Rabu, 14 Juni 2017

Mengkonsumsi Junk-Food Dengan Bijak



Mengkonsumsi Junk-Food Dengan Bijak

            Saya sangat terkesan membaca sebuah buku yang berjudul “Hidup Sederhana” yang ditulis oleh Desi Anwar (2015: 85-86). Salah satu sub-judul buku tersebut adalah ”makan dengan bijak”. Dia mengatakan bahwa makan itu bukan sekedar memasukan makanan apapun yang kita suka ke dalam mulut untuk memuaskan rasa lapar. Namun kita perlu makan dengan bijak. Makan dengan bijak adalah mengetahui apa yang sedang kita makan. Kita memahami bagaimana makanan itu diproses dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh.
            Kita telah berada di zaman moderen dan kita sering berbelanja di kedai-kedai moderen yang bernama supermarket, swalayan atau mart. Di sana bertebaranan makanan yang telah dikemas dalam kaleng. Setiap kotak, kaleng, stoples, bungkus, kemasan dan botol yang ditemukan di kedai moderen ini memiliki label. Kita selalu melihat label tersebut, hanya saja kita kurang peduli buat membacanya. Lihatlah pada daftar bahan-bahan pembuatnya. Sungguh menakjubkan namun di sana juga tertera angka dan nama yang sungguh asing bagi kita. Itu semua adalah zat pewarna, zat tambahan, zat pengawet, dan berbagai tambahan zat kimia sehingga makanan tersebut terlihat, terasa seperti adanya dan tahan lama.
            “Makin panjang daftar bahan-bahannya, makin tidak alami makanan yang kita makan itu dan makin sedikit kandungan alaminya. Makan tersebut mungkin terlihat lebih bagus, lebih mengkilap dan lebih manis, tetapi tidak terlalu menyehatkan”.
Makanan ringan yang dijual di warung-warung milik warga sekitar 30 tahun yang lalu masih serba alami. Yang ada kue lopi, nasi ketan, lemper bugis, jagung bakar, goreng ubi, goreng singkong, dan ada lusinan nama jajanan yang lain. Jajanan ringan tersebut cukup sehat dan aman untuk kesehatan. Saya sendiri sering mengkonsumsi jajanan ini (pisang goreng dan nasi ketan) sebagai pengganti sarapan pagi, dan jajanan ini cukup mengenyangkan.
            Tiga puluh tahun lalu jarang saya mendengar orang yang menderita sakit berat  akibat salah konsumsi makanan atau mengkonsumsi makanan/ jajanan yang kurang  sehat. Ukuran rumah sakit tidak sebesar sekarang dan jumlah pasien juga tidak begitu ramai. Di perkotaan juga belum banyak tersedia klinik-klinik kesehatan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit langka dan saat itu jumlah orang yang sakit serius juga tidak sebanyak sekarang.
            Di luar warung juga tidak banyak variasi jajanan yang bisa dibeli. Anak-anak belum kenal dengan buah-buahan import. Mereka sangat doyan dengan buahan tropis yang tumbuh di seputar rumah seperti: jambu, pepaya, manggis, mangga, alpukat, dll. Buah-buahan ini sangat menyehatkan orang-orang yang hidup di daerah tropis.
            Namun di tahun 2000-an ini apa yang terjadi ? Saya susah payah buat menemukan jajanan alami yang biasa saya konsumsi saat saya remaja dulu. Cukup susah menemukan sepiring rujak, lopi dengan kuah gula aren, nasi ketan campur srikaya, dll. Yang lebih mudah adalah buat menjumpai makanan cepat saji, yang kaya dengan  zat pewarna dan zat penambah ras lainnya. Jumlah kuliner memang tumbuh pesat, namun butuh ketelitian dan kejelian kita buat mendapatkan makanan sehat. Saya merasa lapar dan setelah saya menkonsumsi semangkok makanan cepat saji, aneh kerongkonan saya terasa kering. Itu semua adalah efek dari zat-zat kimia yang bertaburan dalam kuiner yang tidak sehat dan setiap detik akan menghancurkan kualitas kesehatan kita.
            Makanan-makanan cepat saji memang sangat indah bentuknya dan sangat sedap rasanya. Setelah saya intip ternyata rasa sedap itu terbentuk dari taburan zat-zat kimia yang bernama “bumbu kimia”. Dalam istilah internasional makanan-makan ini bernama “junk-food” atau makanan rongsokan, dan sungguh minim dengan nilai kesehatan. Saya bukan menteror anda (para pembaca) untuk memboikot makanan ini, namun konsumsilah dengan bijak. Saya pun masih mengkonsumsi junk-food, tetapi bukan sebagai makanan utama dan juga bukan sebagai buat gaya hidup. Saya hanya mengkosumsi junk food sekali-sekali dan setelah itu saya lebih rajin mengkosumsi sayur dan buahan segar, agar efek zat kimia yang jahat kembali netral dalam lambung saya.
Setiap kali saya ikut makan bersama teman atau saya lagi berada di sebuah restoran dengan sajian aneka bentuk kuliner, mata saya sering tertuju pada piring- piring dan memperhatikan tentang kualitas menu yang disantap oleh pengunjung restoran. Entahlah kenapa kebiasaan saya ini bisa terbentuk dan saya sendiri juga bukan orang yang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga- ayah dan ibu- yang begitu peduli dan mengerti dengan nilai gizi dan gaya makan yang sehat.
            Saya malu mengungkapkan tentang siapa saya, namun tidak mengapa selagi pembaca tulisan ini bisa mengambil manfaat atas pengalaman buruk saya. Bahwa sewaktu kecil saya dan juga saudara- saudara saya tubuh dalam kondisi gizi buruk. Masih terngiang dalam pendengaran saya tentang suara ibu yang mendeskripsikan “saya sebagai anak kecil dengan perut buncit, kulit kering dan bersisik, serta tulang belulang pada tubuh yang menonjol”.
Abang saya baru mau menyantap nasi kalau ada lauk-pauk yang terbuat dari jengkol bakar. Ini adalah menu yang jauh dari standar sehat buat seorang balita. Untunglah beberapa waktu kemudian ayah saya memboyong kami pindah ke Payakumbuh dan karena telah memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih bagus , sehingga mampu membeli lauk- pauk yang lebih bergizi yang sangat baik bagi pola nutrisi kami. Untuk tumbuh sehat sangat diperlukan ilmu pegetahuan (dan kecerdasan lain).
“Ya kita harus bisa mengkonsumsi makanan dengan cerdas dan bijak”.
Namun saya merasa aneh, dan bertanya-tanya dalam hati, setiap kali makan bareng dengan teman-teman yang walaupun lulusan perguruan tinggi namun mereka “ada yang tidak terbiasa menjamah sayuran untuk menu makan siangnya”. Sepertinya mereka tidak mengenal bagaimana “makan dengan bijak”, yaitu mengkonsumsi pola makanan yang sehat. Piringnya hanya penuh dengan taburan bumbu-bumbu pedas dan lauk pauk yang kaya dengan lemak yang berkolestrol tinggi. Sekali lagi bahwa mereka tidak pernah tertarik untuk menjamah sayur-mayur dan mengkonsumsi buah untuk sekedar cuci mulut.
“Padahal sepotong pepaya, salak, pisang, jeruk atau buah tropis yang kaya vitamin lainnya sebelum atau setelah selesai makan, sungguh sangat menyehatkan tubuh”.
            “Mengapa anda makannya tidak pake sayur ?”, Tiba-tiba saya menyapa seorang teman untuk mencari tahu.
            “Yeah....karena dari kecil saya memang sudah nggak suka sayur,.....saya tidak terbiasa makan sayu dan juga kurang suka dengan sayur”. Jawabnya.
Jawaban yang sama juga sudah saya peroleh dari banyak orang setiap kali saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saya bisa membuat generalisasi bahwa begitu banyak orang-orang yang hidup di sekitar kita- sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang terdidik- namun kurang tertarik buat mengkonsumsi sayuran dan juga amat jarang makan buah-buahan yang kaya dengan vitamin dan berguna sebagai pelindung tubuh mereka. Apa penyebabnya ?
Salah satu penyebabnya adalah kualitas parenting (pengetahuan untuk menjadi orangtua) di negara kita yang masih rendah. Parenting di negara maju, seperti di Australia, Singapura, Jepang, Amerika, dll sudah sangat bagus sehingga mampu mengatarkan warga negara mereka menjadi warga negara yang berkualitas tinggi. Namun, sekali lagi, bahwa  parenting di Indonesia masih mengalami banyak kekurangan. Banyak orangtua yang kurang memahami pola makanan sehat buat keluarga dan juga balita mereka.
Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional yang bernama “Humanium” yang berdiri di Jenewa, dengan visi “Together For Children’s Right- bersama memperjuangkan hak azazi anak-anak” megatakan bahwa Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah dan terbentang luas pada lebih dari 13.000 pulau, Indonesia saat ini sedang giat-giatnya dalam periode pembangunan secara besar-besaran. Sayangnya, keunggulan ekonomi negara belum bermanfaat bagi banyak penduduknya. Karena banyak anak-anak yang masih  hidup dalam kondisi tubuh yang kurang  sehat, sehingga mereka tidak bisa menikmati hak-hak hidup untuk bisa tumbuh menjadi anak-anak yang lebih sehat.
            Ditambahkan pula bahwa  Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, data untuk tingkat kematian anak-anak yang merupakan sebuah bencana mencapai angka sekitar 40% dari anak-anak Indonesia, yang meninggal sebelum usia 5 tahun. Bayi yang baru lahir sering menjadi korban akibat beberapa penyakit seperti berat pertumbuhan berat badan yang rendah atau mengalami gejala kurang gizi.
            Saat jalan-jalan melalui komplek perumahan penduduk, saya sering menjumpai banyak orangtua yang tidak begitu peduli “tentang makna hidup sehat bagi dirinya dan bagi keluarganya”. Mengapa demikian ? Mereka dengan entengnya memberi jajanan yang tidak sehat (miskin gizi), karena kaya dengan zat-zat kimia buat anak mereka yang masih berusia “balita”. Bila anak-anak yang masih balita menjadi rewel maka mereka membawa balitanya ke kedai sekitar dan membiarkan balita mereka untuk memilih-milih dan  menjangkau jajanan murahan yang bergelantungan di etalase kedai
“Bagi mereka yang penting bagi mereka  asal balita mereka tidak rewel lagi, dan asal perut balita juga bisa kenyang”.
Seorang anak yang punya daya tahan tubuh lemah, tentu saja karena dia telah terbiasa mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, jarang memperoleh sayur, buahan dan suplemen lainnya. Maka penyebab awalnya adalah akibat dari jeleknya kualitas parenting dari orangtuanya. Karena orangtua tidak mengenal dengan pola hidup sehat dan berimbang yang tecermin melalui pola makan. Kemudian menjadi lebih parah lagi dengan kehadiran sebahagian pedagang kaki lima yang menjual jajanan yang juga kurang sehat.
Para pedagang kaki lima (pedagang keliling) kualitas jajan yang mereka jual harus disikapi dengan bijak: apakah sehat atau kurang sehat bagi anak ?. Karena sebagian ada yang meracik jajanan yang berharga murah-meriah, namun bernilai gizi rendah yang berjejer di sekeliling pagar sekolah. Bila dikonsumsi apakah siswa hanya asal kenyang saja dan apa efek kesehatanya sudah diperhitungkan ?
            Bila kita berkunjung ke bangsal anak-anak di berbagai rumah sakit maka akan kita jumpai arus masuk pasien berusia masih anak-anak karena jatuh sakit. Sebagian penyebabnya  adalah gara-gara mereka salah mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. Orangtua mereka ternyata juga rajin menyediakan makanan cepat saji (junk food) buat mereka, seperti: mie instan, dan aneka makanan yang bertabur bumbu-bumbu penyedap rasa. Dibalik itu cukup banyak orangtua yang juga malas menghidangkan sayuran dan buahan. Sebuah artikel dalam portal tempo online menulis sebuah artikel dengan judul:
Serious Risks When Parents Don`t Cut Small Fruits for Children” – adalah cukup beresiko buat kesehatan anak-anak, bila orang orangtua malas menghidangkan potongan-potongan kecil buah-buahan buat anak mereka. Judul ini perlu segera direspon oleh semua orangtua dan terutama bagi orangtua yang mendambakan kesehatan bagi anak mereka.
            Cukup fenomena bahwa masyarakat kita lebih peduli dengan citarasa makanan ketimbang nilai gizinya. Pergilah ke pasar dan mampirlah ke warung kuliner. Maka kita akan menyaksikan tumpukan orang-orang yang tengah menikmati aneka makanan yang belum tentu menyehatkan. Ada yang lagi menikmati makanan yang serba dibakar, dengan warna coklat hingga kehitaman. Warna hitam terjadi oleh tumpukan belerang pada makanan. Mengkonsumsi makanan yang serba dibakar dan banyak arangnya, juga pegolahan yang serba digoreng (mengandung kolesterol tinggi), telah membuat meningkatnya populasi pasien penderita kanker.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki usia rata- rata lebih panjang di dunia. Itu semua berasal dari kualitas dan pola makan mereka yang sehat. Memang diakui bahwa cita rasa santapan orang Jepang kalah lezat dibandingkan dengan cita rasa kuliner orang kita. Itu karena mereka telah membudayakan menghindari pengolahan kuliner yang banyak mengandung minyak, gula dan zat-zat kimia sebagai penyedap. Kuliner dan santapan orang Jepang lebih banyak yang bercorak serba “direbus” dan dan mereka suka banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Maka inilah pola makanan yang lebih sehat itu.
            Apakah kita sebagai orang Indonesia kurang mengenal gaya dan pola makanan sehat ? Ternyata ketika masih kecil- duduk di bangku sekolah dasar, kita telah tahu bahwa pola makanan sehat bangsa Indonesia adalah “Empat Sehat- Lima Sempurna”. Namun pola hidup sehat ini hanya sebatas hafalan buat diujikan saat ujian bagi anak-anak SD. Seharusnya pola makan “Empat Sehat-Lima Sempurna” lebih dipahami, diketahu dan diamalkan oleh orangtua mereka di rumah. 
            Saat masih di SD, saya dan hampir semua murid (teman-teman saya) sangat memahami komposisi pola makan “empat sehat lima sempurna” yaitu musti ada “karbohidrat, protein, sayuran, vitamin atau buah-buahan. Dan itupun baru dikatakan dengan sebutan “empat sehat”, kemudian ditambah dengan meminum “satu gelas susu” agar bisa menjadi “lima sempurna”.
“Namun dalam kebijakan tentang makan yang sehat sekarang, bahwa kita harus mengkonsumsi gizi makanan yang berimbang”. Namun pola makan yang sehat jarang hadir di meja kita.
            Melihat foto-foto kami saat masih kecil, wow sungguh  tidak begitu membahagiakan. Terlihat fisik kami tidak terawat, model pakaian yang terkesan ketinggalan zaman, kulit kami kering dan bersisik dan juga berat badan yang kurang dari ukuran standar. Itu semua sebagai pertanda bahwa kami memang mengalami kekurangan gizi di saat kami membutuhkan gizi buat pertumbuhan.
            Pola makan yang kurang sehat dan kondisi orangtua yang juga miskin dengan ilmu parenting bukan hanya terjadi pada keluarga saya. Hampir merata pada banyak teman-teman saya, mereka juga berasal dari keluarga yang buta dengan nilai gizi makanan dan kondisi orangtua mereka juga minus ilmu pengetahuan tentang parenting.
Sekali lagi bahwa kita kurag peduli dan malah tidak peduli dengan bagaimana mengkonsumsi makanan yang bijak. Saat menulis artikel ini saya sedang bersimpati dengan seorang anak kecil, yang saya bezuk di rumah sakit. Dia sedang menderita bentuk penyakit yang tidak jelas namanya. Namun dari gejala yang terpantau sebelum sakitnya datang adalah pengalaman pola makannya yang juga kurang sehat: sejak bayi mengkonsumsi junk food, juga tidak mengenal konsumsi sayuran dalam pola makannya. Dia juga tidak terbiasa memperoleh potongan buahan segar yang kaya vitamin untuk melindungi tubuhnya.
Yang banyak saya lihat adalah dia sering mengkonsumsi jajanan yang kaya zat kimia yang bergelantungan di kedai- kedai- dimana jajanan tersebut tidak layak dikonsumsi oleh balita, apalagi oleh seorang bayi. Tumpukan residu bahan kimia yang dikonsumsinya selama berbulan-bulan dari rentang usia kehidupannya telah mengotori (merancuni) organ percernaakannya, dari mulut hingga usus, juga ginjal dan empedunya. Moga- moga banyak orang yang membaca artikel ini dan kemudian menjadi peduli dengan mengkonsumsi makanan yang sehat. Kalau mau juga mengkonsumsi junk food, maka makanlah dengan bijak.

Merncari Penerbit buat menerbitkan naskah buku yang berjudul "MAKING EXPERIENCE- Membuat Pengalaman Yang Bervariasi Untuk Memudahkan Masa Depan"



Naskah Buku: MAKING EXPERIENCES
            Umumnya orang tahu bahwa untuk meraih masa depan perlu perjuangan, salah satunya melalui pendidikan. Maka pendidikan berkualitas telah menjadi incaran masyarakat. Para siswa dan orangtua mencari-cari sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas.  
Dukungan para orangtua  untuk membuat putra-putri mereka menjadi cerdas (smart) bisa diacungkan jempol. Mereka mencarikan guru-guru privat atau lembaga bimbel-buat belajar tambahan- agar putra-putri mereka sukses di sekolah dan bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang bergengsi, dengan anggapan setelah itu putra-putri mereka bisa sukses di masa depan. Sayangnya orangtua hanya sebatas memotivasi anak untuk cerdas secara akademik, dan kurang menyentuh pengembangan soft-skill mereka, seperti berbagai keterampilan sosial. Hingga putra-putri mereka tidak bisa berbuat banyak hanya dengan pendidikan sekedar cerdas pada kertas, tanpa adanya keterampilan pendukung lainnya.
Begitu juga dengan para siswa dan mahasiswa, umumnya proses pembelajaran mereka hanya  terfokus pada peningkatkan kemampuan akademik. Adalah fenomena sosial bahwa banyak dari mereka yang telah menjadi cerdas- kaya dengan informasi, mampu  mengikuti proses perkuliahan di perguruan tinggi. Namun begitu menjadi sarjana, ilmu pengetahuan yang telah mereka raih ternyata belum mampu membuat mereka kuat. Teori-teori dan pengetahuan yang dipelajari selama ini belum mampu digunakan untuk mewujudkan aktualisasi diri mereka.
Akibatnya sebagian besar dari mereka jadi ikut antri ke dalam daftar para  job-seeker, menjadi pengangguran dari kalangan terdidik. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa jadi berpangkal dari mind-set (pola berpikir) yang mereka miliki. Yaitu mereka pergi kuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Terhadap mereka dapat dipertanyakan apakah proses pendidikan yang mereka lalui- selama di perguruan tinggi dan sebagaimana pendapat Rhenald Kasali (Guru Besar UI)- membuat mereka menjadi orang yang cerdas namun bermental sopir atau bermental penumpang (?).
Bercermin pada eksistensi negara maju, diketahui  bahwa terbentuknya kualitas seorang anak sangat ditentukan oleh kualitas keluarga, yaitu keberadaan parenting itu sendiri. Diyakini bahwa parenting yang berkualitas akan menghasilkan generasi muda yang bernas dan sukses. Hal tersebut terbentuk dari kesungguhan orangtua dalam menjalankan manajemen keluarga. Di sana- para orangtua- membuat house rule, dan selalu menumbuhkan budaya literasi atau budaya membaca. Karena budaya membaca punya potensi untuk melejitkan kualitas diri seseorang.
Dahulu populasi orang yang pergi kuliah ke perguruan tinggi masih sedikit. Maka dari semua mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi, mereka mampu memperoleh pekerjaan dan malah juga ada yang menciptakan lapangan pekerjaan. Karena kesadaran akan arti dari pendidikan, maka populasi mahasiswa bertambah dari tahun ke tahun. Dan dikatakan bahwa dari 100 % para lulusan perguruan tinggi, maka 80 % dari mereka akan mampu memperoleh pekerjaan, sementara yang 20 % akan menjadi job-seeker atau pengangguran.
Kesadaran orang untuk menuntut ilmu pengetahuan setinggi selalu bertambah setiap tahun. Setelah itu dikatakan bahwa dari 100 % populasi sarjana  yang baru lulusan dari  perguruan tinggi, 20 % mampu meperoleh pekerjaan dan yang 80 % akan menjadi penggangguran- jadi kondisinya sudah terbalik.
Fenomena selanjutnya bahwa dari 100 % dari mereka yang lulus dari perguruan tinggi maka total yang mengganggur semakin membengkak. Kecerdasan akademik,dengan  indek prestasi yang tinggi, hingga predikat cum-laude sekalipun, belum tentu bisa menjamin seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang mereka impikan, apalagi untuk menciptakan lahan pekerjaan. Kecuali bagi mereka yang memiliki soft-skill- yaitu pengalaman yang luas dan bervariasi.
            Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang mengupas seputar masalah pendidikan, semangat dan motivasi menuntut ilmu, juga sekilas tentang parenting. Betapa penting orang tua menerapkan peraturan rumah dalam bentuk karakter anak-anak mereka. Akhirnya buku ini sangat tepat diberi judul: Making Experiences- Membuat Pengalaman Yang Luas Dan Bervariasi Untuk Memudahkan Kehidupan.
            Jadinya buku ini sangat layak untuk dibaca oleh para orangtua dan masyarakat, agar mereka mengetahui pernak-pernik seputar pendidikan. Bahwa keberhasilan putra-putri mereka di masa depan tidak hanya  ditentukan oleh nilai akademik yang tinggi, namun juga oleh faktor soft-skill, yaitu pengalaman yang bervariasi dan yang luas, juga karakter-karakter positif lainnya. Buku ini sangat direkomendasikan buat dibaca para siswa dan mahasiswa, dengan harapan mereka bisa memiliki gambaran futuristik. Bahwa untuk bisa eksis di masa depan, mereka selain punya nilai-nilai akademik yang bagus, juga harus memiliki soft-skill- yaitu pengalaman yang luas, kemampuan leadership, kemampuan bersosial dan pribadi yang tangguh.
            Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt karena buku ini bisa terwujud. Itu semua berkat rahmat-Nya. Kemudian ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberi kontribusinya atas selesainya buku ini. Selanjutnya, terimakasih buat Emi Surya (istri penulis), Muhammad Fachrul Anshar dan Nadhila Azzahra (anak-anak penulis) yang mana waktu kebersamaan buat mereka telah tersita selama penyelesaian naskah buku ini. Tidak ada gading yang tidak rentak, tentu saja buku ini mempunyai beberapa kelemahan dan kekurangan. Untuk itu penulis menunggu saran dan kontribusi perbaikan buku ini dari pihak pembaca melalui emai- marjohanusman@yahoo.com. Moga-moga buku ini bisa memberi manfaat.
                                                                           Batusangkar, Juni/ Ramadhan 1438 H/ Juni 2017
                                                                                                Marjohan Usman     
                                                                                            (HP: 0823 9147 2498)


Daftar Isi
    Kata Pengantar
    Daftar Isi
1. Pengalaman Yang Bervariasi (Soft-Skill) Memudahkan Masa Depan
2. Cerdas Bermental “Sopir” atau “Penumpang?
3. Lima Kekuatan Untuk Menunjang Sukses Dalam Belajar
4. Memahami Proses Kerja Pikiran Kita
5. Beberapa Kebiasaan Yang Membuat Orang Jadi Hebat
6. Percepatan Belajar Dalam Merespon Perubahan Yang Cepat
7. Pentingnya Menjadi Siswa  Yang Smart Book dan Smart Street
8. “Long Life Education” Untuk Menggapai Hidup Berkualitas
9. Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif
10. Budaya Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri
11. Hidup Butuh Proses dan Bukan Terpaku Pada Teori
12. Keterampilan Dan Keberanian Untuk Kehidupan
13. Melejitkan Kecerdasan Yang Berimbang
14. Kemampuan Akademik Dan Pengalaman Kerja Sebagai Jalan Toll Menuju Masa Depan
15. Bagaimana Cara Mempengaruhi Orang
16. Pengalaman Pendidikan Di Sebuah Sekolah Amerika Serikat
17. Bagaimana Proses Memilih Sebuah Profesi
18. Buatlah Dirimu Tampak “Attraktif” Agar Sukses Segera Datang
19. Prinsip Hidup Yang Positif Untuk Menciptakan Magnetic Personality
20. Membangun Pengalaman Sambil Menuntut Ilmu
21. Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri
22. Sukses Berasal Dari Rumah Yang Hebat
23. Menyingkirkan Sejuta  Alasan Buat Maju
24. Peluang Kerja Di Negara Kita Masih Luas
25. Mengkonsumsi Junk-Food  Dengan Bijak
26. Peraturan Tertulis Dalam Manajemen Keluarga
27. Mengapa Anak Laki-Laki Harus Lebih Kuat
28. Orang Asia Timur Dalam Buku John Naisbitt
29. Anak-Anak Keluarga Kurang Mampu Tidak Boleh Tertinggal
30. Parenting Berkualitas Menghasilkan Generasi Bernas
      Daftar Pustaka
      Biografi Penulis

Peluang Kerja Di Negara Kita Masih Luas



Peluang Kerja Di Negara Kita Masih Luas

            Beberapa kali saya berpergian menempuh jalan darat dari Padang menuju Jakarta. Yang saya rasakan bahwa bumi kita-bumi Indonesia- masih luas. Sepanjang jalan di daerah propinsi Jambi, Sumatera Selatan hingga Lampung saya menjumpai hamparan perkebunan rakyat dan juga milik perusahaan dengan pepohonan hijau yang subur. Perumahan penduduk masih sedikit, kecuali di beberapa kota kecamatan. Begitu memasuki propinsi lampung saya menjumpai hamparan sawah dan ladang palawija yang subur. Di daerah Sumatera Selatan saya banyak menjumpai deretan gedung-gedung yang baru saja dibangun- berbentuk ruko namun seolah-olah ditinggalkan. Gedung-gedung tersebut pasti dibangun dengan modal besar dan duit yang banyak, kalau demikian tanah air kita dan warganya sangat kaya dan tentu saja peluang kerja masih berlimpah.
            Memasuki Jakarta saya melihat ratusan, juga mungkin ribuan gedung-gedung megah yang melambangkan kekayaan ibu kota. Namun setelah itu saya menemui beberapa daerah kumuh dengan tumpukan gubuk gubuk/ rumah-rumah  reot yang memberi isyarat bahwa di sana bertebaran problem ekonomi dan sosial.
            Bumi kita sangat kaya- kaya dengan sumber daya alam (SDA)- namun cukup banyak manusianya yang masih hidup sengsara. Yang sengsara tidak hanya bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, namun juga yang tinggal di daerah dimana mereka dikelilingi oleh georafi alam yang cukup kaya SDA-nya. Bagaimana dengan fenomena daerah/ negara yang miskin SDA-nya ?
            Ada beberapa negara kecil yang dewasa ini kerap menjadi incaran buruh migran asal Indonesia yaitu Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan dan juga mungkin Singapura. Semua negara tadi memiliki jumlah penduduk yang banyak dan padat sehingga pemerintahnya mendirikan gedung-gedung  jangkung untuk bisa menampung penduduknya. Daerah atau negara-negara tadi memiliki SDA yang terbatas namun tidak ada terbetik penderitaan masyarakatnya yag hidup di bawah garis kemiskinan. Daerah tersebut tidak memiliki hamparan sawah atau hamparan ladang gandum, namun tidak ada rakyatya yag menderita kelaparan. Mengapa ini bisa demikian ?
            Saya pernah berpergian lewat jalan darat dari Johor Baru- Malaysia- hingga ke Jantung Singapura. Saya menyaksikan keindahan alam Singapura. Keindahan landmark-nya namun semuanya serba ciptaan manusia, seperti jembatan, patung singa hinga gedung-gedung pencakar langit lainnya. Beda dengan negara kita, Indonesia, yang landmark-nya masih banya berupa penampakan alam- gunung menjulang tinggi, bukit hijau, lembah, bentangan sungai yang berliku, danau-danau cantik yang dipagari pegunungan, hamparan ladang dan sawah seperti hamparan permadani nan luas.
            Saya tidak menyaksikan kekayaan SDA-nya Singapura (sawah, ladang, hutan, danau, dll) seperti yang di tanah air kita. Saya tidak menemukan sungai-sungai yang lebar, danau yang beriak dan hamparan sawah di sana. Namun mengapa tidak ada warganya yang menderita kelaparan dan kemiskinan yang parah ? Ternyata kualitas SDM-nya yang tinggi yang membuat warga Singapura bisa eksis dan terhindar jauh dari kesengsaraan. Kualitas SDM Singapura yang tinggi ditandai dalam posisi HDI (Human Development Index) termasuk kategori terbaik di dunia.
            Saat banyak anak-anak di Indonesia yang berlomba meningkatkan skor akademik mereka agar mampu kuliah di perguruan tinggi yang bergengsi di pulau Jawa. Mereka punya keyakinan bahwa kalau bisa kuliah pada perguruan tinggi yang demikian dan memperoleh skor akademik yang cemerlang maka masa depan akan sangat cerah hingga bisa menggapai lapangan pekerjaan dengan mudah. Apakah seperti itu keyakinan para stakeholder pendidikan di Singapura dan di dunia ?
            Evan Ortlieb (2015) mengatakan bahwa “just graduating from university is no longer enough to get a job. Menjadi mahasiswa di Singapura sudah sangat lumrah. Kalau kebijakan pendidikan di negara kita masih sebatas wajib belajar 9 tahun, yaitu sekedar merampungkan pendidikan dari SD hingga level SLTA. Di negara kecil ini semua orang sudah merasa butuh untuk menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, malah cukup banyak yang menyelesaikan pendidikan master dan juga doktoral. Dan semua perguruan tinggi di sana cukup bergengsi dan berkualitas- world class university level. Jadi menjadi sarjana di sana sudah begitu biasa. Maka sekedar lulus dari universitas saja tidak lagi cukup buat meraih pekerjaan.
            Belajar dan berusaha meraih gelar perguruan tinggi dan kemudian bisa meraih pekerjaan. Generasi dengan keyakinan begini hanya terjadi untuk lebih dari 50 tahun belakang. Namun dengan meningkatnya jenis bidang pekerjaan dewasa ini, maka keyakinan seperti sebelumnya tidak akan ada lagi. Apalagi dengan semakin banyaknya populasi anak muda yang kuliah di perguruan tinggi maka yang terjadi adalah kompetisi untuk memperebutkan kesempatan kerja bagi yang memenuhi kriteria.
            Lulusan strata satu dewasa ini sudah booming, malah termasuk juga lulusan magister. Malah antar perguruan tinggi juga terjadi saling berlomba pengaruh untuk melahirkan lulusan yang berkualitas. Dimana sebelumnya mahasiswa mereka dilengkapi dengan sejumlah skill dan pengalaman agar bisa sukses dan mampu berkompetisi dengan para lulusan perguruan tinggi lainnya di banyak negara. 
            Karena lulusan perguruan tinggi sudah membooming. Di Australia sendiri, misalnya, ada 2/3 populasi lulusan universitas, ada sekitar 66% tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Sehingga agar mereka bisa memperoleh pekerjaan maka mereka kuliah lagi setinggi mungkin hingga ke program doktoral dengan harapan bisa menjadi dosen, ahli statistik, ahli ekonomi, ahli perminyakan, menjadi konselor, pekerja sosial, konsultan, dan kerja di bank atau menjadi kepala sekolah.
            Dewasa ini seseorang kalau hanya sebatas lulusan kuliah S.1, ilmunya diaggap baru sebatas level dasar saja. Mereka yang lulus dari program doktoral tentu keterampilan dan ilmu pengetahuannya lebih bagus karena punya kemapuan berpikir, menganalisa, menyelesaikan masalah yang lebih bagus, berkomunikasi dengan efektif, hingga meningkat income-nya.
            Bagaima dengan fenomena lulusan pendidikan di Singapura ? Sama halnya dengan fenomena di Australia. Sandra Davie (2013) mengatakan bahwa kalau hanya lulusan strata 1 tidak begitu penting karena telah begitu lumrah. Sehingga dianjurkan kepada anak-anak muda di Singapura untuk bisa memiliki soft-skill atau pengalaman hidup terlebih dahulu, karena pengalaman atau praktek lapangan jauh lebih berharga dari pada sekedar jago berteori, yaitu teori yang dipelajari di universitas.
            Untuk menghindari pengangguran maka anak-anak muda Singapura terjun praktek di lapangan pekerjaan selama beberapa tahun. Setelah merasa cukup tangguh baru mereka memulai bisnis sendiri:
            You will gain experience and understand yourself better and then be better able to decide what the next step will be- your own a degree, but so what ? You can not eat. If that can not give you a good life, a good job, it is meaningless- kalau kamu punya pengalaman dan memahami diri sendiri itu lebih baik dan juga lebih baik untuk mampu memutuskan langkah kehidupan berikutnya- apa gunanya lulus dari perguruan tinggi kalau ternyata tidak mampu mencari makan, berarti tak ada kehidupan yang lebih baik, pekerjaan yang lebih baik, itu sia sia saja.”
            Benua Eropa luasnya sama dengan Indonesia, namun di Eropa ada banyak negara-negara maju yang ukurannya kecil-kecil. Negara- negara kecil di sana memiliki universitas berkelas dunia dan lulusan yang sangat berkualitas, utamanya di Eropa Barat dan Skandinafia. Namun karena begitu berlimpahnya lulusan perguruan tinggi maka mereka juga galau dalam mencari pekerjaan. Sebagaimana yang juga terjadi di Indonesia, cukup banyak lulusan baru kebingungan hendak mau kemana ijazah yang baru saja diperoleh.
            Lulusan S.1 setelah wisuda mereka kembali mencari tempat magang, bisa jadi cukup lama, hingga mereka merasa cukup kuat buat mandiri dan memulai bisnis sendiri. Salah seorang anak muda bernama Fabian Dolorose, lulusan teknik sipil dari universitas Belanda sempat menjadi kesulitan buat mencari tempat kerja dan tempat magang, karena negara Belanda sudah siap jadi, dan gedung-gedung sudah jarang direnovasi, jadi kurang butuh tenaga teknik sipil. Akhirnya Fabian Dolorose memutuskan buat mencari lahan kerja sebagai kerja kontraktor hingga ke negara paling selatan, yaitu Selandi Baru. Setelah bekerja hampir dua tahun projek selesai. Dia memutuskan pulang kampung, sambil berlimbur. Ia mampir ke Australia, mampir ke pulau Bali dan juga ke Sumatera, dan hingga bertemu saya di Batusangkar, Sumatera Barat.
            Lahan kerja buat teknik sipil dan semua mata kuliah masih terbuka lebar di Indonesia. Gedung-gedung baru dan juga gedung yang lama membutuhkan sentuhan tenaga teknik sipil dan teknik lainnya. Untuk jurusan pertanian, perikanan dan peternakan, maka lahan Indonesia lebih terbuka lebar lagi. Selama ini sektor-sektor tersebut sangat miskin sentuhan. Negara Belanda saja yang luasnya kecil sekali, namun kemajuan peternakanya bisa mensuplai banyak produk susu, hingga memenuhi kebutuhan banyak orang di seluruh dunia.
            Jika berpergian di seluruh permukaan bumi Indonesia, maka kita akan menemui banyak sungai, danau, laut yang semuanya masih berpotensi buat dikembangkan, seperti untuk industri perikanan, transportasi, perkapalan, hingga industri pariwisata. Hamparan alam yang luas dan hijau bisa dikelola secara intensif untuk tujuan swasembada pada berbagai domain lapangan kerja. Sekarang tinggal lagi bagaimana menggenjot SDM-nya, utamanya SDM lulusan perguruan tinggi.
            Untuk anak muda yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi, mereka perlu tahu bahwa mereka jangan hanya sebatas fokus mencari IPK- nilai akademik yang tinggi. Karena nilai akademik yang tinggi tidak lagi berdampak langsung untuk kehidupan setelah lulus dari perguruan tinggi, kecuali kalau ilmu atau teori mereka ditunjang soft-skill atau pengalaman hidup yang banyak sejak kecil, hingga remaja terus menjadi dewasa.
            Ruth Callaghan (2015) menyatakan agar para mahasiswa- sebagai calon pelamar kerja- harus segera memiliki banyak pengalaman dan juga skill yang dibutuhkan oleh dunia perusahaan. Dunia pekerjaan atau perusahaan mencari para pelamar yang punya latar belakang dan pengalaman kerja yang luas. Bagi yang mau bekerja di sektor pelayanan publik, mereka perlu punya kemampuan dalam pelayanan, pengalaman kerja, leadership, kerja kelompok serta aktivitas volunteering.
            Di atas itu semua, perusahaan mencari pelamar pekerjaan yang menunjukan antusias untuk bekerja dengan langkah cepat. Jadi mereka harus cekatan, gesit, dan punya semangat sebagai customer service kelas dunia. Maka sejak masa kuliah para calon pelamar musti juga mengaktifkan diri dalam kegiatan di luar kelas- ekstrakulikuler.
            Figur pelamar kerja yang lebih diminati misalnya oleh perusahaan Australia, tidak hanya sekedar cerdas kerdas- cerdas dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki minat, bakat dan pengalaman yang luas, seperti “ pernah menjadi kapten sebuah club olahraga, pernah berpergian ke berbagai daerah, kalau perlu keliling dunia, pernah mengikuti program pertukaran pelajar antar bangsa, sekali lagi- juga pernah ikut kegiatan volunteering. Karena pelamar dengan kriteria yang demikian dipandang sangat attraktif.
            Demikian paparan di atas tentang strategi untuk merambah dunia pekerjaan. Mengingat negara kita masih luas, masih punya banyak sumber daya alam yang potensial- sangat subur, curah hujan tinggi, pokoknya SDA alam kita yang masih berlimpah. Maka tulisan ini selalu mengundang para pemuda, untuk memperluas pengalaman hidup, wawasan dan juga ilmu-pengetahuan (akademik) dan setelah itu segeralah memulai bisnis mereka.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...