca banyak buku, artikel dan fikiran-fikiran orang lain tentu bisa membuat tulisan lebih berkualitas. Tahun 1997, saya memutuskan untuk menjadi pembaca yang baik. Saya berlatih, membuat target untuk membaca 100 halaman setiap hari. Banyak membaca tentu akan membuat tulisan lebih menarik, saya bisa memaparkan banyak ilustrasi dan contoh-contoh dalam kehidupan.
Tahun 1990-an, saya menajdi guru di SMAN 1 Lintau. Saya tidak ingin menjadi guru kebanyakan yang aktifitasnya sangat monoton dan tidak bervariasi- pulang ke sekolah, masuk kelas dan mengajar dengan metode konvensional. Saya ingin menjadi guru dengan kepintaran berganda- guru, menguasai bidang studi, menguasai seni berkomunikasi, menguasai bahasa asing yang lain dan trampil dalam menulis. Untuk itu saya membaca banyak buku seputar paedagogy, psikologi, filsafat, biografi dan kisah kisah pencerahan dari orang lain. Akhirnya kemampuan dan energi menulis saya makin meningkat.
Setiap minggu saya mampu menulis satu atau dua artikel per-minggu. Saya memutuskan untuk mempublikasikanya pada Koran-koran di Sumbar. Saat itu ada tiga Koran yaitu Canang, Haluan dan Singgalang. Tahun 1992 tulisan saya pertama terbit di Koran Singgalang engan judul “Melacak pergaulan remaja dan tidak perlu frustasi bila gagal masuk perguruan tinggi”. Saya sangat bahagia dan energi menulis semakin bertambah, saya terus mengirim artikel ke Koran-koran. Bila dipublikasi saya tentu senang dan kalau ditolak saya berusaha untuk idak kecewa apalagi sampai menjadi frustasi. Frustasi tentu bisa membunuh kreatifitas menulis dan energi untuk melakukan aktifitas lain.
Di awal tahun 1990-an ada beberapa orang asing dari Perancis- Francoise Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Mereka bertugas di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta dan melakukan penelitian tentang hutan tradisionil di Lintau. Orang- orang Perancis tersebut kemudian menjadi temn baik saya dan mereka dating ke Sumatra dan berkunjung ke Rumah saya. Mereka membatu saya dalam mempelajari bahas Perancis dan meminta saya menulis untuk dipublikasi dalam. Dengan demikian tulisan saya tentang parawisata juga dipublikasi pada journal mereka, speleologie,di kota Tarbes, Perancis.
Ternyata ada manfaat menulis dalam pengembangan karir saya sebagai guru. Tahun 1998 ada seleksi guru teladan (sekarang guru berprestasi). Porto folio penuh dengan klipping artikel-artikel dan tulisan saya dalam bentuk lain, seperti resensi buku. Kemampuan menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Perancis, dan skor ujin tulis membuat saya bisa mewakili kecamatan Lintau Buo dan selanjutnya untuk tingkat Kabupaten Tanah Datar untuk seleksi guru TEladan. Di tingkat Provinsi, saya masuk nominasi dan akhirnya tahun 1998 saya tercatat sebagai guru teladan Sumatera Barat dalam usia tiga puluh tahun.
Tahun 2005, saya mutasi ke kota Batusangkar dan bertugas di sekolah baru pada sekolah “Pelayan Unggul” satu atap SMP-SMA unggul, yang mana kemudian berubah nama menjadi SMP Negeri 5 Batusangkar dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Berdomisili di kota batusangkar membuat saya mudah bersentuhan dengan tekhnologi- computer dan internet. Saya terus menulis dan menyalurkan tulisan lewat internet, mengirim artikel ke berbagai Koran lewat e-mail. Kemudian saya juga membuat situs gratisan lewat blogspot. Sebetulnya ada beberapa bentuk blog gratisan lain seperti wordpress dan multiply. Namun saya suka fitur blogspot. . Situs saya bernama http://penulisbatusangkar.blogspot.com/.
Tahun 2006, saya memperoleh beasiswa untuk mengikuti program pascasarjana di Universitas Negeri Padang. Kemampuan menulis membuat kuliah lancer dan saya bisa selesai pendidikan pada Pascasarjana. Kemampuan menulis membuat tesis saya bisa selesai lebih cepa, saya wisuda pada pertengahan tahun 2008.
Issue sertifikasi untuk guru professional pun bergulir dan segera menjadi realita. Bagi yang mampu memenuhi angka atau skor porto folio bisa lulus dan memperoleh sertifikasi sebagai guru professional. Saya mengetik ulang semua artikel yang pernah diterbitkan pada Koran-koran. Artikel yang telah diketik ulang saya kirim lagi ke Koran, tentu saja diedit lagi. Semuanya terbit lagi dan saya memperoleh honorarium lagi. Saya juga mempostingkan tulisan tadi dalam blogspot saya dan kumpulan artikel yang pernah dipublikasikan membuat saya bisa lulus sertifikasi lewat portofolio. Betul-betul dana sertifikasi yang telah saya terima membuat saya dan keluarga menjadi lebih sejahtera, bisa membeli laptop dan memperbaiki bangunan rumah.
Saya inginmenjadi penulis buku dan tidak harus menulis buku tebal dari awal sampai akhir sebanyak 250 halaman. Saya menseleksi beberapa tulisa yang sama temanya menjadi satu buku. Temanya tentang pendidikan dan saya beri judul: SCHOOL HEALING MENYEMBUHKAN PROBLEM PENDIDIKAN. Bulan Februari 2009 ini saya punya rencana untuk menyerahkan pada teman untuk diterbitkan di Provinsi Riau, namun lebih dahulu ada telepon dari Jogjakarta- penerbit Pustaka Insan Madani- ingin mencetak dan meberbit naskah buku atau tulisan saya. Saya menyetujui. Insyaallah, menurut pihak penerbit bahwa dalam bulan Agustus 2009 ini buku saya sudah siap cetak dan siap untuk diluncurkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Moga-moga bermanfaat oleh masyarakat.
Kemampuan menulis ternyata adalah sebuah keterampilan. Semua orang bisa menjadi penulis asal dia banyak berlatih dan menyenangi aktifitas menulis. Menulis bisa mendatangkan manfaat. Penulis bisa berbagi ide dan opini dengan pembaca, bisa memperoleh honor dan sangat membantu bagi guru untuk memperoleh skor portofolio untuk sertifikasi guru. Penulis artikel bisa mengembangkan diri menjadi penulis buku dan memperoleh royalty pada akhir tahun.
Langganan:
Postingan (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...