Jakarta- Sydney
1. Air Port Antar Bangsa
Bandara Sukarno- Hatta tentu saja merupakan bandara
modern dan terbesar di Indonesia. Usai mengambil koper pada bagasi counter,
kami segera keluar untuk menemukan
toilet dan musholla buat sholat zuhur- pengganti sholat Jum’at dan melakukan
sholat jamak zohor dan ashar. Kami selanjutnya beristirahat dan ingin menikmati
makanan siang (lunch) pada gallery
restoran. Desi Dahlan yang kami tunjuk sebagai bendahara selama perjalanan
segera memesan makanan.
Aku memesan masakan Padang karena nanti kalau sudah di
Australia aku bakalan susah untuk menemui makanan Padang. Sementara itu Pak
Elfan mengontak biro perjalanan untuk segera bisa mengantarkan tiket, passport dan visa kami.
Lagi- lagi aku meminta Inhendri Abbas untuk menjepret wajahku melalui kamera phonecell. Seperti biasa bahwa aku
segera mengupload foto dan berita dimana saja berada pada wall FB-ku agar
teman- teman juga mengikuti kisah perjalananku ke Australia.
“Wow…hidangan kesukaanku, nasi pake asam pedas ikan
tongkol dan juga ada goreng terong dan goreng petai campur cabe muda”. Aku
selalu terbiasa untuk memilih hidangan seafood/ ikan laut dari pada goreng ayam atau daging sapi, karena kadar
kolesterol ikan lau lebih rendah dan berarti lebih sehat. Berapa harga satu
porsi ?
“Di restaurant di komplek bandara ini, harga makanan
kadang kala bukan menurut porsi atau ukuran piring namun per item. Misalnya
harga satu piring nasi, sekeping ayam dan sekeping gulai ikan”. Demikian
penjelasan Desi Dahlan. Masakan Padang memang selalu cocok pada lidahku dan
juga pada lidah banyak orang. Itulah hebatnya restaurant Padang ada di mana-
mana di nusantara ini. Malah juga merambah ke berbagai manca negara, aku
berharap bisamenemui restoran Padang di Australia.
Aku menghabiskan semua makananku, aku tidak terbiasa
menyisakan makanan- itu namanya mubazir dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Malah pada berbagai restaurant di Singapura juga ditulis di dindingnya “Love food and hate waste- jangan mubazir
makanan”. Sementara orang- orang kita
kalau makan, di restaurant dan juga di tempat pesta, terkesan punya prilaku
suka mubazir.
“Mereka ambil segala lauk pauk dan menumpuk ke atas
piring, kemudian hanya memakannya sedikit dan menyisakannya. Pergi dan
membiarkan makanan banyak mubazir. Aku bersedih melihat perilaku bangsa kita
ini saat makan pada setiap pesta perkawinan…mereka gemar mubazir…menyisakan
banyak makanan. Perilaku ini mutlak untuk dibuang”. Aku berfikir bahwa ini
termasuk gaya hidup yang dibuat-buat dan menganggap cara demikianlah yang
menggambarkan sebagai orang berbudaya- pada hal itu adalah salah besar. Ada kesan bahwa orang kita merasa gembira
kalau ia dikatakan berprilaku boros atau tidak hemat dalam hidup.
Menunggu selalu terasa membosankan. Aku mengatasi rasa
bosa dengan cara berbincang- bincang dengan Desi- temanku dan ia juga seorang
guru berprestasi nomor 1 tingkat nasional yang juga mengajar di Batusangkar-
aku bertanya mengapa ia memilih karir sebagai guru. Aku tidak mau mengganggu
Inhendri yang sering menelpon ke kampungnya, karena anaknya tadi pagi agak
rewel saat ia berangkat.
“Oh ya, saat di SMA saya juga ingin melanjutkan kuliah ke
fakultas kedokteran, namun saat itu belum ada program bidik misi, bea siswa- ya
semacam program kuliah dengan biaya murah. Apalagi ayah saya hanya seorang PNS
biasa dan ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara itu di sekolah saya
punya guru biologi yang begitu smart
dan saya mengidolakannya, akhirnya saya memutuskan diri masuk ke jurusan
biologi dan menjadi guru biologi saja, ya itu ceritanya”. Kata Desi Dahlan
“Hurry up….hurry
up..!!” Kataku begitu melihat Pak Elfan segera berdiri. Itu sebagai isyarat
bahwa tiket, paspor dan visa kami sudah siap diproses. Seorang pria datang,
namanya Niman. Niman adalah seorang pegawai dari biro perjalanan dan juga
bertugas untuk urusan AC atau arrival
check in, kali ini ia bertugas untuk membantu urusan penerbangan kami ke
Australia.
Terasa lapar lagi, Desi memutuskan untuk pergi mencari toko
makanan lagi dan aku menemaninya untuk mencari makanan spesifik dari Indonesia
buat Pak Ismet nanti di Australia. Makanan spesifik asli Minang atau Padang
tidak ada, kecuali makanan spesifik dari Jawa Barat. Itu oke jugalah dan kami
pilih yang punya rasa pedas. Selanjutnya kami bergegas menuju terminal 2 di
Cengkareng ini untuk tujuan keberangkatan internasional, kami harus mencari
taxi untuk menuju ke sana.
Di terminal
2, Niman memberi masing-masing kami satu tiket, visa dan passport. Sebagai
penggantinya kami harus membayar biaya penerbangan Jakarta- Sydney- Melbourne-
Sydney dan kembali ke Jakarta sebanyak Rp. 45 Juta. Uang tunai yang dipegang
Desi tentu saja sudah menyusut dari dalam dompetnya.
Kami selalu
tidak lupa dengan urusan ibadah dan kami melakukan sholat jamak magrib dan isya
pada sebuah praying room (musholla).
Jadi aku nanti tidak perlu lagi shalat isya dalam pesawat Qantas. Aku
memperhatikan bahwa orang- orang yang sholat pada musholla itu sangat taat,
sholatnya khusuk dan pribadi mereka terlihat tenang dan juga wajah mereka
bercahaya. Beda dengan suasana di luar musholla, orang banyak yang lalu lalang
namun saling tidak mengenal satu sama lain.
Niman
menjelaskan pada kami mana yang visa dan mana yang kertas buat mengambil tiket
rute Jakarta- Sydney dan Melbourne. Ia juga memberi beberapa penjelasan
tambahan dan nasehat- nasehat kecil yang bakalan berguna selama perjalanan kami.
Oh ya…kami ingin membeli dollar. Ia kemudian mengantarkan kami ke counter money changer dan ia kemudian say good bye pada kami.
Kami
bermaksud menukarkan mata uang Rupiah ke dalam Dollar Australia, namun jumlah
mata uang dollar Australia ternyata terbatas. Pegawai money changer mengupayakan bantuan, ia membawa lembaran pecahan
ratusan ribu rupiah dan pergi ke counter
temannya yang terletak agak jauh. Lama juga kami menunggu pegawai tersebut. Tiba-
tiba kami mendengar suara pengumuman dari speaker di terminal ini.
“Attention please to all passengers of Qantas
Flight from Jakarta to Sydney to be on
board”. Itu berarti bahwa process
boarding ke dalam pesawat Qantas internasional mulai bergerak.
“Oh my God…..”. Kami mulai jadi gusar,
pegawai money changer yang sengaja
mau menukarkan mata uang kami dan juga membawa uang kami belum juga muncul.
“Kalau anda
tidak memiliki cukup mata uang Australia maka….kembalikan uang kami”. Kami
mulai mendesak. Petugas money changer
juga tampak panik karena ia juga tidak memiliki mata uang rupiah.
“Oke mbak, kalau
anda tidak punya mata uang Dollar Australia dan juga uang kami/ Rupiah, maka
kami ambil saja Dollar Amerika sejumlah uang kami….” Aku mengusulkan sebuah
alternative maka temanku dan juga pegawai money
changer menyetujuinya. Ia menyerahkan sejumlah Dollar Amerika dan kami
buru- buru menghitungnya, setelah itu berangkat dari sana.
“Oke…bagus,
dari pada kita ketinggalan peswat dan kehilangan uang Rp. 45 Juta. Jangan-
jangan gara- gara mengharap uang yang jumlahnya lebih kecil, kami kita
kehilangan yang lebih besar yaitu tiket dan biaya perjalanan ke Australia yang
cukup mahal buat ukuran kantong kami”. Kata ku pada Inhedri dan Desi sambil
berjalan. Kami buru- buru melangkah menuju Gate D.6.
“Where is gate D.6…?” Tanyaku pada salah
seorang security dan ia menunjukan
arah menuju halte keberangkatan. Orang-orang di wilayah sana juga meresponku
dalam bahasa Inggris, barangkali mereka menduga mungkin aku warga Singapore
atau dari Vietnam. Sebab wajahku juga mirip dengan wajah warga negara tersebut.
Setelah berjalan beberapa menit akhirnya kami sampai pada counter pemeriksaan koper dan tas dengan metal detector ya..untuk mendeteksi kalau- kalau ada benda yang
mencurigakan dalam tas ku seperti pistol atau granat, ha ..ha ha..ha.
Nafas kami
masih tersengal- sengal setelah berjalan kencang dan kami memutuskan untuk
duduk pada ruang tunggu. Di sana aku melihat mayoritas warga berkulit putih.
Mereka membawa family/ anak anak mereka berlibur- pulang liburan di Indonesia,
mungkin di Yogyakarta, Bali dan lombok. Bedanya mereka terlihat sedikit berusia
matang sementara anak- anak mereka terlihat masih kecil- kecil. Ya aku tahu
bahwa mereka cukup berani untuk menikah dan punya anak setelah merasa cukup
mapan di atas usia 30-an, malah mendekati usia 40-an. Kalau warga kita terlihat
punya anak dalam usia yang lebih muda- di atas usia 20-an.
“All
passengers of Qantas Flight proceed on board…!!”. Instruksi suara pramugari
membuat penumpang begerak menuju pesawat. Tentu saja yang masuk lebih dulu
adalah penumpang business class dan
setelah itu baru economy class yang
dimulai dengan nomor 51.
Aku
menempati bangku nomor 51.F. Aku sedikit kaget, kalau dalam peswat Lion Air
dari Padang, semua pramugari terlihat sangat muda dan cantik- cantik. Namun flight
attendat pesawat Qantas ini terlihat sudah berumur tua- seperti nenek- nenek
saja. Akhirnya pesawat bergerak menuju landasan pacu dan setelah aman membubung
menuju langit yang penuh bintang. Pesawat ku terbang menuju arah timur.
2. Kesibukan Dalam Pesawat
Aku tidak
bisa berbuat banyak dalam pesawat terbang dari Melbourne menuju Sydney, kecuali
hanya menulis. Untuk itu aku membutuhkan lampu di atas kepalaku untuk
pencahayaan. Untuk penerbangan malam bila tidak membaca atau menulis, ya lebih
enak tidur saja. Pramugari berjalan mondar mandir memeriksa kenyamanan
penumpang- walau mereka tidak muda lagi namun mereka memberi pelayanan maksimal
bagi semua penumpang.
Ternyata
rute penerbangan kami memang menempuh jarak waktu 6 jam antara Jakarta dan
Sydney. Apa saja kegiatan selama 6 jam tersebut ? Untuk periode pertama kami
diberi leaflet yang berisi tentang food and
beverage (makan dan minuman). Tentu saja facilitas makan dan minum di kelas
business berbeda dengan kelas economy.
Aku membaca
leaflet dengan seksama. Kami diberi pilihan menu yaitu tentang meal atau snack. Pramugari memberi kami comfort
kit, arrival document- seperti incoming
passenger card dan kemudian beberapa kali pilihan menu.
Aku tidak
bisa menghabiskan makanan Australia yang terasa tidak cocok pada lidahku. Aku
kemudian menikmati pilihan hiburan melalui layar monitor pada sandaran bangku
depan. Di sana ada pilihan hiburan seperti music,
film dan game. Malam terasa lama
dan kakiku mulai terasa pegal karena kelamaan menjulur- aku ingin untuk
berbaring atau duduk di lantai, namun impossible.
Tentu saja sebagai warga internasional aku harus mampu beradaptasi untuk bisa duduk
nyaman dan tidur pada bangku yang sempit ini.
Aku hanya
bisa tidur sesaat saja, karena kemudian tiba lagi waktu buat menikmati pilihan snack yang ke dua. Aku disuguhi yogurt, sunripe, susu dalam kotak kecil
dan kue mangkuk, juga secangkir kopi.
“Wah
saatnya aku dilayani oleh bule…bule, ha ha ha….!!!” Aku berbisik pada diri
sendiri. Aku ingin tahu dimana posisi pesawat terbang pada peta dan aku segera
mengamatinya pada layar monitor. Melalui GPS aku melihat pesawat kami terbang
dari Jakarta langsung ke arah Australia Barat, kemudian berbelok menuju
Australia bagian selatan selama 6 jam. Kecepatan pesawat rata-rata 625 km/jam
dan kami berada pada ketinggian 38 ribu kaki dari permukaan bumi.
Aku mencari
tahu tentang perbedaan waktu antara Jakarta dan Sydney. Kami bakal mendarat di
Sydney jam 02.00 Wib dini hari. Ya saat ini sudah pukul 02.00 dini hari, namun di luar jendela
terlihat cahaya terang, saat ini di Sydney menunjukan jam 06.00 pagi.
“Wah kita
musti sholat subuh, sudah jam 06.00 di Sydney meski jam 02.00 menurut waktu
IndonesiaBarat. Ya kami bertayamum- menempelkan tangan pada debu bangku pesawat
dan mengusap pada muka dan tangan hingga siku- dan aku bersandar, memejamkan
mata supaya bisa kosentrasi buat melakukan sholat subuh dalam pesawat. Aku
berdoa pada Allah Swt …moga-moga shalat subuhku tidak sia- sia dan diterima
oleh Allah Yang Maha Agung. Setelah sholat subuh hatiku terasa tenang….alhamdulillah”.
Aku tadi
merasa amat mengantuk dan ingin tidur agak sebentar, namun begitu melihat
cahaya pagi dari balik jendela pesawat maka jam biologis dalam otaku segera mengusir
rasa kantuk tersebut. Karena hari sudah siang dan sebentar lagi pesawat akan
mendarat di bandara internasional Sydney. Flight
attendant memberi pengumuman tentang waktu dan proses pendaratan pesawat.
Alhamdulillah selamat di benua Australia.
Kami dan
semua penumpang harus ke luar pesawat. Kemudian kami bergerak menuju counter
immigrasi untuk verifikasi passport dan visa. Semua orang perlu tahu bahwa salah satu yang perlu diperhatikan ketika berkunjung
ke Australia adalah aturan “custom” yang
lumayan ketat. Barang-barang seperti bahan makanan segar dan produk turunan
susu tidak boleh dibawa masuk negara ini.
Sebelum
berkemas, sebaiknya kita baca dulu peraturan custom (cukai) Australia di sini. Barang-barang berbahaya seperti senjata
api, bahan peledak, dan obat-obat terlarang jelas tidak boleh dibawa masuk.
Namun ada beberapa barang yang sepertinya tidak berbahaya yang masuk dalam
daftar terlarang. Tapi nggak usah khawatir berlebihan, asalkan kita “declare” barang-barang
bawaan kita ketika melewati pemeriksaan custom, pasti aman-aman saja.
Selanjutnya
kami bergerak menuju ruangan claim bagasi. Selanjutnya kami bergerak menuju
tempat transfer domestic flight atau transit menuju Melbourne. Namun sebelumnya
kami harus menukarkan mata uang Rupiah dan juga Dollar USA ke mata uang Dollar
Australia, karena di Jakarta kami mengalami problem penukaran mata uang.
Kami merasa
senang dengan pelayanan money changer
di Sydney ini, petugasnya muda, cantik, cerdas dan penampilannya menarik. Jadi
kalau kita menjadi pelayan publik penampilan kita harus menarik agar orang
senang dengan keberadaan kita. Seorang guru adalah juga pelayan publik, kalau
begitu penampilannya harus canti dan tampan.
Phonecell-ku
berdering, oh…ternyata penawaran roaming. Namun secara otomatis kartu
telkomselku (kartu AS) secara otomatis berubah menjadi Yes Optus. Bila aku
mengontak keluarga ke Indonesia maka aku dikenai biaya roaming, satu sms
harganya Rp. 24. 000 dan menelpon satu menit harganya Rp. 24.000. Tentu saja
aku perlu berhemat untuk mengontak family ke Indonesia.
Aku
kemudian memberi tahu Prof. Ismet Fanany lewat SMS bahwa kami sudah berada di
Sydney dan 2 jam lagi bakal mendarat di bandara Melbourne. Kami bertiga segera
menuju cek-in untuk penerbangan domestic menuju Melbourne, ya lagi- lagi kami
harus bertanya tentang di mana lokasi untuk check in.
“Don’t worry…kamu semua akan dibawa oleh
mobil bandara”. Kata seseorang dan ya betul bahwa kami semua naik mobil bandara
dengan lantai otomatis- bisa terangkat/ naik dan turun, untuk mengantarkan kami
ke terminal kedatangan. Suasana terminal domestic tidak seramai terminal
bandara Padang apalagi bandara Sukarno- Hatta, karena penduduk Australia juga
sedikit. Aku kurang mengerti dimana lokasi pesawat yang bakal membawa kami
terbang. Kami bertanya pada customer service lagi tentang dimana tempat yang
harus kami tuju.
“Oh ..ya,
betul ini tempatnya, anda terbang dengan Qantas Flight 423 dengan boarding time
pukul 09.40 waktu Sydney dan tiba di Melbourne pukul 11.35 pagi”. Kata petugas
itu. Selama dalam areal bandara kami selalu ngobrol bertiga untuk memecah kebekuan.
“Desi..kalau
kamu ngobrol pake Bahasa Inggris, meskipun bahasa kamu broken, namun di telinga
bule akan kedengaran sangat indah. Ya ibarat kita mendengar ngobrol dalam
bahasa Indonesia yang hancur, juga kedengaran lucu”.
Dalam bis
bandara aku juga mengajak Inhendri ngobrol bahasa Indonesia. Ternyata dalam bis
juga ada orang Indonesia yang nguping mendengar kami ngobrol. Orang tersebut
juga menyapa kami.
“Hallo apa
kabar ? Saya warga Malang- Jawa Timur dan menikah dengan orang sini. Dulu aku
bekerja sebagai butcher- tukang daging”.
Ternyata ia telah lama bermukim di sana dan menikah dengan wanita
Australia. Namun ia masih berstatus WNI karena dengan cara demikian ia mudah
berkunjung ke Indonesia, negeri yang sangat cantik di dunia. Selama dalam mobil
bandara aku melihat bahwa generasi muda Australia juga suka main hape, Ipad
atau BB. Sementara yang tua masih suka membaca novel.
3. Jangan Tersesat Di Airport
“Jangan sampai tersesat di bandara
Australia ya….” Ini adalah kalimat yang pernah diucapkan oleh Ibu Lisda dan Pak
Elfan saat mengurus keberangkatan kami menuju benua Kangguru ini. Namun
pengalaman- pengalaman kecil memang sering kami temukan.
Turun dari pesawat di bandara Sydney, aku nggak tahu apa-apa dan berusaha percaya diri
agar temanku nggak cemas. Dengan percaya diri (pede) aku ikuti arus orang-orang
yang turun satu pesawat dengan kami. Meskipun jalan menuju pemeriksaan imigrasi
dan custom lumayan panjang dan lama, namun tanda menuju ke sana juga jelas. Di
sepanjang koridor ada tulisan dengan arah panah: Custom. Begitu mendekati pemeriksaan visa, arus terbagi menjadi
dua: satu untuk pemegang paspor Australia dan New Zealand, satunya untuk
pemegang paspor negara lain. Ada banyak petugas yang mengurusi pemeriksaan
paspor ini. Antrian juga berjalan tertib, satu antrian dan selanjutnya menuju
konter-konter yang tersedia.
Ketika sampai giliran kami diperiksa paspor dan visanya, ternyata
ada masalah. Paspor Indonesia kami (salah seorang teman) tidak bisa dipindai di
mesin si petugas. Waduh, aku jadi cemas. Apalagi petugas dengan galaknya
(dengan tegas) menyuruh temanku mengisi (lagi) incoming passenger card.
Padahal tadinya sudah aku tanyakan bahwa satu grup hanya mengisi satu kartu.
Petugas selanjutnya menyuruh ke konter utama. Di sana, alhamdulillah paspor dan
visa kami berhasil dipindai, dan kami pun “lolos” ke pemeriksaan selanjutnya:
custom.
Sebelum ke pemeriksaan custom,
kita harus mengambil bawaan kita yang tadinya ada di bagasi pesawat. Ada banyak
ban berjalan, tinggal mencari yang cocok dengan nomor penerbangan kita. Di
bandara sini tidak ada porter, jadi harus mengambil sendiri koper-koper kita.
Tapi nggak usah khawatir, troli tersedia banyak, gratis, dengan roda yang mulus
dan enteng didorong.
Selanjutnya lewat custom. Di sini ada dua pintu, yang ingin
‘declare’ barang bawaan, atau yang tanpa declare (mereka yang nggak bawa
apa-apa, atau di incoming passenger card memilih “no” semua). Untuk
amannya sih kita memilih “declare” aja dan pasrah diperiksa.
Hari ini kami banyak membawa makanan karena takut di sini bakalan
susah mencari makanan Indonesia- makanan halal. Dengan naifnya kami membawa mie
instan, kopi, teh, minyak goreng, bumbu instan, dll. Dalam peraturan ditulis
bahan makanan dalam kemasan, asal jelas asal usulnya boleh dibawa masuk. Yang
sama sekali dilarang adalah bahan makanan segar seperti buah, sayur, hasil
masakan sendiri seperti gudeg (duh!), rendang, dll. Membawa tanaman dan bibit
tanaman juga dilarang, alasannya untuk melindungi keragaman hayati Australia.
Kalau membawa barang-barang yang harus dinyatakan, lebih baik taruh semuanya
dalam satu koper, sehingga ketika pemeriksaan gampang, tinggal membuka satu
koper saja.
Kami membawa beberapa koper.
Ketika pemeriksaan, satu koper yang berisi makanan dibuka dan diperiksa isinya
oleh petugas. Beberapa yang tidak lolos adalah milo, kopi instan 3 in 1 dan
camilan makaroni keju yang mengandung produk susu.
Aku sudah dengar bahwa ada banyak cerita seru dari sahabat tentang
pemeriksaan custom ini. Ada yang beruntung koper-kopernya dilewatkan alat
pemindai saja, tapi ada yang sampai semua kopernya dibuka dan diperiksa. Ada orang
yang kopernya sampai lama diendus-endus
anjing pelacak, padahal dia bilang tidak membawa sesuatu yang mencurigakan.
Asal jangan menyembunyikan barang apapun dari petugas.
Setelah lolos dari pemeriksaan di bandara dan sampai di Arrival
Hall, gampang sekali menuju ke mana saja. Ada beberapa alternatif pilihan
transportasi, semuanya nyaman: taksi, bis, dan kereta. Tinggal ikuti saja
petunjuk gambar seusai arah panahnya. Pengalaman kami mungkin juga dialami oleh
banyak orang yang datang ke Australia (http://www.thetravelingprecils.com).