Selasa, 23 Januari 2018

Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan

Kecakapan Hidup Memudahkan Masa Depan

Apa Tujuan Menuntut Ilmu?
Soft skill atau kecakapan hidup adalah kemampuan (keterampilan) yang ada dalam diri kita. Kecakapan yang kita maksud adalah kemampuan dalam mengendalikan diri, dapat menerima nasehat orang lain, mampu dalam manajemen waktu, selalu berpiki positif, dll (Warni Tune S dan Intan Abdul Razak, 2016). Sebelum membahas tentang kecakapan hidup, saya akan memaparkan tentang bagaimana konsep pendidikan menurut masyarakat, khususnya menurut para remaja secara umum. 
Buat apa para remaja harus bersekolah dari kecil hingga dewasa dan selamanya? Pada umumnya mereka, terutama para siswa, tahu bahwa belajar itu sangat penting untuk mengubah nasib mereka. Mereka yakin bahwa sekolah berguna untuk membuat mereka jadi cerdas, agar kelak bisa jadi pegawai, bekerja di perusahaan besar  sehingga mudah mendapatkan duit yang banyak. Jadi mereka semua memotivasi diri untuk bersekolah yang benar. Belajar dengan sungguh- sungguh agar bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah. Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi kaya raya.
Sebagai konsekuensi maka sekolah yang puya mutu akan selalu diserbu dan diidolakan. Sekolah ini diyakini akan mampu mengubah nasib mereka. Sekolah bermutu  akan membantu mereka dalam mempersiapkan diri guna bisa jebol ke perguruan tinggi favorit:
  “Kuliah di jurusan favorit dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat aku menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak”. Demikianlah mimpi-mimpi positif yang memotivasi remaja untuk selalu belajar dengan serius. Mimpi ini dipegang teguh oleh  banyak siswa dan didukung oleh orangtua mereka.
            Bagaimana dengan eksistensi orangtua? Untuk merespon mimpi tersebut, sejak tahap awal pendidikan, mereka merancang konsep-konsep sukses buat pendidikan anak-anak mereka. Sejak dini orangtua selalu rajin merangsang daya fikir atau kognitif anak.
Kebiasaan yang begini sangat bagus karena mereka bisa diberi label sebagai orangtua yang bertanggungjawab terhadap pendidikan. Mereka adalah orangtua yang punya visi dan misi buat masa depan putra- putrinya.
Dari usia dini orangtua betul-betul peduli, mengantarkan anak ke pendidikan PAUD dan TK. Memberi dorongan semangat, pujian, dan tepuk tangan bila mereka mampu mengucapkan doa-doa, menyebutkan angka satu hingga sepuluh, dan melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Decak kagum juga akan ditumpahkan bila anak-anak bisa menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan SD, orangtua  akan merancang agenda buat mereka untuk bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).  Pokoknya sejak kelas 1 hingga kelas 6 sekolah dasar, waktu mereka akan habis di ruangan les privat.
Selanjutnya  begitu masuk ke pendidikan yang lebih tinggi, di tingkat SMP dan SMA, tentu saja beban materi pelajaran lebih berat, dan lebih sulit. Sebagian orangtua akan mencaritahu tentang cara pembelajaran dan juga penjurusan. Misalnya, bagaimana penjurusan di tingkat SMA. Banyak orangtua berpendapat bahwa jurusan sains lebih favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi mereka bila kuliah kelak.
Lagi-lagi para orangtua akan menggiring mereka untuk bisa belajar tambahan. Orangtua memberi sugesti agar mereka menambah ilmu ke rumah guru, mendatangkan guru-guru privat atau mendaftarkan mereka pada lembaga bimbel (bimbingan belajar).
            Begitulah gambaran hari-hari anak dan remaja dihabiskan. Mereka disibukkan dan dimotivasi untuk persiapan menuju  masa depan. Adakalanya mereka didesak buat belajar tambahan bukan karena kemauan sendiri, namun untuk memperturutkan ambisi orangtua. Banyak siswa sekarang yang secara tidak langsung telah dipersiapkan menjadi manusia karbitan.
            Para siswa yang menjadi cerdas secara karbitan terbentuk karena mereka digegas menjadi siswa yang cepat mekar, mereka pun cepat matang dan akhirnya cepat menjadi layu (Dewi Utama Faizah, 2009). Para siswa yang digegas untuk cepat matang atau pintar, hidupnya diprogram secara instan sehingga karakter yang terbentuk adalah karakter karbitan. Maksudnya mereka punya karakter “tidak sabaran” yang ingin cepat-cepat untuk bisa sukses.  
            Juga merupakan sebuah fenomena bahwa ranah pendidikan telah menjadi lahan bisnis. Kita dengan mudah menemukan banyak tawaran belajar  dengan paket program instant, program cepat pintar yang sering diberi label “smart.” Membaca tawaran ini membuat banyak remaja jadi tergiur. Mereka menyerbu biro yang menerbitkan tawaran tersebut. Mereka mungkin memilih paket cepat pintar berbahasa Inggris  agar segara bisa “bercas-cis-cus”.
Budaya instan bermakna budaya yang bersifat serba terburu-buru. Benar bahwa dalam budaya ini ditawarkan resep segala sesuatu diwujudkan serba cepat, mudah dan dadakan. Contoh, untuk program belajar bahasa Inggris mahir dalam waktu 3 bulan atau 6 bulan.
Ini adalah suatu yang nonsense apalagi kalau IQ buntu. Sedangkan untuk lahir ke dunia, bayi butuh waktu 9 bulan, dan untuk jadi seorang bayi yang sempurna, dia butuh waktu 2 tahun. Yang diperlukan adalah kebiasaan selalu belajar, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas (Mudji Sutrisno, 1994).  
Lain generasi dulu dan lain pula generasi sekarang. Banyak generasi dulu lebih terkenal dengan kemandiriannya. Mereka mencari keterampilan sendiri-sendiri. Mencari ilmu sendiri, dan juga mencari pekerjaan sendiri. Mereka menjadi smart karena usaha sendiri- usaha secara mandiri. Kontra dengan sebahagian generasi sekarang, yang akibat salah didik- banyak dibantu- menjadi generasi yang sangat tergantung pada bantuan lingkungan/ orangtua.
Penyebabnya tentu saja ayah-bunda mereka yang kurang membuat mereka mandiri. Mereka dibanjiri dengan berbagai pelayanan atau servis, jadinya mereka bisa diberi label sebagai “generasi yang suka diservis”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi bukan semata-mata murni karena kemandiriannya. Namun karena mereka banyak diprogram dan  diberi servis sejak usia dini (Rhenald Kasali, 2016).
Saat masih balita orangtua mereka mendatangkan babby-sitter buat mengurus kebutuhan mereka. Kemudian saat usia lebih besar, bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orangtua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-uijian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah.
            Saya sering mendengar pendapat orang awam dengan telinga sendiri bahwa generasi sekarang- terutama para siswa- dijuluki juga dengan “generasi anak mami”. Generasi yang begini maksudnya bahwa atas nama kasih sayang dan demi keberhasilan sekolah, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- tidak boleh menyapu, cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk membereskan semua pekerjaan tersebut.
            Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar mereka bisa menjadi hebat di sekolah. Disana mereka dipaksa dan dikondisikan buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam mereka terbelenggu- duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga PR dari guru bimbel. Terlihat bahwa mereka hanya terbelenggu oleh urusan akademik semata. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti: makan, pakaian dan pernak-pernik kecil lainnya, semuanya siap dilayani. Kerja mereka hanya bagaimana bisa mencapai target jadi orang pinter. Jadinya kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian kalau sudah bosan baru main game- online.
Apa konsekwensinya? Mereka sekarang jadi tidak punya kecakapan hidup. Saat menginjak usia remaja, duduk di bangku SMA, kecanggungan mereka semakin jelas terlihat.  Mereka hanya jadi manusia yang suka bergantung pada orangtua, kurang mandiri, kurang terbiasa mengurus diri dengan benar. Maka jadilah mereka sebagai generasi yang miskin dengan kecakapan hidup- miskin dengan pengalaman.
Tidak terbiasa melakukan hal-hal kecil, tidak mampu buat mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga mengurus keperluan lainnya, karena semua  sudah diambil alih oleh mami atau asisten rumah tangga.
            Jadinya sebagian  mereka tidak obahnya ibarat “seorang raja kecil.” Semua kebutuhannya harus dilayani, maunya tahu beres saja. Mereka telah menjadi manusia berkarakter  instant atau sebagai manusia robot.
Mereka menjadi siswa yang pintar namun hanya karena diprogram. Didesain agar bisa pintar. Ya...pintar yang kurang bisa memberi kebaikannya yang banyak. Al-hasil untuk akademik, mereka memang mampu meraih peringkat  yang baik- peringkat 1, 2 dan 3 atau peringkat 5 besar di kelas. Namun kalau hanya sebatas prestasi akademik itu hanya bersifat fatamorgana-hanya sebatas cerdas di atas kertas.
“Bisa dilihat namun tidak terpakai.” Atau lagi-lagi nilai rapornya jadi bagus karena ayah dan bunda rajin memberi guru cendera mata, hingga sang guru merasa berutang budi atas kebaikan hati orangtua dan sebagai konsekuensi tidak berani memberikan nilai “apa adanya” atau nilai yang lebih objektif.
Memang ada para orangtua (ayah dan ibu) yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak hingga mejadi bintang pelajar di sekolah. Nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan dalam ijazah. Agaknya para orangtua juga perlu memahami konsep parenting yang benar.
Bila dicermati terlihat bahwa para orangtua seolah-olah mengambil alih “peran guru dari sekolah.” Terlalu banyak porsi untuk teaching atau pengajaran. Semestinya orangtua lebih banyak porsinya untuk educating atau mendidik, yaitu seperti pembentukan kecerdasan personal dan sosial anak. Sementara peran guru lebih banyak porsinya untuk pembentukan kecerdasan  akademik atau teaching.

Jangan Hanya Sebatas Kecerdasan Akademik
Banyak remaja yang terlalu mendewa-dewakan kecerdasan otak atau kecerdasan akademik. Agaknya mereka juga perlu memahami bagaimana menumbuhkan potensi diri, misal bagaimana untuk memiliki karakter-karakter positif  seperti “peduli dengan tetangga, bisa beramah tamah, bisa berbagi dengan sesama, bisa bekerja sama dengan orang lain, terampil dalam membantu diri sendiri, tidak berkarakter individualis, dll”.
            Walau pada akhirnya mereka mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena perguruan tinggi juga merekrut calon mahasiswa berdasar skor  akademik. Karena kesibukan dengan dunia akademik maka secara tidak langsung menyingkirkan penumbuhan karakter-karakter positif yang kelak sangat menunjang kehidupan.
Proses perkuliahan mahasiswa masa kini juga sangat besar fokusnya untuk mencapai target agademik. Walau banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah akademik, itu hanya baru sebatas cerdas dengan kertas, cerdas dengan teori. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman akademik saja dari kampus belum mencukupi. Jadinya mereka  melangkah menatap kehidupan nyata penuh dengan rasa gamang.
            Sebagaimana yang ditulis oleh Ruth Callaghan (2016), mengatakan bahwa: “Employers want graduates with more than just good marks, while good grades may be the only goal for many students. Employers are looking for much more from graduates”.
            Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa hanya berlomba buat mencari nilai akademik setinggi mungkin, berharap bisa memperoleh nilai cumlaude untuk membuat orangtua jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan menjadi fenomena di dunia pendidikan. Realita di lapangan bahwa dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak hanya sebatas bernilai akademik yang bagus, namun juga harus memiliki kecakapan hidup, keterampil dan pengalaman sosial yang bervariasi.
            Ruth Callaghan (2016) lebih lanjut mengatakan bahwa banyak pimpinan perusahan yang ngetop di Australia telah berbagi pengalaman dengan  mahasiswa di berbagai universitas di Australia. Mereka mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang yakin dengan prestasi akademik sebagai indikator satu-satunya yang ditentukan oleh dunia kerja-atau perusahaan.
Ternyata keyakinan ini salah. Memang  dalam pembelajaran di universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat nilai akademik yang tinggi. Untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan hanya terbatas pada nilai akademik, namun bagaimana para kandidat juga memiliki kemampuan selain akademik tersebut, seperti:
            “Leadership, communication skill, problem solving and customer service- keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan
dalam mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria yang direkomendasi agar bisa dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pelamar kerja.     
            Jadi kriteria dunia kerja tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya nilai akademik seseorang. Kalau sebelumnya banyak pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator yang sudah ketinggalan zaman. Karena banyak perusahaan punya kriteria tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen tunggal, namun rekruitmen  yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang sangat cocok dengan atmosfir perusahaan.

Perlu Kecerdasan Non Akademik
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat berpengaruh atas kesuksesan seseorang? Jawaban ini dapat kita temui dengan membaca profil orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat (periode pertama 2010-2015 dan periode kedua 2016-2021), yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun  belakangan dia bisa merajut kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen. Jadi orangtua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMAN 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak sebatas  jago akademik, namun ia juga punya keterampilan  yang lain , yaitu peduli pada berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata  orang-orang  yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina.
Teman saya  yang lain, juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di salah satu SMA di kota Solok-Sumatera Barat), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP) dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar-Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (University Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke  London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mematangkan kemampuan leadership, juga kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya. 
Para remaja-terutama siswa dan mahasiswa-di zaman sekarang perlu tahu bahwa betapa pentingnya memiliki kecakapan hidup dan keterampilan-keterampilan yang bervariasi. Selain memiliki kemampuan akademik juga perlu memiliki soft-skill seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan (leadership), keampuan berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap perusahaan memiliki iklimnya  sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari (membutuhkan) orang yang berpribadi attraktif dan punya soft skill-keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming, and willing to have the opinion”.
Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi, bahwa soft skill-kemampuan dan pengalaman yang bervariasi akan memudahkan jalan bagi kita dalam mendapatkan karir di masa depan.

Menjadi Pemenang Dalam Kehidupan

Meraih masa depan memerlukan perjuangan, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang bermutu telah menjadi  harapan banyak siswa. Mereka mencari-cari sekolah unggulan. Semangat mereka yang tinggi untuk menjadi cerdas (smart) perlu diacungkan jempol.
Mereka mencari bimbel (bimbingan belajar) yang ternama, atau mengunjungi guru- guru privat dengan harapan bisa sukses di sekolah dan mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang favorit. Ada anggapan bahwa dengan bermodalkan prestasi akademik yang sangat bagus akan membuat mereka sukses di masa depan.
Jadinya banyak remaja (anak sekolah) yang motivasi belajarnya hanya sebatas bisa menjadi juara kelas, juara umum, atau bisa menang dalam lomba OSN (Olimpiade Sains Nasional), atau cerdas secara akademik. Dibalik itu mereka tidak terbiasa untuk pengembangan  kecakapan hidup (soft skill) dalam bentuk kecakapan personal, kecakapan sosial dan juga kecakapan vokasional. Telah menjadi fenomena banyak di antara mereka yang menjadi cerdas, kaya dengan berbagai informasi, dan mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang favorit.
Namun setelah menjadi sarjana, ternyata ilmu pengetahuan yang mereka raih selama kuliah belum mampu membuat mereka kuat.  Teori-teori dan pengetahuan yang dipelajari selama ini belum mampu digunakan untuk mewujudkan aktualisasi diri.
Dahulu populasi orang yang pergi kuliah masih sedikit. Semua yang lulus dari perguruan tinggi  mampu memperoleh pekerjaan dan malah juga ada yang menciptakan lapangan pekerjaan. Kesadaran terhadap pendidikan tumbuh terus, maka populasi mahasiswa semakin bertambah. Dari 100% para lulusan perguruan tinggi, 80% akan mampu memperoleh pekerjaan, sementara yang 20% akan menjadi job-seeker atau pengangguran.
Kesadaran menuntut ilmu pengetahuan bertambah terus. Setelah itu dikatakan bahwa dari 100% populasi sarjana  baru, hanya 20% mampu yang meperoleh pekerjaan dan yang 80% akan menjadi penggangguran. Jadi kondisinya sudah terbalik. Fenomena selanjutnya bahwa dari 100%  lulusan perguruan tinggi, maka total yang mengganggur semakin membengkak. Kecerdasan akademik, meskipun  indek prestasi sangat bagus, hingga predikat cum-laude sekalipun, belum tentu bisa menjamin mereka (sebahagian) dalam  meraih pekerjaan yang mereka impikan, apalagi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kecuali bagi mereka yang memiliki kecakapan hidup; punya pengalaman sosial, keterampilan berkomunikasi, keberanian, kemauan, kemandirian, dll.
Naskah ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba penulisan naskah buku untuk guru pendidikan menengan tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Subdit Kesharlindung, Dit Pembinaan Guru Dikmen, Ditjen GTK Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Buku ini merupakan gagasan atau opini penulis yang mengupas seputar masalah pendidikan, terutama semangat dan motivasi menuntut ilmu.
Buku ini diberi judul: Menjadi Pemenang Dalam Kehidupan. Kehadiran buku ini bertujuan untuk menambah koleksi bacaan remaja. Berharap agar para remaja memiliki gambaran tentang masa depan. Bagi mereka hidup ini adalah ibarat sebuah perlombaan. Mereka berlari melintasi jalan panjang dan berliku, dan mereka berharap  untuk bisa menjadi pemenang. Selain bacaan remaja, buku ini juga direkomendasikan buat bacaan para orangtua, karena  di dalamnya juga terdapat paparan tentang parenting.
Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt karena buku ini bisa terwujud. Semua berkat rahmat-Nya. Kemudian ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. Asrul, selaku Kepala SMAN 3 Batusangkar dan para majelis guru, serta berbagai pihak yang memberi kontribusi atas selesainya buku ini. Selanjutnya, terimakasih buat Emi Surya (istri penulis), Muhammad Fachrul Anshar dan Nadhila Azzahra (anak-anak penulis) yang mana waktu kebersamaan buat mereka telah tersita selama penyelesaian naskah buku ini.

Penulis membuka diri untuk menerima masukan berupa saran dan kritikan yang membagun dari pembaca. Saran dan kritikan dapat disampaikan melalui email- marjohanusman@yahoo.com. Moga-moga buku ini bisa memberi manfaat.

Senin, 11 Desember 2017

Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri



 Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri

Terinspirasi Untuk Ikut Pertukaran Pelajar
Mengikuti proram pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Beberapa bentuk program tersebut seperti: AFS (American Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang) masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua minggu.
Program ini terbatas untuk beberapa orang saja. Program ini tentu saja cukup bergengsi sehingga peminat yang ingin mengikutinya  harus punya persiapan yang matang agar bisa menang dalam seleksi. Tulisan ini merupakan- Sepenggal Pengalaman Mengikuti Program Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri- tersinspirasi oleh pengalaman Miftahul Khairi (17 tahun), seorang pelajar dari  salah satu SMA di kota Bukittinggi.       
Miftahul Khairi beruntung bisa mengikuti program pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga disebut dengan negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (yang biasanya juga dipanggil “Ari”) terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan orangtua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari terlihat sebagai remaja yang rajin tapi kadang-kadang juga suka hangout-nya. Di rumah, dia terbiasa membantu orangtuanya- mengisi bak air, mencuci motor, merapikan rumah, membantu pekerjaan ayah, dll. Dia suka belajar- telah mandiri dalam belajar. Ari punya banyak teman dan juga suka berolahraga. Dia juga suka main game on-line namun tidak sampai ketagihan.
”Apa alasan mengapa kamu tertarik mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika, Ari?”
Ari menjawab bahwa bisa memenangkan persaingan program pertukaran pelajar ke Amerika merupakan sebuah kesempatan yang langka dan sangat berharga. Karena kita akan bisa memperoleh soft-skill kaliber internasional dan keberanian internasional dan kita pun juga akan bisa menjadi seseorang yang bermental internasional. Kita akan bisa bergaul dan bertukar cerita dengan banyak orang selama di sana.
Suatu hari kakak temannya Ari yang baru saja kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini mereka yang selain mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi. Ia sendiri juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah- kegiatan bertetangga. Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus.
Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia- misal tentang global warming, migrasi, perang saudara, kekurangan bahan pangan dunia, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain. 
Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa :
Preparation is mother of successfulness”.
Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat, menguasai kesenian dan life skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang.
Ari juga belajar tari Minang, silat Minang, masakan Minang, dan juga membaca buku-buku tetang budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta bangsa di luar negeri. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan berani, sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang kerja kelompok atau team-work.

Tip dan Trick Agar Lolos Seleksi
Tip dan trick agar menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self- jadilah dirimu sendiri !!!”. Penilaian dengan skor rendah selama aktifitas team work adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk  karakter cooperative, leadership, dan kreatif.
Tipe “be yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar. Setiap orang harus menjadi dirinya sendiri untuk semua karakter- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris, dll. Yang dinilai tidak hanya cerdas, ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi?”
Kelima peserta yang lulus kemungkinan “feeling between belive or not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar  di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu menuju negara Amerika Serikat?”
Selain faktor bahasa dan pengetahuan budaya juga harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan yaitu pengetahuan tentang budaya. Jadinya Ari belajar tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orangtua. Mereka diberi program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri. Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”. Dan setelah itu acara Talent Show- penampilan bakat- yang disuguhkan buat orangtua peserta yang baru saja mengantarkan anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi samudra pasifik?”
 Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA- Garuda Indonesia Airways- saat Ari terbang (beberapa tahun lalu)  belum memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa, karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
“Oh ya kalau sekarang mungkin sudah ada izin mendaran pesawat Garuda ke Eropa, karena GIA sudah melakukan perbaikan manajemen”.
Peserta pertukaran pemuda transit di Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan “ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam pesawat terbang moderen?”
Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan masyarakat sosial. Dalam masyarakat barat atau budaya individu terkesan bahwa “no personal space”.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam dan masyarakat muslim, USA mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal dengan host familly?”
Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala masih kurang mengerti dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda.
Untuk memahami komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage. Tentang makanan, masakan Indonesia lebih mengutamakan taste and flavour, sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
“bagaimana pengalaman kamu tentang sekolah di sana?”
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun.
Pendidikan di sekolah kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran bersifat memberi “explanation, practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat- walau materi berharga kecil namun barnilai besar. Di Indonesia materi pembelajaran terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.

Perbedaan Pengalaman Belajar
Ari secara langsung melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya sendiri (di Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian. Suasana pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam kelas politik (atau KWN- kewarga negaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya juga dengan bermain peran, ada yang berperan sebagai presiden, anggota parlemen, sebagai pengacara, sebagai narapidana, dll.
Pelajaran seni di Indonesia lebih sudah berciri “praktek”. Di Amerika malah lebih banyak praktek, misal ada kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik, dll.
Ada kesan dari kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah merea buru-buru pergi les, les matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer. Namun para pelajar Amerika tidak demikian, pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga. Oleh karena itu mereka terkesan berani dan agresif (maksudnya-sangat aktif)  dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga,  bahwa di sana selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat membuat self-believe, life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau “kamu anak siapa(?)”.
Bahwa semua orang sama-sama punya kesempatan untuk maju. Seorang guru tidak membandingkan latar belakang siswanya apakah dari orangtua miskin, kaya, kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung pada karakter seseorang).
Umumnya siswa di sana memiliki “self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal dalam hidup”.
“Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah sweet-kid (anak manis) yaitu patuh, menjadi pendengar yang baik, penurut dan rajin”. Di negara Amerika Serikat, jarang sekali orang dengan karakter “sweet kid”anak yang patuh dan penurut. Semua orang berkarakter “assertive-  yaitu: say what you feel” dan tidak ada istilah bahasa yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah  different fish different pond- lain lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak berbelit-belit”.
“Bagaimana tentang appellation atau panggilan?”
Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orangtua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan. Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata: kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”. Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu  Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita, fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan efek rasa bosan dan akhirnya menjadi jera.
Sementara hukum spangking “melampang (dalam bahasa Minang)” atau menampar pantat anak tidak ada lagi. Apalagi hukuman fisik sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, menjewer telinga dan hukuman fisik lain.  sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orangtua yang menganiaya dan sampai menelantarkan anak mereka.

Lain Indonesia, Lain Amerika
“Bagaimana teman-teman mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia?”
Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-lucu.
“Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar?”
Orang di negara Paman Sam yang sudah tahu tentang geografi internasional, memandang Indonesia sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak ada tari atau seni seperti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang riang, lucu, dan smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah. Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering kali tampil ke depan dalam mata pelajaran matematika, namun kita hanya kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek. Jadinya di Indonesia, banyak yang memperoleh juara olimpiade, kalau mereka hanya sebatas juara karena hafal konsep dan teori namun tidak punya soft-skill, pengalaman dan keberanian maka akhirnya mereka selalu stagnant atau jalan di tempat.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret, hospitality dan smart. Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi.
“Bagaimana dengan pola bersahabat atau berteman di sana?”
Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa keramah tamahan itu hanya  sebatas  memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja aktif  mencari teman yag memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .     
“Bagaimana tentang hubungan orangtua dan anak di Amrik?”
 Hubungan orangtua dan anak di sana, ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street construction, di restorant fast food.
‘Tentang UMR?”
UMR (Upah Minimum Regional) di negara kita hitungannya adalah per-bulan, sementara di sana per-jam. UMR-nya adalah 7.25 Dollar Amerika atau setara dengan Rp. 82.000. Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka harus menulis resume atau lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar seperti dari Amerika Serika?”.
 Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan ragam budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia karena kecil-kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorit di universitas ya sama fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilangnan waktu belajar selama satu tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh. Namun setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determination Ari juga lebih meningkat.  

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...