Mengkonsumsi
Junk-Food Dengan Bijak
Saya
sangat terkesan membaca sebuah buku yang berjudul “Hidup Sederhana” yang
ditulis oleh Desi Anwar (2015: 85-86). Salah satu sub-judul buku tersebut
adalah ”makan dengan bijak”. Dia mengatakan bahwa makan itu bukan sekedar
memasukan makanan apapun yang kita suka ke dalam mulut untuk memuaskan rasa
lapar. Namun kita perlu makan dengan bijak. Makan dengan bijak adalah
mengetahui apa yang sedang kita makan. Kita memahami bagaimana makanan itu
diproses dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh.
Kita
telah berada di zaman moderen dan kita sering berbelanja di kedai-kedai moderen
yang bernama supermarket, swalayan atau mart. Di sana bertebaranan makanan yang
telah dikemas dalam kaleng. Setiap kotak, kaleng, stoples, bungkus, kemasan dan
botol yang ditemukan di kedai moderen ini memiliki label. Kita selalu melihat
label tersebut, hanya saja kita kurang peduli buat membacanya. Lihatlah pada
daftar bahan-bahan pembuatnya. Sungguh menakjubkan namun di sana juga tertera
angka dan nama yang sungguh asing bagi kita. Itu semua adalah zat pewarna, zat
tambahan, zat pengawet, dan berbagai tambahan zat kimia sehingga makanan
tersebut terlihat, terasa seperti adanya dan tahan lama.
“Makin
panjang daftar bahan-bahannya, makin tidak alami makanan yang kita makan itu
dan makin sedikit kandungan alaminya. Makan tersebut mungkin terlihat lebih
bagus, lebih mengkilap dan lebih manis, tetapi tidak terlalu menyehatkan”.
Makanan ringan
yang dijual di warung-warung milik warga sekitar 30 tahun yang lalu masih serba
alami. Yang ada kue lopi, nasi ketan, lemper bugis, jagung bakar, goreng ubi,
goreng singkong, dan ada lusinan nama jajanan yang lain. Jajanan ringan
tersebut cukup sehat dan aman untuk kesehatan. Saya sendiri sering mengkonsumsi
jajanan ini (pisang goreng dan nasi ketan) sebagai pengganti sarapan pagi, dan
jajanan ini cukup mengenyangkan.
Tiga
puluh tahun lalu jarang saya mendengar orang yang menderita sakit berat akibat salah konsumsi makanan atau
mengkonsumsi makanan/ jajanan yang kurang
sehat. Ukuran rumah sakit tidak sebesar sekarang dan jumlah pasien juga
tidak begitu ramai. Di perkotaan juga belum banyak tersedia klinik-klinik
kesehatan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit langka dan saat itu jumlah orang
yang sakit serius juga tidak sebanyak sekarang.
Di
luar warung juga tidak banyak variasi jajanan yang bisa dibeli. Anak-anak belum
kenal dengan buah-buahan import. Mereka sangat doyan dengan buahan tropis yang
tumbuh di seputar rumah seperti: jambu, pepaya, manggis, mangga, alpukat, dll.
Buah-buahan ini sangat menyehatkan orang-orang yang hidup di daerah tropis.
Namun
di tahun 2000-an ini apa yang terjadi ? Saya susah payah buat menemukan jajanan
alami yang biasa saya konsumsi saat saya remaja dulu. Cukup susah menemukan
sepiring rujak, lopi dengan kuah gula aren, nasi ketan campur srikaya, dll.
Yang lebih mudah adalah buat menjumpai makanan cepat saji, yang kaya dengan zat pewarna dan zat penambah ras lainnya.
Jumlah kuliner memang tumbuh pesat, namun butuh ketelitian dan kejelian kita buat
mendapatkan makanan sehat. Saya merasa lapar dan setelah saya menkonsumsi
semangkok makanan cepat saji, aneh kerongkonan saya terasa kering. Itu semua
adalah efek dari zat-zat kimia yang bertaburan dalam kuiner yang tidak sehat
dan setiap detik akan menghancurkan kualitas kesehatan kita.
Makanan-makanan
cepat saji memang sangat indah bentuknya dan sangat sedap rasanya. Setelah saya
intip ternyata rasa sedap itu terbentuk dari taburan zat-zat kimia yang bernama
“bumbu kimia”. Dalam istilah internasional makanan-makan ini bernama “junk-food” atau makanan rongsokan, dan
sungguh minim dengan nilai kesehatan. Saya bukan menteror anda (para pembaca)
untuk memboikot makanan ini, namun konsumsilah dengan bijak. Saya pun masih
mengkonsumsi junk-food, tetapi bukan
sebagai makanan utama dan juga bukan sebagai buat gaya hidup. Saya hanya
mengkosumsi junk food sekali-sekali
dan setelah itu saya lebih rajin mengkosumsi sayur dan buahan segar, agar efek
zat kimia yang jahat kembali netral dalam lambung saya.
Setiap kali saya
ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran dengan sajian
aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring- piring dan
memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung restoran.
Entahlah kenapa kebiasaan saya ini bisa terbentuk dan saya sendiri juga bukan
orang yang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu
peduli dan mengerti dengan nilai gizi dan gaya makan yang sehat.
Saya
malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi pembaca tulisan
ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman buruk saya. Bahwa sewaktu kecil saya
dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih terngiang
dalam pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya sebagai
anak kecil dengan perut buncit, kulit kering dan bersisik, serta tulang
belulang pada tubuh yang menonjol”.
Abang saya baru
mau menyantap nasi kalau ada lauk-pauk yang terbuat dari jengkol bakar. Ini
adalah menu yang jauh dari standar sehat buat seorang balita. Untunglah
beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke Payakumbuh dan karena
telah memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih bagus , sehingga mampu
membeli lauk- pauk yang lebih bergizi yang sangat baik bagi pola nutrisi kami.
Untuk tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan (dan kecerdasan lain).
“Ya kita harus
bisa mengkonsumsi makanan dengan cerdas dan bijak”.
Namun saya
merasa aneh, dan bertanya-tanya dalam hati, setiap kali makan bareng dengan
teman-teman yang walaupun lulusan perguruan tinggi namun mereka “ada yang tidak
terbiasa menjamah sayuran untuk menu makan siangnya”. Sepertinya mereka tidak
mengenal bagaimana “makan dengan bijak”, yaitu mengkonsumsi pola makanan yang
sehat. Piringnya hanya penuh dengan taburan bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk
yang kaya dengan lemak yang berkolestrol tinggi. Sekali lagi bahwa mereka tidak
pernah tertarik untuk menjamah sayur-mayur dan mengkonsumsi buah untuk sekedar
cuci mulut.
“Padahal
sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau buah tropis yang kaya vitamin
lainnya sebelum atau setelah selesai makan, sungguh sangat menyehatkan tubuh”.
“Mengapa
anda makannya tidak pake sayur ?”, Tiba-tiba saya menyapa seorang teman untuk
mencari tahu.
“Yeah....karena
dari kecil saya memang sudah nggak suka sayur,.....saya tidak terbiasa makan
sayu dan juga kurang suka dengan sayur”. Jawabnya.
Jawaban yang
sama juga sudah saya peroleh dari banyak orang setiap kali saya mengajukan
pertanyaan yang sama. Saya bisa membuat generalisasi bahwa begitu banyak
orang-orang yang hidup di sekitar kita- sekalipun mereka tercatat sebagai orang
yang terdidik- namun kurang tertarik buat mengkonsumsi sayuran dan juga amat
jarang makan buah-buahan yang kaya dengan vitamin dan berguna sebagai pelindung
tubuh mereka. Apa penyebabnya ?
Salah satu
penyebabnya adalah kualitas parenting
(pengetahuan untuk menjadi orangtua) di negara kita yang masih rendah. Parenting di negara maju, seperti di
Australia, Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus sehingga mampu
mengatarkan warga negara mereka menjadi warga negara yang berkualitas tinggi.
Namun, sekali lagi, bahwa parenting di Indonesia masih mengalami banyak
kekurangan. Banyak orangtua yang kurang memahami pola makanan sehat buat
keluarga dan juga balita mereka.
Sebuah LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional yang bernama “Humanium” yang berdiri di Jenewa, dengan visi “Together For Children’s Right- bersama memperjuangkan hak azazi
anak-anak” megatakan bahwa Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang
berlimpah dan terbentang luas pada lebih dari 13.000 pulau, Indonesia saat ini
sedang giat-giatnya dalam periode pembangunan secara besar-besaran. Sayangnya,
keunggulan ekonomi negara belum bermanfaat bagi banyak penduduknya. Karena
banyak anak-anak yang masih hidup dalam
kondisi tubuh yang kurang sehat,
sehingga mereka tidak bisa menikmati hak-hak hidup untuk bisa tumbuh menjadi anak-anak
yang lebih sehat.
Ditambahkan
pula bahwa Indonesia dihadapkan dengan
berbagai masalah yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, data untuk tingkat
kematian anak-anak yang merupakan sebuah bencana mencapai angka sekitar 40%
dari anak-anak Indonesia, yang meninggal sebelum usia 5 tahun. Bayi yang baru
lahir sering menjadi korban akibat beberapa penyakit seperti berat pertumbuhan
berat badan yang rendah atau mengalami gejala kurang gizi.
Saat
jalan-jalan melalui komplek perumahan penduduk, saya sering menjumpai banyak
orangtua yang tidak begitu peduli “tentang makna hidup sehat bagi dirinya dan
bagi keluarganya”. Mengapa demikian ? Mereka dengan entengnya memberi jajanan yang
tidak sehat (miskin gizi), karena kaya dengan zat-zat kimia buat anak mereka
yang masih berusia “balita”. Bila anak-anak yang masih balita menjadi rewel
maka mereka membawa balitanya ke kedai sekitar dan membiarkan balita mereka
untuk memilih-milih dan menjangkau
jajanan murahan yang bergelantungan di etalase kedai
“Bagi mereka
yang penting bagi mereka asal balita
mereka tidak rewel lagi, dan asal perut balita juga bisa kenyang”.
Seorang anak yang
punya daya tahan tubuh lemah, tentu saja karena dia telah terbiasa mengkonsumsi
makanan yang tidak sehat, jarang memperoleh sayur, buahan dan suplemen lainnya.
Maka penyebab awalnya adalah akibat dari jeleknya kualitas parenting dari orangtuanya. Karena orangtua tidak mengenal dengan
pola hidup sehat dan berimbang yang tecermin melalui pola makan. Kemudian
menjadi lebih parah lagi dengan kehadiran sebahagian pedagang kaki lima yang
menjual jajanan yang juga kurang sehat.
Para pedagang
kaki lima (pedagang keliling) kualitas jajan yang mereka jual harus disikapi
dengan bijak: apakah sehat atau kurang sehat bagi anak ?. Karena sebagian ada
yang meracik jajanan yang berharga murah-meriah, namun bernilai gizi rendah
yang berjejer di sekeliling pagar sekolah. Bila dikonsumsi apakah siswa hanya asal
kenyang saja dan apa efek kesehatanya sudah diperhitungkan ?
Bila
kita berkunjung ke bangsal anak-anak di berbagai rumah sakit maka akan kita
jumpai arus masuk pasien berusia masih anak-anak karena jatuh sakit. Sebagian
penyebabnya adalah gara-gara mereka salah
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Orangtua mereka ternyata juga rajin
menyediakan makanan cepat saji (junk food)
buat mereka, seperti: mie instan, dan aneka makanan yang bertabur bumbu-bumbu
penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak orangtua yang juga malas menghidangkan
sayuran dan buahan. Sebuah artikel dalam portal tempo online menulis sebuah artikel dengan judul:
“Serious Risks When Parents Don`t Cut Small
Fruits for Children” – adalah cukup beresiko buat kesehatan anak-anak, bila
orang orangtua malas menghidangkan potongan-potongan kecil buah-buahan buat
anak mereka. Judul ini perlu segera direspon oleh semua orangtua dan terutama
bagi orangtua yang mendambakan kesehatan bagi anak mereka.
Cukup
fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan citarasa makanan ketimbang
nilai gizinya. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita
akan menyaksikan tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang
belum tentu menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar,
dengan warna coklat hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan
belerang pada makanan. Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak
arangnya, juga pegolahan yang serba digoreng (mengandung kolesterol tinggi),
telah membuat meningkatnya populasi pasien penderita kanker.
Bangsa Jepang
adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia. Itu semua
berasal dari kualitas dan pola makan mereka yang sehat. Memang diakui bahwa
cita rasa santapan orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa
kuliner orang kita. Itu karena mereka telah membudayakan menghindari pengolahan
kuliner yang banyak mengandung minyak, gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap.
Kuliner dan santapan orang Jepang lebih banyak yang bercorak serba “direbus”
dan dan mereka suka banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Maka inilah
pola makanan yang lebih sehat itu.
Apakah
kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan sehat ?
Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu
bahwa pola makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”.
Namun pola hidup sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi
anak-anak SD. Seharusnya pola makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami,
diketahu dan diamalkan oleh orangtua mereka di rumah.
Saat
masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat memahami
komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada “karbohidrat,
protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan dengan
sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu” agar
bisa menjadi “lima sempurna”.
“Namun dalam kebijakan
tentang makan yang sehat sekarang, bahwa kita harus mengkonsumsi gizi makanan
yang berimbang”. Namun pola makan yang sehat jarang hadir di meja kita.
Melihat
foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh
tidak begitu membahagiakan. Terlihat fisik kami tidak terawat, model
pakaian yang terkesan ketinggalan zaman, kulit kami kering dan bersisik dan
juga berat badan yang kurang dari ukuran standar. Itu semua sebagai pertanda
bahwa kami memang mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi buat
pertumbuhan.
Pola
makan yang kurang sehat dan kondisi orangtua yang juga miskin dengan ilmu parenting bukan hanya terjadi pada
keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-teman saya, mereka juga berasal
dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan kondisi orangtua mereka
juga minus ilmu pengetahuan tentang parenting.
Sekali lagi
bahwa kita kurag peduli dan malah tidak peduli dengan bagaimana mengkonsumsi makanan
yang bijak. Saat menulis artikel ini saya sedang bersimpati dengan seorang anak
kecil, yang saya bezuk di rumah sakit. Dia sedang menderita bentuk penyakit
yang tidak jelas namanya. Namun dari gejala yang terpantau sebelum sakitnya
datang adalah pengalaman pola makannya yang juga kurang sehat: sejak bayi
mengkonsumsi junk food, juga tidak
mengenal konsumsi sayuran dalam pola makannya. Dia juga tidak terbiasa
memperoleh potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk melindungi tubuhnya.
Yang banyak saya
lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang kaya zat kimia yang
bergelantungan di kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak dikonsumsi
oleh balita, apalagi oleh seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia yang
dikonsumsinya selama berbulan-bulan dari rentang usia kehidupannya telah
mengotori (merancuni) organ percernaakannya, dari mulut hingga usus, juga
ginjal dan empedunya. Moga- moga banyak orang yang membaca artikel ini dan
kemudian menjadi peduli dengan mengkonsumsi makanan yang sehat. Kalau mau juga
mengkonsumsi junk food, maka makanlah
dengan bijak.