Siswa Perlu Memiliki Cita-Cita Yang Spesifik
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Menjadi
guru merupakan profesi yang menarik, karena seorang guru akan membantu
perkembangan seorang siswa dari kurang cerdas menjadi cerdas, dari kondisi
biasa-biasa saja menjadi pribadi yang luar biasa, atau dari seorang kualitasnya
masih zero (kosong) hingga menjadi hero, seorang pahlawan, paling kurang seorang
pahlawan dalam keluarganya. Untuk menggenjot mutu pendidikan, tiap lembaga
pendidikan atau setiap negara memiliki strateginya masing-masing.
Karena
penduduk negara ini sangat banyak, sangat plural (majemuk) dan kualitas SDM
juga berbeda maka pemerintah mendirikan beberapa sekolah pelayanan keunggulan.
Sekolah yang biasa tetap menjadi perhatian, namun sekolah berlabel unggul
dengan program khusus, didirikan untuk melayani siswa yang membutuhkan
akselerasi (percepatan) dalam mengakses ilmu pengetahuan. Maka terbentuklah
sekolah berlabel keunggulan seperti “SMA unggul, SMA Plus, Sekolah Percontohan,
SMK Model, MAN Model, Sekolah Pembangunan, dll”.
Saya
kebetulan mengajar pada salah satu sekolah unggul. Rekruitmen siswa tentu saja
memperoleh perhatian khusus, dimana sekolah unggul merekrut murid-murid cerdas
lebih awal dari rata- rata sekolah biasa. Tidak sekedar merekrut berdasar skor
yang tinggi pada nilai rapor, ijazah dan skor Ujian Nasional. Sekolah program
unggul juga memberikan ujian tulis untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Sains dan Ilmu Sosial. Dimana semua mata pelajaran
tadi diramu ke dalam satu ujian tulis saja.
Setelah
itu sekolah juga memberi perhatian pada prestasi calon siswa yang dibuktikan
oleh copy sertifikat. Yang juga menarik bahwa calon siswa sekolah unggulan juga
diwawancara untuk memperoleh input secara langsung agar diperoleh data yang
lebih tajam.
Setiap
awal tahun, saya sering ikut menjadi tenaga perekrut yang mempunyai tugas untuk
mewawancarai calon siswa. “Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas
calon siswa pintar yang saya wawancarai kelak bila sudah dewasa ingin menjadi dokter,
satu-satu ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa ya banyak yang
ingin jadi pegawai?”. Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibunya
adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah jadilanya kalau jumlah PNS di
negeri ini begitu berlimbah ruah jumlahnya, sehingga anak dan cucunya juga
ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita
ingin menjadi pegawai atau PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan.
Sementara calon siswa yang pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada
juga yang ingin menjadi dokter, juga ada yang ingin berkarir dalam bidang
teknik. Juga banyak yang ingin berkarir di teknik perminyakan, dalam imajinasi
mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan perminyakan maka akan menyembur sangat
banyak uang. Disamping itu juga ada yang ingin berkarir sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang
apa?”. Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak.
Mereka
protes saat saya klarifikasi apakah mereka ingin berkarir sebagai pengusaha
tempe, pengusaha ayam potong, atau pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi
tersebut memperoleh bantahan, karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan
murahan. Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu adalah
pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka anggap
sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan
ekonomi”. Inilah efek dari mengangkat beberapa pelajaran sebagai mata pelajaran
Ujian Nasional. Hingga mata pelajaran dan gurunya dianggap sebagai “maha
penting” dan mata pelajaran lain adalah kelas dua.
Mereka
sendiri juga kebingungan untuk mendeskripsikan tentang karir yang lebih
spesifik. Saat saya konfirmasi ulang maka lagi-lagi mereka menyebutkan karir
yang sudah konvensional “menjadi dokter, spesialis anak, spesialis jantung,
dosen, insinyur, direktur bank, yang ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai
BUMN atau orang bekerja di kantoran. Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi
bahwa pintu PNS sudah ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila
telah wisuda kelak harus mencari karir selain PNS. Sangat bagus kalau mereka
mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai
PNS masih mudah, mahasiswayang punya IPK tinggi punya kesempatan buat jadi PNS
atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak, kalau ada yang menjadi dosen, ya
tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil- karena Perguruan Tinggi
bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau bekerja di Perusahaan atau
kalau berdagang. Maka sekarang bahwa IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi
atau biasa-biasa saja tidak banyak berguna, kecuali hanya agar bisa wisuda.
Semangat berwirausaha dan leadership jauh lebih berharga.
Suatu
ketika saya berjumpa dengan seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan
kota Batusangkar- Sumatera Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya
bernama Raihan. Ia tergolong anak cerdas dan masih sekolah di Primary School di
Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa depan. Saya
berfikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter, apoteker, seorang
pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin
bercita-cita dalam bidang kuliner. Ia ingin memiliki restoran yang besar di
kota Kuala Lumpur dan menyediakan kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia,
seperti masakan Jepang, Korea, Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik
berkarir dalam bidang resto dengan kuliner internasional ?, karena Raihan suka
membantu ibunya memasak masakan lezat di dapur di rumahnya di Malaysia. Cukup
beda dengan cita-cita yang diungkapkan oleh siswa saya, meski mereka diberi
label sebagai siswa unggulan, namun mereka hanya mampu menyebutkan karir yang
konvensional, atau karir yang muluk-muluk, yang mungkin jauh dari jangkauan
mereka.
Memang benar, bahwa
cukup banya siswa Indonesia, apalagi dari sekolah unggulan, hanya mampu
bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan di
luar jangkauan. Setelah mereka bersekolah sebagai siswa di SMA Unggulan. Saya kembali
mewawancarai mereka.
Dan kali ini dari
jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah di Perguruan Tinggi favorite. Dan mereka
menyebutkan perguruan tinggi yang bertengger di Pulau Jawa, seperti UI
(Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Pajajaran), UNDIP (Universitas
Diponegora), UGM (Universitas Gajah Mada). Kalau ditanya mau mengapa setelah
tamat dari Perguruan Tinggi favorite tersebut (?). Dan mayoritas mereka
terdiam, tidak tahu apa pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian
mereka para siswa unggulan hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah yang
favorite saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut
akan terbentang sukses dan Perguruan Tinggi akan memberi mereka sebuah
pekerjaan yang basah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan
deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya cita-cita siswa unggulan
yang nggak jelas.
Lagi, suatu ketika saya
berjumpa dengan grup siswa dari Jerman dan saya sempat bertukar cerita yang
panjang dengan salah seorang siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin telah
menjelaskan tentang karirnya di masa depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas
dari Secondary School, ia akan
mendaftar di Akademi Penerbangan, karena ia suka terbang dan senang dengan
tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia akan bekerja di Badan Penerbangan
Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan
luar angkasa yang sudah ia baca adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di
Amerika Serikat,Rusia, dan China. Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk
ia akses kelak adalah Badan Luar Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan
bahasa. Maka dari sekarang ia sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak
dengan memanfaatkan Google di internet. Dapat saya pahami bahwa cita-cita yang
dipaparkan oleh Lewin Gastrich lebih jelas dan lebih terperinci dalam menggapainya.
Saya
tidak bermaksud menyanjung dan memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari
negara lain. Saya berharap agar siswa kita di Indonesia, apalagi dari sekolah
berlabel unggul, mampu untuk mendesain cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan
dan perlu perencanaan yang lebih jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar
negeri memiliki cita-cita yang jelas dan siswa kita bingung dalam mencari karir
masa depan mereka ?
Faktor
wawasan, informasi atau ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang
siswa bisa memiliki cita-cita atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah
fenomena bahwa membaca yang intensive belum menjadi budaya di kalangan
masyarakat kita. Coba lihat berapa betul orang yang terbiasa membaca-
berlangganan koran dan majalah. Ya betul berlangganan koran adalah sesuatu yang
amat langka dalam masyarakat kita, apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak
begitu banyak masyarakat kita yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas
menjadi hal yang langka buat kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat
kita adalah masyarakat yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita
di dunia tidak begitu menggembirakan.
Guru di sekolah yang
berfungsi buat mencerdaskan anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk
membaca- membaca koran, majalah dan buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri
juga malas dalam membaca maka Ilmu guru-guru kita hanya sebatas menguasai buku
teks, sementara kebutuhan hidup anak didik kita melebihi dari ilmu buku teks.
Anak-anak kita sejak
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak terbiasa membaca.
Itulah jadinya banyak anak-anak kita di sekolah belajar hanya sebatas 4D, yaitu
datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar,
seorang anak harus menguasai kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting dan aRismetic. Untuk reading atau membaca, siswa
kita hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau sebatas tahu
A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan lusinan buku.
Itulah jadinya anak didik kita tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh kehidupan
lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki majalah lagi.
Dalam zaman cyber, anak-anak kita tenggelam dalam permainan game online.
Seperti yang kita lihat
pada judul bahwa”siswa kita perlu memiliki cita-cita yang lebih spesifik”,
dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita yang ngawur, ngambang, kalau kuliah,
hanya sebatas memburu universitas bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong.
Ini adalah problema bagi kita. Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab
dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa
kita tidak memiliki cita-cita yang spesifik, adalah karena mereka memilki
ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh lewat menjelajah atau mengenal
lingkungan secara langsung. Namun mereka terbiasa mengurung diri di seputar
rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat hingga lingkungan yang jauh.
Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi agenda ke luarga. Kemudian,
ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca, sesuai dengan pernyataan
sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah dunia”. Nah siswa kita
sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah mereka terbatas.
Karena guru dan orang
tua juga terbatas wawasan mereka, maka mereka juga tidak mampu menjawab
tantangan cita-cita mereka. Jadinya setiap kali sang anak bertanya “Apa
cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru,
dokter, bidan, perawar, insinyur, kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak
buah terus. Hingga anak mereka belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi
tetapi selalu tertarik sebagai “Job
Seeker”- pencari kerja, menjadi kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang
diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan
bimbingan karir. Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan
terutama counseling membantu anak dalam membimbing karir mereka. Bukan selalu
menjadi guru yang mengurus anak bermasalah hingga selalu memasang wajah angker
dan suara killer. Di sekolah Secondary College di Norwood, yang sempat saya
lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang karir dan kehidupan
bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang ditakuti.
Ya siswa kita memang
membutuhkan bimbingan karir, agar mereka memiliki karir yang lebih spesifik. Siswa
kita banyak yang sudah sukses dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka
cukup pintar dalam belajar, mampu menjadi sang juara di kelas- menjadi juara
umum. Mereka belajar serius di sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau
bimbel (bimbingan belajar). Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka
yaitu ingin jadi presiden, jadi menteri, jadi dubes,
jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya sebuah cita-cita dari
yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak yang bengong dengan
cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan
masa depan, tergantung papa dan mama. Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas,
tergantung hasil ujian/ hasil T.O. Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting
saya harus belajar dulu”.
Karena
cita-cita mereka mengambang dan kurang spesifik jadinya cita-cita mereka jadi
berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita
yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan berubah, pilihan gaya belajar
berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan karir. Paling kurang pemilihan karir ala Box-Hill atau John L. Holland, yang sempat saya
kunjungi di Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/jabatan
merupakan hasil dari interaksi antara factor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh
budaya, teman bergaul, orang tua, orang dewasa yang dianggap memiliki peranan yang
penting. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe pribadi berdasarkan
pilihan kerja, yaitu tipe realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis, ciri-cirinya yaitu; mengutamakan kejantanan, kekuatan otot,
ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan, dan koordinasi motorik yang kuat,
kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang memiliki ketrampilan
sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang bertipe
ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik, eksplisit/ memberikan tantangan.
Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan, kecakapan mekanik, seringkali suka
berada di luar gedung. Contoh pekerjaan: operator mesin/radio, sopir truk,
petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli listrik, dan pekerjaan lain yang
sejenis.
2)
Tipe intelektual, sukanya adalah model pekerjaan yang
bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk,
berorientasi pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman, menyenangi tugas-tugas yang
bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan abstark,
dan juga bersifat kreatif. Ia
suka memecahkan masalah yang
memerlukan intelejensi,
imajinasi, peka terhadap masalah intelektual.
Kriteria keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur,
tetapi perlu waktu yang cukup lama dan bertahap.
Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual. Kecakapan menulis juga mutlak. Contoh pekerjaan: ahli fisika, ahli biologi,
kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian,
dan pekerjaan yang
sejenis.
3) Tipe sosial, ciri-cirinya: suka membantu orang lain, pandai bergaul dan
berbicara, bersifat responsive, bertanggung jawab, punya rasa kemanusiaan,
bersifat religious membutuhkan perhatian, memiliki kecakapan verbal, punya hubungan
antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan teratur,
menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih berorientasi pada
perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku manusia, serta berminat
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial,
konselor, misionari, ulama, psikolog klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang
sejenis.
4) Tipe konvensional, ciri-cirinya: kecenderungan terhadap kegiatan verbal,
ia menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka)
yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau abstrak, senang mengabdi,
mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi nilai yang tinggi terhadap status
dan materi, ketergantungan pada atasan. Sukanya proses informasi verbal dan
menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat sistematis.
Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai arsip,
pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis. 5) Tipe usaha, ciri-cirinya: menggunakan ketrampilan berbicara dalam situasi
dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain, menganggap diri
paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain, menyenangi tugas-tugas
sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan, bersifat agresif dalam kegiatan
lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan mempengaruhi
orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus, manajer, pimpinan, eksekutif perusahaan, perwakilan dagang,
danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik, ciri-cirinya: senang berhubungan dengan orang lain
secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka rmenyesuaikan diri. Sukanya
adalah artistik, memerlukan interpretasi atau kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa,
perasaan dan imajinai. Suka mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang
bersifat intra-personal, suka keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan
fisik. Contoh pekerjaan: menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu,
penyair, dan pekerjaan lain yang sejenis.
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak didik kita perlu memiliki
cita-cita yang lebih spesifik. Untuk itu dari usia dini, mereka sudah terbiasa
bereksplorasi, budaya membaca untuk menambah wawasan sangat penting bagi orang
tua, guru dan siswa sendiri. Kemudian guru dan orang tua perlu memberikan
bimbingan karir bagi siswa Perjalanan
Hidup Rasulullah Sebagai Cermin Parenting
Bagi Kita
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Akhir-akhir
ini saya amat tekun membaca artikel-artikel tentang parenting. Parenting
adalah ilmu tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Kualitas parenting orang tua di rumah sangat
menentukan kualitas anggota keluarga (anak-anak). Dari media internet kita bisa
memperoleh informasi bahwa kualitas parenting
orangtua Indonesia belum menggembirakan. Malah sebahagian bisa berkategori
sebagai fail-parenting- atau orang
tua yang gagal, karena cukup banyak mereka yang tidak tahu peran mereka sebagai
orang tua. Pintar mereka sebagai orang tua hanya sebatas menyuruh, melarang dan
mencukupi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya orang
tua menyerahkan urusan mendidik kesekolah secara bulat- bulat. Ironisnya cukup
banyak orang tua yang serba tidak mengerti tentang parenting ini.
Kualitas
SDM atau pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak membahagiakan, masih
menempati rangking diatas seratus. Ini berarti bahwa Indonesia,ibarat kapal
besar, dengan penduduk lebih dari 250 juta, ternyata mereka adalah orang orang
yang rendah kualitasnya. Ini juga dibuktikan bahwa setiap kali diadakan pesta
olahraga untuk negara-negara Asia Tenggara (Asean Games) maka jarang sekali
Indonesia menempati peringkat juara satu atau juara umum. Selalu bisa
dikalahkan oleh negara tetangga yang lain.
Negara
Singapura saja, yang besarnya hanya sebesar kota Padang, bisa mengalahkan
kualitas prestasi bangsa kita. Apa maksudnya, bangsa bangsa kita adalah bangsa
yang kurang rajin, lemah semangat, kurang memiliki semangat juang dan
kompetisi. Ya kita adalah sebagai bangsa penonton dan suka konsumerisme yang
berlebihan. Penyebabnya banyak, salah satunya karena kualitas parenting kita yang rendah. Sebagai
orang tua belum berhasil dalam menanamkan semangat belajar dan bekerja keras-
kerja yang serius dan berkualitas.
Kita
boleh kagum dengan kualitas pendidikan di Belanda, yang mana disebut memilki
kualitas ibu yang terbaik. Atau kita kagum dengan parenting orang tua di Jepang, Findlandia, Perancis, Australia dan
negara Barat lainnya.
Negara Australia
merupakan cerminan dari bangsa Eropa di dekat Indonesia. Saat saya berada di
Melbourne dan Sydney, saya melihat betapa rapi dan teraturnya tata ruang negara
mereka. Betapa berkualitasnya warganya- mereka terbiasa tepat waktu, suka antri
dan budaya tertib. Itu semua untuk urusan dunia.
Namun
sayangnya saat saya berada di Hotel Ibis, Hotel Mercure dan hotel lainnya, saya menjumpai muda-mudi
bergaul bebas, persis saat merpesta di akhir pecan. Mereka mengadopsi budaya
pergaulan bebas. Di taman kota muda-mudi tanpa risih bermesraan yang di luar
batas. Bukan kah hidup ini utamanya bagi orang Islam adalah buat mengabdi pada
Allah. Itulah yang saya temukan bahwa parenting
mereka adalah parenting sekuler,
hanya sebatas berkualitas dan rapi buat urusan dunia semata. Namun buat buat
urusan spiritual dan rohani, mereka cenderung mengabaikannya. Jadinya saya
ingin bahwa yang patut dikagumi bukan parenting
ala Barat, namun adalah parenting
yang Islami.
Terus terang bahwa parenting yang sangat baik itu adalah parenting Islam. Sejarah dan prilaku
Nabi Muhammad Saw adalah sumber inspirasi parenting
yang terbaik bagi kita. Persis sebagaimana Firman Allah dalam kitab suci
Al-Quran. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah (Al-Ahzab, 21).
Dalam teori Tabularasa, dinyatakan
seorang anak ibarat sehelai kertas putih, coretan-coretan yang diberikan oleh
lingkungannya akan menentukan karakter dan kualitas pribadinya. Tukang coret
atau pengukir buat kehidupan utama atas diri sang anak tentu saja adalah ibu
dan bapanya. Senada dengan teori tabularasa, agama kita, Islam,juga mengatakan
bahwa orang tua juga penentu eksistensi kepercayaan seorang anak.
Hadis riwayat Abu
Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang
tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun
seorang Majusi.
Aneh-aneh saja gaya
orang tua sekarang dalam menumbuhkan anak, termasuk mereka yang mengaku punya
ilmu mendidik. Begitu anak lahir dan terus tumbuh, mereka diperkenalkan suguhan
lirik-lirik lagu yang jauh dari nafas rohani Islam. Bayi-bayi mereka tidur
lelap sambil didendang dengan lagu lagu sekuler yang keluar dari audio HP atau
gadget mereka.Kemudian saat bayi tumbuh dewasa dan ternyata jauh dari ajaran
Islam, maka yang tertuduh adalah pengaruh lingkungan- tanpa alamat yang jelas.
Fenomena orang tua
lain, yang mengaku sebagai orang tua modern yang juga tahu dengan ilmu agama
adalah mengajak anak mereka untuk terlalu banyak bersenang-senang. Mencari
makanan fast-food di mall, pergi
eksplore di time-zone atau arena bermain yang berharga mahal dan menjauhi anak
dari pengalaman hidup yang susah. Mengapa tidak membawa anak ke kebun, sawah,
pinggir sungai agar mereka tahu bahwa ini semua adalah alam yang diciptakan
oleh Allah. Jadinya anak tidak mengenal bagaimana orang-orang yang kurang
beruntung menjalani kehidupan mereka. Akibatnya orangtua telah mencetak anak-anak
yang berkarakter hedonism- memuja kesenangan dan kemewahan hidup.
Setelah itu bahwa sikap
orang tua yang terlalu mendorong dan memotivasi anak mereka untuk memuja-muja
kecerdasan otak dari pada menjaga kesucian hati anak juga banyak. Anak digenjot
untuk mengikuti belasan les, kursus dan bimbel demi bimbel dengan tujuan kelak
menjadi orang sukses. Atas nama belajar sang anak dibebaskan dari bekerja.
Kebutuhan makan, minum, pakaian dan semua keperluan anak dilayani. Akibatnya
anak- anak mereka yang telah merangkak menjadi remaja akhir dan dewasa awal
cukup banyak yang tidak mampu melayani diri sendiri. Tidak tahu cara memasak,
membersihkan rumah, menstrika pakaian. Malah gara gara dibelenggu oleh tugas
belajar dan ikut kursus hingga sang anak tidak tahu cara bersosial lagi.
Jadinya mereka tumbuh menjadi pemuda dan pemudi dengan kecerdasan yang palsu yang tidak akan memberi
manfaat pada dirinya dan juga bagi orang lain.
Barusan tadi siang,
saya dan anak perempuan saya, menghadiri sebuah kenduri pada suatu tempat di
kota Batusangkar. Kemudian kami menyaksikan lantunan lagu-lagu lucu yang
dibawakan oleh seorang gadis cilik. Lagu-lagu dangdut yang membahas tentang
cinta. Tidak tanggung-tanggung ada tiga lagu yang ia lantunkan dan goyangnya
juga terlihat tidak pas untuk usianya. Saya bertanya pada anak perempuan saya:
“ Mana sih yang lebih berfaedah dari sisi agama, jago melantunkan lagu lagu
konsumsi buat orang dewasa kayak itu atau mampu menghafal sura-surat pendek
dari kitab suci Al-Quran ?. Ya demikian, cukup banyak orang tua dan juga
penulis, sering melupakan akan makna hidup kita di dunia ini:
“Hidup ini apakah hanya
sekedar hura-hura atau buat mengabdi dan beribadah untuk Allah- Tuhan Pencipta
Jagat Raya ini ?.” Jadinya kita sering lupa dengan tujuan hidup ini.
Ya itu semua karena
kesalahan parenting. Ilmu mendidik
kita kerap salah arah. Ada yang tidak memiliki ilmu parenting, sehingga begitu anak terlahir, maka anak tumbuh ibarat
bunga liar- tumbuh tanpa arah. Ditiup oleh badai dan diinjak injak oleh berbagai
peradaban yang salah.
Anak yang terlahir dari
keluarga kita adalah amanah. Roh sucinya seharunya kita tumbuhkan agar selalu
mengenal Rabb-nya. Bayi-bayi kecil itu kelak perlu kita tumbuhkan menjadi orang
yang bertanggung jawab buat dirinya, lingkungan dan juga buat Tuhan.
Maka parenting yang terbaik adalah parenting yang bercermin pada sejarah
tumbuh dan kembangnya pribadi Nabi Muhammad SAW. Nabi terlahir dari lingkungan
yang sangat baik. Lingkungan sebagai pembentuk pribadi Nabi yang utama. Ibunda
Nabi adalah wanita yang baik dan terhormat. Ibunda Nabi- Aminah binti Wahab-
pada waktu mudanya merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di
kalangan suku Quraisy.
Menurut penilaian Dr.
Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya dimulai dari
lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah)
memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam
masyarakat aristokrasi (bangsawan).
Begitu baginda Nabi
lahir ke dunia, beliau tidak mengenal kemewahan hidup. Padahal beliau terlahir
dari keluarga terpandang. Tentu saja orang yang pertama kali menyusui baginda
Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam adalah ibunya
sendiri Aminah az—Zurriyah, setelah itu Tsuwaibah al-Aslamiyah selama beberapa
hari. Setelah itu Halimah, Nabi Muhammad dibawa ke desanya di Bani Sa’ad yaitu
sebuah desa di wilayah Thaif (selama empat tahun).
Sejak awal-awal
kehidupanya, beliau diperkenalkan akan realita kehidupan. Bukan diperkenalkan
dengan kemewahan dan pemanjaan dengan sejuta larangan. Cukup lama Nabi dalam
pengasuhan Halimah, sejak ia bayi- yang butuh asi langsung dari Halimah. Nabi
Muhammad dirawat- dibesarkan sebagaimana Halimah membesarkan anak kandungnya
sendiri.
Syaima’ adalah puteri Halimah
as-Sa’diyah juga turut mengasuh baginda Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa
shohbihi was salam. Sejak usia dini Nabi telah memahami perjuangan hidup, ia
ikut mengembalakan kambing sebagai mana anak-anak lain juga melakukannya.
Suatu ketika, ditempat
yang agak jauh dari rumah, saat baginda Nabi bermain/ mengembalakan ternak, ia
ditangkap oleh Malaikat dan dadanya dibedah- dengan tujuan untuk membersihkan
hatinya dari noda- sekejab setelah itu Nabi duduk termenung dan ketakutan
hingga ia dijumpai oleh ibu asuhnya- Halimah- dan menceritakan tentang apa yang
sudah terjadi.
Maka Halimah takut
kalau hal serupa bakal menimpa Nabi lagi. Selanjutnya Halimah as-Sa’diyah
mengembalikan Nabi sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam kepada
ibunya karena takut terhadap peristiwa pembedahan dada yang terjadi padanya
ketika Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam berusia
empat atau lima tahun.
Peristiwa dalam
kehidupan Nabi selanjutnya cukup banyak. Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi
wa shohbihi was salam dibesarkan dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal dunia
pada saat beliau sholallah alahi was salam masih berada dalam kandungan ibunya.
Sepeninggal ayahnya semua biaya hidup Nabi Muhammad sholallah alahi wa aalihi
wa shohbihi was salam ditanggung oleh kakek beliau yang bernama Abdul Muthalib.
Pada saat berusia enam
tahun, beliau sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diajak pergi oleh
ibunya ke kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) untuk mengunjungi keluarga
bibi-bibi beliau dari Bani Najjar. Di sana beliau tinggal bersama mereka selama
satu bulan. Setelah itu, barulah mereka kembali. Namun dalam perjalan pulang
ibunya sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, sehingga sekaligus dimakamkan
di desa Abwa’. Beliau pulang bersama Ummu Aiaman yang kemudian menyerahkan Nabi
sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam pada kakeknya Abdul Muthalib.
Ini berarti bahwa dalam
usia anak-anak, baginda Nabi telah memiliki dan mengalami liku-liku kehidupan.
Pengalaman hidup ini membuat Nabi memiliki hati dan fikiran yang sangat peka
atas penderitaan hidup orang lain. Kepekaan hati dan fikiran cukup jarang
dimiliki oleh banyak orang sekarang, terutama bagi kalangan selalu bergelimang
dengan gaya hidup hura-hura dan hedonism.
Kakek beliau sholallah
alahi wa aalihi wa shohbihi was salam wafat pada saat beliau sholallah alahi wa
aalihi wa shohbihi was salam berusia 8 tahun. Setelah itu, Nabi Muhammad
sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam diasuh oleh paman beliau Abu
Thalib sesuai dengan wasiat kakeknya. Abu Thalib juga sangat mencintai
Rasulullah sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Kehidupan Abu
Thalib sangat miskin, namun Allah Swt telah melimpahkan keberkahan dan
kemakmuran kepadanya berkat pengasuhannya terhadap Nabi Muhammad sholallah
alahi wa aalihi wa shohbihi was salam. Ketika berusia 12 tahun, beliau
sholallah alahi wa aalihi wa shohbihi was salam dibawa oleh pamannya Abu Thalib
ke Syam untuk berdagang.
Dari sejarah Nabi kita
tahu bahwa cukup banyak orang-orang yang sangat baik- berhati mulia- yang ikut
membesarkan Nabi, yang ikut terlibat dalam parenting
Nabi. Mulai dari ibunya, ibu asuhnya, kakeknya hingga pamannya. Parenting yang dialami oleh Nabi tidak
memanjakan beliau, namun menumbuhkan beliau untuk memiliki pengalaman hidup,
kaya hati, mengenal kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam, mengenal tentang hidup
yang perlu bekerja, belajar, bergaul, berbuat baik, tidak berpangku tangan.
Hingga akhirnya baginda Nabi juga tumbuh menjadi orang yang mampu berorganisasi
dan berwirausaha atau berdagang secara baik dan jujur, dan utamanya adalah Nabi
sebagai pelita zaman. Membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang beradab
dan juga mengabdi pada Allah.
Moga-moga sejarah Nabi
Muhammad selalu menjadi inspirasi bagi kita untuk banyak hal, termasuk dalam
hal parenting. Bila kita- anda dan
juga saya- memilki anak dan menginginkan anak tumbuh menjadi generasi yang
bertaqwa dan beriman. Namun kita membesarkan melalui gaya hidup yang hura-hura,
pemanjaan, cinta dunia yang berlebihan, hedonism, dan sekuler, maka kelak
tumbuh menjadi orang menurut gaya hidup mereka lalui. Mereka jauh dari Tuhan,
jauh dari dunia, jauh dari alam, menjadi pribadi yang cengeng dan kurang
bertanggung jawab. Untuk itu mari kita
jadikan sejarah Nabi sebagai paduan parenting
bagi kita (http://penulisbatusangkar.blogspot.com
).